Anda di halaman 1dari 16

LATIHAN UJIAN TENGAH SEMESTER ILMU PERUNDANG-UNDANGAN

MAGISTER ILMU HUKUM PROGRAM PASCASARJANA


UNIVERSITAS JAYABAYA JAKARTA

Hari / Tanggal : Sabtu , 6 November 2021


Jam : 09.40 -11.20 WIB
Kelas Eksekutif 2C
Dosen : Dr. Hj Furcony Putri Syakura, SH,MH,MKn.

Petunjuk
1. Berdo’alah sebelum mulai mengerjakan soal.
2. Jawaban diberi nama, NPM sudut kanan atas, diberi tanggal ujian, jam,
kode kelas. Jawaban diketik huruf Arial, spasi 1,5, dijawab secara berurutan.
3. Berikan jawaban sesuai dengan pertanyaan yang diminta.
4. Ujian dilakukan dengan Open Book berdasarkan UUD NRI Tahun 1945,
Referensi berkaitan dengan Ilmu Perundang-Undangan . Dalam menjawab
pertanyaan disertai dengan dasar hukum dan analisanya.

LATIHAN SOAL UJIAN

1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia telah diamandemen


sebanyak 4 kali. Dalam Pasal 20 Amandemen Pertama, bagaimana pendapat
Saudara mengenai kekuasaan DPR dalam membentuk Undang-Undang,
dibandingkan dengan sebelum amandemen. Apakah DPR benar-benar
mempunyai kekuasaan penuh membentuk Undang-Undang? Jelaskan.
2. Pada saat Era Reformasi , beberapa Undang-Undang yang telah disetujui
Bersama DPR dengan Presiden dalam Rapat Paripurna, namun Presiden
1
pernah tidak mengesahkan. Bagaimana pendapat Mahasiswa sesuai dengan
UUD NRI Tahun 1945. Beri contoh beberapa Undang-Undang tersebut.
3. Mengapa Ilmu Perundang-Undangan berkembang di negara dengan system
civil law?
4. Apa yang dimaksud dengan Negara Hukum?
5. Apa yang dimaksud dengan Norma dan apa perbedaan antara Norma Hukum
dengan norma lainnya?
6. Bagaimana sebuah peraturan perundang-undangan dapat dikatakan peraturan
perundangan yang baik?
7. Bagaimana sebuah peraturan perundang-undangan dapat dikatakan peraturan
perundangan yang patut?
8. Sebutkan dan terangkan materi muatan yang harus diatur dalam UU
berdasarkan Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
Undangan? Jelaskan.

9. Apa yang dimaksud dengan Naskah Akademis? Bagaimana sistematika


Naskah Akademik? Uraikan isinya.
10. Apa yang dimaksud dengan Program Legislasi Nasional (Prolegnas)? Jelaskan
dasar hukum yang mengatur Prolegnas. Apa dasar dalam penyusunan Daftar
Rancangan Undang-Undang dalam Prolegnas?
11. Apakah Prolegnas dapat dievaluasi? Mengapa hal ini perlu dilakukan?
Jelaskan.
12. Faktor-faktor apa saja yang dapat menjadi penyebab DPR tidak dapat
merealisasikan penyelesaian suatu Undang-Undang sebagaimana telah
ditetapkan dalam Prolegnas atau dalam Prioritas Tahunannya. Apakah
dimungkinkan dibahasnya suatu Undang-Undang yang sebelumnya tidak
ditetapkan dalam Prolegnas? Jelaskan beserta dasar hukumnya.
13. Bagaimana hubungan pengundangan suatu peraturan perundang-undangan
dengan daya ikatnya. Jelaskan.
14. Bagaimana Sistematika Kerangka Peraturan Perundang-Undangan? Silahkan
mahasiswa Membedah Satu Undnag-Undang berdasarkan Kerangka dalam
Peraturan Perundang-Undangan. (Materi Kuliah ke 4 Teknik Penyusunan
Peraturan Perundang-Undangan).

2
000

Jawaban

1. Membandingkan peran atau bentuk keterlibatan presiden dalam proses legislasi,


Bagir Manan mengemukakan bahwa sebelum perubahan UUD 1945 terdapat empat
bentuk keikutsertaan presiden dalam pembentukan undang-undang, yaitu mulai dari
perancangan pembahasan di DPR; menolak (tidak) mengesahkan rancangan
undang-undang yang sudah disetujui DPR; serta pemuatan dalam Lembaga Negara
atau Tambaha Lembaga Negara.1 Dengan empat bentuk keterlibatan Presiden
tersebut, Bagir Manan membenarkan bahwa sesungguhnya “persetujuan bersama”,
secara konstitusional, wewenang presiden menjadi tambha kuat karena dalam
kontruksi pasal 20 UUD 1945 sebelum perubaha, dalam pembentukan undang-
undang , secara eksplisit persetujuan merupakan wewenang DPR. Paling tidak
berdasarkan pengaturan di tingkat konstitusi wewenang memberikan persetujuan
berada di ranah pemegang kuasa legislative (DPR). Artinya dengan diadopsinya
frasa “persetujun bersama” tersebut, fungsi legislasi dalam sistem pemerintahan
presidensilal Indonesia paskah perubahan UUD 1945 membagi ulitimate authority
yang seharusnya hanya dimiliki oleh lembaga perwakilan berubah menjadi
wewenang ganda yang dimiliki oleh DPR dan Presiden. Padahal sebelum
perubahan, persetujuan sebuah rancangan undang-undang hanya menjadi
wewenang DPR. Dalam hal ini pasal 20 Ayat (1) UUD 1945 sebelum perubahan
menyatakan bahwa “tiap-tiap undang-undang menghendaki persetujuan Dewan
Perwakilan Rakyat”.

2. Pasal 20 Ayat (5) memberikan keuntungan bagi Presiden. Dikarenakan


pertimbangan tertentu dan kepentingan tertentu pula, pasal 20 Ayat (5) UUD 1945
sangat mungkin digunakan berulang oleh presdien untuk tidak mengesahkan
rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama. Dengan Pasal 20 Ayat (5)
UUD 1945 pengalaman Presiden Megawati Soekarno Putri tidak menandatangani
Undang-Undang Nomor 25 tahun 2002; Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002;
Undang-Undang No 17 Tahun 2003; dan Undang-Undang No.18 Tahun 2003; serta
pengalaman Presiden Jokowi Dodo menolak menandatangani Undang-Undang No
2 Tahun 2018 sangat mungkin terulang dimasa mendatang. Jika pemerintah telah
menyetujui bersama rancangan undang-undang tidak terdapat alasan lagi untuk

1
Bagir Manan, Lembaga Kepresidenanan,(Yogyakarta: Gama Media, 1999), hlm 136-150
3
tidak menandatanganinya. Harussnya, setelah disetujui bersama ternyata presiden
menolak untuk menandatangani pengesahan undang-undang dimaksud, presiden
dapat dinilai melakukan pelanggaran konstitusi. Namun, pasal 20 ayat (5) UUD 1945
telah memberikan penyelamatan dari penilaian melanggar konstitusi karena tanpa
tanda-tangan rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama dalam waktu
30 hari otomatis sah menjadi undang-undang. Dengan kondisi demikian, pada suatu
sisi, pasal 20 Ayat (5) UUD 1945 dimaksudkan untuk menjamin kepastian waktu dan
kepastian hukum berlakunya undang-undang. Namun disisi lain, pasal 20 Ayat (5)
UUD 1945 pun dapat dimanfaatkan presiden menghindar untuk membubuhkan
tanda tangan dalam pengesahan undang-undang.

3. Ilmu Pengetahuan Perundang berkembang terutama di negara-negara Eropa,


misalnya di Jerman, Belanda dan negara-negara lain sekitarnya yang menganut
sistem hukum civil law. Sedangkan di negara-negara dengan sistem common law,
Ilmu Pengetahuan Perundang-undangan tidak berkembang subur. Hal ini
disebabkan karena  pertama, sistem kehidupan hukum di negara dengan sistem
common law tidak membutuhkan perundang-undangan sebagai sumber yang utama
bagi pembentukan hukum, dan kedua  peraturan perundang-
undangan tidak ditempatkan sebagai instrumen yang terpenting bagi landasan
kebijaksanaan negara dan pemerintah dalam melakukan pengubahan tata
kehidupan masyarakat. Di negara dengan sistem common law  yang tumbuh
hanyalah bagian-bagian atau sempalan-sempalan dari Ilmu Pengetahuan
Perundang-undangan, interpretasi atau penafsiran perundang-
undangan, dan metode pembentukan perundang-undangan. Indonesia mengikuti
sistem civil law.

4. Secara etimologis, istilah negara hukum atau negara berdasar atas hukum
merupakan istilah yang berasal dari bahasa asing, seperti ”rechtstaat” (Belanda),
”etet de droit” (Prancis), “the state according to law”, ”legal state”, ”the rule of law”
(Inggris). Secara historis, istilah negara hukum sudah lama dikenal dan dianut di
banyak negara sejak abad ke XVIII, istilah ini kemudian baru populer kira-kira abad
XIX sampai dengan abad XX. Di Indonesia istilah negara hukum sudah
dipergunakan sejak negara ini memproklamirkan diri sebagai negara yang merdeka.
Di Indonesia sendiri istilah negara hukum sudah dikenal sejak negara menyatakan
diri sebagai negara yang merdeka dan berdaulat. Pernyataan negara hukum
Indonesia ini dapat dilihat dalam Penjelasan Umum UUD 1945, butir I tentang
4
Sistem Pemerintahan, yang dinyatakan bahwa: Indonesia adalah negara yang
berdasar atas hukum (rechtstaat) dan bukan berdasar atas kekuasaan belaka
(machtstaat). Penyebutan kata rechtstaat dalam penjelasan umum tersebut
menunjukkan bahwa konsep rechtstaat memberikan inspirasi bahkan mengilhami
pendirian para proklamator dan pendiri negara Indonesia, meskipun tidak harus
serta merta menyamakan antara konsep rechtstaat dengan konsep negara hukum
Indonesia. Sebab antara keduanya sangat berbeda filosofi maupun latar belakang
budaya masyarakatnya. Konsep negara hukum pada saat ini sudah menjadi model
bagi negara-negara di dunia, bahkan dapat dikatakan hampir dianut oleh sebagian
besar negara di dunia. Konsep negara hukum telah diadopsi oleh semua negara
sebagai sebuah konsep yang dianggap paling ideal. Konsep ini semula
dikembangkan di kawasan Eropa tersebut. Hakikat negara hukum pada pokoknya
berkenaan dengan ide tentang supremasi hukum yang disandingkan dengan ide
kedaulatan rakyat yang melahirkan konsep demokrasi. 2

5. Norma adalah suatu ukuran yang harus dipatuhi oleh seseorang dalam
hubungannya dengan sesamanya ataupun dengan lingkungannya. Istilah norma
berasal dari bahasa latin atau kaidah dalam bahasa Arab, sedangkan dalam bahasa
Indonesia sering juga disebut dengan pedoman, patokan atau aturan. Norma
berasal dari kata nomos yang berarti nilai dan kemudian dipersempit maknanya
menjadi norma hukum. Sedangkan kaidah dalam bahasa Arab berasal dari kata
qo’idah yang berarti ukuran atau nilai pengukur. 3 Norma atau kaidah pada umumnya
dibagi menjadi dua yaitu norma etika dan norma hukum. Norma etika meliputi norma
susila, norma agama, dan norma kesopanan. Ketiga norma atau kaidah tersebut
dibandingkan satu sama lain dapat dikatakan bahwa norma agama dalam arti
vertikan dan sempit bertujuan untuk kesucian hiudp pribadi, norma kesusilaan
bertujuan agar terbentuk kebaikan akhlak pribadi, sedangkan norma kesopanan
bertujuan untuk mencapai kesedapan hidup bersama antar pribadi. 4 Dilihat dari segi
tujuannya maka norma hukum bertujuan kepada cita kedamaian hidup antar pribadi,
keadaan damai terkait dimensi lahiriah dan batiniah yang menghasilkan
keseimbangan anatara ketertiban dan ketentraman. Tujuan kedamaian hidup

2
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi Sebagai Landasan Indonesia Baru Yang Demokratis, (Pokok Pokok Pikiran tentang
Perimbangan Kekuasaan Eksekutif dan Legislatif Dalam Rangka Perubahan Undang Undang Dasar l945, Makalah,
Disampaikan Dalam Seminar hukum Nasional VII, Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Kehakiman RI,
l999. hlm.146- 147
3
Jimmly Asshiddiqie, Perihal Undang-Undang, Rajawali Pers, Jakarta 2011, hlm 1
4
Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum (Sebuah Pengantar), Liberty, Yogyakarta, 2006, hlm 3
5
bersama dimaksud dikaitkan pula dalam perwujudan kepastian, keadilan dan
kebergunaan.

6. Asas-asas pembentukan peraturan perundangundangan yang baik menurut I.C. van


der Vlies dalam bukunya yang berjudul Handboek Wetgeving dibagi dalam dua
kelompok yaitu:5

a. Asas-asas formil :

 Asas tujuan yang jelas (beginsel van duidelijke doelstelling)

 Asas organ/lembaga yang tepat (beginsel van het juiste orgaan)

 Asas kedesakan pembuatan pengaturan (het


noodzakelijkheidsbeginsel);

 Asas dapat dilaksanakan (het beginsel van uitvoerbaarheid)

 Asas konsensus (het beginsel van de consensus).

b. Asas-asas materiil:

 Asas terminologi dan sistematika yang benar (het beginsel van


duidelijke terminologie en duidelijke systematiek);

 Asas dapat dikenali (het beginsel van de kenbaarheid);

 Asas perlakuan yang sama dalam hukum (het


rechtsgelijkheidsbeginsel);

 Asas kepastian hukum (het rechtszekerheidsbeginsel);

 Asas pelaksanaan hukum sesuai dengan keadaan individual (het


beginsel van de individuele rechtsbedeling).

Selain itu Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 tentang


Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, mengingatkan kepada
pembentuk undang-undang agar selalu memperhatikan asas pembentukan
peraturan perundangundangan yang baik dan asas materi muatan. Dalam
membentuk Peraturan Perundang-undangan harus dilakukan berdasarkan pada
asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang baik, yang meliputi:

1) “asas kejelasan tujuan”, bahwa setiap Pembentukan Peraturan Perundang-


undangan harus mempunyai tujuan yang jelas yang hendak dicapai;

5
Backy Krisnayudha, Pancasila dan Undang-undang...Op.Cit, hlm. 185-195
6
2) “asas kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat”, bahwa setiap
jenis Peraturan Perundang-undangan harus dibuat oleh lembaga negara
atau pejabat Pembentuk Peraturan Perundang-undangan yang
berwenang, Peraturan Perundang-undangan tersebut dapat dibatalkan
atau batal demi hukum apabila dibuat oleh lembaga negara atau pejabat
yang tidak berwenang;

3) “asas kesesuaian antara jenis,hierarki, dan materi muatan”, bahwa dalam


Pembentukan Peraturan Perundang-undangan harus benarbenar
memperhatikan materi muatan yang tepat sesuai dengan jenis dan hierarki
Peraturan Perundang-undangan;

4) “asas dapat dilaksanakan”, bahwa setiap Pembentukan Peraturan


Perundang-undangan harus memperhitungkan efektivitas Peraturan
Perundangundangan tersebut di dalam masyarakat, baik secara filosofis,
sosiologis, maupun yuridis;

5) “asas kedayagunaan dan kehasilgunaan”, bahwa setiap Peraturan


perundang-undangan dibuat karena memang benar-benar dibutuhkan dan
bermanfaat dalam mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara;

6) “asas kejelasan rumusan”, bahwa setiap Peraturan Perundang-undangan


harus memenuhi persyaratan teknis penyusunan Peraturan
Perundangundangan, sistematika, pilihan kata atau istilah, serta bahasa
hukum yang jelas dan mudah dimengerti sehingga tidak menimbulkan
berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya;

7) “asas keterbukaan”, bahwa dalam Pembentukan Peraturan


Perundangundangan mulai dari perencanaan, penyusunan, pembahasan,
pengesahan atau penetapan, dan pengundangan bersifat transparan dan
terbuka. Dengan demikian, seluruh lapisan masyarakat mempunyai
kesempatan yang seluas-luasnya untuk memberikan masukan dalam
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

7. A. Hamid S. Attamimi berpendapat, bahwa pembentukan peraturan perundang-


undangan Indonesia yang patut, adalah sebagai berikut:

a. Cita Hukum Indonesia;

7
b. Asas Negara Berdasar Atas hukum dan Asas Pemerintahan berdasar sistem
konstitusi

c. Asas-asas lainnya

8. Setidaknya dalam suatu pembentukan peraturan perundang-undangan ada


kandungan materi muatan Peraturan Perundang-undangan yang harus
dicerminkan dengan asas :
a. “asas pengayoman”, bahwa setiap Materi Muatan Peraturan
Perundangundangan harus berfungsi memberikan pelindungan untuk
menciptakan ketentraman masyarakat;
b. “asas kemanusiaan”, bahwa setiap Materi Muatan Peraturan
Perundangundangan harus mencerminkan pelindungan dan penghormatan
hak asasi manusia serta harkat dan martabat setiap warga negara dan
penduduk Indonesia secara proporsional;
c. “asas kebangsaan”, bahwa setiap Materi Muatan Peraturan
Perundangundangan harus mencerminkan sifat dan watak bangsa Indonesia
yang majemuk dengan tetap menjaga prinsip Negara Kesatuan Republik
Indonesia;
d. “asas kekeluargaan”, bahwa setiap Materi Muatan Peraturan
Perundangundangan harus mencerminkan musyawarah untuk mencapai
mufakat dalam setiap pengambilan keputusan;
e. “asas kenusantaraan”, bahwa setiap Materi Muatan Peraturan
Perundangundangan senantiasa memperhatikan kepentingan seluruh wilayah
Indonesia dan Materi muatan Peraturan Perundang-undangan yang dibuat di
daerah merupakan bagian dari sistem hukum nasional yang berdasarkan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945;
f. “asas bhinneka tunggal ika”, bahwa Materi Muatan Peraturan
Perundangundangan harus memperhatikan keragaman penduduk, agama,
suku dan golongan, kondisi khusus daerah serta budaya dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara;
g. “asas keadilan”, bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundangundangan
harus mencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap warga negara;
h. “asas kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan”, bahwa setiap
Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan tidak boleh memuat hal yang
8
bersifat membedakan berdasarkan latar belakang, antara lain, agama, suku,
ras, golongan, gender, atau status sosial;
i. “asas ketertiban dan kepastian hukum”, bahwa setiap Materi Muatan
Peraturan Perundang-undangan harus dapat mewujudkan ketertiban dalam
masyarakat melalui jaminan kepastian;
j. “asas keseimbangan, keserasian, dan keselarasan”, bahwa setiap Materi
Muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan
keseimbangan, keserasian, dan keselarasan, antara kepentingan individu,
masyarakat dan kepentingan bangsa dan negara;
k. “asas lain sesuai dengan bidang hukum Peraturan Perundang-undangan
yang bersangkutan”, antara lain: dalam Hukum Pidana, misalnya, asas
legalitas, asas tiada hukuman tanpa kesalahan, asas pembinaan narapidana,
dan asas praduga tak bersalah; dalam Hukum Perdata, misalnya, dalam
hukum perjanjian, antara lain, asas kesepakatan, kebebasan berkontrak, dan
itikad baik.
9. Naskah Akademik adalah naskah hasil penelitian atau pengkajian hukum dan hasil
penelitian lainnya terhadap suatu masalah tertentu yang dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah mengenai pengaturan masalah tersebut
dalam suatu Rancangan Peraturan Daerah sebagai solusi terhadap permasalahan
dan kebutuhan hukum masyarakat.

Sistematika Naskah Akademik adalah sebagai berikut:


JUDUL
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
BAB II KAJIAN TEORETIS DAN PRAKTIK EMPIRIS
BAB III EVALUASI DAN ANALISIS PERATURAN PERUNDANG- UNDANGAN
TERKAIT
BAB IV LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS, DAN YURIDIS
BAB V JANGKAUAN , ARAH PENGATURAN, DAN RUANG LINGKUP MATERI
MUATAN UNDANG-UNDANG, PERATURAN DAERAH PROVINSI,
ATAU PERATURAN DAERAH PROVINSI ATAU PERATURAN DAERAH
KABUPATEN/KOTA

9
A. BAB I PENDAHULUAN Memuat latar belakang, sasaran yang akan diwujudkan,
identifikasi masalah, tujuan dan kegunaan serta metode penelitian
B. BAB II KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTIK EMPIRIS a. Kajian Teoritis b. Kajian
terhadap asas/prinsip yang terkait penyusunan norma. c. Kajian terhadap praktik
penyelenggaraan, kondisi yang ada serta permasalah an yang dihadapi
masyarakat. d.Kajian terhadap implikasi penerapan system baru yang akan diatur
dalam UU.
C. BAB III EVALUASI DAN ANALISIS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
TERKAIT
 Memuat hasil kajian berdasarkan kondisi hukum yang ada, keterkaitan UU
dan Perda baru dengan Peraturan Perundang-undangan yang lain.
 Harmonisasi secara vertikal dan horisontal.
 Status dari peraturan perundang-undangan yang ada.
 Kajian dimaksudkan untuk mengetahui kondisi hukum atau peraturan
perundang-undangan yang mengatur substansi atau materi yang akan
diatur.
 Akan diketahui posisi dari UU atau perda yang baru.
 Analisis dapat menggambarkan tingkat singkronisasi, harmonisasi
Peraturan tersebut agar tidak tumpang tindih.
D. LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS DAN YURIDIS
1. Landasan Filosofis
Merupakan pertimbangan atau alasan yang menggambarkan bahwa
peraturan yang dibentuk memeprtimbangkan pandangan hidup, kesadaran,
cita hukum yang berdasar kan Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945.
2. Landasan Sosiologis.
Landasan sosiologis merupakan pertimbangan atau alasan yang
menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk untuk memenuhi
kebutuhan masyarakat dalam berbagai aspek. Landasan filosofis
sesungguhnya menyangkut fakta empiris mengenai perkembangan masalah
dan kebutuhan masyarakat dan negara.
3. Landasan Yuridis
Landasan Yuridis merupakan pertimbangan/alasan yang menggambarkan
bahwa peraturan yang dibentuk untuk mengatasi permasalahan hukum atau
mengisi kekosongan hukum dengan mempertimbangkan aturan yang telah
1
0
ada, yang akan diubah atau yang akan dicabut guna menjamin kepastian
hukum dan rasa keadilan masyarakat. Landasan yuridis menyangkut
persoalan hukum yang berkaitan dengan substansi/materi yang diatur
sehingga perlu dibentuk Peraturan PerUUan yang baru
E. BAB V. JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN, DAN RUANG LINGKUP MATERI
MUATAN UNDANG UNDANG, PERATURAN DAERAH PROVINSI, ATAU
PERATURAN DAERAH KABUPATEN/KOTA.
Naskah Akademik pada akhirnya berfungsi mengarahkan ruang lingkup materi
muatan RUU yang akan dibentuk Sebelum menguraikan ruang lingkup materi
muatan, dirumuskan sasaran yang akan diwujudkan, arah dan jangkauan
pengaturan. Materi didasarkan pada ulasan yang telah dikemukakan dalam bab
sebelumnya. Ruang lingkup materi mencakup:
1. Ketentuan umum yang memuat rumusan akademik mengenai
pengertian istilah , dan frasa.
2. Materi muatan yang akan diatur.
3. Ketentuan sanksi.
4. Ketentuan peralihan.
F. BAB VI PENUTUP
Bab Penutup terdiri dari sub bab Simpulan dan Saran.
1. Simpulan Simpulan memuat rangkuman pokok pikiran yang berkaitan
dengan praktik penyelenggaraan , pokok elaborasi teori dan asas
yang telah diuraikan dalam b ab sebelumnya.
2. Saran. Saran memuat antara lain :
a. Perlunya pemilahan substansi Naskah Akademik dalam suatu
Peraturan Perundang-Undangan/Peraturan perudang-undangan
dibawahnya.
b. Rekomendasi tentang skala prioritas penyusunan Rancangan
Undang-Undang/Rancangan Peraturan Daerah dalam Program
Legislasi Nasional/Program Legislasi Daerah.
G. Bab Penutup terdiri dari sub bab Simpulan dan Saran.
1. Simpulan Simpulan memuat rangkuman pokok pikiran yang berkaitan
dengan praktik penyelenggaraan, pokok elaborasi teori dan asas
yang telah diuraikan dalam bab sebelumnya.
2. Saran. Saran memuat antara lain:
1
1
a. Perlunya pemilahan substansi Naskah Akademik dalam suatu
Peraturan Perundang-Undangan/Peraturan perudang-undangan
dibawahnya.
b. Rekomendasi tentang skala prioritas penyusunan Rancangan
Undang-Undang/Rancangan Peraturan Daerah dalam Program
Legislasi Nasional/Program Legislasi Daerah.
H. Lampiran.

10. Berdasarkan Undang-Undang RI Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas


Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan, Pasal 1 angka 9: Program Legislasi Nasional yang
selanjutnya disebut Prolegnas adalah Instrument perencanaan program
pembentukan Undang-Undang yang disusun secara terencana, terpadu, dan
sistematis. PROLEGNAS diatur dalam Pasal 1, Pasal 20, Pasal 21,Pasal 22, Pasal
23.
11. Sesuai dengan ketentuan Pasal 33 ayat (1) Peraturan DPR RI Nomor 2 Tahun 2020
tentang Pembentukan Undang-Undang menyebutkan bahwa evaluasi terhadap
Prolegnas prioritas tahunan dapat dilakukan sewaktuwaktu. Selanjutnya dalam
ketentuan Pasal 37 ayat (5) menyebutkan dalam hal disepakati adanya perubahan
Prolegnas jangka menengah dan/atau Prolegnas prioritas tahunan berdasarkan
evaluasi, perubahan Prolegnas jangka menengah dan/atau Prolegnas prioritas
tahunan disampaikan dalam Rapat Paripurna untuk ditetapkan.
12. Meskipun telah disusun untuk jangka waktu tertentu, dalam praktik masih terbuka
kemungkinan untuk mengajukan rancangan undang-undang diluar daftar dalam
prolegnas dengan menggunakan celah “daftar komulatif terbuka”. Kemungkinan
tersebut disediakan untuk menampung beberapa kondisi, yaitu: pengesahan
perjanjian internasional tertentu; akibat adanya ptusan MK, Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negar; pemekaran dan penggabungan daerah provinsi dan/atau
kabupaten/kota; dan penetapan/pencabutan Peraturan Pemerintah pengganti
undang-undang. DPR dan Presiden juga dapat mengajukan RUU diluar prolegnas
nuntuk mengatasi keadaan luar biasa; keadaan konflik; bencana alam; dan keadaan
tertentu lainnya yang memastikan adanya urgensi nasional.
13. Daya ikat suatu peraturan lahir ketika suatu peraturan itu telah diundangkan, karena
pengundangan merupakan bentuk pengakuan terhadap kedaulatan rakyat itu sendiri.
1
2
Negara harus memastikan bahwa peraturan yang dibuatnya untuk mengatur
masyarakat demi mencapai cita-cita bersama harus diketahui lebih dahulu oleh
masyarakat sebelum diberlakukan. Idealnya, setiap peraturan dibuat dengan
kesepakatan bersama antara pemerintah dan wakil rakyat, dan kesepakatan itulah
yang merupakan bentuk pengakuan negara terhadap kedaulatan rakyat. Namun
perkembangan sistem perundang-undangan kita, telah menimbulkan banyaknya
jenis-jenis peraturan pelaksanaan yang ditetapkan secara sepihak tanpa persetujuan
wakil rakyat. Pengundangan merupakan solusi untuk mengakomodir perkembangan
sistem perundang-undangan kita yang tetap menjaga pengakuan terhadap
kedaulatan rakyat itu. Setelah suatu peraturan diundangkan, maka berlaku fiksi
hukum yang menyatakan indereen wordt geacht de wet te kennen (setiap orang
dianggap mengetahui undang-undang). Oleh karena itu, maka tidak dibenarkan
menolak penuntutan hukum dengan alasan “tidak tahu akan adanya peraturan
tersebut”. Meskipun hal ini hanyalah suatu fiksi, namun disini dapat dilihat daya ikat
dari pengaturan tersebut.
14. Setiap peraturan perundang-undangan dapat dikenali dengan melihat pada kerangka
(bentuk luar, kenvorm) peraturan perundang-undangan tersebut, yang secara garis
besar terdiri atas : KERANGKA PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERDIRI
ATAS: A. JUDUL/PENAMAAN.
A. Judul Peraturan Perundang-Undangan adalah uraian singkat yang memuat
keterangan mengenai jenis, nomor, tahun pengundangan atau penetapan dan
nama peraturan perundangundangan.
B. Nama Peraturan Perunang-undangan dibuat secara singkat dan mencerminkan
isi Peraturan Perundang-Undangan.
B. PEMBUKAAN.
Pembukaan suatu peraturan perundang-undangan terdiri atas : 1. Frase Dengan
Rahmat Tuhan Yang Maha Esa; 2. Jabatan Pembentuk Peraturan Perundang-
Undangan; 3. Konsiderans; 4. Dasar Hukum; 5. Diktum.
C. BATANG TUBUH.
Batang Tubuh Peraturan Perundang-Undangan memuat semua substansi
Peraturan Perundang-Undangan yang dirumuskan dalam pasal
D. PENUTUP.
Penutup merupakan bagian paling akhir Peraturan Perundang-Undangan. Memuat :
a. Rumusan perintah pengundangan dan penempatan Peraturan
1
3
PerundangUndangan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia, Berita Negara
Republik Indonesia, Lembaran Daerah, Berita Daerah. b. Penandatanganan
pengesahan atau penetapan Peraturan Perundangan ; c. Pengundangan Peraturan
Perundang-Undangan. d. Akhir bagian penutup.

E. PENJELASAN (JIKA DIPERLUKAN).


F.LAMPIRAN (JIKA DIPERLUKAN)
Contoh:
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 17 TAHUN 2006
TENTANG
PELAYARAN
(Judul Peraturan Perundang-Undangan yang berisi singkat yang memuat keterangan
mengenai jenis, nomor, tahun pengundangan atau penetapan dan nama peraturan
perundangundangan.)

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA (Pembukaan)


PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
(Jabatan pembentuk peraturan perundang-undangan)
Menimbang: (Konsideran)
a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah negara kepulauan berciri
nusantara yang disatukan oleh wilayah perairan sangat luas dengan batas-
batas, hak-hak, dan kedaulatan yang ditetapkan dengan undang-undang;
b. bahwa dalam upaya mencapai tujuan nasional berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, mewujudkan
Wawasan Nusantara serta memantapkan ketahanan nasional diperlukan
sistem transportasi nasional untuk mendukung pertumbuhan ekonomi,
pengembangan wilayah, dan memperkukuh kedaulatan negara;
c. bahwa pelayaran yang terdiri atas angkutan di perairan, kepelabuhanan,
keselamatan dan keamanan pelayaran, dan perlindungan lingkungan maritim,
merupakan bagian dari sistem transportasi nasional yang harus
dikembangkan potensi dan peranannya untuk mewujudkan sistem
transportasi yang efektif dan efisien, serta membantu terciptanya pola
distribusi nasional yang mantap dan dinamis;

1
4
d. bahwa perkembangan lingkungan strategis nasional dan internasional
menuntut penyelenggaraan pelayaran yang sesuai dengan perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi, peran serta swasta dan persaingan usaha,
otonomi daerah, dan akuntabilitas penyelenggara negara, dengan tetap
mengutamakan keselamatan dan keamanan pelayaran demi kepentingan
nasional;
e. bahwa Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1992 tentang Pelayaran sudah tidak
sesuai lagi dengan kebutuhan penyelenggaraan pelayaran saat ini sehingga
perlu diganti dengan undang-undang yang baru;
f. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a,
huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e, perlu membentuk Undang-Undang
tentang Pelayaran;

Mengingat: bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf


a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e, perlu membentuk Undang-
Undang tentang Pelayaran; (Dasar Hukum)

Dengan persetujuan
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

MEMUTUSKAN: (Diktum)

Menetapkan: UNDANG-UNDANG TENTANG PELAYARAN (Diktum)

(Batang Tubuh)
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1. ………………………………
2. ………………………………

BAB II

1
5
Pasal 2

(dan seterusnya)

(Penutup)
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-
Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia.

Disahkan di Jakarta
pada tanggal 7 Mei 2008
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

ttd

DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 7 Mei 2008
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,

ttd

ANDI MATTALATTA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2008 NOMOR 64

1
6

Anda mungkin juga menyukai