Anda di halaman 1dari 15

PENGARUH DAN IMPLIKASI TRADE-RELATED INVESTMENT MEASURES (TRIMs) DI NEGARA BERKEMBANG

Disusun untuk Memenuhi Tugas Hukum Organisasi Perdagangan Internasional Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta

Disusun oleh :

DENNY SULISTYO E 0009090

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2012

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Lahirnya World Trade Organization (WTO) menandakan lahirnya babak baru bagi perdagangan antar negara-negara didunia. WTO merupakan satusatunya badan internasional yang secara khusus mengatur masalah perdagangan antar negara-negara dimana sistem perdagangan multilateral WTO diatur melalui persetujuan yang berisikan aturan-aturan dasar perdagangan internasional. Persetujuan tersebut merupakan perjanjian antara negara anggota yang mengikat pemerintah negara untuk mematuhi dalam pelaksanaan kebijakan perdagangan. Aturan-aturan yang telah disepakati di dalam WTO tersebut meliputi berbagai macam hal yang berkaitan dengan perdagangan internasional, salah satunya adalah mengenai investasi atau

penanaman modal. Salah satu persetujuan dalam WTO yang didalamnya mengatur masalah terkait dengan investasi adalah Perjanjian Trade Related Investment Measures (TRIMs). Perjanjian TRIMs adalah perjanjian tentang aturan-aturan investasi yang menyangkut atau berkaitan dengan perdagangan. Kesepakatan TRIMs dimaksudkan untuk mengurangi atau menghapus kegiatan perdagangan dan meningkatkan kebebasan kegiatan investasi antar negara. Tujuan utama TRIMs adalah untuk menyatukan kebijakan dari negara-negara anggota dalam hubungannya dengan investasi asing dan mencegah proteksi perdagangan sesuai dengan prinsip-prinsip GATT. Pertimbangan-pertimbangan tersebut menjadi dasar perundingan yang mengarahkan negara-negara penerima modal mengatur investasi asing di negara tersebut. TRIMs melarang pengaturanpengaturan penanaman modal asing yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip GATT 1994. Negara berkembang berpendapat bahwa modal asing dapat memberi modal kerja dan mendatangkan keahlian manajerial, ilmu pengetahuan, modal dan koneksi pasar. Penanaman modal asing dapat pula

berperan dalam meningkatkan pendapatan mata uang asing melalui aktivitas ekspor oleh perusahaan multinasional (Multinational Enterprise) MNE. Yang juga penting, penanaman modal asing (PMA) tidak melahirkan utang baru. Selain itu negara penerima tidak perlu merisaukan atau menghadapi risiko manakala suatu PMA yang masuk negerinya ternyata tidak mendapatkan untung dari modal yang ditanamnya.1 Pada dasarnya investasi merupakan pembentukan modal yang

mendukung peran swasta dalam perekonomian. Menurut Harrod Domar, dalam mendukung pertumbuhan ekonomi diperlukan investasi-investasi baru sebagai stok modal seperti penanaman modal dalam negeri maupun penanaman modal asing. Penanaman modal asing langsung merupakan investasi yang dilakukan oleh swasta asing ke suatu negara tertentu. Bentuknya dapat berupa cabang perusahaan multinasional, lisensi, dan lainlain. Investasi luar negeri untuk mendapatkan penghasilan yang lebih tinggi daripada penghasilan yang diterima dengan investasi yang sebanding di dalam negeri. Investasi luar negeri langsung dalam bentuk fisik di dalam pabrik manufaktur yang baru dan cabang-cabang penjualan bagi pengusaha multinasional. Investasi di harapkan sebagai penggerak pertumbuhan perekonomian negara-negara berkembang.2 Karena terbatasnya dana yang dimiliki negara-negara berkembang, untuk menggerakkan pertumbuhan ekonomi maka peran investasi dari luar negeri (PMA) sangat di harapkan. Foreign Direct Investment (FDI) dipandang

sebagai cara yang lebih efektif untuk mendorong pertumbuhan perekonomian. Melalui FDI, modal asing dapat memberikan kontribusi yang lebih baik kedalam proses pembangunan.3

1 2

Fennel dan Tyler, 1995: 2003 Suyatno, 2003:72 3 Mashayekhi dan Gibbs, 1999:33

B. Rumusan Masalah Berkaitan dengan apa yang telah diuraikan di atas, permasalahan dalam makalah ini adalah sebagai berikut : 1. Bagaimanakah TRIMs di Negara berkembang? 2. Bagaimanakah implikasi TRIMs pada Negara berkembang?

BAB II PEMBAHASAN

A. TRIMs di Negara berkembang Dewasa ini negara-negara berkembang umumnya berpendapat bahwa akivitas atau ruang lingkup usaha perusahaan-perusahaan besar ini perlu dibatasi. Mereka tidak boleh dengan bebas menanamkan modalnya di segala sektor. Negara-negara ini memandang bahwa PMA harus diawasi guna mencegah timbulnya aspek-aspek negatif yang ditimbulkan dari PMA. Adapun aspek-aspek negatif yang ditimbulkan dari PMA antara lain : 1. dapat melahirkan sengketa dengan negara penerima atau dengan penduduk asli setempat, khususnya di negara-negara sedang berkembang. 2. dapat mengontrol atau mendominasi perusahaan-perusahaan lokal. 3. merusak aspek-aspek positif dari penanaman modal itu sendiri di negara-negara sedang berkembang. Misalnya, adanya praktek yang acapkali menerapkan kegiatan-kegiatan usahanya yang bersifat restriktif (restrictive business practices). Negara-negara berkembang umumnya, menerapkan pengawasan modal yang tertuang dalam bentuk berbagai upaya penanaman modal dan persyaratan-persyaratan penanaman modal. Persyaratan-persyaratan demikian sekarang dikenal dengan istilah TRIMs atau trade-related investment measures terhadap perusahaan-perusahaan asing yang hendak menanamkan modalnya. Tujuan utama dari pengenaan upaya-upaya atau persyaratanpersyaratan ini oleh negara penerima adalah untuk mengatur dan mengontrol aliran PMA sedemikian rupa sehingga dapat memenuhi tujuan

pembangunannya. Pada prinsipnya TRIMs ini merupakan unsur yang penting bagi kebijakan-kebijakan negara tuan rumah, terutama negara sedang berkembang.

Beberapa negara sedang berkembang bahkan ada pula yang menganggap TRIMs sebagai sarana pembangunannya. Negara berkembang lainnya menggunakan TRIMS ini untuk meminimalkan dampak dari PMA. Negaranegara ini telah pula menjadikan upaya-upaya tersebut sebagai bagian dari pembangunan ekonominya untuk mencapai tingkat pertumbuhan

pembangunan negaranya. Tujuan lainnya dari negara tuan rumah di dalam menerapkan TRIMS ini adalah mencegah perusahaan PMA untuk membuat putusan atau kebijakan yang sifatnya lintas batas. Putusan atau kebijakan seperti ini biasanya dapat mempengaruhi kebijakan atau perekonomian negara tuan rumahnya. Di samping itu pula, penerapan TRIMS dipandang semata-mata sebagai suatu hak atau kebijakan setiap negara yang merdeka untuk mengatur

perekonomiannya termasuk PMA di dalamnya (guna mencegah dampak buruk dari PMA). Kebijakan seperti ini sudah barang tentu suatu langkah yang lebih menguntungkan negara penerima (khususnya negara sedang berkembang) daripada negara-negara maju (pengimpor modal dan negara di mana perusahaan-perusahaan besar berdomisili). Para investor asing sebaliknya berpendapat lain. Mereka beranggapan, TRIMS merupakan rintangan terhadap perdagangan dunia dan aliran penanaman modal serta telah menghalangi mereka dalam menerapkan strategi kompetitif global yang terpadu.4 Suatu penelitian yang dilakukan pada tahun 1977 dan 1982, misalnya, menunjukkan bahwa 45 hingga 60 persen perusahaan-perusahaan Amerika Serikat terkena pengaruh dari adanya TRIMS ini. Pada umumnya, persyaratan penanaman modal dapat digolongkan ke dalam dua bentuk. Pertama, persyaratan masuk (entry requirement) dan kedua, persyaratan operasional (operational requirement). Kebijakan negara-negara menunjukkan bahwa pada umumnya negara-negara menerapkan kedua bentuk
4

UNCTAD, The Outcome of the Uruguay Round: An Initial Assessment (New York: UN, 1997), hlm. 135.

persyaratan tersebut sebagai syarat untuk masuknya modal asing ke negaranya. Pada tahap pertama, yaitu persyaratan masuk (entry requirement), biasanya badan penanaman modal dari negara penerima memeriksa apakah usulan atau proposal penanaman modal asing sesuai atau cocok dengan tujuan-tujuan pembangunan negaranya. Pertimbangan lainnya, apakah proposal tersebut memberikan keuntungan kepada negara penerima. Karena itu, manakala negara penerima setelah memeriksa suatu proposal PMA beranggapan bahwa proposal tersebut tidak memenuhi persyaratan masuk atau persyaratan kebijakan penanaman modal nasionalnya, maka pemerintah tersebut dapat menolak permohonan penanaman modal. Sebaliknya, manakala pemerintah negara penerima beranggapan bahwa suatu usulan PMA memenuhi persyaratan untuk masuknya suatu penanaman modal, maka negara yang bersangkutan akan menerapkan persyaratan yang kedua, yaitu persyaratan operasional atau persyaratan pelaksanaan

(operational atau performance requirements). Ruang lingkup persyaratanpersyaratan ini cukup luas, bergantung kepada tujuan atau kebijakan masingmasing negara. Namun demikian persyaratan pelaksanaan yang paling umum adalah persyaratan menggunakan kandungan lokal (local content requirements), persyaratan perdagangan yang berimbang (trade balancing requirements) persyaratan ekspor (export performance requirements), pembatasan impor (limitation on imports), persyaratan mata uang asing dan pengiriman mata uang asing (foreign exchange and remittance requirements), persyaratan modal minimum (minimum local equity requirements), persyaratan alih teknologi (technology transfer requirements), dan persyaratan lisensi produk (product licensing requirements). Dengan diterapkannya persyaratan-persyaratan ini, negara tuan rumah akan memastikan bahwa PMA akan memberikan keuntungan maksimum kepada pembangunan ekonominya. Dalam hal ini, PMA akan digunakan

sebaik-baiknya

untuk

membangun

atau

untuk

memenuhi

rencana

pembangunan atau rencana perekonomian negaranya. Semua persyaratan ini lebih banyak dan lazim dipraktekkan oleh negara tuan rumah. Legalitas upaya ini disandarkan pada alasan untuk memelihara kedaulatan atau pengawasan negara terhadap PMA.5 Setiap usulan penanaman modal yang tidak memenuhi tujuan dari negara tuan rumah atau usulan PMA yang diduga akan membahayakan tujuan pembangunan negaranya, maka negara tersebut akan menolak masuknya PMA.6 Semua upaya atau kebijakan tersebut adalah sah. Pada prinsipnya hukum internasional memberikan kekuasaan, jurisdiksi atau hak-hak berdaulat kepada suatu negara untuk mengatur setiap kegiatan. Termasuk di dalamnya adalah kegiatan perdagangan atau ekonomi di wilayahnya. Perlu ditekankan di sini bahwa jangka waktu penanaman modal MNEs di negara tuan rumah biasanya cukup lama. Karena itu, pertimbangan waktu inilah yang juga menjadi latar belakang mengapa negara tuan rumah mengatur ruang lingkup PMA. Langkah ini perlu guna mengantisipasi akibat-akibat yang mungkin timbul di kemudian hari dari PMA melalui berbagai kebijakan atau persyaratan.7 Kewenangan negara tuan rumah untuk mengatur masuknya PMA hanya tunduk kepada perjanjian-perjanjian internasional (di bidang PMA) yang ditandatangani oleh negara yang bersangkutan.8 Pengakuan atas hak ini sangat penting untuk negara-negara, khususnya negara sedang berkembang. Hak tersebut diperlukan untuk mengatur dan mengawasi masuknya PMA ke dalam wilayahnya. Prof. M. Sornarajah menjelaskan hak ini sebagai berikut:9 The right of a state to control entry of foreign investment is unlimited, as it is a right that flows from sovereignty. Entry of any foreign
5

6 7 8 9

Maskus and Eby, 'Developing New Rules and Disciplines on Trade-Related Investment Measures,' in Robert M. Stern (ed.), supra, note 24, hlm. 451. M. Sornarajah, supra, note 1, hlm. 100. Eric M. Burt, supra, note 10, hlm. 1027. Muchlinski, supra, note 1, hlm. 173. M. Sornarajah, supra, note 1, hlm. 83.

investment can be excluded by a state. Once an alien enters a state, both he and his property are subject to the law of the host state. This result flows from the fact that the foreign investor had voluntarily subjected himself to the regime of the host state by making entry into it. The absoluteness of the right to exclude the alien prior to entry becomes somewhat modified after entry as the alien then comes to enjoy a status, which is protected by international law. Tampak bahwa hukum internasional berperan penting di dalam penanaman modal. Peranan hukum ini juga cukup luas. Ia juga berperan penting di dalam menyelesaikan sengketa yang timbul antara dua negara, yakni antara negara penerima dengan negara dari para investor. Uraian di atas menunjukkan hukum internasional telah mengakui hak negara-negara untuk mengontrol orang asing (investor asing atau MNE). Ironisnya perkembangan hukum internasional di bidang ini (khususnya PMA) masih diwarnai oleh berbagai debat di antara para ahli hukum internasional.10 Latar belakang dari keadaan ini adalah masih adanya sengketa atau polarisasi pandangan antara (sarjana-sarjana) negara maju dan negara sedang berkembang. Pada prinsipnya sarjana dari negara maju berpandangan perlunya suatu rejim hukum internasional yang liberal, yaitu rejim yang tidak boleh menghalangi aliran penanaman modal ke mana pun juga. Sedangkan sarjana dari negara berkembang acapkali masih bersandar pada prinsip kedaulatan negara. Mereka berpendapat bahwa adalah hak berdaulat setiap negara untuk mengontrol setiap PMA, dari manapun asalnya, yang masuk ke dalamnya.11 Pandangan negara-negara maju terhadap adanya TRIMS adalah bahwa TRIMS tersebut telah memaksa mereka untuk mempertimbangkan faktorfaktor non-ekonomis di dalam rencana penanaman modal mereka. Dalam pandangan mereka, TRIMS tidaklah kondusif dan telah menjadi rintangan
10 11

Prof. M. Sornarajah, supra, note 1, hlm. 1. M. Sornarajah, supra, note 1, hlm. 85.

bagi perdagangan. Karena itu, mereka bertekad untuk mengurangi atau bahkan menghapus adanya upaya-upaya TRIMS tersebut.

B. Implikasi TRIMs pada Negara berkembang Karena hasil dari negosiasi Putaran Uruguay mengenai penanaman modal relatif singkat, namun implikasi dari perjanjian ini pun tampaknya kecil dan tidak terlalu membebani negara-negara anggotanya secara signifikan.12 Selain itu, perjanjian tidak secara signifikan menghambat kemampuan negara anggota khususnya negara berkembang untuk mengatur penanaman modal asing di dalam wilayahnya. Namun demikian, larangan persyaratan kandungan lokal (local content requirement) dan persyaratan neraca perdagangan (trade balancing

requirement) telah memaksa negara sedang berkembang untuk secara bertahap memberhentikan pencantuman persyaratan terhadap penanaman modal asing untuk menggunakan kandungan atau komponen lokal. Hal ini merupakan implikasi negatif karena negara-negara ini acapkali menerapkan persyaratanpersyaratan ini untuk memajukan industri dalam negeri dan pembangunan ekonominya.13 Implikasi lainnya dari Perjanjian TRIMs adalah bahwa perjanjian tersebut membatasi kewenangan atau kontrol negara tuan rumah terhadap penanaman modal secara langsung. Hal ini sebenarnya merupakan tantangan cukup besar terhadap kebijakan penanaman modal dari negara sedang berkembang. Negara berkembang pada umumnya memang kerapkali berupaya mengontrol penanaman modal asing. Di samping itu, kewajiban notifikasi dan transparansi untuk negara sedang berkembang sehubungan dengan TRIMs tidaklah mudah bagi negaranegara ini. Suatu studi baru-baru ini menunjukkan bahwa banyak kesulitan dalam menaati kewajiban notifikasi dari upaya-upaya yang tidak sesuai dengan TRIMs kepada Sekretariat WTO.
12

UNCTAD, The Outcome of the Uruguay Round: An Initial Assessment (New York: UN, 1997), hlm. 144. 13 John H. Jackson, The World Trading System (Cambridge: the MIT Press, 2nd ed., 1997), hlm.317;

BAB III PENUTUP A. Kesimpulan 1. TRIMs di Negara berkembang Secara singkat dapat dikatakan bahwa Perjanjian TRIMs tidak terlalu membebani negara-negara anggotanya secara signifikan dan tidak menghambat negara anggotanya, khususnya negara berkembang untuk mengatur penanaman modal asing di dalam wilayahnya. Negara-negara berkembang umumnya, menerapkan pengawasan modal yang tertuang dalam bentuk berbagai upaya penanaman modal dan persyaratan-persyaratan penanaman modal. Persyaratan-persyaratan

demikian sekarang dikenal dengan istilah TRIMs atau trade-related investment measures terhadap perusahaan-perusahaan asing yang hendak menanamkan modalnya. Tujuan utama dari pengenaan upaya-upaya atau persyaratan-persyaratan ini oleh negara penerima adalah untuk mengatur dan mengontrol aliran PMA sedemikian rupa sehingga dapat memenuhi tujuan pembangunannya. Pada prinsipnya TRIMs ini merupakan unsur yang penting bagi kebijakan-kebijakan negara tuan rumah, terutama negara sedang berkembang. Beberapa negara sedang berkembang bahkan ada pula yang menganggap TRIMs sebagai sarana pembangunannya. Negara

berkembang lainnya menggunakan TRIMS ini untuk meminimalkan dampak dari PMA. Negara-negara ini telah pula menjadikan upaya-upaya tersebut sebagai bagian dari pembangunan ekonominya untuk mencapai tingkat pertumbuhan pembangunan negaranya. Negara berkembang pada umumnya memang kerapkali berupaya mengontrol penanaman modal asing.

2. implikasi TRIMs pada Negara berkembang Perjanjian TRIMs pada negara berkembang tidak terlalu membebani kelangsungan dari negara berkembang tesebut. Karena negara berkembang pada umumnya memang kerapkali berupaya mengontrol penanaman modal asing. Sehingga disini terjadi kontrol negara tuan rumah terhadap penanaman modal secara langsung. Hal ini dilakukan karena untuk menghindari dampak-dampak negatif yang timbul dari penanaman modal asing.

B. Saran 1. Sebaiknya TRIMs di negara berkembang dibuatkan aturan yang jelas dalam sistem peraturan perundang-undangan negara berkembang tersebut dalam menentukan investasi-investasi apa yang diperbolehkan dan investasiinvestasi apa yang tidak diperbolehkan. Dan dari pihak investor pun juga harus menghormati tentang adanya aturan negara berkembang tersebut. Karena hal ini juga untuk kemajuan dan perkembangan ke depan bagi negara berkembang tersebut. 2. Hendaknya untuk mencegah atau meminimalisasi implikasi negatif untuk perundingan di masa depan di bidang penanaman modal bagi negara sedang berkembang, kita dapat menggunakan pendapat dari Mashayekhi dan Gibbs yang mengemukan sebagai berikut: If developing countries are to maintain influence over the future international trade agenda in the area of investment, consistent with their growing importance as import markets, they will have to exert considerable efforts to prepare technically sound initiatives reflecting the realities of globalization and liberalization for action in their favour, i.e. 'positive agenda', and to form solid alliances and to counter proposals emanating from developed country ... Pendapat dua sarjana tesebut di atas secara singkat merekomendasikan negara sedang berkembang untuk:

1. berupaya lebih keras untuk memasukkan atau memberi pengaruh dan inisiatif secara teknis tentang keinginan dan usulan negaranegara sedang berkemang ke dalam agenda-agenda perundingan mengenai TRIMs; 2. negara-negara sedang berkembang untuk semakin giat membentuk blok-blok atau aliansi di antara mereka; dan 3. mendesak negara berkembang untuk lebih proaktif dalam hal memberi proposal atau usulan tandingan terhadap proposal atau usulan negara maju. Pendapat Mashayekhi dan Gibbs tersebut patut disambut positif. Pendapat tersebut juga penting mengingat dilihat dari kenyataannya dewasa ini, posisi negara sedang berkembang memang sangat lemah.

DAFTAR PUSTAKA

Buku 1. Huala Adolf. 2004. Perjanjian Penanaman Modal dalam

HukumPerdagangan Internasional (WTO). Bandung : PT Rajagrafindo Persada. 2. Pakpahan, Normin S. dan Peter Mahmud (Penyusun). 1996. Pemikiran Ke Arah Pembaharuan Undang-Undang Penanaman Modal Indonesia. Jakarta: ELLIPS Project.

Internet http://hukuminvestasi.wordpress.com/2010/09/16/trade-related-investmentmeasures-trims/ diakses pada 02 Juni 2012 pukul 20.00.

Anda mungkin juga menyukai