LATAR BELAKANG
Tuntutan pokok negara-negara maju yang belum dapat diterima negara berkembang
meliputi 2 hal. Pertama, negara berkembang tidak menerapkan kebijakan yang menentukan
investor asing untuk mengekspor sebagian produksinya sebagai syarat izin investasi
(Export performance requirement). Kedua, menerapkan kebijakan yang menentukan
investor asing untuk menggunakan sebagian dari input produksinya dari sumber dalam
negeri (Domestic Content Requirements). Siti Anisah, “Implementasi TRIMs dalam
Hukum Investasi di Indonesia”, Hukum Bisnis, Vol. 22 (Desember 2005) : 34.
Dalam melaksanakan perundingan-perundingan yang berkaitan dengan TRIMs,
negara-negara anggota sepakat membentuk suatu Komite TRIMs, yang terbuka bagi setiap
anggota dan mereka akan memilih sendiri ketua dan wakil ketua, yang akan bertemu paling
tidak 1 (satu) kali setahun, kecuali ada permintaan dari anggota untuk melakukan
pertemuan lainnya. Komite akan melaksanakan tugas-tugas yang diberikan oleh dewan
perdagangan barang sesuai dengan perjanjian dan memberikan pelayanan konsultasi kepada
setiap anggota untuk melaksanakan konsultasi berkaitan dengan TRIMs. Tugas lain komite
ini adalah untuk melakukan pengawasan dan membuat laporan setiap tahun ke dewan
perdagangan barang.
METEDOLOGI
Metode penelitian adalah cara ilmiah untuk mendapatkan data dengan tujuan dan
kegunaan tertentu . Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian
kualitatif, dengan mengumpulkan data dalam bentuk domentasi ( buku, jurnal, dll)
DISKUSI
1. “Local content requirements (LCRs)” memaksa para investor untuk membeli atau
menggunakan input dari sumber-sumber lokal mutlak sejumlah tertentu atau sebagai
persentase nilai atau kuantitas produksi.
2. “Domestic manufacturing requirements” mewajibkan seorang investor untuk
memproduksi sejumlah persentase tertentu atau sejumlah produksi yang ditetapkan
atau input di negara tujuan.
3. “Trade balance requirements” membatasi seorang investor melakukan impor
produk-produk atau menggunakan produk-produk impor untuk kepentingannya.
4. “Exchange restrictions” umumnya membatasi akses investor untuk menggunakan
mata uang asing atau terhadap pendapatan ekspornya.
5. “Domestic sales requirements” mewajibkan penjualan sebesar persentase tertentu
dari output atau kuantitas minimum atau nilai produksi di pasar negara penerima
investasi.
6. “Export performance requirements” mewajibkan seorang investor untuk
mengekspor sebesar persentase yang ditentukan atau sebanyak kuantitas atau nilai
tertentu.
7. “Product mandating” mewajibkan seorang investor untuk memberikan hak-hak
eksklusif investasi terhadap pasar ekspor yang ditentukan, atau mewajibkan investor
tersebut untuk melakukan ekspor ke pasar regional dan internasional tertentu.
8. “Technology transfer requirements” mewajibkan seorang investor untuk
memasukkan teknologi tertentu dalam proses produksinya atau melakukan
penelitian dan pengembangan teknologi di negara penerima investasi.
Dalam Article III GATT mengatur Perlakuan Nasional terhadap Perpajakan dan
Regulasi Dalam Negeri; antara lain:
1) Para pihak dalam kontrak mengakui bahwa pajak internal dan biaya internal
lainnya, dan undang-undang, peraturan, dan persyaratan yang mempengaruhi
penjualan internal, penawaran untuk dijual, pembelian, transportasi, distribusi atau
penggunaan produk, dan peraturan kuantitatif internal yang mewajibkan campuran
tersebut. , pengolahan atau penggunaan produk dalam jumlah atau proporsi tertentu,
tidak boleh diterapkan pada produk impor atau produk dalam negeri untuk
memberikan perlindungan terhadap produksi dalam negeri.*
2) Produk dari wilayah pihak manapun yang diimpor ke wilayah pihak lain mana pun
pihak dalam kontrak tidak akan dikenakan, secara langsung atau tidak langsung,
pajak internal atau biaya internal lainnya dalam bentuk apa pun yang melebihi yang
diterapkan, secara langsung atau tidak langsung, untuk produk dalam negeri yang
serupa. Selain itu, tidak ada pihak lain yang akan memberlakukan pajak internal
atau biaya internal lainnya untuk produk impor atau domestik dengan cara yang
bertentangan dengan prinsip-prinsip yang ditetapkan dalam ayat 1.*
3) Sehubungan dengan pajak internal yang ada yang tidak sesuai dengan ketentuan
ayat 2, tetapi yang secara khusus dikuasakan berdasarkan suatu perjanjian
perdagangan, yang berlaku pada tanggal 10 April l947, di mana bea masuk atas
produk kena pajak terikat terhadap kenaikan, pihak yang mengenakan pajak bebas
untuk menunda pemberlakuan pajak tersebut. ketentuan-ketentuan ayat 2 untuk
pajak tersebut sampai suatu saat dapat memperoleh pembebasan dari kewajiban-
kewajiban perjanjian perdagangan tersebut untuk mengizinkan peningkatan bea
tersebut sejauh diperlukan untuk mengkompensasi penghapusan unsur pelindung
pajak.
4) Produk-produk dari wilayah pihak manapun yang diimpor ke wilayah pihak
manapun yang membuat kontrak harus diberikan perlakuan yang tidak kurang
menguntungkan daripada yang diberikan kepada produk-produk serupa asal
nasional berkenaan dengan semua undang-undang, peraturan dan persyaratan yang
mempengaruhi penjualan internal mereka. , penawaran untuk dijual, dibeli,
diangkut, didistribusikan, atau digunakan. Ketentuan-ketentuan dalam ayat ini tidak
boleh menghalangi pemberlakuan bea angkutan dalam negeri diferensial yang
semata-mata didasarkan pada operasi ekonomis sarana pengangkut dan bukan pada
kebangsaan produk.
5) Tidak ada pihak dalam kontrak yang boleh menetapkan atau mempertahankan
peraturan kuantitatif internal yang berkaitan dengan campuran, pemrosesan atau
penggunaan produk dalam jumlah atau proporsi tertentu yang mensyaratkan, secara
langsung atau tidak langsung, bahwa setiap jumlah atau proporsi tertentu dari
produk apa pun yang menjadi subjek regulasi tersebut harus dipasok dari sumber
dalam negeri. Selain itu, tidak ada pihak lain yang akan menerapkan peraturan
kuantitatif internal dengan cara yang bertentangan dengan prinsip-prinsip yang
ditetapkan dalam ayat 1.*
6) Ketentuan ayat 5 tidak akan berlaku untuk setiap peraturan kuantitatif internal yang
berlaku di wilayah pihak manapun. pada tanggal 1 Juli 1939, 10 April 1947, atau 24
Maret l948, atas pilihan pihak yang mengadakan kontrak; Dengan ketentuan bahwa
setiap peraturan yang bertentangan dengan ketentuan ayat 5 tidak boleh diubah
sehingga merugikan impor dan akan diperlakukan sebagai bea pabean untuk tujuan
negosiasi.
7) Tidak ada peraturan kuantitatif internal yang berkaitan dengan campuran,
pemrosesan atau penggunaan produk dalam jumlah atau proporsi tertentu yang
diterapkan sedemikian rupa untuk mengalokasikan jumlah atau proporsi tersebut di
antara sumber pasokan eksternal.
8) (a) Ketentuan-ketentuan Pasal ini tidak berlaku untuk undang-undang, peraturan
atau persyaratan yang mengatur pengadaan oleh badan-badan pemerintah atas
produk-produk yang dibeli untuk tujuan pemerintah dan bukan dengan maksud
untuk dijual kembali secara komersial atau dengan maksud untuk digunakan dalam
produksi barang untuk dijual komersial. (b) Ketentuan Pasal ini tidak boleh
menghalangi pembayaran subsidi secara eksklusif kepada produsen dalam negeri,
termasuk pembayaran kepada produsen dalam negeri yang diperoleh dari hasil pajak
atau pungutan internal yang diterapkan secara konsisten dengan ketentuan Pasal ini
dan subsidi yang dilakukan melalui pembelian barang-barang domestik oleh
pemerintah. produk.
9) Para pihak mengakui bahwa tindakan pengendalian harga maksimum internal,
meskipun sesuai dengan ketentuan lain dalam Pasal ini, dapat berdampak
merugikan kepentingan pihak-pihak dalam kontrak yang memasok produk impor.
Oleh karena itu, pihak-pihak yang mengadakan perjanjian yang menerapkan
tindakan-tindakan tersebut harus mempertimbangkan kepentingan pihak-pihak
pengekspor dengan maksud untuk menghindari sejauh mungkin dampak merugikan
tersebut. (10) Ketentuan-ketentuan Pasal ini tidak boleh menghalangi pihak
manapun dalam membuat atau memelihara peraturan-peraturan kuantitatif internal
yang berkaitan dengan film-film sinematografi yang diekspos dan memenuhi
persyaratan-persyaratan Pasal IV. “Perjanjian tentang Tarif dan Perdagangan”,
Jenewa, Juli 1986.
Laporan International Monetary Fund (IMF) per Oktober 2016 menyebutkan bahwa
Pasca krisis keuangan tahun 2008, pertumbuhan perdagangan global terus mengalami
perlambatan dan hanya tumbuh kurang dari 1% pertahunnya, dan ini akan terus
diperkirakan terjadi di tahun 2017 jika tidak terjadi perubahan kebijakan dan perilaku
dalam perdagangan global. Pelemahan pertumbuhan perdagangan global ini sangat
mempengaruhi paling tidak ¾ dari kinerja investasi global. Faktor yang turut
mempengaruhi perlambatan pertumbuhan perdagangan global adalah kemunduran dalam
liberalisasi perdagangan dan peningkatan aksi proteksionisme.
Penguatan aksi proteksionisme ini terus meningkat pasca krisis keuangan pada
2008. Hal ini terbukti dari Laporan WTO tahun 2016 yang menyebutkan bahwa terjadi
peningkatan atas tindakan pembatasan perdagangan dari 2010 hingga 2015. Tindakan
pembatasan perdagangan pada 2010 hanya sebanyak 546 tindakan, dan melonjak hingga
2557 pada tahun 2015. Namun, dari total tindakan pembatasan ini, hanya sekitar 642
tindakan yang pada akhirnya dihapuskan, sehingga sisa total tindakan pembatasan
perdagangan yang masih berlaku sebanyak 1915 tindakan atau 79% dari total tindakan.
Laporan WTO tahun 2016 juga mencatat, dari tindakan pembatasan perdagangan
paling banyak terkait dengan tindakan dibalik perbatasan (behind the borders) atau dalam
bentuk non-tarif, seperti penerapan kebijakan, subsidi, dan isu teknis atau aturan kesehatan,
serta standar produk, termasuk penerapan trade remedies seperti tindakan anti-dumping,
countervailing duties, dan tindakan safeguard. Bisa juga dalam bentuk penerapan Sanitasi
and phytosanitary ataupun Technical barriers to trade.
Pada 2015 terhitung ada 13 sengketa yang masuk, dan terbentuk sebanyak 15 Panel
DSB WTO serta dikeluarkannya 11 Panel Report atas sengketa yang masuk. Indonesia
sendiri memiliki total 23 sengketa yang dibawa ke WTO terhitung sejak 1995 hingga 2015,
10 diantaranya sebagai complainant atau penuntut dan 13 sisanya sebagai respondent.
Ditengah ketidakpastian ekonomi global, tentunya akan menjadi masa-masa sulit bagi
sebuah Negara. Tindakan pembatasan perdagangan global menjadi upaya yang paling
rasional yang bisa dilakukan untuk melindungi perekonomian nasional. Peningkatan
tindakan pembatasan perdagangan serta jumlah sengketa perdagangan menunjukan bahwa
saat ini dunia menghindari liberalisasi sebagai upaya untuk menyelamatkan dirinya masing-
masing dari ketidakpastian ekonomi global.
Penguatan era proteksionisme juga mengindikasikan bahwa liberalisasi
perdagangan global bukanlah jawaban atas persoalan ekonomi global saat ini. Pemaksaan
terhadap agenda liberalisasi perdagangan global hanya akan berdampak terhadap
ketidakpastian bagi ekonomi lokal. Agenda penguatan ekonomi lokal melalui kebijakan
perlindungan menjadi langkah yang diperlukan saat ini.
KESIMPULAN