Anda di halaman 1dari 18

SUMMARY KULIAH KE SEBELAS, MATA KULIAH

PERAN HUKUM DALAM PEMBANGUNAN


EKONOMI, PROGRAM PASCA SARJANA
FAKULTAS MAGISTER HUKUM, UNIVERSITAS
JAYABAYA

DISUSUN OLEH:
FARID TEGUH P (2020010262047)

MATA KULIAH:
KELAS B PERAN HUKUM DALAM PEMBANGUNAN EKONOMI

DOSEN PENGAMPU:
Dr. HJ. SRI SUTATIEK, S.H., M.Hum.

PROGRAM PASCASARJANA
FAKULTAS MAGISTER HUKUM UNIVERSITAS JAYABAYA 2022
Proses globalisasi dari sisi ekonomi adalah suatu perubahan di dalam
perekonomian dunia yang bersifat mendasar atau struktural dan akan
berlangsung terus dalam laju yang semakin pesat mengikuti kemajuan
teknologi yang juga prosesnya semakin cepat. Perkembangan ini telah
meningkatkan kadar hubungan saling ketergantungan dan juga
mempertajam persaingan antarnegara, tidak hanya dalam perdagangan
internasional tetapi juga dalam kegiatan investasi, finansial dan produksi.
Globalisasi ekonomi ditandai dengan semakin menipisnya batas-batas
kegiatan ekonomi atau pasar secara nasional atau regional, tetapi semakin
mengglobal menjadi “satu” proses yang melibatkan banyak negara. Bahkan
sekarang ini tidak relevan lagi mencantumkan nama negara asal dari suatu
produk; orang hanya tahu bahwa lampu itu adalah buatan Philips yang
pabrik pembuatanya bukan di Belanda, tetapi misalnya di Tangerang.
Banyak produk dari Disney bukan buatan AS melainkan dibuat di Cina
dengan memakai tenaga kerja, bahan baku dan modal dari negara tersebut.
Sekarang ini semakin banyak produk-produk yang komponennya di buat di
lebih dari satu negara (seperti komputer, mobil, pesawat terbang, dll.), dan
banyak perusahaan-perusahaan multinasional mempunyai kantor pusat
bukan di negara asal melainkan di pusat-pusat keuangan di negara-negara
lain seperti London dan New York.
Dari fenomena ekonomi dunia pada masa kini, membuat negara-
negara termasuk Indonesia, dituntut untuk mengikuti kecenderungan
globalisasi ekonomi, yang mengarah pada penduniaan dalam arti
peringkasan atau perapatan dunia (compression of the world) dalam bidang
ekonomi.1
Bagi Indonesia, pilihan yang terbuka bukanlah apakah menerima atau
tidak menerima globalisasi itu, tetapi bagaimana menempatkan diri dan
mengantisipasi segala tantangan dan peluang yang akan muncul. Globalisasi
yang dibicarakan hanya memfokuskan pada globalisasi ekonomi yang

1
Sri Sutatiek, Kuliah ke sebelas, mata kuliah Peran Hukum dalam Pembangunan Ekonomi, Program
Pasca Sarjana Fakultas Magister Hukum, Universitas Jayabaya, 2022., hlm. 2.
berpengaruh pada bidang hukum di Indonesia. Globalisasi di bidang
ekonomi ditandai dengan lahirnya atau disepakatinya beberapa bentuk
multinational agreement, yang berskala internasional (GATT - General
Agreement on Tariffs and Trade), maupun berskala regional (NAFTA –
North America Free Trade Associations, AFTA – ASEAN Free Trade
Agreement, EEC – European Economic Community, APEC – Asia Pacific
Economic Cooperation, CARICO – Caribian Community, CACM – Central
American Common Market). Dari beberapa multinational agreement
tersebut yang banyak memberikan implikasi serius dalam bidang hukum di
Indonesia adalah disepakatinya GATT.
Disepakatinya GATT menandakan munculnya era liberalisasi
perdagangan dunia tanpa proteksi dan tanpa hambatan, dan mempertinggi
tingkat persaingan perdagangan antar pelaku-pelaku ekonomi. Di samping
itu, semua negara yang ikut menandatangani kesepakatan tersebut wajib
untuk menyesuaikan hukum nasional mereka dengan ketentuan-ketentuan
yang terdapat dalam GATT. Apabila hal ini tidak dilakukan maka WTO
(World Trade Organization), selaku badan yang berfungsi untuk
menafsirkan dan menjabarkan isi perjanjian GATT serta menyelesaikan
sengketa di antara negara anggotanya, akan memberikan sanksi yang dapat
merugikan kepentingan ekonomi dan perdagangan negara tersebut.
WTO berdiri tahun 1994 sebagai kelanjutan dari GATT (General
Agreement on Tarrifs and Trade) yang berdiri tahun 1948, kini
bearnggotakan 158 negara. Karenanya rezim WTO terdiri dari baik aturan-
aturan GATT yang sudah ada, aturan-aturan hasil Putaran Uruguay yang
melahirkan WTO, maupun aturan-aturan yang disepakati selama 20 Tahun
belakangan ini. Sejak berdiri, tiap dua tahun sekali WTO menyelenggarakan
Konferensi Tertinggi yang dihadiri oleh seluruh anggotanya, yang telah
diadakan 9 (Sembilan) kali, yaitu: Sungapura, Jenewa di swiss, Seattle di
AS, Doha di Qatar, Cancun di Meksiko, Hong Kong, Jenewa, Jenewa dan
Bali. Konferensi tersebut disebut dengan Ministerial Conference
(Konferensi Tingkat Menteri-KTM), karena dihadiri oleh utusan tertinggi
dari masing-masing negara, yaitu menteri perindustrian/perdagangan
masing-masing negara.2
Fungsi penting dari WTO adalah melancarkan pelaksanaan
pengadministrasian serta lebih meningkatkan tujuan dari perjanjian
pembentukan WTO sendiri serta perjanjian-perjanjian lain yang terkait
dengannya. Disamping itu WTO akan merupakan forum negosiasi bagi para
anggotanya di bidang-bidang yang menyangkut perdagangan multilateral,
forum penyelesaian sengketa dan melaksanakan peninjauan atas kebijakan
perdagangan.3
Menurut Sri Sutatiek, fungsi WTO sebagai pengganti GATT
menetapkan aturan perdagangan internasional, dimana tujuan utamanya
adalah meliberalisasikan perdagangan internasional dan menjadikan
perdagangan bebas sebagai landasan perdagangan internasional untuk
mencapai pertumbuhan ekonomi, pembangunan dan kesejahteraan umat
manusia. Sekarang ini substansi pengaturan yang ditangani WTO diperluas
sampai mencakup bidang-bidang baru (new issues) yang sebelumnya tidak
pernah dimuat dalam GATT, seperti masalah perlindungan Hak Atas
Kekayaan Intelektual (HAKI), masalah kebijakan di bidang investasi yang
mempunyai dampak terhadap perdagangan, dan masalah perdagangan jasa
(“General Agreements on Trade in Services” – “GATS”).
Dalam bidang investasi, ketentuan tersebut dapat dilihat dari dua jenis
perjanjian yang menjadi lampiran (annex) dari Perjanjian Pendirian WTO,
sebagaimana terdapat pada Trade Related Investment Measures (TRIMs)
dan GATS.4 Ketentuan-ketentuan investasi yang berkaitan dengan
perdagangan telah menjadi persoalan yang tak terpisahkan dengan
persetujuan pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia. Konsekuensinya,
Indonesia mesti melakukan reformasi Undang-undang Penanaman Modal
seirama dengan ketentuan yang diatur dalam TRIMs.

2
Bonnie Setiawan, WTO dan Perdagangan Abad 21, Resist., Yogyakarta, 2013, hlm.13-14.
3
Hata, Perdagangan Internasional Dalam Sistem GATT dan WTO, Aspek-aspek Hukum dan Non
Hukum, Refika Aditama, Bandung, 2006, hlm. 88.
4
Sri Sutatiek, Op.Cit.,, hlm. 9-10
Di dalam pandangan negara berkembang, ketentuan TRIMs
dipandang sebagai kendaraan (sarana) dengan tujuan khusus untuk
keuntungan terbesar bagi negara maju dalam pasar global melalui peraturan
perdagangan misalnya kebijakan investasi. Negara berkembang
menegaskan bahwa kebijakan investasi jangan hanya dipandang dari sisi
mikro dan makro ekonomi semata, tetapi dengan adanya sistem yang
menyeluruh tentang ekonomi, sosial, politik, dan keamanan. Investasi
hanyalah satu bagian saja dari subsistem ekonomi. Jika terdapat masalah
yang tak terselesaikan tentang kebijakan investasi, hal ini mengakibatkan
ketidakstabilan pada subsistem yang lain.
Persetujuan tentang Ketentuan Investasi yang berkaitan dengan
Perdagangan merupakan bagian yang tak terpisahkan dari pembentukan
Organisasi Perdagangan Dunia. Implikasinya, Indonesia harus melakukan
pembaruan dan harmonisasi hukum dibidang investasi, terutama yang
berkaitan dengan perdagangan, yang sesuai dengan ketentuan-ketentuan
dalam TRIMs. TRIMs adalah perjanjian tentang aturan-aturan investasi
yang menyangkut atau berkaitan dengan perdagangan. Kesepakatan TRIMs
dimaksudkan mengurangi atau menghapus kegiatan perdagangan yang tidak
sehat dan meningkatkan kebebasan kegiatan investasi.
Dalam TRIMs diatur mengenai ketentuan-ketentuan investasi yang
berkaitan dengan perdagangan barang. Pasal 1 Agreement on Trade-Related
Investment Measures menyatakan, bahwa “This Agreement applies to
investment measures related to trade in goods only.” Pada dasarnya TRIMs
tersebut merupakan penegasan kembali pegaturan mekanisme pelaksanaan
ketentuan yang berkaitan dengan aturan GATT 1947, khususnya mengenai
ketentuan Pasal III dan XI yang mengatur 2 (dua) hal pokok yaitu:5
1. Agar negara-negara tidak menerapkan kebijaksanaan yang
membatasi volume atau nilai impor dari suatu perusahaan
untuk dapat memperoleh atau menggunakannya bagi suatu

5
Ibid, hlm 10-11
jumlah yang dikaitkan kepada tingkat produk yang
diekspornya (trade balancing requirement).
2. Menerapkan kebijaksanaan yang menentukan investor asing
untuk menggunakan sebagaian dari input produksinya dari
sumber dalam negeri (domestic content requirement).
GATS meletakkan aturan-aturan dasar bagi perdagangan
internasional di bidang jasa.6 GATS merupakan satu kesepakatan
multilateral pertama yang pernah dihasilkan dan memiliki dasar hukum
serta peraturan-peraturan yang mengatur perdagangan internasional di
bidang jasa. Dengan mengamankan akses pasar dan proses liberalisasi
secara progesif, kesepakatan ini mendorong pertumbuhan perdagangan jasa-
jasa seperti yang pernah dilakukan oleh GATT untuk perdagangan barang
sejak tahun 1947. Sebagai anggota WTO, Indonesia tentu saja tidak dapat
menghindar dari berbagai perjanjian liberalisasi perdagangan, termasuk
perdagangan jasa pendidikan. GATS, pada khususnya mengatur berkenaan
dengan cara pemasokan jasa (mode of supply) melalui kehadiran komersil
(commercial presence), yang mengatur investasi di bidang sektor jasa. Pasal
1 ayat 1 GATS menyatakan 4 (empat) cara pemasokan jasa, yaitu cross
border, consumption abroud, commercial presence, dan movement of
natural person.7
Suatu negara yang mengadakan komitmen atas sektor jasanya
mencantumkan komitmennya tersebut dalam GATS Schedule of
Commitments. Menurut Hoekman Bernard dan Kostecki Michel, setiap
jadwal komitmen dibagi menjadi dua bagian yaitu horizontal dan sektoral.
Komitmen yang bersifat horizontal berlaku untuk keseluruhan sektor jasa
sedangkan komitmen sektoral hanya berlaku bagi sektor atau sub-sektor
tertentu. Judul dalam suatu jadwal komitmen menunjukkan cakupan

6
GATT Activities 1986, An Annual Review of the Work of the GATT, Geneva, 1987, hlm. 26
7
Sri Sutatiek, Op.Cit., hlm. 12.
komitmen yang telah disetujui untuk diberikan dan disusun terpisah untuk
setiap bentuk atau model dalam perdagangan jasa internasional.8
Ketentuan investasi yang diatur dalam GATS adalah ketentuan yang
menyangkut commercial presence atau disebut presence of juridical person
dengan ketentuan bahwa negara anggota diwajibkan untuk memberikan
akses ke pasar domestiknya dan memberikan perlakukan non diskriminasi
antar sesama anggota (most favored nation) serta memperlakukan pemasok
jasa asing yang tidak lebih jelek dari pemasok jasa domestik (national
treatment), yaitu setiap jenis usaha yang dilakukan melalui:9
1. Pendirian, akuisisi atau pendirian suatu badan hukum di dalam
wilayah suatu negara dengan tujuan untuk melakukan
pemasokan suatu jasa.
2. Pendirian suatu kantor cabang atau perwakilan di dalam
wilayah suatu negara dengan tujuan untuk melakukan
pemasokan suatu jasa.
Asean Free Trade Area (AFTA) adalah bentuk kerja sama
perdagangan dan ekonomi yang disepakati oleh negara-negara dalam
wilayah ASEAN. AFTA berdiri pada 28 Januari 1992 di Singapura, pada
sidang KTT ASEAN keempat. Anggota ASEAN berharap dengan
berdirinya AFTA tercipta lingkungan perdagangan bebas yang dapat
menguntungkan seluruh negara anggota.
Pada awalnya, AFTA hanya terdiri dari enam negara anggota
ASEAN, yaitu Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, Filipina,
Singapura, dan Thailand. Seiring berjalannya waktu, negara lain seperti
Vietnam, Laos, Myanmar, serta Kamboja ikut bergabung dalam perjanjian
ini. Pembentukan AFTA10, Dalam hal ini orientasi AFTA adalah pada
penurunan tarif dan non tarif dalam suasana perdagangan dan arus investasi

8
Hoekman Bernard dan Kostecki Michel, The Political Economy of the World Trading System,
Oxford University Press, New York, 1995, hlm. 131.
9
Sri Sutatiek, Op.Cit., hlm. 12-13.
10
Abdul Hamid Adnan, Perkembangan Kerjasama Ekonomi ASEAN, Simposium Persyarikatan
ASEAN, Universitas Hasanuddin, Ujung Pandang, 1995, hlm. 5.
ke negara-negara anggota ASEAN. Hal demikian perlu direspon negara-
negara anggota menghadapi tarif dan peningkatan investasi di negaranya.
Pada dasarnya pembentukan AFTA didasarkan pada faktor internal
dan faktor eksternal. Faktor internal ditentukan oleh kesediaan ASEAN
untuk mendirikan AFTA yang diikuti tindakan struktur ekonomi ASEAN
dari pertanian ke industry. Sedangkan faktor eksternal adalah munculnya
regionalisme ekonomi yang protektif dibelahan dunia lain, sebagai akibat
dari lambannya putaran Uruguay.
Oleh karena itu, negara-negara peserta AFTA harus menyiapkan
ketentuan-ketentuan bagi pelaksanaannya. Dengan demikian keberadaan
AFTA membawa dampak terhadap sistem Hukum Nasional Indonesia,
karena Indonesia harus menjalankan perjanjian tersebut sesuai dengan
kesepakatannya. Untuk itu perlu dibahas dari segi hukum, terutama yang
berkenaan dengan perjanjian AFTA bagi perkembangan sistem hukum
Indonesia dewasa ini. Sebab penetapan AFTA sebagai suatu sistim
perdagangan bebas di kawasan Asia Tenggara tersebut akan menimbulkan
hubungan interdependen dan integrasi dalam bidang perdagangan serta akan
membawa dampak perdagangan atau ekonomi di Indonesia, dimana lalu
lintas perdagangan akan bebas tanpa hambatan tarif bea masuk maupun non
tarif. Artinya, barang-barang hasil produksi negara- negara ASEAN akan
sangat bebas masuk pada setiap negara anggota ASEAN.11
Persyaratan pembuatan hukum investasi itu juga harus
diharmonisasikan dengan konsep AFTA melalui Common Effective
Preferential Tariff (CEPT), yaitu penurunan tarif beberapa komoditi tertentu
secara bersamaan sampai mencapai tingkat 0-5%, dimana penurunan tarif
tersebut dilakukan secara bertahap, yaitu sampai mencapai kondisi
perdagangan bebas untuk seluruh komoditi setelah 15 tahun. Namun, tahap
pertama penurunan tarif itu berlaku mulai 1 Januari 2003 pada 15 komoditi.
Adapun kerangka CEPT adalah sebagai berikut:

11
Sri Sutatiek, Op.Cit., hlm. 15.
1. Ketentuan Umum
a. Semua negara anggota ASEAN ikut serta dalam skema
CEPT.
b. Produk produk yang dimasukkan ke dalam skema
CEPT berdasarkan pendekatan sektoral pada tingkat 6
digit Harmonized system [HS].
c. Bagi negara-negara yang belum siap memasukkan
produk-produk tertentu ke dalam skema CEPT,
pengecualian dapat dilakukan pada tingkat 8 atau 9
digit HS dan bersifat sementara.
d. Produk-produk yang dianggap “sensitif’’ oleh negara-
negara anggota dapat dikeluarkan dari skema CEPT
dan tidak diberikan konsesi dalam rangka CEPT
berupa penurunan tarif (NTB) dan lain-lain. Setelah
delapan tahun, produk yang dikeluarkan tersebut
ditinjau kembali untuk ditetapkan apakah masuk
skema CEPT atau dikeluarkan secara permanen.
Ketentuan tersebut merupakan pelaksanaan prinsip (6-
X).
e. Suatu produk CEPT harus memenuhi kandungan lokal
(local content) paling sedikit 40%.
f. Produk-produk dari skema Tarif Preferensi ASEAN
(ASEAN PTA) setelah dikenakan Margin of Tariff
Preference (MOP) sehingga tarif efektifnya menjadi
20% atau lebih rendah, dialihkan masuk skema CEPT.
Bagi produk ASEAN PTA yang belum memenuhi
ketentuan di atas, tetap menikmati MOP yang berlaku.
2. Lingkup produk CEPT
Produk CEPT meliputi seluruh jenis produk industri, termasuk
barang modal, produk olahan hasil pertanian, dan produk-
produk lainnya yang tidak termasuk defenisi produk pertanian.
Produk pertanian dan jasa dikeluarkan dari skema CEPT.
3. Penurunan Tarif dan Jangka Waktu
a. Penurunan tarif efektif produk CEPT dilaksanakan
secara bertahap sampai mencapai tingkat antara 0-5%
dalam jangka waktu 15 tahun.
b. Jadwal penurunan tarif:
1) Penurunan tarif yang sedang berlaku sampai
menjadi tarif efektif 20% adalah dalam jangka
waktu 5-8 tahun dan dimulai tanggal 1 Januari
1993.
2) Penurunan tingkat tarif efektif selanjutnya dari
20% menjadi 0-5% adalah dalam jangka waktu
7 tahun.
3) Secara keseluruhan kedua proses penurunan
tersebut diatas tidak lebih dari 15 tahun.
c. Produk-produk yang telah mencapai tingkat tarif 20%
atau lebih rendah, dapat menikmati konsesi CEPT
dengtan syarat negara yang bersangkutan
mengumumkan jadwal penurunan tarifnya dari 20%
menjadi 0-5% atas produk tersebut.
d. Jadwal penurunan tarif tersebut di atas tidak
menghalangi suatu negara untuk menurunkan tarifnya
menjadi 0% dengan segera.
4. Ketentuan-ketentuan lainnya
a. Produk CEPT dibebaskan dari pembatasan kuantitatif
dan larangan penggunaan valuta asing. Selanjutnya
dalam 5 tahun bentuk-bentuk NTB lainnya harus telah
dihapuskan.
b. Negara peserta tidak diperkenankan untuk
menghapuskan atau mengurangi segala konsesi yang
telah disepakati melalui penerapan sistem Custom
Valuation, pengaturan-pengaturan baru yang
menghambat perdagangan, kecuali untuk kasus-kasus
tertentu yang telah ditetapkan dalam perjanjian.
c. Dapat dilakukan langkah-langkah darurat asal saja
sesuai dengan ketentuan GATT, yaitu:
1) Dalam pelaksanaan CEPT, apakah import
suatu barang meningkat pesat sehingga
menyebabkan pengaruh berat bagi industri
yang sama di negara anggota, maka negara
yang bersangkutan dapat menangguhkan
semester pemberian konsesi tarifnya.
2) Dalam pelaksanaan CEPT, apakah terjadi
penurunan cadangan devisa yang tajam, dapat
dilakukan langkah-langkah untuk membatasi
impor selama nilai konsesi yang telah
disepakati tetap terjaga. Rencana penerapan
langkah-langkah darurat tersebut harus
disampaikan secepatnya kepada Badan CEPT.
d. Negara anggota diperkenankan mengambil langkah-
langkah pengamanan yang dianggap perlu selama
berkaitan dengan:
1) Perlindungan terhadap keamanan nasional.
2) Perlindungan moral masyarakat.
3) Perlindungan terhadap manusia, binatang,
tumbuh-tumbuhan dan kesehatan.
4) Perlindungan terhadap benda-benda yang
mempunyai nilai artistik, sejarah, dan
kepurbakalaan.
e. Dibentuk suatu badan setingkat menteri (council)
untuk mengkoordinasikan, mengawasi dan
mengevaluasi pelaksanaan CEPT, serta membantu
para Menteri Ekonomi ASEAN (AEM) dalam
mengatasi segala hal yang berkaitan dengan
pelaksanaan CEPT. Badan ini beranggotakan 1 (satu)
orang wakil senior dari masing-masing negara anggota
ASEAN dan Sekretaris Jenderal ASEAN. Sekretariat
ASEAN memberikan dukungan administrasi bagi
pelaksanaan tugas badan tersebut
f. Sebagai awal dari pelaksanaan CEPT, disepakati
produk-produk yang dipercepat penurunan tarifnya
menjadi 0-5%, yaitu meliputi : semen, pupuk, pulp,
tekstil, perhiasan, permata, perabot dari kayu, rotan,
barang-barang kulit, plastik, obat-obatan, elektronika,
kimia, produk karet, minyak nabati, keramik, gelas dan
copper cathode.
Program legislasi nasional harus memberikan prioritas pada hukum
yang berkaitan dengan kerangka konsep AFTA, melaui CEPT, dimana
hukum investasi yang berlaku selama ini harus menjadi semakin terbuka,
supaya arus investasi dapat berkembang dan sekaligus semakin mengurangi
hambatan-hambatan dalam bentuk taruf maun non tarif. Negara yang dapat
memanfaatkan AFTA tersebut secara luas akan meningkatkan arus
investasinya, yang pada gilirannya akan menunjang kegiatan masuknya
investasi ke negara itu dan selanjutnya akan meningkatkan pula
kesejahteraan ekonomi negara tersebut. Dengan ini pembaharuan hukum
investasi dalam bentuk peraturan perundang-undangan harus
mengakomodasikan konsep AFTA melalui CEPT berikut semua naskah
persetujuannya yang dijadikan acuan bagi pelaksanaan kegiatan investasi
bagi anggota-anggota negara ASEAN.
Pengaruh WTO dan AFTA tersebut menjadi tantangan bagi
perumusan hukum atau kebijaksanaan nasional, dunia ekonomi dan pelaku
ekonomi. Disinilah diperlukan pembaharuan hukum sebagai perangkat
aturan untuk memberikan antisipasi globalisasi ekonomi tersebut pada
investasi atau perdagangan bebas, baik dalam lingkup Organisasi
Perdagangan Dunia WTO maupun lingkup AFTA. Artinya, hukum
Indonesia berkenaan dengan investasi dan perdagangan harus diperbaharui
sesuai dengan “ritme” tuntutan WTO dan AFTA.12
Perkembangan dan pembaharuan termasuk perkembangan
masyarakat di suatu negara yang sedang berkembang dipelopori oleh
pemerintah, sudah jelas hukum dapat memegang peranan dalam proses
pembaharuan ini. Hal ini disebabkan oleh segala tindakan pemerintah yang
bertujuan pada perkembangan masyarakat ke arah yang kehendaki akan
berwujud undang-undang, peraturan, dan ketentuan lainnya.13
Hukum membawa perkembangan dan pembaharuan, karena
pelaksanaan pembangunan berdasarkan aturan hukum, termasuk dalam
mengadakan hubungan-hubungan antar negara, baik yang bersifat regional
maupun internasional seperti dalam kerangka AFTA, AFEC dan
GATT/WTO dalam kerangka perdagangan internasional.
Dalam rangka memasuki era globalisasi abad ke 21 dimana Indonesia
menghadapi pola perdagangan bebas dalam kerangka AFTA dan APEC,
maka kehandalan sistem hukum nasional Indonesia akan diuji. Ditambah
lagi perdagangan bebas dalam kerangka WTO, tentu saja Indonesia harus
siap dengan sistem hukumnya untuk dapat menampung perkembangan yang
terjadi sebagai akibat pelaksanaan perjanjian internasional dalam kerangka
AFTA tersebut sebab perjanjian internasional itu telah diterima sebagai
hukum nasional. Perjanjian internasional dapat menjadi hukum nasional ada
yang melalui persetujuan parlemen dan juga melalui penandatangan saja.
Bagi Indonesia terdapat landasan hukum yang kuat untuk menguasai roda
perekonomian nasional sebagaimana tercantum dalam Pasal 33 UUD 1945.
Hal yang dikuasai tersebut ditekankan pada bidang-bidang yang menguasai

12
Ibid., hlm. 25.
13
Mochtar Kusumaatmadja, Konsep-Konsep Hukum Dalam Pembangunan, Editor H.R. Otje
Salman dan Eddy Damian, Alumni, Bandung, 2002, hlm. 13.
kepentingan hajat hidup orang banyak. Hal ini banyak berkenaan dengan
masalah ekonomi rakyat.
Dengan diadakannya hubungan perdagangan internasional, maka
negara-negara anggota, baik AFTA, APEC maupun WTO memenuhi
banyak issue baru tentang masalah hukum, seperti masalah kekayaan
intelektual, lingkungan hidup, masalah demokratis, tenaga kerja wanita, dan
masalah ham serta masalah anak-anak.14
Salah satu contoh praktek hubungan internasional yang sangat
menghendaki harmonisasi adalah hukum di bidang transportasi, baik laut,
darat dan udara. Para pedagang mengakui tanpa adanya harmonisasi hukum
yang baik diantara Negara mengenai hukum di bidang ini, transaksi
perdagangan sulit untuk berjalan dengan lancar dan pasti.15
Dalam rangka kajian terhadap hukum mengenai kesepakatan regional,
perlu memperhatikan sebagaimana hasil studi yang dilakukan Burgis
mengenai hukum dan pembangunan. Bahwa terdapat 5 unsur yang harus
dikembangkan agar tidak menghambat ekonomi, yaitu stabilitas, produksi,
keadilan, pendidikan dan pengembangan khusus sarjana hukum.
Berkenaan dengan hal-hal tersebut, maka muncullah masalah-masalah
hukum yang menyangkut Undang-Undang Anti Monopoli, Undang-Undang
Anti Dumping, Undang-Undang Persaingan Usaha, Undang-Undang
Perlindungan Konsumen, Undang-Undang Penanaman Modal Asing, dan
Undang-Undang tentang HAM.
Indonesia sebagai negara anggota AFTA dan APEC harus mampu
mengakomodir masalah-masalah tersebut dalam bentuk peraturan
perundang-undangan. Dalam hal ini tentang hukum atas kekayaan
intelektual, Indonesia telah berhasil mengantisifasinya dengan disahkannya
Undang-Undang tentang HAKI, Paten, dan Merk, bulan Maret 1997.

14
Laode Gani, Pengaruh Perdagangan Bebas dalam Rangka APEC dan AFTA Terhadap
Pelaksanaan Pancasila dan UUD 1945 di Indonesia, Tesis, PPs Unpad, Bandung, 1997, hlm. 102.
15
Huala Adolf, Dasar-Dasar Hukum Kontrak Internasional, Refika Aditama, Bandung, 2007, hlm.
30
Munculnya undang-undang yang mengatur masalah hak atas
kekayaan intelektual, merk dan paten yang kemudian ditambah dengan
undang-undang lainnya seperti Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang
Hak Asasi Manusia dan Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 tentang
Pengadilan Hak Asasi Manusia, merupakan bukti nyata bahwa Indonesia
benar-benar menyadari keterikatannya dengan perkembangan hukum
global.
Bagi Indonesia dalam era globalisasi ini harus berpikir positif supaya
kesan negatif bahwa perdagangan bebas hanya akan memberikan
keuntungan bagi negara-negara maju saja dapat dihilangkan, akan tetapi
sikap optimisme saja tidak cukup apabila tidak dibarengi dengan kehendak
pemerintah untuk memberdayakan pengusaha lapisan menengah ke bawah
agar mampu bersaing secara global.16
Untuk itu perlu adanya tekad pemerintah dalam bidang hukum untuk
menerapkan undang-undang dan peraturan perundang-undangan lainnya
yang sangat mendesak bagi kegiatan perdagangan dan perekonomian yang
lebih sempurna. Di samping itu diperlukan peningkatan pengetahuan para
pengambil keputusan tentang produk hukum ekonomi internasional baru
yang lebih menguntungkan negara-negara berkembang.
Dalam rangka pembaharuan hukum itu, perlu dipahami pendapat
Burg’s. Menurut studi yang dilakukan Burg’s mengenai hukum dan
pembangunan, terdapat 5 (lima) unsur yang harus dikembangkan supaya
tidak menghambat ekonomi, yaitu “stabilitas” (stability), “prediksi”
(preditability), “keadilan” (fairness), “pendidikan” (education), dan
“pengembangan khusus dari sarjana hukum” (“the special development
abilities of the lawyer”). Selanjutnya Burg’s mengemukakan bahwa unsur
pertama dan kedua di atas ini merupakan persyaratan supaya sistem
ekonomi berfungsi. Di sini “stabilitas” berfungsi untuk mengakomodasi dan
menghindari kepentingan-kepentingan yang saling bersaing. Sedangkan

16
Syahmin AK, Hukum Dagang Internasional Dalam Kerangka Studi Analisis, RajaGrafindo
Persada, Jakarta, 2006, hlm. 105.
“prediksi” merupakan kebutuhan untuk bisa memprediksi
ketentuanketentuan yang berhubungan dengan ekonomi suatu negara. Hal
ini sesuai dengan J.D. Ny Hart yang juga mengemukakan konsep hukum
sebagai dasar pembangunan ekonomi, yaitu predictability, procedural
capability, codification of goals, education, balance, defenition and clarity
of status serta accomodation.
Hukum juga harus mengandung unsur-unsur sebagai berikut:17
1. Hukum harus dapat membuat prediksi (predictability), yaitu
apakah hukum itu dapat memberikan jaminan dan kepastian
hukum bagi pelaku dalam memprediksi kegiatan apa yang
dilakukan untuk proyeksi pengembangan ekonomi.
2. Hukum itu mempunyai kemampuan prosedural (procedural
capability) dalam penyelesaian sengketa. Misalnya dalam
mengatur peradilan trigunal (court or administrative tribunal),
penyelesaian sengketa diluar pengadilan (alternative dispute
resolution) dan penunjukan arbitrer konsiliasi (conciliation)
dan lembaga-lembaga yang berfungsi sama dalam
penyelesaian sengketa.
3. Pembuatan, pengkodifikasian hukum (codification of goals)
oleh pembuat hukum bertujuan untuk pembangunan negara.
4. Hukum itu setelah mempunyai keabsahan, agar mempunyai
kemampuan maka harus dibuat pendidikannya (education)
dan selanjutnya disosialisasikan.
5. Hukum itu dapat berperan menciptakan keseimbangan
(balance), karena hal ini berkaitan dengan inisiatif
pembangunan ekonomi.
6. Hukum itu berperan dalam menentukan definisi dan status
yang jelas (definition and clarity of status). Dalam hal ini

17
Sri Sutatiek, Op.Cit., hlm. 28-31.
hukum tersebut harus memberikan definisi dan status yang
jelas mengenai segala sesuatu dari orang.
7. Hukum itu harus dapat mengakomodasi (accomodation)
keseimbangan, definisi dan status yang jelas bagi kepentingan
inividu-individu atau kelompok-kelompok dalam masyarakat.
8. Tidak kalah pentingnya dan harus ada dalam pendekatan
hukum sebagai dasar pembangunan adalah unsur stabilitas
(stability) sebagaimana diuraikan di muka.
DAFTAR PUSTAKA

Abdul Hamid Adnan, Perkembangan Kerjasama Ekonomi ASEAN, Simposium


Persyarikatan ASEAN, Universitas Hasanuddin, Ujung Pandang, 1995.
Bonnie Setiawan, WTO dan Perdagangan Abad 21, Resist., Yogyakarta, 2013.
GATT Activities 1986, An Annual Review of the Work of the GATT, Geneva, 1987.
Hata, Perdagangan Internasional Dalam Sistem GATT dan WTO, Aspek-aspek
Hukum dan Non Hukum, Refika Aditama, Bandung, 2006.
Hoekman Bernard dan Kostecki Michel, The Political Economy of the World
Trading System, Oxford University Press, New York, 1995.
Huala Adolf, Dasar-Dasar Hukum Kontrak Internasional, Refika Aditama,
Bandung, 2007.
Mochtar Kusumaatmadja, Konsep-Konsep Hukum Dalam Pembangunan, Editor
H.R. Otje Salman dan Eddy Damian, Alumni, Bandung, 2002.
Laode Gani, Pengaruh Perdagangan Bebas dalam Rangka APEC dan AFTA
Terhadap Pelaksanaan Pancasila dan UUD 1945 di Indonesia, Tesis,
PPs Unpad, Bandung, 1997.
Sri Sutatiek, Kuliah ke sebelas, mata kuliah Peran Hukum dalam Pembangunan
Ekonomi, Program Pasca Sarjana Fakultas Magister Hukum, Universitas
Jayabaya, 2022
Syahmin AK, Hukum Dagang Internasional Dalam Kerangka Studi Analisis, Raja
Grafindo Persada, Jakarta, 2006.

Anda mungkin juga menyukai