Anda di halaman 1dari 14

DUGAAN DUMPING TERHADAP EKSPOR PRODUK KERTAS

INDONESIA KE KOREA

Tugas
Program Studi Magister Ilmu Hukum
Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman
Disusun Oleh:

Aswidya Yoga Pradana

E2A019030

KEMENTRIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN


UNIVERSITAS JENDRAL SOEDIRMAN
FAKULTAS HUKUM
2020
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perkembangan perekonomian suatu negara saat ini sangat bergantung pada
perdangan internasional, hal ini dikarenakan tidak ada negara yang mampu
memenuhi kebutuhannya, termasuk kebutuhan barang dan jasa.1 Perdagangan
internasional dalam pembangunan suatu negara betapa pentingnya, bahkan
para ahli ekonomi klasik dan neoklasik menganggap perdagangan
Internasional merupakan mesin pertumbuhan.2
Perdagangan Internasional ini tidak hanya meningkatkan perkembangan
perekonomian, tetapi juga meningkatkan hubungan antarnegara satu sama
lain, namun tidak terpungkiri hal ini juga dapat menimbulkan suatu
permasalahan. Sebagai upaya penyelesaian ataupun mencegah suatu
permasalahan, Hata mengemukakan diperlukan suatu peraturan yang mana
sebagai pilar utama sistem perdagangan multilateral.3
Peraturan perdangan internasional diatur oleh organisasi internasional
yakni World Trade Organization (WTO), yang secara khusus mengatur dan
memfasilitasi permasalahan perdagangan antar Negara yang berfungsi sebagai
lembaga penyelesaian sengketa dan memberikan putusan penyelesaian
permasalahan antar anggotanya.4 Salah satu permasalahan yang diatur dalam
WTO adalah pengaturan mengenai Anti-Dumping yang diatur melalui
Persetujuan Anti-Dumping (Anti-Dumping Agreement atau Agreement on the
Implementation of Article IV of GATT 1994).5

1
Huala Adolf, 2011, Hukum Perdagangan Internasional, Cet. 4, Jakarta, RajaGrafindo
Persada, hlm. 1-2.
2
T. Gilarso dalam Andi Julia Cakrawala, 2015, Penerapan Konsep Hukum Arbitrase Online
di Indonesia, Yogyakarta, Rangkang Education, hlm. 1.
3
Hata, 2016, Hukum Ekonomi Internasional: IMF, World Bank, WTO, Malang, Setara Press,
hlm. 147.
4
Christhoporus Barutu, 2007, Ketentuan Anti-Dumping, Subsidi dan Tindakan Pengamanan
dalam GATT dan WTO , PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm. 2.
5
Diah Ratnasari dan Ida Ayu Sukihana, Mekansme Penyelesaian Sengketa Perdagangan
Internasional Melalui Dispute Settlement Body (DSB) World Trade Oganization (WTO) (Tinjauan
Terhadap Gugatan Indonesia Kepada Korea Selatan Dalam Pengenaan BEA Masuk Anti-
Dumping Produk Kertas), Fakultas Hukum, Universitas Udayana, hlm. 2.
Dumping merupakan tindakan pengekspor yang menjual barang ke Negara
lain dengan harga yang lebih rendah dari harga pasaran barang tersebut di
Negara pengimpor.6 Artinya bahwa negara negara anggota WTO harus tunduk
dan tidak melakukan tindakan Dumping. Namun pada praktiknya masih
terdapat negara dianggap melakukan tindakan Dumping, salah satunya adalah
kasus antara Korea dan Indonesia.
Korea selatan menuduh Indonesia melakukan dumping woodfree copy
paper ke Korsel sehingga Indonesia mengalami kerugian yang cukup besar.
Tuduhan tersebut menyebabkan Pemerintah Korsel mengenakan bea masuk
anti-dumping (BMAD) sebesar 2,8 persen hingga 8,22 persen terhitung 7
November 2003 dan akibat adanya tuduhan dumping itu ekspor produk itu
mengalami kerugian. Ekspor woodfree copy paper Indonesia ke Korsel yang
tahun 2002 mencapai 102 juta dolar AS, turun tahun 2003 menjadi 67 juta
dolar.
Sebagaimana diketahui bahwa Indonesia dan Korea Selatan merupakan
salah satu anggota WTO yang telah meratifikasi Persetujuan Pembentukan
WTO melalui Undang Undang No 7 Tahun 1994, Hal tersebut berarti
Indonesia dan Korea Selatan tunduk terhadap ketentuan-ketentuan dalam
WTO, termasuk ketentuan mengenai permasalahan Anti-Dumping.7.
Berdasarkan hal tersebut perlu diketahui lebih mendalam mengenai ketentuan
yang mengatur mengenai anti-dumping serta langkah-langkah dalam
pengupayaaan penyelesaian permasalahan dumping antara Indonesia dan
Korea Selatan yang tidak mencapai kesepakatan.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka terdapat permasalahan yang
hendak dibahas, yaitu bagaimana penyelesaian permasalahan dugaan dumping
antara Indonesia dan Korea Selatan?

6
Article 2.1 Agreement on Implementation of Article VI of GATT 1994
7
Hata, 2006, Perdagangan Internasional dalam Sistem GATT & WTO, PT. Refika Aditama,
Bandung, hlm. 8
BAB II
PEMBAHASAN
A. Dasar Hukum Anti-Dumping
Pada dasarnya setiap negara anggota WTO dalam menentukan kebijakan
anti-dumping berpedoman pada ketentuan Pasal 6 GATT 1947 yang
menguraikan kriteria terjadinya dumping. Pertama, jika harga ekspor dari
suatu produk lebih rendah daripada harga perbandingan barang sejenis yang
digunakan untuk konsumsi di dalam negeri pengekspor. Kedua, bila tidak
terdapat penjualan domestik dari barang sejenis tersebut, maka digunakan
perbandingan harga ekspor ke pasar negara ketiga. Ketiga, bila tidak terdapat
kriteria pertama dan kedua, maka akan diadakan constructed price yang
didasarkan pada biaya produksi ditambah suatu jumlah keuntungan yang
wajar.8
Berdasarkan ketentuan Perjanjian Anti-Dumping, praktik dumping dapat
diancam dengan tindakan/sanksi balasan. GATT dalam kerangka dumping
menganggap bahwa ekspor barang yang disertai dengan perbuatan dumping
dan terbukti mengakibatkan kerugian bagi usaha/industri barang sejenis di
negara importir merupakan praktik perdagangan yang tidak jujur (unfair trade
practice). Terhadap tindakan tersebut, GATT mengizinkan suatu negara yang
dirugikan untuk mengambil tindakan anti-dumping berupa pengenaan anti-
dumping duties sebesar kerugian yang dideritanya.9 Hal ini terlihat pada
ketentuan Pasal 6 GATT 1947 yang mengizinkan negara-negara peserta
GATT untuk menerapkan sanksi antidumping terhadap negara yang
melakukan dumping.
Namun demikian, penerapan sanksi anti-dumping tersebut tetap tidak
mudah karena harus dibuktikan dengan kerugian material (material injury).
Persyaratan kerugian material diterapkan untuk mencegah perdagangan curang
dan melakukan proteksi guna melindungi industri dan pasar domestiknya.
Tanpa adanya kerugian secara material, maka negara pengimpor tidak boleh
8
Geneva: 1986, The Text of The General Agreement on Tariffs and Trade (GATT), hlm.10
9
Sukarmi, 2002, Regulasi Antidumping Di Bawah Bayang-Bayang Pasar Bebas, Jakarta,
Sinar Grafika, hlm. 23-24.
melakukan tindakan anti-dumping dan kewajiban kompensasi.10 Sehingga,
dalam penerapan sanksi harus dibuktikan dengan ada tidaknya kerugian,
karena tanpa adanya bukti kerugian, maka pengenaan bea masuk anti-dumping
tidak dapat diterapkan.11
Perlu diketahui bahwa hukum WTO tidak melarang dumping, tetapi
negara anggota WTO diizinkan untuk mengambil tindakan untuk melindungi
industri domestik mereka dari pengaruh yang merugikan yang disebabkan oleh
dumping. Berdasarkan ketentuan Pasal 6 GATT 1947 dan Perjanjian Anti-
Dumping, para anggota WTO berhak untuk menerapkan tindakan-tindakan
anti-dumping jika:12
1. Ada dumping;
2. Industri domestik yang memproduksi barang sejenis di negara pengimpor
menderita kerugian material (atau ada ancaman atas kerugian material
tersebut); dan
3. Ada hubungan sebab akibat (causal link) antara dumping dan kerugian.
Dengan demikian, dumping yang dilarang oleh WTO adalah dumping
yang dapat menimbulkan kerugian material, baik terhadap industri yang sudah
berdiri (to an established industry) maupun menimbulkan hambatan pada
pendirian industri domestik (the establishment of domestic industry).13
Untuk menentukan suatu industri domestik menderita kerugian material,
Pasal 3.1 Perjanjian Anti-Dumping mengatur bahwa para anggota harus
menyelidiki volume impor dari barang impor yang diduga dumping tersebut
dan pengaruh dari barang impor yang diduga dumping tersebut terhadap harga
pasar domestik atas barang sejenis. Para anggota harus menyelidiki dampak
dari impor ini terhadap industri domestik. Mereka harus menguji banyak
faktor dan mempertimbangkannya dalam hasil akhir keputusan. Sehingga,

10
Ibid., hlm. 30
11
Yulianto Syahyu, 2004, Hukum Anti Dumping di Indonesia, Jakarta, Ghalia Indonesia, hlm.
77.
Peter van den Bossche et al., 2010, Pengantar Hukum WTO (World Trade Organizatition),
12

Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, hlm. 39.


13
Muhammad Sood, 2011, Hukum Perdagangan Internasional, Jakarta, Rajawali Pers,
hlm.125.
penentuan atas ancaman terjadinya kerugian material didasarkan pada
kenyataan dan tidak sekadar tuduhan, dugaan, atau kemungkinan.
Pasal 3.5 Perjanjian Anti-Dumping menentukan syarat pembuktian
hubungan sebab akibat antara impor barang yang diduga dumping dengan
kerugian yang diderita oleh industri domestik. Sehingga, apabila kerugian
yang disebabkan oleh faktor-faktor yang mungkin tidak disebabkan oleh
impor barang-barang yang diduga dumping tidak boleh dibebankan
kepadanya. Selain itu, Perjanjian Anti-Dumping juga menentukan peraturan-
peraturan yang cukup terperinci yang harus ditaati oleh otoritas suatu negara
anggota yang melakukan penyelidikan dalam melakukan penyelidikan anti-
dumping, di antaranya tentang inisiasi investigasi yang diatur dalam Pasal 5,
proses investigasi diatur dalam Pasal 6.14
B. Mekanisme Penyelesaian Sengketa Anti-Dumping
World Trade Organization memiliki aturan yang jelas berdasarkan prinsip
adil, cepat, efektif, dan menghasilkan suatu putusan yang dapat diterima kedua
belah pihak. Meskipun yang menjadi prioritas utama yang ingin dicapai bukan
untuk membuat putusan, melainkan untuk menyelesaikan perselisihan lewat
konsultasi dibandingkan melalui proses panel.15
Para pihak yang bersengketa harus berusaha menyelesaikan sengketanya
melalui perundingan. Jika gagal, para pihak dapat memanfaatkan jasa-jasa
good offices, conciliation, dan mediation. 16 Tahap-tahap penyelesaian
sengketa yang timbul sebagaimana diatur dalam DSU, di antaranya terdiri dari
empat langkah utama:17
1. Konsultasi wajib antara pihak yang bersengketa untuk mencapai
penyelesaian yang disetujui oleh para pihak;
2. Sidang panel;
3. Tinjauan banding; dan

14
World Trade Organization, Anti-Dumping: Technical Information on anti-dumping,
https://www.wto.org/english/tratop_e/adp_e/adp_info_e.htm, diakses tanggal 21 Januari 2021
15
Hata, Hukum…, op.cit., hlm. 148
16
Moch. Faisal Salam, 2007, Penyelesaian Sengketa Bisnis secara Nasional dan
Internasional, Bandung, Mandar Maju, hlm. 458
17
Peter van den Bossche et al., op.cit., hlm. 103
4. Pelaksanaan dan penyelenggaraan rekomendasi dan ketentuan yang
disahkan oleh DSB.
Keempat langkah di atas, langkah yang masih sulit ditempuh dalam proses
penyelesaian sengketa di WTO adalah langkah yang terakhir. Hal ini sering
terjadi ketika negara yang bersengketa melibatkan negara berkembang
melawan negara maju. Negara maju yang dikenakan sanksi kebanyakan ketika
berhadapan dengan negara berkembang menolak untuk melaksanakan
rekomendasi DSB.
Berkaitan dengan hal tersebut, sebetulnya telah ditentukan dalam Pasal
19.1 DSU. Jika suatu panel atau Apellate Body menyimpulkan suatu tindakan
tidak konsisten dengan covered agreement, maka sebaiknya anggota
bersangkutan menyesuaikan tindakan tersebut supaya sesuai dengan ketentuan
yang berlaku di WTO. Lebih rinci ditegaskan, jika satu negara telah
melakukan kesalahan, maka harus segera memperbaikinya. Bila terus
melanggar perjanjian, negara tersebut harus menawarkan ganti rugi atau
menerima penalti. Setelah perkara diputus, terdapat beberapa langkah yang
dapat dilakukan sebelum sanksi perdagangan dalam bentuk penalti dijatuhkan.
Pada tahap ini, yang menjadi prioritas adalah agar pihak yang dikalahkan
mengubah kebijakan dagangnya sesuai dengan yang diputuskan atau
direkomendasikan.18
Hal tersebut jelas diatur dalam Pasal 21.3 DSU yang menentukan bahwa
negara pelanggar harus memberikan pernyataan untuk melaksanakan
rekomendasi tersebut dalam jangka waktu 30 hari, sejak putusan panel
diadopsi DSB WTO. Apabila jangka waktu tersebut dianggap tidak
memungkinkan, maka negara tersebut masih diberikan hak untuk meminta
jangka waktu sesuai dengan perkiraannya selama permintaan tersebut masih
dalam jangka waktu yang wajar, yaitu tidak melebihi dari 15 bulan,19 kecuali

18
Hata, Hukum…, op.cit., hlm. 151.
19
Agreement Establishing The World Trade Organization: Understanding on Rules and
Procedures Governing The Settlement of Disputes, hlm. 366
untuk kasus-kasus subsidi non-ekspor secara umum jangka waktu rata-rata
adalah 9 bulan.20
Berdasarkan ketentuan Pasal 22.2 DSU, apabila negara pelanggar tidak
dapat melaksanakan putusan dan rekomendasi dalam jangka waktu yang
wajar, maka para pihak harus berunding untuk menentukan ganti rugi yang
disepakati bersama. Apabila ternyata dalam 20 hari setelah berakhirnya jangka
waktu yang wajar masih tidak ada kesepakatan mengenai ganti rugi, maka
pihak penggugat dapat meminta otorisasi dari DSB untuk menangguhkan
konsesi atau kewajiban lainnya terhadap negara pelanggar. DSB harus
memberikan otorisasi tersebut dalam tempo 30 hari sejak terlampauinya batas
waktu yang wajar, kecuali dicapai konsensus untuk tidak memberikan
otorisasinya.21
Pada dasarnya, sanksi harus dijatuhkan dalam sektor yang sama yang
disengketakan. Apabila tidak memungkinkan atau tidak akan efektif, sanksi
dapat dijatuhkan di sektor yang berbeda dalam lingkup perjanjian yang sama.
Namun apabila masih tidak efektif atau keadaannya serius, maka sanksi dapat
dijatuhkan dalam ruang lingkup perjanjian lain. Tujuannya adalah
meminimalisasi kemungkinan tindakan tersebut berpengaruh pada sektor-
sektor lain yang tidak terkait dan pada saat yang sama memungkinkan
tindakan tadi efektif.22
Sebetulnya, Panel atau Appelate Body dapat memberikan rekomendasi
mengenai beberapa tindakan yang dapat diimplementasikan oleh pihak
terkait.23 Dalam hal ini DSB WTO dapat memberikan jalan keluar yang
bersifat remedy berupa recommendations (rekomendasi) dan ruling (putusan),
serta memberikan izin retaliasi terhadap pihak yang telah ditentukan bersalah
dalam bentuk penangguhan atau penghentian konsesi yang pernah diberikan.
Adapun dalam hal pihak (yang kalah) tidak mau melaksanakan putusan atau

20
Tri Harnowo, ‘Peninjauan Ulang Ketentuan Retaliasi sebagai Reformasi Aturan
Penyelesaian Sengketa WTO’, Indonesian Journal of International Law Vol 5, No. 2, Januari
2008, hlm. 276.
21
Hata, Hukum…, op.cit., hlm. 152
22
Ibid.
23
Agreement Establishing The World Trade Organization: Understanding… op.cit., p. 365
rekomendasi DSB, WTO mengatur tentang upaya pembalasan yang dapat
ditempuh melalui:24
1. Kompensasi
Kompensasi dilakukan dalam hal pihak pelanggar tidak dapat
melaksanakan rekomendasi DSB dalam batas waktu yang wajar
sebagaimana diatur dalam Pasal 21.3 DSU. Apabila pihak pelanggar tidak
dapat melaksanakan rekomendasi DSB dalam waktu yang wajar, maka
pihak yang dirugikan dapat melakukan negosiasi untuk menentukan
kompensasi yang sesuai. Pasal 22.3 DSU mengatur apabila kompensasi
tidak berhasil disepakati dalam 20 hari setelah habisnya batas waktu yang
wajar, maka pihak yang dirugikan dapat meminta otoritas DSB untuk
menangguhkan konsesi atau kewajiban lainnya terhadap pihak pelanggar.
DSB berwenang memberi otoritas untuk menangguhkan konsesi dan atau
kewajiban lain.
2. Retaliasi
Jalan terakhir yang bisa ditempuh oleh suatu negara dalam proses
penyelesaian sengketa di WTO apabila negara pelanggar tidak
melaksanakan putusan DSB adalah tindakan retaliasi. Retaliasi merupakan
tindakan suatu negara dalam menangguhkan konsesi sebagai bentuk
tindakan balasan akibat adanya tindakan perdagangan dari negara lain
yang menimbulkan kerugian perdagangan di negaranya. Ketika negara
pelanggar dinyatakan bersalah (telah melanggar ketentuan WTO), tetapi
negara pelanggar tersebut menolak melaksanakan putusan dan
rekomendasi DSB, maka negara penggugat berhak meminta pemulihan
haknya kepada DSB melalui tindakan retaliasi. Oleh sebab itu, retaliasi ini
berfungsi sebagai ultimum remedium.
C. Penyelesaian Sengketa Anti-Dumping Indonesia dan Korea Selatan
Kasus Anti-Dumping Duties on Imports of Certain Paper from Indonesia,
Indonesia membawa kasusnya ke Dispute Settlement Mechanism (DSM) dan

24
Meliyani Sidiqah, “Retaliasi Indonesia Atas Tuduhan Dumping Terhadap Korea Selatan”, Jurnal
Wawasan Yuridika, Vol. 3 No. 1, Maret 2019, hlm. 87.
mengajukan keberatan atas pemberlakuan kebijakan Anti-Dumping Korea.25
Diawali pada 4 Juni 2004, Indonesia melakukan konsultasi dengan Korea
Selatan sebagai tahapan awal untuk menyelesaikan sengketa. Namun hasil
konsultasi bilateral tersebut tidak memuaskan kedua belah pihak. Indonesia
kemudian mengajukan sengketa ini kepada DSB WTO dan meminta
dibentuknya Panel.26
Sidang Panel pertama diadakan pada tanggal 1 Februari 2005 yang
kemudian dilanjutkan dengan Sidang Panel Kedua pada keesokan harinya.
Sidang Panel tersebut dihadiri oleh Indonesia dan Korea Selatan sebagai pihak
yang bersengketa serta dihadiri oleh Kanada, Cina, Masyarakat Eropa, Jepang
dan Amerika Serikat sebagai pihak ketiga. Selanjutnya pada 28 Oktober 2005,
DSB WTO menyampaikan Panel Report ke seluruh anggota dan menyatakan
bahwa DSB WTO mengabulkan dan menyetujui gugatan Indonesia bahwa
Korea Selatan telah melakukan pelanggaran terhadap ketentuan Anti-Dumping
Agreement (ADA) dalam mengenakan Bea Masuk Anti- Dumping (BMAD)
terhadap produk kertas Indonesia. Kedua belah pihak yang bersengketa pada
akhirnya mencapai kesepakatan bahwa Korea Selatan harus
mengimplementasikan rekomendasi DSB dan menentukan jadwal waktu bagi
pelaksanaan rekomendasi DSB tersebut (reasonable period of time/RPT).27
Panel Report DSB WTO menyatakan ada sejumlah pelanggaran yang
dilakukan KTC, yaitu: Pasal 6.8 ADA dan paragraph 7 Annex II dalam
menerapkan special circumspection; Pasal 6.7 ADA dalam hal pengungkapan
hasil-hasil verifikasi; Pasal 6.4 ADA dalam hal pengungkapan rincian
perhitungan nilai normal dengan metode constructed value; Pasal 3.4 ADA
dalam hal melakukan pemeriksaan atas dampak impor dengan harga dumping
terhadap industri domestik; Pasal 6.2 ADA dalam hal penolakan pemberian
kesempatan untuk memberikan tanggapan-tanggapan atas hasil evaluasi

25
Sulistyo Widayanto, “Negosiasi untuk Mengamankan Kepentingan Nasional di Bidang
Perdagangan”, Buletin Departemen Perdagangan Ditjen KPI, Edisi 43/KPI/2007 Volume 1, h. 7
26
Article 4.7 Dispute Settlement Understanding (DSU).
27
Dispute Settlement Body WTO, 2007, Korea-Anti-Dumping Duties on Imports of Certain
Paper from Indonesia, URL : http://www.wto.org/english/tratop_e/dispu_e/cases_e/ds312_e.htm,
diakses pada 21 Januari 2021
faktor-faktor penentu kerugian; dan Pasal 6.5 ADA dengan tidak dapat
memberikan alasan-alasan yang dapat diterima dengan merahasiakan
informasi-informasi yang terdapat dalam permohonan penyelidikan dari
industri domestik Korea Selatan.28
Dimenangkannya Indonesia dalam sengketa tersebut mengakibatkan
Korea Selatan harus mematuhi keputusan Panel. Pada tanggal 28 Desember
2006, DSB menerbitkan laporan panel mengenai sengketa Anti-Dumping
tersebut. Dalam laporan Panel, DSB memutuskan bahwa KTC telah
melanggar ketentuan yang berkenaan dengan peraturan dumping dan
penentuan kerugian. Selain itu DSB juga membuat rekomendasi kepada Korea
Selatan agar melakukan perhitungan kembali atas kebijakan mengenakan
BMAD terhadap produk kertas Indonesia dan melakukan penyesuaian sesuai
dengan kewajiban-kewajiban yang diatur dalam perjanjian WTO.29

28
Ibid.
29
Ibid.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Penyelesaian sengketa dalam kasus Anti Dumping antara Indonesia dan
Korea Selatan yakni pertama mencoba untuk menyelesaikan dengan
Konsultasi, namun dikarenakan tidak ditemukan titik temu dalam konsultasi
tersebut. Indonesia mengajukan sengketa ke DSB WTO dan meminta
dibentuknya Panel, yang mana hasil dari Panel DSB WTO menyatakan ada
sejumlah pelanggaran yang dilakukan KTC, yaitu: Pasal 6.8 ADA dan
paragraph 7 Annex II dalam menerapkan special circumspection; Pasal 6.7
ADA dalam hal pengungkapan hasil-hasil verifikasi; Pasal 6.4 ADA dalam hal
pengungkapan rincian perhitungan nilai normal dengan metode constructed
value; Pasal 3.4 ADA dalam hal melakukan pemeriksaan atas dampak impor
dengan harga dumping terhadap industri domestik; Pasal 6.2 ADA dalam hal
penolakan pemberian kesempatan untuk memberikan tanggapan-tanggapan
atas hasil evaluasi faktor-faktor penentu kerugian; dan Pasal 6.5 ADA dengan
tidak dapat memberikan alasan-alasan yang dapat diterima dengan
merahasiakan informasi-informasi yang terdapat dalam permohonan
penyelidikan dari industri domestik Korea Selatan. Penyelesaian sengketa
dimenangkannya Indonesia dalam sengketa tersebut mengakibatkan Korea
Selatan harus mematuhi keputusan Panel.
Daftar Pustaka

Literatur

Adolf, Huala, 2011, Hukum Perdagangan Internasional, Cet. 4, Jakarta,


RajaGrafindo Persada;
Barutu, Christhoporus, 2007, Ketentuan Anti-Dumping, Subsidi dan Tindakan
Pengamanan dalam GATT dan WTO , PT. Citra Aditya Bakti, Bandung;
Bossche, Peter van den et al., 2010, Pengantar Hukum WTO (World Trade
Organizatition), Jakarta, Yayasan Obor Indonesia;
Cakrawala, Andi Julia, 2015, Penerapan Konsep Hukum Arbitrase Online di
Indonesia, Yogyakarta, Rangkang Education;
Geneva, 1986, The Text of The General Agreement on Tariffs and Trade (GATT);
Hata, 2006, Perdagangan Internasional dalam Sistem GATT & WTO, PT. Refika
Aditama, Bandung;
Hata, 2016, Hukum Ekonomi Internasional: IMF, World Bank, WTO, Malang,
Setara Press;
Ratnasari, Diah dan Ida Ayu Sukihana, Mekansme Penyelesaian Sengketa
Perdagangan Internasional Melalui Dispute Settlement Body (DSB)
World Trade Oganization (WTO) (Tinjauan Terhadap Gugatan Indonesia
Kepada Korea Selatan Dalam Pengenaan BEA Masuk Anti-Dumping
Produk Kertas), Fakultas Hukum, Universitas Udayana;
Salam, Moch. Faisal, 2007, Penyelesaian Sengketa Bisnis secara Nasional dan
Internasional, Bandung, Mandar Maju;
Sood, Muhammad, 2011, Hukum Perdagangan Internasional, Jakarta, Rajawali
Pers;
Sukarmi, 2002, Regulasi Antidumping Di Bawah Bayang-Bayang Pasar Bebas,
Jakarta, Sinar Grafika;
Syahyu, Yulianto, 2004, Hukum Anti Dumping di Indonesia, Jakarta, Ghalia
Indonesia;
Jurnal
Harnowo, Tri, “Peninjauan Ulang Ketentuan Retaliasi sebagai Reformasi Aturan
Penyelesaian Sengketa WTO”, Indonesian Journal of International Law
Vol 5, No. 2, Januari 2008;
Sidiqah, Meliyani, “Retaliasi Indonesia Atas Tuduhan Dumping Terhadap Korea
Selatan”, Jurnal Wawasan Yuridika, Vol. 3 No. 1, Maret 2019;
Widayanto, Sulistyo, “Negosiasi untuk Mengamankan Kepentingan Nasional di
Bidang Perdagangan”, Buletin Departemen Perdagangan Ditjen KPI,
Edisi 43/KPI/2007 Volume 1;
Publikasi Online
Organization, World Trade, Anti-Dumping: Technical Information on anti-
dumping, https://www.wto.org/english/tratop_e/adp_e/adp_info_e.htm,
diakses tanggal 21 Januari 2021
WTO, Dispute Settlement Body, 2007, Korea-Anti-Dumping Duties on Imports of
Certain Paper from Indonesia, URL :
http://www.wto.org/english/tratop_e/dispu_e/cases_e/ds312_e.htm,
diakses pada 21 Januari 2021

Anda mungkin juga menyukai