Anda di halaman 1dari 12

RANGKUMAN BUKU “DARI HUKUM KOLONIAL KE HUKUM

NASIONAL”

Magister Ilmu Hukum


Mata Kuliah Sejarah Hukum
Disusun Oleh:

DESLAZ RANNU HANDICHA


E2A019057

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS HUKUM
PURWOKERTO
2020
A. PERKEMBANGAN DAN PEMBANGUNAN HUKUM DI INDONESIA
PADA MASA PASCA KEMERDEKAAN

Pasca kemerdekaan Indonesia mencoba membangun hukum Indonesia


dengan mencoba lepas dari hukum kolonial. Dapat dilihat perkembangan disetiap
masanya :

1. Perkembangan Tata Hukum Di Indonesia Pada Masa Revolusi Fisik


(1945-1950)

Perkembangan hukum di Indonesia pada tahun 1945-1950 mengalami


sedikit komplikasi ketika kekuasaan Jepang runtuh yang kemudian berimbas
kepada klaim Hindia Belanda sebagai satu-satunya penguasa politik yang sah.
Kekuasaan Republik Indonesia tidaklah diakui, kecuali kemudian diakui
secara terbatas sebagai kekuasaan de facto.
Pada Tahun 1946 Belanda kembali mencoba merebut wilayah
Indonesia. Berdasarkan hal tesebut terjadi perang kembali, Pasca-perang
tersebut masyarajat Indonesia dimulai dari tahun 1948 menamakan dirinya
Indonesia, hukum lama diteruskan berlakunya, tanpa perlu membuat aturan
aturan peralihan apapun, dan produk perundang-undangan pemerintah militer
Jepang tidak lagi berlaku. Produk-produk perundang-undangan baru yang
dihasilkan dan diundangkan, sebagian berupa peraturan-peraturan lokal yang
dibuat oleh negara-negara semi-independen yang dibuat dibawah kekuasaan
sentral Hindia Belanda.
Pada tanggal 27 Desember 1949, ditemukan solusi atas masalah
persengketaan mengenai perebutan kedaulatan di Indonesia. Melalui
Konferensi Meja Bundar (KMB) di Belanda, lahirlah sebuah republik federal
yakni Republik Indonesia Serikat dimana Indonesia menjadi negara semi-
independen di bawah kekuasaan Hindia Belanda. Namun pada tanggal 17
Agustus 1950, satuan satuan kenegaraan seperti Negara Sumatera Timur dan
beberapa satuan negara bergabung menjadi sebuah negara republik kesatuan.
Pada saat itu sumber pembuatan hukum perundang-undangan yang
utama di Indonesia adalah RIS. Apa yang telah pernah dihasilkan oleh
Republik yang satu ini telah diteruskan dan dinyatakan tetap berlaku sebagai
hukum Indonesia (pasal 192 konstitusi RIS 1949). Hukum ini pun diteruskan
berlakunya pada tahun-tahun berikutnya (pasal 142 UUDS) dan memberikan
garis-garis besar yang nyata mengenai haluan strategik perkembangan hukum
di Indonesia, baik yang berkenaan dengan substansi hukumnya maupun yang
berkenaan dengan susunan badan-badan peradilannya.

2. Perkembangan Hukum Di Indonesia Pasca Revolusi Fisik Pada


Zaman Pemerintahan Presiden Soekarno (1950-1966)

Perkembangan yang terjadi dalam periode ini dapat dibedakan menjadi


2 subperiode, yaitu subperiode 1950-1959 yang berlangsung di bawah arahan
UUDS dan subperiode 1956-1966 yang berlangsung di bawah arahan UUD
1945 (yang diberlakukan kembali berdasarkan Dekrit Presiden tanggal 5 Juli
1959).
Pembangunan Hukum pada Sub Periode 1950-1959
Periode 1950-1959 ini perlemen menghadapi masalah yang berat yang
mana orang belum dapat menegaskan apakah di Indonesia diputuskan
pluralisme atau unifikasi maupun hukum adat atau hukum Belanda. Pada saat
itu juga kepentingan utamanya adalah revolusi bangsa guna pemuasan
kebutuhan Indonesia untuk memperoleh kemajuan ekonomi dan pertumbuhan
kesejahteraan sosial yang cepat, hukum adat dilihat sebagai kekuatan yang
menghambat laju pertumbuhan ekonomi dan kemajuan masyarakat. Akan
tetapi, citra dan kebanggaan nasional juga penting maka tak pelak hukum adat
dilihat memantulkan kepribadian bangsa sebagai modal untuk
mengembangkan hukum nasional yang benar-benar asli Indonesia. Disisi lain
Kelompok politik Islam mempersoalkan dan bagi mereka hukum syariah
Islam yang harus dikembangkan sebagai hukum nasional. Pada periode ini
persoalan nasionalisasi dan unifikasi hukum materiil yang akan diterapkan
oleh badan-badan pengadilan belum dapat bisa diselesaikan. Namun, pada
periode ini telah baru proses nasionalisasi pengadilan, dimana kebijakan yang
dianut untuk seluruh wilayah Republik, yakni peradilan yang diselenggarakan
oleh negara hanya akan terdiri dari tiga susun, yakni Pengadilan Negeri,
Pengadilan Tinggi, dan Mahkamah Agung, masing-masing dengan kekuasaan
untuk mengadili pada tingkat pertama, banding, dan kasasi. Dengan UU
nomor 90 tahun 1950 dan UU Darurat nomor 1 tahun 1951 diaturlah tindakan-
tindakan untuk meneruskan unifikasi tata peradilan yang efektif untuk seluruh
Indonesia.

Pembangunan Hukum pada Subperiode 1959-1966


Periode saat ini memasuki periode demokrasi parlementer di bawah
arahan UUDS 1950, demokrasi terpimpin melalui Dekrit Presiden dan berlaku
kembali menjadi UUD 1945. Suasana penolakan terhadap segala hal yang
berbau asing terasa demikian intensnya. Melalui Keputusan Menteri
Kehakiman Sahardjo pada tahun 1960, digantikannya simbol hukum Indonesia
dari figur Dewi Yustisia ke Pohon Beringin yang artinya dalam bumi jawa itu
pengayoman. Hampir bersamaan dengan penggantian simbol itu, MPRS
bersidang dan menetapkan suatu ketetapan yg pada nomor II menegaskan
bahwa setiap usaha untuk memperoleh kesatuan hukum harus memperhatikan
benar-benar realitas yang ada di Indonesia, dan bahwa asas-asas yang dipakai
untuk membentuk hukum nasional harus selalu bersesuaian garis-garis besar
haluan negara dan harus pula didasarkan pada hukum adat. Pergantian simbol
hukum tersebut tidak ada perubahan yang terlalu mendasar di antara sistem
hukum Indonesia.
Berdasarkan ketetapan nomor II pada periode ini membuat Produk
hukum perundang-undangan yakni UU Pokok Agraria sehingga dicabutlah
sebagian ketentuan hukum yang termuat dalam Buku II BW dan hak-hak
tanah menurut hukum Eropa dari ketentuan Kitab itu. Undang-undang ini
menyatakan bahwa hak-hak tanah yang baru didasarkan pada kaidah hukum
adat bangsa Indonesia. Undang-undang ini bermaksud membuat peraturan
hukum yang berlaku untuk semua golongan penduduk tanpa kecualinya.
Seiring berjalannya waktu pada tahun 1961 pemerintah mengaktifkan
kembali Lembaga Pembinaan Hukum Nasional (LPHN) yang telah diresmikan
pada tahun 1958 yang kini berada di bawah kontrol langsung Menteri
Kehakiman. Lembaga ini memiliki tugas dan fungsi untuk menjabarkan lebih
lanjut asas-asas pembaharuan hukum Indonesia sesuai yang digariskan MPRS
no. II tahun 1960 serta merancang hukum perundangan sesuai kepentingan
bangsa. Lembaga ini berhasil menetapkan “Pokok-Pokok dan Asas-Asas
Tertib Hukum Indonesia” yang menjelaskan hukum hukum nasional akan
berunsurkan nilai kegotongroyongan dan pengayom bagi masyarakat.
Lembaga ini mencita-citakan terwujudnya kodifikasi, unifikasi, pembakuan
menuju keseragaman
Menteri Kehakiman Sahardjo mengingatkan adanya Maklumat
Pemerintahan bertanggal 10 Oktober 1960 (pasal 1) yang menyatakan bahwa
semua hukum kolonial itu dapat dinyatakan tak berlaku lagi tanpa menunggu
dahulu adanya peraturan peraturan perundangan baru yang mencabutnya.
Setelah Sahardjo memberi saran, kitab Burgerlijk Wetboek dan Wetboek van
Koophandel haruslah dipandang tidak lagi sebagai sumber hukum formil,
melainkan yang materiil saja. Hal ini diamini oleh Ketua Mahkamah Agung
Wirjono Prodjodikoro dan mengatakan Buku II BW telah dinyatakan tidak
berlaku oleh hukum nasional tentang pertanahan. Kemudian Buku I BW
mengenai orang dan Buku III BW mengenai kontrak seharusnya ditinjau ulang
dan diganti.
Hasilnya mengedarkan Surat Edaran Ketua Mahkamah Agung
bertanggal 5 September 1963 kepada Ketua Pengadilan Negeri di Indonesia
yang menegaskan niat dan kebijakan untuk menghentikan berlakunya kitab
undang-undang hukum perdata sebagai hukum positif. Namun, hakim dibuat
gelisah karena diwajibkan menemukan hukum dari sumber lain dan
menciptakan temuan baru yang anti kolonial. Kegelisahan juga dirasakan oleh
pengacara yang sulit dalam memperkirakan temuan hakim yang akan
digunakan untuk mengadili suatu perkara dan dikhawatirkan hakim akan
menjadi subjektif dan semena-mena. Di mata akademisi, Surat Edaran ini
dianggap sebagai langkah ngawur yang tak mengindahkan tata krama karena
tidak menghormati asas kepastian hukum dan merusak ajaran Stuffenban yang
dikemukakan Kelsen tentang tertib hirarki perundang-undangan.
3. Perkembangan Hukum Di Indonesia Sepanjang Masa Pemerintahan
Orde Baru (1966-1990)
Pada tahun 1966 terjadi perubahan besar dalam kekuasaan
pemerintahan di Indonesia. Terdapat perubahan kebijakan dasar pemerintah
menjadi kebijakan melaksanakan Undang-undang Dasar secara murni dan
konsekuen dan melaksanakan pembangunan. Pancasila dijadikan landasan
idiil, sementara UUD menjadi landasan konstitusional dalam setiap kegiatan.
Timbul permasalahn yang mendesak untuk diselesaikan yakni
mengenai kemiskinan dan ekonomi. Menghasilkan Indikator keberhasilan
perjuangan bangsa dalam pembangunan ekonomi, dengan bersikap low profile
dalam politik internasional. Oleh karena itu Pemerintah menutamakan
kebijakan menahan laju inflasi, infrastruktur, investasi, ekspor, swasembada
pangan, dan kebutuhan sandang-pangan-papan. Perusahaan asing yang
diambil, kemudian dikembalikan di tangan pemiliknya. UU Penanaman Modal
Asing dibuat dan diundangkan untuk menarik investasi dari luar.
Kabinet Pembangunan 1968 menjadi titik awal perubahan. Peran partai
politik dan masyarakat sipil berkurang, sementara peran militer (dwifungsi
ABRI) menjadi dominan. Hal ini diperlukan untuk menciptakan stabilitas
nasional agar para teknokrat dapat leluasa membangun ekonomi. Pemerintah
berhak menunjuk dan mengangkat anggota DPR dan MPR tanpa militer,
dipengaruhi kekuasaan eksekutif yang dikontrol militer. Peran hukum berubah
menjadi bagian dari sarana pembangunan. Pernyataan “Indonesia adalah
negara berdasarkan atas hukum” digaungkan, sehingga muncul dua sisi:
sebagai tool of social engineering dan sarana melindungi HAM.
Perkembangan hukum nasional Orde Baru diupayakan untuk
memulihkan kewibawaan hukum dan menentang setiap bentuk usaha untuk
memperhamba hukum kepada kepentingan dan tujuan politik. Tap MPRS No.
XX (5 Juli 1966) mengatur Sumber Tertib Hukum RI dan Tata Urutan
Peraturan Perundang-undangan Republik Indonesia yang dimaksudkan untuk
melaksanakan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Ditetapkan pula
bahwa Pancasila, Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, Dekrit 5 Juli
1959, UUD Proklamasi, dan Surat Perintah 11 Maret 1966 adalah sumber dari
segala sumber hukum. Hal ini berarti setiap peraturan perundangan Indonesia
harus berdasar dan bersumber dengan tegas pada peraturan perundangan yang
berlaku yang lebih tinggi tingkatnya.
Rencana Pembangunan Lima Tahun 1969 mengakui pentingnya peran
hukum dalam pelaksanaan pembangunan nasional. Ini karena tanpa
pembangunan di bidang hukum, maka pembangunan di bidang ekonomi
menjadi sia-sia. Naskah ini merujuk pada Penjelasan UUD 1945 yang
menegaskan rule of law yang terjamin, yang mencakup (1) HAM dilindungi;
(2) peradilan harus bebas dan tidak memihak; dan (3) asas legalitas dipegang
teguh dalam menjalankan hukum formil dan hukum materiil. Untuk itu,
dibuatlah Undang-undang Pokok nomor 14 tahun 1970 tentang Kekuasaan
Kehakiman.
Pada era Orde Baru diperlukan ketentuan ketentuan yang membatasi
kekuasaan eksekutif. Ini karena di masa Orde Lama, kekuasaan Presiden
amatlah eksesif, baik secara jabatan maupun intervensi hukum yang
berlebihan. Untuk menjadikan hukum pada era Orde Baru menjadi Hukum
Pembangunan, ide-ide untuk tidak meneruskan hukum kolonial Barat mulai
ditinggalkan, seperti yang dulunya kerap dikemukakan. Para hakim di
pengadilan mulai merujuk keputusan hukumnya kembali pada pasal-pasal di
Burgerlijk Wetboek. Di lapangan, sering terjadi legal gaps dan permasalahan
yang sulit dijabarkan dan diimplementasikan lewat cita-cita rule of law.
Bahkan, hukum sering dijadikan hanya sebagai sarana dan harus berkhidmat
pada tujuan pembangunan itu sendiri, hingga merasionalisasikan kebijakan
pemerintah khususnya eksekutif.
Hukum Undang-Undang dalam Fungsinya sebagai Sarana untuk
Merekayasa Masyarakat
Pada pembangunan orde ini pembangunan ini hukum undang undang
diperlukan untuk merekayasa ulang tatanan kehidupan dan dengan demkian
juga harus berkhidmat kepada tujuan tujuan pembangunan itu sendiri. Dalam
fungsinya sebagai tool of social enggenering cara pendekatan ini untuk
merelevansikan permasalahan dan fungsi hukum dengan permasalahan makro,
yang tak hanya terbatas pada persoalan normatif dan litigatif. Mochtar
Kusumaatmadja mengajak para ahli hukum untuk mempertimbangkan
digunakannya pendekatan pendekatan sosiologik untuk sosial-ekonomi, yang
dinamakan sociological jurisprudence atau legal realism. Menekankan konsep
Roscoe Pound, dimana law as a tool of social engineering, Mochtar
berargumentasi bahwa pendayagunaan hukum sebagai sarana merekayasa
masyarakat menurut skenario kebijakan pemerintah diperlukan oleh negara-
negara berkembang. Mochtar tidak begitu percaya bahwa budaya, tradisi, dan
hukum asli pribumi harus dilestarikan seperti pada hukum kolonial. Karena,
seperti kata Raymond Kennedy, kebijakan anti-acculturation itu tidak
menguntungkan. Hukum nasional harusnya tidak tergesa-gesa dibangun dan
diputuskan; baik itu meneruskan hukum kolonial saja atau memgembangkan
hukum adat sebagai hukum nasional. Perlu dilakukan penelitian dimana
bagian hukum yang bisa dikembangkan, yakni kontrak, badan usaha, dan tata
niaga; dan bagian yang dibiarkan saja, seperti masalah spiritual dan budaya.
Pemikiran Mochtar memang bukan satu-satunya, namun sangat
penting dan berpengaruh di era Orde Baru. Idenya mengenai kodifikasi dan
unifikasi terbatas secara selektif pada hukum yang tak hendak menjamah
ranah kehidupan budaya dan spiritual rakyat menjadi bagian dari program
kerja Badan Pembinaan Hukum Nasional bertahun-tahun. Hukum saat itu
difungsikan hanya untuk merekayasa kehidupan ekonomi saja, tidak sampai
pada seluruh aspek masyarakat, sesuai keinginan pemerintah Orde Baru.
Dengan cepat infrastruktur pembangunan nasional disiapkan ketika ide hukum
seperti ini diberlakukan.
Kelembagaan hukum untuk kepentingan pembangunan ekonomi
memberi jaminan kepastian yang penting. Hal ini menjadi hukum nasional
modern yang menetapkan sendiri secara khusus arah perkembangan itu. Ide
hukum yang mementingkan regulasi ekonomi tersirat dalam pidato Presiden
Soeharto dalam Lawasia 1973, dimana setiap pembangunan mengharuskan
terjadinya serangkaian perubahan, bahkan yang fundamental. Hukum
berfungsi menjadi pemuka jalan dan kesempatan menuju pembaharuan yang
dikehendaki.
Ide kodifikasi dan unifikasi terbatas selektif ditulis secara eksplisit dan
resmi dalam naskah Rencana Pembangunan Lima Tahun II 1974, Bab 27
paragraf IV butir 1. Dijelaskan bahwa prioritas diberikan untuk meninjau
kembali dan merancang peraturan perundang-undangan agar segala peraturan
itu searah dan bersesuaian dengan pembangunan sosial-ekonomi, khususnya di
bidang pertanian, industri, pertambangan, komunikasi, dan perdagangan. Ini
nantinya bertujuan ke arah pembinaan infrastruktur yang digunakan untuk
mengintensifkan usaha memupuk kesatuan dan persatuan bangsa.
Perintisan upaya memfungsionalkan hukum untuk kepentingan
pembangunan ekonomi yang mengakomodasi kepentingan industrialisasi
masyarakat modern memperoleh dukungan dan penolakan. Bagi pendukung
paham hukum sebagai sarana perekayasa sosial, pernyataan ini didukung,
khususnya bagi pengajar senior di Universitas Padjajaran. Sementara bagi
yang menolak, hal ini dikatakan sebagai upaya yang terlalu menebal dari
tradisi. Ada dua pihak yang tidak menyetujui; ada yang percaya akan
kontinuitas hukum, dan ada yang percaya bahwa hukum harus berakar dari
hukum rakyat atau adat.
Kontinuitas Perkembangan Hukum: Dari Hukum Kolonial ke Hukum
Kolonial yang Dinasionalkan
Pendayagunaan hukum untuk kepentingan pembangunan Indonesia
berdasar atas hukum yang telah diakui dan berkembang di kalangan bisnis
internasional. Kalangan ahli hukum praktek, yang selama ini mempelajari
hukum menurut tradisi hukum Eropa, mengembangkan hukum nasional
Indonesia dari modal dasar hukum kolonial yang telah dikaji ulang
berdasarkan Grundnorm Pancasila. Hukum kolonial bagaimanapun juga
adalah hukum yang secara formal masih berlaku dan sebagian besar kaidah-
kaidahnya merupakan hukum positif Indonesia berdasarkan berbagai
ketentuan peralihan. Perkembangan hukum di Indonesia selama ini, sejak
masa kolonial sampai masa-masa sesudahnya, adalah perkembangan yang
bergerak kearah dan/atau menurut pola-pola hukum Eropa, dalam hal ini
hukum Belanda.
Memutus alur perkembangan ini, berarti memutus hubungan
tradisional yang pernah berkembang dalam sejarah antara Indonesia dan
Belanda. Hal ini juga berarti memaksa Indonesia mengembangkan hukum
nasionalnya dengan beranjak dari awal lagi dan menyia-nyiakan apa yang
hingga kini telah tercapai. Adopsi unsur-unsur hukum dari hukum adat,
hukum Amerika atau hukum Inggris mungkin terjadi, tetapi konfigurasi atau
pola sistematiknya yang Eropa tidak mungkin diubah sama sekali. Sementara
di Perguruan Tinggi, ada penganut yang menyebut hukum yang mengatur
tentang tata niaga dengan nama hukum dagang. Penyebutan ini berbeda
dengan penganut paham ‘hukum sebagai sarana perekayasa sosial yang
menyebut hukum sejenis itu’ dengan sebutan hukum ekonomi. Hal ini
terkesan bahwa hukum dagang yang mengikuti tradisi Belanda masih
dikualifikasikan sebagai hukum privat (perdata), sedangkan hukum ekonomi
sudah banyak berunsurkan ihwal tindakan-tindakan publik-administratif
pemerintah. Maka hukum dagang lebih tepat sebagai bagian dari pengatur
mekanisme ekonomi pasar bebas, sedangkan hukum ekonomi lebih tepat
sebagai bagian dari pengatur mekanisme ekonomi berencana.
Hukum Nasional Sebagai Hasil Pengembangan Hukum Adat
Bermula saat pencaharian model hukum nasional yang paling
memenuhi panggilan zaman untuk menjadi dasar-dasar utama pembangunan
hukum nasional. Namun, hukum adat sudah kehilangan pencetus ide yang
mampu bersaing. Tokoh-tokoh seperti Djojodigoeno dari Universitas Gajah
Mada saat itu sudah pensiun dan tak mungkin terlampau aktif karena alasan
politik dan kesehatan. Serta Koesnoe dari Universitas Airlangga yang saat itu
sibuk dengan tugasnya sebagai guru besar (tamu) di Belanda. Sebenarnya,
dasar pemikiran diangkatnya hukum adat menjadi hukum nasional bertolak
dari paham Savignian, bahwa hukum itu tak mungkin dibuat dan dibebankan
dari atas melainkan akan terus berkembang seiring berkembangnya
masyarakat. Hal tersebut membuat para penganjur hukum adat kesulitan saat
harus mengunifikasikan hukum adat yang berbeda-beda. Hingga saat
pembangunan di segala bidang harus segera dikerjakan, para pendukung
hukum adat baru mampu mengingatkan bahwa hukum nasional itu harus
berdasarkan hukum adat dan muncul dengan pernyataan “Hukum adat
merupakan salah satu sumber yang penting untuk memperoleh bahan-bahan
bagi pembangunan hukum nasional yang menuju pada unifikasi hukum.”
Menurut Soerojo, salah satu ahli hukum adat, ada empat asas hukum
adat yang dikatakan mempunyai nilai universal, yaitu asas gotong royong,
asas fungsi sosial manusia dan miliknya, asas persetujuan sebagai dasar
kekuasaan umum, dan asas perwakilan dan permusyawaratan dalam sistem
pemerintahan. Ada lima pranata hukum adat yang juga dijumpai dalam hukum
internasional, yaitu pranata maro ( dalam hukum internasional disebut
production sharing contract), pranata panjer (dalam hukum internasional
disebut commitment fee atau down payment), pranata kebiasaan (dalam
hukum internasional disebut innocent passage), pranata dol oyodan atas tanah
(dalam hukum internasional disebut voyage charter atau time charter), pranata
jonggolan (dalam hukum internasional disebut lien atau mortgage). Serta dua
contoh konsep dalam hukum adat yang bertujuan dengan fungsi yang sama
dalam hukum internasional, yaitu konsep tanah wewengkon atau tanah ulayat
yang dalam hukum internasional dikenal dengan konsep teritorialitas atau
daerah yurisdiksi dan konsep hak meminta perlindungan ke bawah kekuasaan
seseorang penguasa agar terhindar dari sanksi adat yang dalam hukum
internasional disebut hak asilum atau hak meminta suaka.
Berdasarkan konsep tersebut, para pendukung hukum adat tak dapat
bertindak selain mengandalkan kemampuan para hakim untuk
mengembangkan kedayagunaan hukum dalam masyarakat. Namun, hal
tersebut tidak dapat diwujudkan karena pada masa Orde Baru hakim tidak bisa
mandiri dan bebas sebab adanya doktrin yang dianut dalam badan-badan
pengadilan saat itu yang mengonsepkan hakim sebatas sebagai pengucap
bunyi hukum. Hal ini juga didukung dengan adanya peran pendukung paham
nasional sebagai hukum perekayasa dan adanya partisipasi politik militer yang
kuat sehingga peran hukum adat dalam percaturan pembangunan hukum
nasional semakin terdesak. Sementara itu, dalam kerangka kerja
operasionalisasi hukum sebagai sarana perekayasa sosial, komitmen fungsi
legislatif yang diharapkan sebagai pengefektif bekerjanya hukum nasional
cenderung menampilkan dominasi pihak eksekutif. Hal ini karena pertama,
ada dan selalu didayagunakannya wewenang konstitusional badan-badan
eksekutif untuk terlibat ke dalam perancangan dan pembuatan undang-undang,
yang dalam praktek membuat eksekutif lebih banyak berprakarsa.
Kontrol eksekutif bisa dilihat dari adanya Peraturan Pemerintah,
Keputusan Presiden, Instruksi Presiden, dll. Meskipun peraturan tersebut
hanya bertaraf peraturan pelaksanaan, dalam prakteknya menimbulkan efek
perubahan pola kehidupan juga. Kedua, adanya kenyataan dalam
perkembangan politik yang terjadi pada zaman Orde Baru yaitu kekuatan
politik yang berkuasa di jajaran eksekutif juga mampu mendominasi DPR dan
MPR. Hal ini dapat dibuktikan yaitu pada tahun 1973 anggota dewan adalah
anggota yang diangkat tanpa melalui pemilu tapi dengan ditunjuk oleh
eksekutif yang berasal dari fraksi ABRI. Dalam perkembangannya hingga
akhir abad ke-20, hukum di Indonesia bisa benar-benar menjadi government
social control dan berfungsi sebagai tool of social engineering. Sehingga
selama masa pemerintahan Orde Baru, hukum perundang-undangan menjadi
kekuatan kontrol di tangan pemerintah yang terlegitimasi dan tidak selamanya
merefleksikan konsep keadilan, asas-asas moral, dan wawasan kearifan yang
sebenarnya seperti yang ada dalam kesadaran hukum masyarakat awam.
kebijakan kolonial abad 20, ialah kebijakan yang lebih berseluk beluk dengan
permasalahan ketatanegaraan dan/atau ketatapemerintahan, khususnya soal
sentralisasi dan desentralisasi

Sumber Bacaan :
Soetandyo Wignjosoebroto, Dari Hukum Kolonial dek Hukum Nasional
(Dinamika Sosial – Politik dalam Perkembangan Hukum di Indonesia), 1994, PT.
Raja Grafindo Persada, Jakarta

Anda mungkin juga menyukai