Anda di halaman 1dari 10

Universitas Pamulang Hukum Dagang Internasional

Hukum S1

PERTEMUAN 8

PRINSIP WORLD TRADE ORGANIZATION

A. TUJUAN PEMBELAJARAN

Setelah menyelesaikan pertemuan ke-8 Mahasiswa mampu memahami dan


mendeskripsikan Prinsip-Prinsip yang berlaku dan melandasi World Trade
Organization.

B. URAIAN MATERI

Pada prinsipnya World Trade Organization (WTO) merupakan suatu sarana


untuk mendorong terjadinya suatu perdagangan bebas yang tertib dan adil di dunia
perdagangan internasional. Dalam menjalankan tugasnya untuk mendorong
terciptanya perdagangan bebas yang adil dan tenteram tersebut, WTO memberlakukan
beberapa prinsip yang menjadi pilar-pilar WTO, beberapa diantaranya yaitu:

1. Prinsip Most Favoured Nations (MFN);


2. Prinsip Tarrif Binding;
3. Prinsip National Treatment (NT);
4. Prinsip Non-Tarrif Barrier

Dalam kelangsungannya prinsip-prinsip utama dalam WTO tersebut ada sebagai


ketentuan hukum yang megatur perdagangan barang, karena sebagian besar kasus-
kasus yang ada biasanya berkaitan dengan perdagangan barang. Namun ada juga
pengaturan atas perdagangan jasa. Ketentuan yang mengatur perdagangan barang
adalah The General Agreement on Tariffs and Trade (GATT 1947) sementara
ketentuan yang mengatur mengenai perdagangan jasa adalah The General Agreement
on Trade in Services (GATS).

1. Prinsip Most Favoured Nations (MFN)

Prinsip Most Favoured Nations (MFN) merupakan prinsip dasar yang


terdapat dicukup banyak ketentuan WTO dan secara khusus dimuat dalam Article
I GATT yang berbunyi:

1
Universitas Pamulang Hukum Dagang Internasional
Hukum S1

“With respect to customs duties and charges of any kind imposed on or in connection with
importation or exportation or imposed on the international transfer of payments for imports
or exports, and with respect to the method of levying such duties and charges, and with
respect to all rules and formalities in connection with importation and exportation, and with
respect to all matters referred to in paragraphs 2 and 4 of Article III,* any advantage,
favour, privilege or immunity granted by any contracting party to any product originating
in or destined for any other country shall be accorded immediately and unconditionally to
the like product originating in or destined for the territories of all other contracting parties”.
Prinsip ini mensyaratkan bahwa ketentuan yang sudah disepakati negara
anggota harus diperlakukan secara sama kepada semua negara anggota WTO
ataupun di jalankan berdasarkan asas non-diskriminatif. Perlakuan yang sama
tersebut harus dijalankan dengan segera dan tanpa syarat (immediately and
unconditionally) terhadap produk yang berasal atau yang diajukan kepada semua
anggota GATT. Para anggota tersebut tidak boleh membeda-bedakan antara
anggota yang satu dengan anggota yang lainnya atau tidak boleh memberikan
kemudahan hanya kepada satu anggota saja tanpa perlakuan yang sama dengan
anggota yang lainya baik itu berkenaan dengan tarif ataupun batasan
perdagangan lainnya. Keberadaan prinsip MFN sangat penting untuk
memastikan kesetaraan antara semua mitra dagang dan karena itu menjadi pilar
utama dari sistem perdagangan internasional. Misalnya suatu negara tidak
diperkenankan untuk menerapkan tingkat tarif yang berbeda kepada suatu
negara dibandingkan dengan negara lainnya. Prinsip ini menyatakan bahwa
suatu kebijakan perdagangan harus dilaksanakan atas dasar non-diskriminatif.
Menurut prinsip ini, semua negara anggota terikat untuk memberikan negara-
negara lainnya perlakuan yang sama dalam pelaksanaan dan kebijakan impor
dan ekspor serta yang menyangkut biaya-biaya lainnya dalam arti yakni semua
negara harus diperlakukan atas dasar yang sama dan semua negara menikmati
keuntungan dari suatu kebijakan (policy) perdagangan. Dalam sejarah
perdagangan internasional, prinsip MFN telah lahir sejak abad ke 14, namun
demikian prinsip MFN baru menjadi praktrek umum diantara banyak negara pada
abag 17-18 sedangkan pada abad-abad sebelumnya praktek diskriminasi
perdagangan adalah hal yang wajar dipraktekan.1

1
Munir Fuady, Hukum Dagang Internasional (Aspek Hukum dari WTO), Citra Aditya Bakti, Bandung 2004,
Hal. 67

2
Universitas Pamulang Hukum Dagang Internasional
Hukum S1

Memasuki abad ke 19 klausula MFN banyak digunakan dan menemukan titik


puncaknya pada tahun 1860 dalam penggunaanya diantara negara-negara
Eropa.

2. Prinsip Tarrif Binding

Prinsip Tarrif Binding disebut pula prinsip tarif yang mengikat. Berdasarkan
prinsip ini maka seluruh anggota WTO terikat dengan berapapun besarnya tarif
yang telah disepakatinya di forum WTO. Berdasarkan prinsip ini maka pada
prinsipnya GATT hanya memperbolehkan tindakan proteksi atas produk domestik
suatu negara melalui tarif dan tidak memperkenankan proteksi dilakukan dengan
cara lain (non tarrif measures) oleh karena instrumen tarif merupakan instrumen
yang dapat diukur dengan jelas oleh negara lain sehingga memungkinkan
terlaksananya perdagangan bebas yang sehat.2 Pembatasan perdagangan bebas
dengan media tarif oleh WTO dianggap sebagai suatu model yang masih dapat
diterima, misalnya melaksanakan tindakan proteksi atau perlindungan bagi industri
domestik melalui kenaikan tarif (bea masuk). Model ini masih memungkinkan
keberadaan kompetisi yang adil dan sehat. Kendatipun demikian, dalam
persetujuan perdagangan internasional tetap diusahakan mengacu kepada sistem
perdagangan bebas yang mensyaratkan penurunan tarif secara bertahap3.
Meskipun demikian bentuk-bentuk proteksi produk dalam negeri dengan
menggunakan instrumen selain tarif tetap dapat dilaksanakan hanya dalam hal
yang sangat terbatas dan dimaksudkan hanya sebagai bentuk pengecualian dari
aturan umum yang menyatakan bahwa tarif merupakan instrumen satu-satunya
untuk menerapkan proteksi dagang. Beberapa pengecualian tersebut diantaranya
adalah penerapan pembatasan dengan alasan keamanan dan keselamatan dalam
negeri. Selain bentuk pengecualian di atas, terdapat pula bentuk proteksi lain yang
diterapkan yakni proteksi dalam bentuk kuota perdagangan atau yang disebut
dengan restriksi kuantitatif. Namun demikian, sama halnya dengan bentuk proteksi
dengan alasan keamanan dan keselamatan dalam negeri, restriksi kuantitatif ini
juga hanya boleh diterapkan dalam yang sangat terbatas dan dimaksudkan hanya

2
Huala Adolf, Hukum Perdagagan Internasional, Raja Grafindo Persada, Depok, 2021, Hal. 115.
3
I Gusti Ngurah Parikesit Widiatedja, Hukum Perdagangan Internasional, Udayana University Press, Bali
2021,Hal.44

3
Universitas Pamulang Hukum Dagang Internasional
Hukum S1

sebagai bentuk pengecualian dari aturan umum yang menyatakan bahwa tarif
merupakan instrumen satu-satunya untuk menerapkan proteksi dagang. Dengan
demikian norma umum prinsip perdagangan berdasarkan prinsip tarrif binding ini
menyatakan bahwa satu-satunya instrumen yang boleh diterapkan dalam
perdagangan bebas adalah tarif sedangkan penerapan kuota tidak boleh
dilakukan, kecuali untuk hal-hal tertentu saja.Hal ini merupakan manifestasi dari
ketentuan dasar GATT yang menyatakan larangan terhadap restiriksi kuantitatif
baik terhadap ekspor mupun impor misalnya dalam bentuk quota ekspor-impor dan
linsensi ekspor-impor. Namun dalam pelaksanaannya hal tersebut dapat dilakukan
dalam hal:

a. untuk mencegah terkurasnya produk-produk penting di negara pengekspor;


b. untuk melindungi pasar dalam negeri khususnya yang menyangkut produk
pertanian dan perikanan; dan
c. untuk mengamankan atas peningkatan impor yang berlebihan;
d. untuk melindungi neraca pembayaran luar negerinya.

Pengecualian ini diperluas oleh negara berkembang berdasarkan pasal XVII


dimana negara berkembang dapat memberlakukan restriksi kuantitatif untuk
mencegah terkurasnya valuta asing (devisa) yang disebabkan oleh adanya
permintaan untuk impor yang diperlukan bagi pembayaran atau karena mereka
sedang mendirikan atau memperluas produksi dalam negerinya. Hambatan
perdagangan nontarif atau peraturan perpajakan nasional yang diskriminatif dan
tindakan-tindakan administratif lainnya seperti ini ditentukan untuk diminimalisir
untuk menghindari distorsi perdagangan yang ditimbulkannya.

Dalam penerapannya, penggunaan tarif ini tetap harus tunduk pada


ketentuan-ketentuan GATT. Misalnya saja, pengenaan atau penerapan tarif
tersebut sifatnya tidak boleh diskriminatif dan tunduk kepada komitmen tarifnya
kepada GATT/WTO. Pengaturan GATT yang sangat mendasar adalah pengikatan
tingkat tarif (binding). Produk-produk yang tarifnya sudah diikat (bound item) ini
untuk setiap negara didaftarkan dalam suatu National Tariff Schedule yang
merupakan bagian integral dari General Agreement. Di dalam WTO, setiap
anggota setuju mengkonsesikan pasarnya untuk barang-barang dan jasa dan
”mengikat” (binding) komitmennya. Untuk perdagangan barang, ikatannya berupa

4
Universitas Pamulang Hukum Dagang Internasional
Hukum S1

tingkat tarif pabean tertinggi, tapi tetap dimungkinkan suatu negara untuk
mengenakan bea masuk impor yang lebih rendah daripada komitmen tarif yang
diikatnya (binding tariff).
Masing-masing anggota mempunyai daftar konsesi yang disebut daftar atau
schedule of market access commitment on goods yang berisi tentang komitmen
tarif yang diikat, pengecualian dan perlakuan khusus terhadap barang tertentu,
serta jadwal aplikasi kuota. Anggota WTO dapat mengubah komitmen tarifnya
setelah melakukan negosiasi dengan mitra-mitra dagangnya dan memberikan
kompensasi kepada mitra-mitra dagangnya yang dirugikan akibat perubahan
komitmen tersebut.
Ketentuan mengenai prinsip tarrif binding ini diatur dalam artikel II ayat (1)
GATT yang menyatakan:
1. (a) Each contracting party shall accord to the commerce of the other contracting
parties treatment no less favourable than that provided for in the appropriate Part of
the appropriate Schedule annexed to this Agreement.
(b) The products described in Part I of the Schedule relating to any contracting party,
which are the products of territories of other contracting parties, shall, on their
importation into the territory to which the Schedule relates, and subject to the terms,
conditions or qualifications set forth in that Schedule, be exempt from ordinary customs
duties in excess of those set forth and provided therein. Such products shall also be
exempt from all other duties or charges of any kind imposed on or in connection with
the importation in excess of those imposed on the date of this Agreement or those
directly and mandatorily required to be imposed thereafter by legislation in force in the
importing territory on that date.
(c) dst . . .4
Lalu apa yang dimaksud dengan tarif dalam ketentuan ini? Tarif yang dimaksud
dalam ketentuan ini adalah biaya/bea masuk (impor) dari barang-barang dari luar
negeri ke dalam suatu negara yang menyebabkan harganya menjadi lebih tinggi di
pasar domestik negara tersebut. Penerapan tarif ini oleh negara pengimpor
memiliki beberapa fungsi antara lain:
a. Tarif sebagai pajak yang merupakan pungutan yang menjadi pendapatan
negara.
b. Tarif untuk melindungi produk domestik mengingat barang-barang impor yang
dikenakan tarif akan memiliki harga yang lebih tinggi dibandingkan dengan
harga produk lokal negara pengimpor.

4
dapat dibaca selengkapnya melalui https://www.wto.org/english/docs_e/legal_e/gatt47_01_e.htm

5
Universitas Pamulang Hukum Dagang Internasional
Hukum S1

c. Tarif sebagai tindakan balasan (retaliation) bagi negara lain yang mengenakan
tarif atas produk suatu negara.

3. Prinsip National Treatment

Prinsip National Treatment terdapat dalam Pasal III GATT dimana menurut
prinsip ini, produk dari suatu negara yang diimpor kedalam suatu negara harus
diperlakukan sama seperti halnya produk dalam negeri. Prinsip ini sifatnya berlaku
luas baik terhadap semua pajak maupun terhadap pungutan-pungutan lainnya.
Prinsip ini berlaku pula terhadap perundang-undangan dan persyaratan-
persyaratan (hukum) yang mempengaruhi penjualan, pembelian, pengangkutan,
distribusi atau penggunaan produk-produk di pasar dalam negeri.
Prinsip ini juga memberikan perlindungan terhadap proteksionisme sebagai akibat
upaya-upaya atau kebijakan administratif atau legislatif. Untuk masalah National
Treatment ini WTO pernah menangani kasus tentang pengenaan perlakuan yang
tidak sama antara produk domestik dengan produk luar negeri berdasarkan
undang-undang negara setempat, seperti kasus Alcoholic Beverages Case di
Jepang. Dalam kasus ini yang di persoalkan adalah Undang- Undang Pajak
terhadap minuman keras di Jepang, dimana pajak untuk impor terhadap minuman
keras tersebut lebih tinggi daripada pajak untuk minuman keras produksi dalam
negeri yang disebut Shochu. Kasus ini di bawa ke WTO oleh Amerika Serikat,
Masyarakat Eropa, dan Kanada. Ditingkat banding WTOmemutuskan bahwa
dengan mengenakan pajak pada barang impor (minuman keras) lebih tinggi dari
pada pajak Shochu, Jepang telah melanggar ketentuan Pasal III ayat 2 GATT yang
berujudul “National Treatment on International Taxation and Regulation”, yang
berbunyi:
1. The contracting parties recognize that internal taxes and other internal charges, and
laws, regulations and requirements affecting the internal sale, offering for sale,
purchase, transportation, distribution or use of products, and internal quantitative
regulations requiring the mixture, processing or use of products in specified amounts or
proportions, should not be applied to imported or domestic products so as to afford
protection to domestic production.
2. dst . . .5

5
dapat dibaca selengkapnya melalui https://www.wto.org/english/docs_e/legal_e/gatt47_01_e.htm

6
Universitas Pamulang Hukum Dagang Internasional
Hukum S1

Ketentuan prinsip dalam artikel di atas menentukan bahwa tidak diperkenankannya


adanya diskriminasi antar produk dalam negeri dengan produk serupa dari luar
negeri.

Dalam arti, apabila suatu produk impor telah memasuki wilayah suatu negara
karena diimpor, maka produk impor itu harus mendapatkan perlakuan yang sama,
seperti halnya pemerintah terhadap produk dalam negeri yang sejenis, khusunya
jika berasal dari negara anggota WTO tersebut.

4. Prinsip Non-Tarrif Barriers

Pengertian dari Prinsip Non-Tarrif Barriers adalah larangan atas tindakan-


tindakan anggota WTO yang dengan maksud melindungi pasar domestiknya
menerapkan kebijakan-kebijakan tertentu yang bertujuan untuk melindungi produk
dalam negerinya dengan instrumen selain tarif. Hambatan non-tarif, merupakan
suatu bentuk hambatan perdagangan yang berbentuk selain tarif seperti kuota,
pungutan, embargo, sanksi dan pembatasan lainnya. Hambatan non-tarif ini
merupakan salah satu cara untuk mengontrol jumlah perdagangan yang dilakukan
oleh suatu negara dengan negara lain. Setiap hambtan perdagangan akan
menciptakan kehilangan pendapatan karena tidak memungkinkan pasar untuk
berfungsi dengan baik. Pendapatan yang hilang akibat hambatan perdagangan
tersebut bisa disebut sebagai kerugian ekonomi. Prinsip ini berkaitan erat dengan
prinsip Tarrif Binding yang telah dijelaskan sebelumnya yang menyatakan bahwa
hanya memperbolehkan tindakan proteksi atas produk domestik suatu negara
melalui tarif dan tidak memperkenankan proteksi dilakukan dengan cara lain (non
tarrif measures) oleh karena instrumen tarif merupakan instrumen yang dapat
diukur dengan jelas oleh negara lain. Prinsip non-tarrif barriers ini mempunyai
peran yang sangat vital dalam mencegah diterapkannya sebuah kebijakan oleh
suatu negara yang sifatnya terselubung dan tidak dapat diukur oleh negara lain
dalam upaya untuk melindungi pasar dalam negerinya. Beberapa instrumen non
tarif yang sering kali diterapkan dalam rangka penerapan proteksi pasar dalam
negeri misalnya:
a. sistem kuota (restriksi kuantitatif);
b. lisensi impor;

7
Universitas Pamulang Hukum Dagang Internasional
Hukum S1

c. regulasi kesehatan, hewan, tanaman, hak buruh, hak asasi manusia, dan
keamanan sosial;
d. technical standard;
e. subsidi ekspor;
f. credit guarantees;
g. custom inspections;
h. custom duty and other charge of import;
i. marks of origin;
j. quarantine, sanitation, and fumigation;
k. dll.

Secara umum hambatan perdagangan tersebut bekerja melalui prinsip yang sama
yakni pembebanan biaya-biaya tertentu dalam perdagangan sehingga bisa
menaikan harga produk yang diperdagangkan. Para pakar ekonomi sependapat
bahwa hambatan pedagangan dapat merusak dan menurunkan efisiensi ekonomi
secara keseluruhan sebagaimana dikemukakan dalam the theory of comparative
advantage. Namun demikian, meskipun dalam prinsipnya hambatan-hambatan
yang bersifat non tarif ini dilarang, namun kiranya perlu diingat bahwa dalam kasus
tertentu hambatan ini tetap diperkenankan, misalnya khusus bagi negara yang
kesulitan neraca pembayaran, namun pelaksanaanya juga harus melalui prosedur
yang ketat karena dampak negatif terhadap perdagangan internasional yang dapat
ditimbulkannya karena sifat hambatan non-tarif yang unpredictable atau tidak
terduga. Beberapa dampak negatif tersebut antara lain:
a. Berpotensi mengurangi keuntungan yang dapat diperoleh produsen ataupun
penyuplai, bahkan dalam kondisi tertentu dapat menimbulkan kerugian.
b. Adanya standarisasi terhadap komoditas yang masuk ke suatu negara dapat
menimbulkan peningkatan biaya produksi yang harus dialami oleh negara
pengirim untuk menyesuaikan produknya dengan standar komoditas yang
diterapkan oleh negara penerima. Beban tersebut akan semakin berat, apabila
komoditas pengirim memiliki standar yang lebih rendah dibandingkan standar
yang diterapkan negara penerima.
c. Hambatan teknis membutuhkan lebih banyak waktu, tenaga dan biaya
sehingga mengurangi effesiensi perputaran ekonomi dalam perdagangan.

8
Universitas Pamulang Hukum Dagang Internasional
Hukum S1

d. Retriksi kuantitatif menyebabkan produsen hanya bisa menjual komoditasnya


secara terbatas dan sulit bersaing dengan komodirtas lain yang memiliki
volume lebih besar di pasar.
e. Lisensi impor memperpanjang dan memperumit prosedur distribusi komoditas.
f. Kebijakan dalam klasifikasi produk yang tidak spesifik oleh negara penerima
dapat menyebabkan turunnya nilai komoditas yang unggul jika diklasifikasikan
dengan produk yang tidak unggul.

C. Kesimpulan

Prinsip WTO terdiri dari Prinsip Most Favoured Nations (MFN), Prinsip Tarrif
Binding, Prinsip National Treatment (NT), dan Prinsip Non-Tarrif Barrier. Prinsip Most
Favoured Nations (MFN) mengatur bahwa ketentuan yang sudah disepakati negara
anggota harus diperlakukan secara sama kepada semua negara anggota WTO
ataupun di jalankan berdasarkan asas non-diskriminatif. Prinsip Tarrif Binding
menyatakan GATT hanya memperbolehkan tindakan proteksi atas produk domestik
suatu negara melalui tarif dan tidak memperkenankan proteksi dilakukan dengan cara
lain (non tarrif measures) oleh karena instrumen tarif merupakan instrumen yang dapat
diukur dengan jelas oleh negara lain. Prinsip National Treatment menyatakan bahwa
produk dari suatu negara yang diimpor ke dalam suatu negara harus diperlakukan sama
seperti halnya produk dalam negeri. Sedangkan Prinsip Non-Tarrif Barriers adalah
prinsip yang mengatur larangan atas tindakan-tindakan anggota WTO yang dengan
maksud melindungi pasar domestiknya menerapkan kebijakan-kebijakan tertentu yang
bertujuan untuk melindungi produk dalam negerinya dengan instrumen selain tarif.

Keempat prinsip di atas merupakan landasan bagi beroperasinya sistem


perdagangan bebas dalam rezim WTO. Prinsip Most Favoured Nations (MFN) dan
Prinsip National Treatment (NT) memastikan berjalannya perdagangan bebas secara
adil dan dilakukan dengan asas non-diskriminasi. Sedangkan Prinsip Tarrif Binding dan
Prinsip Non-Tarrif Barriers memastikan agar perdagangan antar negara dapat
dilakukan secara transparan tanpa adanya instrumen proteksi dalam negeri yang
unpredictable.

9
Universitas Pamulang Hukum Dagang Internasional
Hukum S1

D. LATIHAN SOAL / TUGAS

Soal :
1. Jelaskan apa yang dimaksud dengan Prinsip Most Favoured Nations (MFN),
Prinsip Tarrif Binding, Prinsip National Treatment (NT), dan Prinsip Non-Tarrif
Barrier!
2. Dalam hal apakah Prinsip Most Favoured Nations (MFN) dapat dikecualikan?
Jelaskan!
3. Mengapa kasus Alcoholic Beverages Case di Jepang merupakan bentuk
pelanggaran atas Prinsip National Treatment (NT)? Jelaskan!
4. Apa saja motif negara menerapkan non-tarrif measures? Sebutkan beberapa
contoh non-tarrif measures !
5. Jelaskan dampak negatif yang ditimbulkan akibat adanya penerapan non-tarrif
measures!

E. DAFTAR PUSTAKA

Buku

1. Huala Adolf, Hukum Perdagagan Internasional, Raja Grafindo Persada, Depok,


2021.
2. I Gusti Ngurah Parikesit Widiatedja, Hukum Perdagangan Internasional, Udayana
University Press, Bali 2021.
3. Munir Fuady, Hukum Dagang Internasional (Aspek Hukum dari WTO), Citra Aditya
Bakti, Bandung 2004.

Internet

https://www.wto.org/english/docs_e/legal_e/gatt47_01_e.htm

10

Anda mungkin juga menyukai