UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS HUKUM PURWOKERTO 2020 A. PERKEMBANGAN DAN PEMBANGUNAN HUKUM DI INDONESIA PADA MASA PASCA KEMERDEKAAN
Pasca kemerdekaan Indonesia mencoba membangun hukum Indonesia
dengan mencoba lepas dari hukum kolonial. Dapat dilihat perkembangan disetiap masanya :
1. Perkembangan Tata Hukum Di Indonesia Pada Masa Revolusi Fisik
(1945-1950)
Perkembangan hukum di Indonesia pada tahun 1945-1950 mengalami
sedikit komplikasi ketika kekuasaan Jepang runtuh yang kemudian berimbas kepada klaim Hindia Belanda sebagai satu-satunya penguasa politik yang sah. Kekuasaan Republik Indonesia tidaklah diakui, kecuali kemudian diakui secara terbatas sebagai kekuasaan de facto. Pada Tahun 1946 Belanda kembali mencoba merebut wilayah Indonesia. Berdasarkan hal tesebut terjadi perang kembali, Pasca-perang tersebut masyarajat Indonesia dimulai dari tahun 1948 menamakan dirinya Indonesia, hukum lama diteruskan berlakunya, tanpa perlu membuat aturan aturan peralihan apapun, dan produk perundang-undangan pemerintah militer Jepang tidak lagi berlaku. Produk-produk perundang-undangan baru yang dihasilkan dan diundangkan, sebagian berupa peraturan-peraturan lokal yang dibuat oleh negara-negara semi-independen yang dibuat dibawah kekuasaan sentral Hindia Belanda. Pada tanggal 27 Desember 1949, ditemukan solusi atas masalah persengketaan mengenai perebutan kedaulatan di Indonesia. Melalui Konferensi Meja Bundar (KMB) di Belanda, lahirlah sebuah republik federal yakni Republik Indonesia Serikat dimana Indonesia menjadi negara semi- independen di bawah kekuasaan Hindia Belanda. Namun pada tanggal 17 Agustus 1950, satuan satuan kenegaraan seperti Negara Sumatera Timur dan beberapa satuan negara bergabung menjadi sebuah negara republik kesatuan. Pada saat itu sumber pembuatan hukum perundang-undangan yang utama di Indonesia adalah RIS. Apa yang telah pernah dihasilkan oleh Republik yang satu ini telah diteruskan dan dinyatakan tetap berlaku sebagai hukum Indonesia (pasal 192 konstitusi RIS 1949). Hukum ini pun diteruskan berlakunya pada tahun-tahun berikutnya (pasal 142 UUDS) dan memberikan garis-garis besar yang nyata mengenai haluan strategik perkembangan hukum di Indonesia, baik yang berkenaan dengan substansi hukumnya maupun yang berkenaan dengan susunan badan-badan peradilannya.
2. Perkembangan Hukum Di Indonesia Pasca Revolusi Fisik Pada
Zaman Pemerintahan Presiden Soekarno (1950-1966)
Perkembangan yang terjadi dalam periode ini dapat dibedakan menjadi
2 subperiode, yaitu subperiode 1950-1959 yang berlangsung di bawah arahan UUDS dan subperiode 1956-1966 yang berlangsung di bawah arahan UUD 1945 (yang diberlakukan kembali berdasarkan Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959). Pembangunan Hukum pada Sub Periode 1950-1959 Periode 1950-1959 ini perlemen menghadapi masalah yang berat yang mana orang belum dapat menegaskan apakah di Indonesia diputuskan pluralisme atau unifikasi maupun hukum adat atau hukum Belanda. Pada saat itu juga kepentingan utamanya adalah revolusi bangsa guna pemuasan kebutuhan Indonesia untuk memperoleh kemajuan ekonomi dan pertumbuhan kesejahteraan sosial yang cepat, hukum adat dilihat sebagai kekuatan yang menghambat laju pertumbuhan ekonomi dan kemajuan masyarakat. Akan tetapi, citra dan kebanggaan nasional juga penting maka tak pelak hukum adat dilihat memantulkan kepribadian bangsa sebagai modal untuk mengembangkan hukum nasional yang benar-benar asli Indonesia. Disisi lain Kelompok politik Islam mempersoalkan dan bagi mereka hukum syariah Islam yang harus dikembangkan sebagai hukum nasional. Pada periode ini persoalan nasionalisasi dan unifikasi hukum materiil yang akan diterapkan oleh badan-badan pengadilan belum dapat bisa diselesaikan. Namun, pada periode ini telah baru proses nasionalisasi pengadilan, dimana kebijakan yang dianut untuk seluruh wilayah Republik, yakni peradilan yang diselenggarakan oleh negara hanya akan terdiri dari tiga susun, yakni Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, dan Mahkamah Agung, masing-masing dengan kekuasaan untuk mengadili pada tingkat pertama, banding, dan kasasi. Dengan UU nomor 90 tahun 1950 dan UU Darurat nomor 1 tahun 1951 diaturlah tindakan- tindakan untuk meneruskan unifikasi tata peradilan yang efektif untuk seluruh Indonesia.
Pembangunan Hukum pada Subperiode 1959-1966
Periode saat ini memasuki periode demokrasi parlementer di bawah arahan UUDS 1950, demokrasi terpimpin melalui Dekrit Presiden dan berlaku kembali menjadi UUD 1945. Suasana penolakan terhadap segala hal yang berbau asing terasa demikian intensnya. Melalui Keputusan Menteri Kehakiman Sahardjo pada tahun 1960, digantikannya simbol hukum Indonesia dari figur Dewi Yustisia ke Pohon Beringin yang artinya dalam bumi jawa itu pengayoman. Hampir bersamaan dengan penggantian simbol itu, MPRS bersidang dan menetapkan suatu ketetapan yg pada nomor II menegaskan bahwa setiap usaha untuk memperoleh kesatuan hukum harus memperhatikan benar-benar realitas yang ada di Indonesia, dan bahwa asas-asas yang dipakai untuk membentuk hukum nasional harus selalu bersesuaian garis-garis besar haluan negara dan harus pula didasarkan pada hukum adat. Pergantian simbol hukum tersebut tidak ada perubahan yang terlalu mendasar di antara sistem hukum Indonesia. Berdasarkan ketetapan nomor II pada periode ini membuat Produk hukum perundang-undangan yakni UU Pokok Agraria sehingga dicabutlah sebagian ketentuan hukum yang termuat dalam Buku II BW dan hak-hak tanah menurut hukum Eropa dari ketentuan Kitab itu. Undang-undang ini menyatakan bahwa hak-hak tanah yang baru didasarkan pada kaidah hukum adat bangsa Indonesia. Undang-undang ini bermaksud membuat peraturan hukum yang berlaku untuk semua golongan penduduk tanpa kecualinya. Seiring berjalannya waktu pada tahun 1961 pemerintah mengaktifkan kembali Lembaga Pembinaan Hukum Nasional (LPHN) yang telah diresmikan pada tahun 1958 yang kini berada di bawah kontrol langsung Menteri Kehakiman. Lembaga ini memiliki tugas dan fungsi untuk menjabarkan lebih lanjut asas-asas pembaharuan hukum Indonesia sesuai yang digariskan MPRS no. II tahun 1960 serta merancang hukum perundangan sesuai kepentingan bangsa. Lembaga ini berhasil menetapkan “Pokok-Pokok dan Asas-Asas Tertib Hukum Indonesia” yang menjelaskan hukum hukum nasional akan berunsurkan nilai kegotongroyongan dan pengayom bagi masyarakat. Lembaga ini mencita-citakan terwujudnya kodifikasi, unifikasi, pembakuan menuju keseragaman Menteri Kehakiman Sahardjo mengingatkan adanya Maklumat Pemerintahan bertanggal 10 Oktober 1960 (pasal 1) yang menyatakan bahwa semua hukum kolonial itu dapat dinyatakan tak berlaku lagi tanpa menunggu dahulu adanya peraturan peraturan perundangan baru yang mencabutnya. Setelah Sahardjo memberi saran, kitab Burgerlijk Wetboek dan Wetboek van Koophandel haruslah dipandang tidak lagi sebagai sumber hukum formil, melainkan yang materiil saja. Hal ini diamini oleh Ketua Mahkamah Agung Wirjono Prodjodikoro dan mengatakan Buku II BW telah dinyatakan tidak berlaku oleh hukum nasional tentang pertanahan. Kemudian Buku I BW mengenai orang dan Buku III BW mengenai kontrak seharusnya ditinjau ulang dan diganti. Hasilnya mengedarkan Surat Edaran Ketua Mahkamah Agung bertanggal 5 September 1963 kepada Ketua Pengadilan Negeri di Indonesia yang menegaskan niat dan kebijakan untuk menghentikan berlakunya kitab undang-undang hukum perdata sebagai hukum positif. Namun, hakim dibuat gelisah karena diwajibkan menemukan hukum dari sumber lain dan menciptakan temuan baru yang anti kolonial. Kegelisahan juga dirasakan oleh pengacara yang sulit dalam memperkirakan temuan hakim yang akan digunakan untuk mengadili suatu perkara dan dikhawatirkan hakim akan menjadi subjektif dan semena-mena. Di mata akademisi, Surat Edaran ini dianggap sebagai langkah ngawur yang tak mengindahkan tata krama karena tidak menghormati asas kepastian hukum dan merusak ajaran Stuffenban yang dikemukakan Kelsen tentang tertib hirarki perundang-undangan. 3. Perkembangan Hukum Di Indonesia Sepanjang Masa Pemerintahan Orde Baru (1966-1990) Pada tahun 1966 terjadi perubahan besar dalam kekuasaan pemerintahan di Indonesia. Terdapat perubahan kebijakan dasar pemerintah menjadi kebijakan melaksanakan Undang-undang Dasar secara murni dan konsekuen dan melaksanakan pembangunan. Pancasila dijadikan landasan idiil, sementara UUD menjadi landasan konstitusional dalam setiap kegiatan. Timbul permasalahn yang mendesak untuk diselesaikan yakni mengenai kemiskinan dan ekonomi. Menghasilkan Indikator keberhasilan perjuangan bangsa dalam pembangunan ekonomi, dengan bersikap low profile dalam politik internasional. Oleh karena itu Pemerintah menutamakan kebijakan menahan laju inflasi, infrastruktur, investasi, ekspor, swasembada pangan, dan kebutuhan sandang-pangan-papan. Perusahaan asing yang diambil, kemudian dikembalikan di tangan pemiliknya. UU Penanaman Modal Asing dibuat dan diundangkan untuk menarik investasi dari luar. Kabinet Pembangunan 1968 menjadi titik awal perubahan. Peran partai politik dan masyarakat sipil berkurang, sementara peran militer (dwifungsi ABRI) menjadi dominan. Hal ini diperlukan untuk menciptakan stabilitas nasional agar para teknokrat dapat leluasa membangun ekonomi. Pemerintah berhak menunjuk dan mengangkat anggota DPR dan MPR tanpa militer, dipengaruhi kekuasaan eksekutif yang dikontrol militer. Peran hukum berubah menjadi bagian dari sarana pembangunan. Pernyataan “Indonesia adalah negara berdasarkan atas hukum” digaungkan, sehingga muncul dua sisi: sebagai tool of social engineering dan sarana melindungi HAM. Perkembangan hukum nasional Orde Baru diupayakan untuk memulihkan kewibawaan hukum dan menentang setiap bentuk usaha untuk memperhamba hukum kepada kepentingan dan tujuan politik. Tap MPRS No. XX (5 Juli 1966) mengatur Sumber Tertib Hukum RI dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan Republik Indonesia yang dimaksudkan untuk melaksanakan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Ditetapkan pula bahwa Pancasila, Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, Dekrit 5 Juli 1959, UUD Proklamasi, dan Surat Perintah 11 Maret 1966 adalah sumber dari segala sumber hukum. Hal ini berarti setiap peraturan perundangan Indonesia harus berdasar dan bersumber dengan tegas pada peraturan perundangan yang berlaku yang lebih tinggi tingkatnya. Rencana Pembangunan Lima Tahun 1969 mengakui pentingnya peran hukum dalam pelaksanaan pembangunan nasional. Ini karena tanpa pembangunan di bidang hukum, maka pembangunan di bidang ekonomi menjadi sia-sia. Naskah ini merujuk pada Penjelasan UUD 1945 yang menegaskan rule of law yang terjamin, yang mencakup (1) HAM dilindungi; (2) peradilan harus bebas dan tidak memihak; dan (3) asas legalitas dipegang teguh dalam menjalankan hukum formil dan hukum materiil. Untuk itu, dibuatlah Undang-undang Pokok nomor 14 tahun 1970 tentang Kekuasaan Kehakiman. Pada era Orde Baru diperlukan ketentuan ketentuan yang membatasi kekuasaan eksekutif. Ini karena di masa Orde Lama, kekuasaan Presiden amatlah eksesif, baik secara jabatan maupun intervensi hukum yang berlebihan. Untuk menjadikan hukum pada era Orde Baru menjadi Hukum Pembangunan, ide-ide untuk tidak meneruskan hukum kolonial Barat mulai ditinggalkan, seperti yang dulunya kerap dikemukakan. Para hakim di pengadilan mulai merujuk keputusan hukumnya kembali pada pasal-pasal di Burgerlijk Wetboek. Di lapangan, sering terjadi legal gaps dan permasalahan yang sulit dijabarkan dan diimplementasikan lewat cita-cita rule of law. Bahkan, hukum sering dijadikan hanya sebagai sarana dan harus berkhidmat pada tujuan pembangunan itu sendiri, hingga merasionalisasikan kebijakan pemerintah khususnya eksekutif. Hukum Undang-Undang dalam Fungsinya sebagai Sarana untuk Merekayasa Masyarakat Pada pembangunan orde ini pembangunan ini hukum undang undang diperlukan untuk merekayasa ulang tatanan kehidupan dan dengan demkian juga harus berkhidmat kepada tujuan tujuan pembangunan itu sendiri. Dalam fungsinya sebagai tool of social enggenering cara pendekatan ini untuk merelevansikan permasalahan dan fungsi hukum dengan permasalahan makro, yang tak hanya terbatas pada persoalan normatif dan litigatif. Mochtar Kusumaatmadja mengajak para ahli hukum untuk mempertimbangkan digunakannya pendekatan pendekatan sosiologik untuk sosial-ekonomi, yang dinamakan sociological jurisprudence atau legal realism. Menekankan konsep Roscoe Pound, dimana law as a tool of social engineering, Mochtar berargumentasi bahwa pendayagunaan hukum sebagai sarana merekayasa masyarakat menurut skenario kebijakan pemerintah diperlukan oleh negara- negara berkembang. Mochtar tidak begitu percaya bahwa budaya, tradisi, dan hukum asli pribumi harus dilestarikan seperti pada hukum kolonial. Karena, seperti kata Raymond Kennedy, kebijakan anti-acculturation itu tidak menguntungkan. Hukum nasional harusnya tidak tergesa-gesa dibangun dan diputuskan; baik itu meneruskan hukum kolonial saja atau memgembangkan hukum adat sebagai hukum nasional. Perlu dilakukan penelitian dimana bagian hukum yang bisa dikembangkan, yakni kontrak, badan usaha, dan tata niaga; dan bagian yang dibiarkan saja, seperti masalah spiritual dan budaya. Pemikiran Mochtar memang bukan satu-satunya, namun sangat penting dan berpengaruh di era Orde Baru. Idenya mengenai kodifikasi dan unifikasi terbatas secara selektif pada hukum yang tak hendak menjamah ranah kehidupan budaya dan spiritual rakyat menjadi bagian dari program kerja Badan Pembinaan Hukum Nasional bertahun-tahun. Hukum saat itu difungsikan hanya untuk merekayasa kehidupan ekonomi saja, tidak sampai pada seluruh aspek masyarakat, sesuai keinginan pemerintah Orde Baru. Dengan cepat infrastruktur pembangunan nasional disiapkan ketika ide hukum seperti ini diberlakukan. Kelembagaan hukum untuk kepentingan pembangunan ekonomi memberi jaminan kepastian yang penting. Hal ini menjadi hukum nasional modern yang menetapkan sendiri secara khusus arah perkembangan itu. Ide hukum yang mementingkan regulasi ekonomi tersirat dalam pidato Presiden Soeharto dalam Lawasia 1973, dimana setiap pembangunan mengharuskan terjadinya serangkaian perubahan, bahkan yang fundamental. Hukum berfungsi menjadi pemuka jalan dan kesempatan menuju pembaharuan yang dikehendaki. Ide kodifikasi dan unifikasi terbatas selektif ditulis secara eksplisit dan resmi dalam naskah Rencana Pembangunan Lima Tahun II 1974, Bab 27 paragraf IV butir 1. Dijelaskan bahwa prioritas diberikan untuk meninjau kembali dan merancang peraturan perundang-undangan agar segala peraturan itu searah dan bersesuaian dengan pembangunan sosial-ekonomi, khususnya di bidang pertanian, industri, pertambangan, komunikasi, dan perdagangan. Ini nantinya bertujuan ke arah pembinaan infrastruktur yang digunakan untuk mengintensifkan usaha memupuk kesatuan dan persatuan bangsa. Perintisan upaya memfungsionalkan hukum untuk kepentingan pembangunan ekonomi yang mengakomodasi kepentingan industrialisasi masyarakat modern memperoleh dukungan dan penolakan. Bagi pendukung paham hukum sebagai sarana perekayasa sosial, pernyataan ini didukung, khususnya bagi pengajar senior di Universitas Padjajaran. Sementara bagi yang menolak, hal ini dikatakan sebagai upaya yang terlalu menebal dari tradisi. Ada dua pihak yang tidak menyetujui; ada yang percaya akan kontinuitas hukum, dan ada yang percaya bahwa hukum harus berakar dari hukum rakyat atau adat. Kontinuitas Perkembangan Hukum: Dari Hukum Kolonial ke Hukum Kolonial yang Dinasionalkan Pendayagunaan hukum untuk kepentingan pembangunan Indonesia berdasar atas hukum yang telah diakui dan berkembang di kalangan bisnis internasional. Kalangan ahli hukum praktek, yang selama ini mempelajari hukum menurut tradisi hukum Eropa, mengembangkan hukum nasional Indonesia dari modal dasar hukum kolonial yang telah dikaji ulang berdasarkan Grundnorm Pancasila. Hukum kolonial bagaimanapun juga adalah hukum yang secara formal masih berlaku dan sebagian besar kaidah- kaidahnya merupakan hukum positif Indonesia berdasarkan berbagai ketentuan peralihan. Perkembangan hukum di Indonesia selama ini, sejak masa kolonial sampai masa-masa sesudahnya, adalah perkembangan yang bergerak kearah dan/atau menurut pola-pola hukum Eropa, dalam hal ini hukum Belanda. Memutus alur perkembangan ini, berarti memutus hubungan tradisional yang pernah berkembang dalam sejarah antara Indonesia dan Belanda. Hal ini juga berarti memaksa Indonesia mengembangkan hukum nasionalnya dengan beranjak dari awal lagi dan menyia-nyiakan apa yang hingga kini telah tercapai. Adopsi unsur-unsur hukum dari hukum adat, hukum Amerika atau hukum Inggris mungkin terjadi, tetapi konfigurasi atau pola sistematiknya yang Eropa tidak mungkin diubah sama sekali. Sementara di Perguruan Tinggi, ada penganut yang menyebut hukum yang mengatur tentang tata niaga dengan nama hukum dagang. Penyebutan ini berbeda dengan penganut paham ‘hukum sebagai sarana perekayasa sosial yang menyebut hukum sejenis itu’ dengan sebutan hukum ekonomi. Hal ini terkesan bahwa hukum dagang yang mengikuti tradisi Belanda masih dikualifikasikan sebagai hukum privat (perdata), sedangkan hukum ekonomi sudah banyak berunsurkan ihwal tindakan-tindakan publik-administratif pemerintah. Maka hukum dagang lebih tepat sebagai bagian dari pengatur mekanisme ekonomi pasar bebas, sedangkan hukum ekonomi lebih tepat sebagai bagian dari pengatur mekanisme ekonomi berencana. Hukum Nasional Sebagai Hasil Pengembangan Hukum Adat Bermula saat pencaharian model hukum nasional yang paling memenuhi panggilan zaman untuk menjadi dasar-dasar utama pembangunan hukum nasional. Namun, hukum adat sudah kehilangan pencetus ide yang mampu bersaing. Tokoh-tokoh seperti Djojodigoeno dari Universitas Gajah Mada saat itu sudah pensiun dan tak mungkin terlampau aktif karena alasan politik dan kesehatan. Serta Koesnoe dari Universitas Airlangga yang saat itu sibuk dengan tugasnya sebagai guru besar (tamu) di Belanda. Sebenarnya, dasar pemikiran diangkatnya hukum adat menjadi hukum nasional bertolak dari paham Savignian, bahwa hukum itu tak mungkin dibuat dan dibebankan dari atas melainkan akan terus berkembang seiring berkembangnya masyarakat. Hal tersebut membuat para penganjur hukum adat kesulitan saat harus mengunifikasikan hukum adat yang berbeda-beda. Hingga saat pembangunan di segala bidang harus segera dikerjakan, para pendukung hukum adat baru mampu mengingatkan bahwa hukum nasional itu harus berdasarkan hukum adat dan muncul dengan pernyataan “Hukum adat merupakan salah satu sumber yang penting untuk memperoleh bahan-bahan bagi pembangunan hukum nasional yang menuju pada unifikasi hukum.” Menurut Soerojo, salah satu ahli hukum adat, ada empat asas hukum adat yang dikatakan mempunyai nilai universal, yaitu asas gotong royong, asas fungsi sosial manusia dan miliknya, asas persetujuan sebagai dasar kekuasaan umum, dan asas perwakilan dan permusyawaratan dalam sistem pemerintahan. Ada lima pranata hukum adat yang juga dijumpai dalam hukum internasional, yaitu pranata maro ( dalam hukum internasional disebut production sharing contract), pranata panjer (dalam hukum internasional disebut commitment fee atau down payment), pranata kebiasaan (dalam hukum internasional disebut innocent passage), pranata dol oyodan atas tanah (dalam hukum internasional disebut voyage charter atau time charter), pranata jonggolan (dalam hukum internasional disebut lien atau mortgage). Serta dua contoh konsep dalam hukum adat yang bertujuan dengan fungsi yang sama dalam hukum internasional, yaitu konsep tanah wewengkon atau tanah ulayat yang dalam hukum internasional dikenal dengan konsep teritorialitas atau daerah yurisdiksi dan konsep hak meminta perlindungan ke bawah kekuasaan seseorang penguasa agar terhindar dari sanksi adat yang dalam hukum internasional disebut hak asilum atau hak meminta suaka. Berdasarkan konsep tersebut, para pendukung hukum adat tak dapat bertindak selain mengandalkan kemampuan para hakim untuk mengembangkan kedayagunaan hukum dalam masyarakat. Namun, hal tersebut tidak dapat diwujudkan karena pada masa Orde Baru hakim tidak bisa mandiri dan bebas sebab adanya doktrin yang dianut dalam badan-badan pengadilan saat itu yang mengonsepkan hakim sebatas sebagai pengucap bunyi hukum. Hal ini juga didukung dengan adanya peran pendukung paham nasional sebagai hukum perekayasa dan adanya partisipasi politik militer yang kuat sehingga peran hukum adat dalam percaturan pembangunan hukum nasional semakin terdesak. Sementara itu, dalam kerangka kerja operasionalisasi hukum sebagai sarana perekayasa sosial, komitmen fungsi legislatif yang diharapkan sebagai pengefektif bekerjanya hukum nasional cenderung menampilkan dominasi pihak eksekutif. Hal ini karena pertama, ada dan selalu didayagunakannya wewenang konstitusional badan-badan eksekutif untuk terlibat ke dalam perancangan dan pembuatan undang-undang, yang dalam praktek membuat eksekutif lebih banyak berprakarsa. Kontrol eksekutif bisa dilihat dari adanya Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden, Instruksi Presiden, dll. Meskipun peraturan tersebut hanya bertaraf peraturan pelaksanaan, dalam prakteknya menimbulkan efek perubahan pola kehidupan juga. Kedua, adanya kenyataan dalam perkembangan politik yang terjadi pada zaman Orde Baru yaitu kekuatan politik yang berkuasa di jajaran eksekutif juga mampu mendominasi DPR dan MPR. Hal ini dapat dibuktikan yaitu pada tahun 1973 anggota dewan adalah anggota yang diangkat tanpa melalui pemilu tapi dengan ditunjuk oleh eksekutif yang berasal dari fraksi ABRI. Dalam perkembangannya hingga akhir abad ke-20, hukum di Indonesia bisa benar-benar menjadi government social control dan berfungsi sebagai tool of social engineering. Sehingga selama masa pemerintahan Orde Baru, hukum perundang-undangan menjadi kekuatan kontrol di tangan pemerintah yang terlegitimasi dan tidak selamanya merefleksikan konsep keadilan, asas-asas moral, dan wawasan kearifan yang sebenarnya seperti yang ada dalam kesadaran hukum masyarakat awam. kebijakan kolonial abad 20, ialah kebijakan yang lebih berseluk beluk dengan permasalahan ketatanegaraan dan/atau ketatapemerintahan, khususnya soal sentralisasi dan desentralisasi
Sumber Bacaan : Soetandyo Wignjosoebroto, Dari Hukum Kolonial dek Hukum Nasional (Dinamika Sosial – Politik dalam Perkembangan Hukum di Indonesia), 1994, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta