Anda di halaman 1dari 4

Kelemahan Restoratif Justice Pada Penyelesaian Perkara Pidana Anak

Deslaz Rannu Handicha


E2A019057
Magister Hukum, Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto – Indonesia

A. Pendahuluan
Keadilan dan Hak Asasi Manusia dalam kaitannya dengan penegakan
hukum pidana bukan merupakan hal yang mudah untuk direalisasikan, salah
satunya permasalahan mengenai perlindungan. Perlindungan hukum identik
dengan melindungi hak hak korban, sebagaimana diketahui korban adalah
mereka yang menderita jasmaniah dan rohaniah sebagai akibat tindakan orang
lain yang mencari pemenuhan diri sendiri atau orang lain yang bertentangan
dengan kepentingan dan hak asasi yang menderita.1
Korban sebagai pihak yang dirugikan dalam suatu tindak kejahatan, oleh
sebab itu korban perlu untuk dilindungi hak haknya. Namun, perlindungan
hukum tidak hanya mengakomodir perlindungan terhadap korban, tetapi juga
terhadap pelaku kejahatan, terlebih lagi jika anak yang menjadi pelaku suatu
tindak kejahatan, mengingat anak merupakan generasi penerus bangsa dan
penerus pembangunan, generasi yang dipersiapkan untuk melaksanakan
pembangunan yang berkelanjutan dan kendali masa depan suatu negara.2
Perlindungan terhadap anak menjadi suatu kewajiban yang diusahakan.
Kepastian hukum perlu diusahakan demi kegiatan kelangsungan perlindungan
anak dan mencegak penyelewengan yang membawa akibat negatif yang tidak
diinginkan dalam pelaksanaan kegiatan perlindungan anak. Untuk mencegah
terjadinya hal tersebut ini sangat berkaitan dengan aspek peraturan-peraturan
tersebut.3 Perlindungan khusus terhadap anak yang melakukan tindak pidana
juga perlu dimuat dalam peraturan perundangan-undangan khusus yang
mengatur penyelesaian perkara anak.
Anak yang melakukan tindak pidana diatur dalam Undang-Undang No 11
Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak yang mana pada Undang-Undang
ini mengatur mengenai hak hak anak yang perlu dilindungi, yang mana
peraturan ini menghadirkan konsep restorative justice yang bertujuan untuk
memberikan perlindungan terhadap pelaku kejahatan, korban dan masyarakat
pada umumnya sebagai sebuah bentuk penyelesaian perkara.4
Berdasarkan uraian diatas, penulis ingin membahas lebih mendalam
mengenai konsep restorative justice pada sistem peradilan anak dan juga
kelemahan restorative justice. Oleh sebab itu penulis merumuskan
permasalahan antara lain: bagaimana Undang Undang No 11 Tahun 2012

1
Bambang Waluyo, 2012, Viktimologi perlindungan korban dan saksi, Sinar Grafika, Jakarta,
hlm. 2.
2
Nashriana, 2011, Perlindungan Hukum Pidana bagi Anak di Indonesia, PT. RajaGrafindo
Persada, Jakarta, hlm.1
3
Ibid. Hlm. 3.
4
Rahmaeni Zebua, 2014, Analisis Diversi dan Restorative justice dalam Undang Undang No
11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak, Universitas Sumatera Utara, hlm. 2.
tentang Sistem Peradilan Anak mengatur restorative justice dan apa
kelemahan restorative justice pada sistem peradilan pidana anak?

B. Pembahasan
Pasal 1 angka 6 Undang Undang No 11 Tahun 2012 menjelaskan
Restorative justice merupakan proses penyelesaian konflik dengan melibatkan
pihak yang berkepentingan dengan tindak pidana yang terjadi dimulai dari
korban, pelaku, keluarga pelaku & korban, masyarakat dan aparat penegak
hukum atau unsur lain yang dianggap penting di dalamnya untuk terlibat
menyelesaikan konflik.5 Restorative justice pada sistem peradilan anak ini
melalui proses diversi.
Pelaksanaan Restorative justice ini lebih ditekankan lagi pada Pasal 5
Undang Undang Sistem Peradilan Anak mengatur bahwa pernyelesaian
perkara anak wajib mengutamakan keadilan restoratif, meliputi :
1. Penyidikan dan penuntutan pidana anak yang dilaksanakan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan, kecuali ditentukan lain oleh
undang-undang ini;
2. Persidangan anak yang dilakukan oleh pengadilan di lingkungan peradilan
umum;
3. Pembinaan, pembimbingan, pengawasan, dan/atau pendampingan selama
proses pelaksanaan pidana atau tindakan dan setelah menjalani pidana atau
tindakan.
Kemudian dalam Pasal 7 ayat (2) diversi wajib diupayakan pada tingkat
penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan perkara anak di Pengadilan Negeri.
Kata “wajib diupayakan” mengandung makna bahwa penegak hukum anak
dari penyidik, penuntut, dan juga hakim diwajibkan untuk melakukan upaya
agar proses diversi dilaksanakan. Mengingat jiwa bangsa Indonesia dalam sila
keempat Pancasila, keadilan restoratif tentunya sangat memungkinkan untuk
terlaksana dengan baik, karna musyawarah lebih menekankan jalan terbaik
dan kebaikan untuk bersama. Namun terdapat Persyaratan penetapan
restorative justice, antara lain :6
1. Syarat pada diri pelaku:
a. Usia anak
b. Ancaman hukuman (maksimum 7 tahun)
c. Pelaku mengakui kesalahan dan menyesali perbuatannya
d. Persetujuan korban dan keluarga
e. Tingkat seringnya pelaku melakukan tindak pidana (residiv)
2. Sifat dan jumlah pelanggaran yang dilakukan sebelumnya (residiv) Jika
sebelumnya anak pernah melakukan pelanggaran hukum ringan,
restorative justice harus tetap menjadi pertimbangan. Kesulitan untuk
memberikan restorative justice akan muncul ketika menemukan catatan
bahwa anak sering melakukan perbuatan pelanggaran hukum (residiv)

5
Marlina, 2009, Peradilan Pidana Anak di Indonesia : Pengembangan Konsep Diversi dan
Restorative Justice., Refika Aditama, Bandung, hlm. 14
6
Lilik Purwastuti Yudaningsih, “Penanganan Perkara Anak Melalui Restoratif Justice”,
Jurnal Ilmu Hukum, 2014, hlm. 75-76.
3. Apakah pelaku anak mengakui tindak pidana yang dilakukan dan
menyesalinya. Jika anak mengakui dan menyesali perbuatannya, maka hal
ini menjadi sebuah pertimbangan positif untuk dapat menangani dengan
pendekatan restorative justice.
4. Dampak perbuatan terhadap korban Pelaku anak meminta maaf kepada
korban bisa menjadi alasan penting untuk dasar penggunaan restorative
justice. Kalau kejahatan berdampak sangat serius pada korban, dan korban
tidak memaafkan pelaku maka restorative justice mungkin tidak dapat
menjadi pilihan.
5. Sikap keluarga pelaku anak Dukungan dari orangtua dan keluarga sangat
penting agar restorative justice dapat berhasil. Jika keluarga berusaha
menutup-nutupi perbuatan anak, maka akan sulit mengimplementasikan
restorative justice yang efektif.
Berkaitan dengan persyaratan penetapan restoratif justice, penulis
menggaris bawahi mengenai syarat “Harus ada pengakuan atau pernyataan
bersalah dari pelaku”, hal ini tentunya pihak keluarga korban meyakini dirinya
mempuyai posisi tawar yang lebih tinggi dari posisi pelaku, dalam proses
musyawarah, berpontensi menyalahgunakan kesempatan. Pihak anak
(keluarga pelaku) seolah menjadi pihak yang tidak mempunyai pilihan selain
tunduk pada keputusan pihak korban sebagai bentuk kesepakatan yang dapat
membebaskan pelaku dari jalur peradilan formal.7

C. Kesimpulan
Undang Undang No 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Anak
mengatur restoratif justice sebagai proses penyelesaian konflik dengan
melibatkan pihak yang berkepentingan dengan tindak pidana yang terjadi
dimulai dari korban, pelaku, keluarga pelaku & korban, masyarakat dan aparat
penegak hukum atau unsur lain yang dianggap penting di dalamnya untuk
terlibat menyelesaikan konflik. Proses penyelesaian perkara dilakukan dengan
proses diversi, dan hal ini wajib dilakukan dalam penyelesaian perkara pidana
anak. Namun terdapat syarat-syarat agar dapat dilaksanakannya melalui
restorative justice yakni pelaku harus di Usia anak, Ancaman hukuman
(maksimum 7 tahun), Pelaku mengakui kesalahan dan menyesali
perbuatannya, Persetujuan korban dan keluarga, Tingkat seringnya pelaku
melakukan tindak pidana (residiv). Namun terdapat kelemahan pada syarat
“Harus ada pengakuan atau pernyataan bersalah dari pelaku”, hal ini tentunya
pihak keluarga korban meyakini dirinya mempuyai posisi tawar yang lebih
tinggi dari posisi pelaku, dalam proses musyawarah, berpontensi
menyalahgunakan kesempatan. Pihak anak (keluarga pelaku) seolah menjadi
pihak yang tidak mempunyai pilihan selain tunduk pada keputusan pihak
korban sebagai bentuk kesepakatan yang dapat membebaskan pelaku dari jalur
peradilan formal.

7
Beniharmoni Harefa, “Diversi Sebagai Perlindungan Hukum Terhadap Hak Asasi Anak
dalam Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia” Jurnal Komunikasi Hukum, Vol. 1No. 1
Pebruari 2015, hlm. 10-11.
D. Daftar Pustaka

Literatur
Marlina, 2009, Peradilan Pidana Anak di Indonesia : Pengembangan Konsep
Diversi dan Restorative Justice., Refika Aditama, Bandung;
Nashriana, 2011, Perlindungan Hukum Pidana bagi Anak di Indonesia, PT.
RajaGrafindo Persada, Jakarta;
Waluyo, Bambang, 2012, Viktimologi perlindungan korban dan saksi, Sinar
Grafika, Jakarta;
Zebua, Rahmaeni, 2014, Analisis Diversi dan Restorative justice dalam
Undang Undang No 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak,
Universitas Sumatera Utara;
Jurnal
Harefa ,Beniharmoni, “Diversi Sebagai Perlindungan Hukum Terhadap Hak
Asasi Anak dalam Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia” Jurnal
Komunikasi Hukum, Vol. 1No. 1 Pebruari 2015;
Yudaningsih, Lilik Purwastuti, “Penanganan Perkara Anak Melalui Restoratif
Justice”, Jurnal Ilmu Hukum, 2014;

Anda mungkin juga menyukai