Anda di halaman 1dari 11

Fungsi Serta Wewenang DPD (Dewan Perwakilan Daerah)

REP | 21 April 2012 | 10:07 Dibaca: 1284 Komentar: 0 Nihil Sejalan dengan tuntutan demokrasi guna memenuhi rasa keadilan masyarakat di daerah, memperluas serta meningkatkan semangat dan kapasitas partisipasi daerah dalam kehidupan nasional; serta untuk memperkuat Negara Kesatuan Republik Indonesia, maka dalam rangka pembaharuan konstitusi, MPR RI membentuk sebuah lembaga perwakilan baru, yakni Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI). Pembentukan DPD RI ini dilakukan melalui perubahan ketiga Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) pada bulan November 2001. Berkembang kuat pandangan tentang perlu adanya lembaga yang dapat mewakili kepentingan-kepentingan daerah, serta untuk menjaga keseimbangan antar daerah dan antara pusat dengan daerah, secara adil dan serasi. Gagasan dasar pembentukan DPD RI adalah keinginan untuk lebih mengakomodasi aspirasi daerah dan sekaligus memberi peran yang lebih besar kepada daerah dalam proses pengambilan keputusan politik untuk hal-hal terutama yang berkaitan langsung dengan kepentingan daerah. Keinginan tersebut berangkat dari indikasi yang nyata bahwa pengambilan keputusan yang bersifat sentralistik pada masa lalu ternyata telah mengakibatkan ketimpangan dan rasa ketidakadilan, dan diantaranya juga memberi indikasi ancaman keutuhan wilayah negara dan persatuan nasional. Keberadaan unsur Utusan Daerah dalam keanggotaan MPR RI selama ini (sebelum dilakukan perubahan terhadap Undang-Undang Dasar 1945) dianggap tidak memadai untuk menjawab tantangan-tantangan tersebut. Berkembangnya usulan 128 anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) untuk mendesak MPR segera melakukan inisiatif amandemen UUD 1945 hasil amandemen ke empat, khususnya menyangkut pasal 22 C dan 22 D mengenai eksistensi DPD menarik untuk dikaji lebih mendalam. Beberapa anggota DPR mereaksi usulan amandemen UUD yang digagas DPD akan menciptakan gelombang tuntutan perubahan pada pasal-pasal lain. Ketua DPD Ginanjar Kartasasmita bertemu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk membicara -kan gagasan

amandemen UUD terkait status konstitusional DPD yang dinilai lemah. Substansi amandemen tersebut terkait dengan realitas politik pasca-amandemen UUD 1945 yang menempatkan DPD pada posisi yang dianggap lemah dibandingkan dengan posisi politik DPR. Oleh anggota DPD, pasal tentang DPD kurang memberi kewenangan politik DPD untuk terlibat dalam proses legislasi dengan DPR dalam konteks pembahasan dan pengesahan RUU. Anggota DPD merasa termarginali -sasi politik dalam berhadapan dengan DPR, karena kewenangan politik DPD terbatas pada persoalanan otonomi daerah, pemekaran daerah, SDA daerah dan hubungan anara pusat dengan daerah. Begitu pula dalam UU No. 22 tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD, khususnya pasal 42, 43, dan 44, kewenangan DPD dinilai para anggotanya cenderung terbatas sebagai lembaga konsultatif yang hanya memberikan masukan serta pertimbangan kepada DPR dalam pengusulan RUU. Dengan kata lain, eksistensi politik DPD secara konstitusional setara dengan DPR sebagai lembaga perwakilan politik yang dipilih secara langsung oleh rakyat dalam proses pemilu, namun secara politik riil, proses -proses legislasi lebih didominasi DPR. Keadaan demikian memunculkan wacana dari kalangan anggota DPD untuk mengajukan usulan kepada MPR agar melakukan amandemen pasal 22 UUD 1945, guna memperkuat peran politik DPD sebagai perwakilan politik yang memperjuangkan permasa lahan daerah. Permasalahan yang akan dibahas dalam paper ini adalah bagaimana fungsi dan wewenang DPD di tinjau dari politik hukum ? A. Pengertian Politik Hukum Banyak definisi-definisi politk hukum yang dirumuskan oleh beberapa ahli yang selama ini cukup concern mengamati perkembangan disiplin ilmu ini, salah satunya adalah Teuku Mohammad Radhie dalam sebuah tulisannya berjudul Pembaharuan dan Politik Hukum dalam Rangka Pembangunan Nasional mendefinisikan politik hukum sebagai suatu pernyataan kehendak penguasa negara mengenai hukum yang berlaku di wilayahnya, dan mengenai arah perkembangan hukum yang di bangun.

Pernyataanmengenai hukum yang berlaku di wilayahnya mengandung pengertian hukum yang berlaku pada saat ini (ius constitutum) dan mengenai arah perkembangan hukum yang dibangun mengandung pengertian hukum yang berlaku di masa datang (ius constituendum). Dengan demikian, berbeda dengan definisi politik hukum yang dikemukakan Padmo Wahjono, yang lebih mengarah pada hukum yang bersifat ius constituendum, definis politik hukum yang dirumuskan oleh Radhie tampaknya memiliki dua wajah yang saling berkaitan dan berkelanjutan, yaitu ius constituendum dan ius constitutum. Dalam buku Politik Hukum tulisan Moh. Mahfud MD disebutkan bahwa definisi atau pengertian politik hukum juga bervariasi. Namun dengan menyakini adanya persamaan substansi antar berbagai pengertian yang ada, studi ini mngemabil pengertian bahwa politik hukum adalah legal policy yang akan atau telah dilaksanakan secara nasional oleh Pemerintah Indonesia yang meliputi: pertama, pembangunan hukum yang berintikan permbuatan dan pembaruan terhadap materi-materi hukum agar dapat sesuai dengan kebutuhan; kedua, pelaksanaan ketentuan hukum yang telah ada termasuk penegasan fungsi lembaga dan pembinaan para penegak hukum. Dari pengertian tersebut terlihat politik hukum mencakup proses pembuatan dan pelaksanaan hukum yang dapat menunjukkan sifat dan ke arah mana hukum akan dibangun dan ditegakkan. Lebih lanjut Bagir Manan, mengemukakan bahwa politik hukum terdiri dari politik hukum yang bersifat tetap (permanen) dan politik hukum yang bersifat temporer. Yang tetap berkaitan denga sikap hukum yang akan selalu menjadi dasar kebijaksanaan pembentukan dan penegakan hukum. Bagi Indonesia, politik hukum yang tetap antara lain: (1) Ada satu sistem hukum Indonesia;(2) Sistem hukum nasional yang dibangun berdasarkan dan untuk memperkokoh sendi-sendi Pancasila dan UUD 1945;(3) Tidak ada hukum yang memberikan hak istimewa pada warga negara tertentu berdasarkan suku, ras atau agama. Kalaupun ada perbedaan semata-mata didasarkan pada kepentingan nasional dalam rangka kesatuan dan persatuan bangsa;(4) Pembentukan hukum memperhatikan kemajemukan masyarakat;(5) Hukum adat dan hukum yang tidak tertulis lainnya diakui sebagai subsistem hukum nasional sepanjang nyata-nyata hidup dan dipertahankan dalam pergaulan masyarakat;(6) Pembentukan hukum sepenuhnya didasarkan pada partisipasi masyarakat;(7) umum(keadilan sosial bagi seluruh rakyat) terwujudnya masyarakat Indonesia yang demokratis dan mandiri serta terlaksananya negara berdasarkan hukum dan berkonstitusi.

Politik Hukum temporer adalah kebijaksanaan yang ditetapkan dari waktu ke waktu sesuai dengan kebutuhan. Termasuk dalam kategori ini hal-hal seperti penentuan prioritas pembentukan peraturan perundang-undangan kolonial, pembaharuan peraturan perundang-undangan yang menunjang pembangunan nasional dan sebagainya. B. Dewan Perwakilan Daerah Dewan Perwakilan Daerah (DPD) lahir pada tanggal 1 Oktober 2004, ketika 128 anggota DPD yang terpilih untuk pertama kalinya dilantik dan diambil sumpahnya. Pada awal pembentukannya, masih banyak tantangan yang dihadapi oleh DPD. Tantangan tersebut mulai dari wewenangnya yang dianggap jauh dari memadai untuk menjadi kamar kedua yang efektif dalam sebuah parlemen bikameral, sampai dengan persoalan kelembagaannya yang juga jauh dari memadai. Tantangan-tantangan tersebut timbul terutama karena tidak banyak dukungan politik yang diberikan kepada lembaga baru ini. Bila dibandingkan dari segi kelahiran lembaganya, DPD memang jauh lebih muda dari DPR, karena DPR lahir sejak tahun 1918 (dulu bernama Volksraad). Namun, apabila dilihat dari segi gagasannya, keberadaan lembaga seperti DPD, yang mewakili daerah di parlemen nasional, sesungguhnya sudah terpikirkan dan dapat dilacak sejak sebelum masa kemerdekaan. Dicatat oleh Indra J. Piliang dalam sebuah buku yang diterbitkan DPD, bahwa pemikiran ini lahir pertama kali dalam konferensi GAPI pada 31 Januari 1941 (Kelompok DPD di MPR RI, 2006: 15). Pada masa pemerintahan Soeharto, utusan daerah sebagai anggota MPR hanya bekerja sekali dalam lima tahun, untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden, serta menetapkan GBHN. Tidak ada hal lainnya yang dapat dilakukan oleh utusan daerah selama lima tahun masa jabatannya. Akibatnya, efektivitasnya sebagai wakil daerah dalam pengambilan keputusan tingkat nasional dapat dipertanyakan. Bila dibandingkan dengan konsep parlemen dua kamar (bikameral) yang menjadi rujukan perwakilan daerah, keberadaan utusan daerah ini berada di luar konteks. Perkembangan pemikiran yang signifikan kemudian muncul pada pembahasan amandemen UUD 1945 pada 1999-2002. Perubahan pertama UUD 1945 disahkan pada Sidang Umum MPR tahun 1999 yang berlangsung pada tanggal 14-21 Oktober 1999 dan perubahan kedua dilakukan

pada Sidang Tahunan MPR yang berlangsung pada tanggal 7-18 Agustus 2000. Setelah perubahan kedua tersebut, MPR masih memandang perlu untuk melanjutkan ke perubahan ketiga UUD 1945. Dalam perubahan ketiga inilah muncul gagasan untuk membentuk parlemen yang menganut sistem bikameral, yang kemudian melahirkan secara legal formal DPD yang ada sekarang. Fungsi dan struktur organisasi parlemen dalam negara hukum yang menganut prinsip-prinsip kedaulatan rakyat atau negara hukum demokratis kehadiran lembaga perwakilan (parlemen) merupakan sebuah keniscayaan. Adapun fungsi pokok dari lembaga perwakilan(parlemen) itu pertama-tama adalah pengawasan terhadap eksekutif, baru setelah itu fungsi-fungsi legeslatif(fungsi pembuatan undang-undang). Bentuk-bentuk pengawasan oleh parlemen itu macam-macam. Apabila kita meneliti konstitusi berbagai negara di dunia kita dapat menemukan beberapa bentuk pengawasan yang dapat dilakukan oleh lembaga parlemen terhadapa kinerja pemerintah. Diantara bentuk-bentuk yang penting dalam rangka pengawasan adalah (1) Mengangkat dan memberhentikan kabinet;(2) hak menentukan dan mengawasi anggaran dan keuangan;(3) melindungi hak milik dan kekayaan warga masyarakat;(4) menyelenggarakan forum perdebatan parlemen;(5) melakukan dengar pendapat;(6) hak interpelasi dan pertanyaan;(7) melaksanakan fungsi pemerintah secara bersamaan; dan (8) melaksanakan fungsi semi-legislatif dan semi-judisial. Sementara itu dalam perbincangan teoritis mengenai struktur organisasi parlemen biasanya dikenal tiga macam sistem, yaitu sistem unikaremal, sistem bikameral dan trikameral. 1. Parlemen Unikameral (satu kamar) Penjelasan sederhananya, dalam sistem perwakilan satu kamar (unikameral), hanya ada satu dewan yang menjalankan kekuasaan legislatif secara penuh. Sementara dalam sistem bikameral, ada dua kamar dalam parlemen yang bekerja berdampingan. Biasanya, kamar pertama merepresentasikan jumlah penduduk, seperti yang dapat dilihat pada DPR. Sedangkan kamar kedua merepresentasikan konstituensi yang berbeda. Pada model Westminster (Inggris), yang diwakilkan adalah orang-orang terpilih (bangsawan atau golongan tertentu) dan pada model

Amerika Serikat, yang diwakilkan adalah wilayah di dalam negara itu. Dua model inilah yang dikenal luas, tentu dengan berbagai variannya. 2. Parlemen Bikameral(dua kamar) Sistem dua kamar adalah praktik pemerintahan yang menggunakan dua kamar legislatif atau parlemen. Jadi, parlemen dua kamar (bikameral) adalah parlemen atau lembaga legistlatif yang terdiri atas dua kamar. Di Britania Raya sistem dua kamar ini dipraktikkan dengan menggunakan Majelis Tinggi (House of Lords) dan Majelis Rendah (House of Commons). Di Amerika Serikat sistem ini diterapkan melalui kehadiran Senat dan Dewan Perwakilan Rakyat. Indonesia juga menggunakan sistem yang agak mendekati sistem dua kamar melalui kehadiran Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang terdiri dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD), meskipun dalam praktiknya sistem ini tidak sempurna karena masih terbatasnya peran DPD dalam sistem politik di Indonesia. 3. Parlemen Trikameral (tiga kamar) Meskipun tidak banyak dikenal, selain kedua sistem yang lazim dikenal di atas sesungguhnya ada pula sistem ketiga yang terdiri atas tiga kamar. Dalam sistem terakhir ini, struktur organisasi parlemen nasional terdiri atau tiga badan yang masing-masing mempunyai fungsi sendiri-sendiri. Misalnya dalam Konstitusi Republik Cina Taiwan tahun 1946 dikenal ada 3(tiga) badan palemen, yaitu majeis rakyat (National Assembly), Dewan Perwakilan dan Majelis Pengawasan, Sifat trikameral dari lembaga perwakilan di Cina,Taiwan saat ini telah mengalami perubahan dengan diperkenalkannya Konstitusi 1994 sehingga menjadi parlemen bikameral. C. Analisa Dewan Perwakilan Daerah (DPD) adalah lebaga legislatif baru yang dibentuk setelah amandeman UUD 194. Dasar pembentukannya adalah perubahan Ketiga UUD 1945, yaitu dalam Pasal 22C, 22D dan 22E UUD 1945. Dalam perubahan keempat UUD 1945, posisi DPD diatur lebih lanjut dalam konteksnya sebagai bagian dari MPR. Dalam Pasal 2 ayat (1) disebutkan bahwa Majelis Permusyawarahan Rakyta terdiri atas anggota DPR dan anggota DPD yang dipilih melalui pemilihan umum dan diatur lebih lanjut dengan undang-undang. Berkaitan

dengan keanggotaan DPD,UUD 1945 menyatakan sebagai berikut (1) DPD dipilh melalui Pemilihan Umum; (2) Mewakili setipa propinsi untuk jumlah yang sama unutk setiap propinsi;(3) Merupakan Calon Perseorangan;(4) Jumlah Anggota DPD tidak lebih dari sepertiga jumlah anggota DPR. Sementara Kewenangan DPD, UUD 1945 Menyebutkan antara lain : (1) Dapat mengajukan ke DPR RUU yang terkait dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemerkaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya dan pertimbangan keuangan pusat dan daerah;(2) Ikut membahas RUU yang terkait dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya dan pertimbangan keuangan pusat dan daerah;(3) Memberi pertimbangan kepada DPR atas RUU PABN dan RUU yang terkait dengan pajak, pendidikan dan agama;(4) Melakukan pengawasan atas pelaksanaan UU yang terkait otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya dan pertimbangan keuangan pusat dan daerah serta menyampaikan hasil pengawasan kepada DPR;(5) Menerima hasil pemeriksaan keuangan dari BPK;(6) Memberikan pertimbangan kepada DRP mengenai pemilihan anggota BPK. Komposisi dan kewenangan DPD yang diatur dalam UUD 1945 tersebut menimbulkan kritik. Kritik berkaitan dengan jumlah anggota DPD yang tidak boleh lebih dari sepertiga anggota DPR, sementara ptutusan MPR diambil dengan suara terbanyak, sehingga DPD tidak bisa menjadi penyeimbang dari peran-peran DPR. Selain itu terkait dengan kewenangan yang dimiliki oleh DPD. Kewenangan DPD tidak cukup signifikan dilihat dari gagasan pembentukannya dan DPD memamg didesain lebih rendah dari DPR bahkan diketahui sebagai embel-embel DPR. Kritik berikutnya yang bisa dikemukakan adalah terkait dengan rumusan dalam Pasal 7C UUD 1945 hanya memberi jaminan bahwa hanya DPR yang tidak bisa dibubarkan oleh Presiden sehingga DPD bisa dikatakan Presiden berhak membubarkannya, karena tidak ada jaminan yang tegas dan eksplisit dalam UUD dan ketentuan dalam Pasal 11 ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945 menyebutkan bahwa hany pertimbangan DPR yang diperlukan oleh presiden ketika menyatakan

perang, damai dan dalam membuat perjanjian internasional. Dan ada kiranya pasal-pasal lain dalam UUD 1945 dan perubahannya bersifat diskriminatif terhadap keberadaan DPD. Untuk mengatasi timpangnya fungsi dan wewenang DPD terhadap DPR, maka kedepannya perlu dibangun kedudukan yang setara antara DPR dan DPD sehingga MPR benar-benar menjadi lembaga perwakilan dengan sistem dua kamar murni/bikameral simetris (strong bicaeralism). Salah satu keuntungan dalam sistem bikameral dalah kemampuan anggota untuk: (1) secara resmi mewakili beragam pemilih(misalnya negara bagian, wilayah, etnik, atau golongan); (2) memfasilitasi penyusunan perundang-undangan; (3) mencegah disahkannya perundangundangan yang cacat atau ceroboh; dan (4) melakukan pengawasan atau pengendalian yang lebih baik atas lembaga eksekutif. Dalam pandangan Jimly Asshiddiqie, dengan adanya dua majelis di suatu negara dapat menguntungkan karena dapat menjamin semua produk legislatif dan tindakan-tindakan pengawasan dapat diperiksa dua kali (double check). Keunggulan sistem double check ini semakin terasa apabila Majelis Tinggi yang memeriksa dan merevisi suatu rancangan itu memiliki keanggotaan yang komposisinya berbeda dari Majelis Rendah. Bahkan menurut Soewoto Mulyosudarmo, sistem bikameral bukan hanya merujuk adanya dua dewan dalam suatu negara, tetapi dilihat pula dari proses pembuatan undang-undang yang melalui dua dewan atau kamar, yaitu melalui Majelis Tinggi dan Majelis Rendah. Bahkan, dari segi produktifitas, kemungkinan sistem dua kamar (yang efektif) akan lebih produktif karena segala tugas dan wewenang dapat dilakukan oleh kedua kamar tanpa menunggu atau tergantung pada salah satu kamar saja. Melihat pasal-pasal dalam UUD 1945 yang mengatur DPD, lembaga ini tidak memiliki wewenang membentuk undang-undang bersama-sama dengan DPR dan Presiden. Wewenang DPD terbatas dan sempit, karena DPD hanya untuk memberi pertimbangan. Seolah-olah DPD hanya berposisi sebagai Dewan Pertimbangan DPR dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Begitu juga ketentuan yang sama dijabarkan lebih lanjut dalam undang-undang turunannya, yakni Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD (UU No 22/2003). Karenanya harus diakui perubahan UUD 1945 amat membatasi kewenangan DPD, begitu juga dalam UU No 22/2003. Baik dalam Pasal 22D Ayat

(1) dan Ayat (2) UUD 1945 maupun Pasal 42 dan 43 UU No 22/2003 menunjukkan betapa terbatasnya wewenang DPD. DPD hanya ikut membahas RUU tertentu yang berkaitan dengan otonomi daerah dan dapat memberi pertimbangan kepada DPR saat DPR melaksanakan kewenangannya. Dari ketentuan tersebut jelas terlihat bahwa sistem bikameral yang dituangkan dalam UUD 1945 hasil amandemen tidak sesuai dengan prinsip bikameral yang umum dalam teori-teori ketatanegaraan, yaitu fungsi parlemen yang dijalankan oleh dua kamar secara berimbang (balance) dalam proses legislasi maupun pengawasan. Salah satu cara yang bisa ditempuh untuk membangun kesetaraan DPD dan DPR dalam bingkai bikameral simetris adalah dengan melakukan perubahan terhadap UUD 1945 pasca amandemen terhadap sisi kelemahan yang cukup mendasar. Komisi Konstitusi (KK) telah melakukan kajian sekaligus usulan laternatif terhadap berbagai ketentuan yang dianggap bermasalah dalam UUD 1945 hasil perubahan pertama, kedua, ketiga dan keempat. Terkait dengan fungsi dan wewenang DPD, KK mengusulkan perubahan terhadap Pasal 22D ayat (2) menjadi bunyi Dewan Perwakilan Daerah dapat menyetujui atau menolak rancangan undang-undang berkaitan dengan; hubungan pusat dan daerah; pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah; pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta pertimbangan keuangan pusat dan daerah yang telah disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat; serta memberikan pertimbangan kepada Dewan Perwakilan Rakyat atas rancangan undang-undang anggaran pendapat dan belanja negara dan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan dan agama. Berbagai hasil kajian dan usulan perubahan terhadap pasal-pasal dalam UUD 1945 pasca peubahan yang dilakukan KK tidak pernah disentuh apalagi dibahas secara mendalam oleh MPR, karena MPR berpendapat KK telah melaksanakan tugas dengan melapaui tugas yang diberikan sebagaimana tercantum dalam keputusan MPR Nomor 4/MPR/2003. Hasil kerja KK tersebut oleh BP MPR disebut kurang mencerminkan prinsip-prinsip sebuah kajian ilmiah akademis. Penolakan hasil kerja KK oleh MPR merupakan bukti bahwa didalam tubuh MPR masih bercokolnya kepentingan kelompok-kelompok domain yang lebih mementingkan kepentingankepentingan jangka pendek dan membenarkan kesimpulan yang dikemukakan oleh Koalisi untuk konstitusi baru bahwa MPR merupakan bagian harus diselesaikan dalam proses amandeman UUD 1945.

Kesimpulan 1. Terdapat ketimpang fungsi dan wewenang DPD terhadap DPR. 2. Guna membangun prinsip checks and balances dalam lembaga perwakilan rakyat Indonesia harus ada perubahan radikal terhadap fungsi legislasi yaitu dengan tidak lagi membatasi DPD seperti saat ini. Kalau ini dilakukan, gagasan menciptakan kamar kedua di lembaga perwakilan rakyat guna mengakomodasi kepentingan daerah dalam menciptakan keadilan distribusi kekuasaan dapat diwujudkan sehingga mampu mengartikulasikan kepentingan politik daerah pada setiap proses pembuatan keputusan di tingkat nasional terutama dalam membuat undang-undang yang berkaitan langsung dengan kepentingan daerah. 3. Sistem bikameral yang dituangkan dalam UUD 1945 hasil amandemen tidak sesuai dengan prinsip bikameral yang umum dalam teori-teori ketatanegaraan. 4. Secara konstitusional, untuk membangun kesetaraan DPD dan DPR serta memperkuat fungsi legislasi DPD dalam bingkai bikameral simetris hanya dapat dilakukan dengan melanjutkan perubahan terhadap UUD 1945 terhadap sisi kelemahan yang cukup mendasar. DAFTAR PSUTAKA A. Buku Imam Syakuni dan A. Ahsin Thohari, Dasar-dasar Politik Hukum, Cetakan Ketujuh .Jakarta:PT Raja Grafindo Persada, 2011. Moh. Mahfud. MD, Politik Hukum Di Indonesia, Cetakan Ketiga.Jakarta:PT.Pustaka LP3ES Indonesia,2006. Winardi, Dinamika Politik Hukum Pasca Perubahan Konstitusi dan Implementasi Otonomi Daerah,Cetakan Pertama.Malang:Setara Press,2008. B. Peraturan Perundang-undangan Undang-Undang Dasar 1945. C. Data Elektronik http://dpd.go.id/profil/latar-belakang/

http://journal.unair.ac.id/filerPDF/Problematika%20Dewan%20Perwakilan%20Daerah.pdf http://id.wikipedia.org/wiki/Sistem_dua_kamar http://parlemen.net/site/ldetails.php?docid=dpd http://www.saldiisra.web.id/index.php?option=com_content&view=article&id=99:menujubikameral-efektif-dalam-rangka-memperkuat-fungsi-legislasi dpd&catid=18:jurnalnasional&Itemid=5

http://dpd.go.id/profil/latar-belakang/

Ibid. http://journal.unair.ac.id/filerPDF/Problematika%20Dewan%20Perwakilan%20Daerah.p df Ibid. Imam Syakuni dan A. Ahsin Thohari, Dasar-dasar Politik Hukum, Ceatakan Ketujuh (Jakarta:PT Raja Grafindo Persada, 2011), hlm. 27. Ibid. Moh. Mahfud. MD, Politik Hukum Di Indonesia, Cetakan Ketiga(Jakarta:PT.Pustaka LP3ES Indonesia,2006), hlm. 9. Winardi, Dinamika Politik Hukum Pasca Perubahan Konstitusi dan Implementasi Otonomi Daerah,Cetakan Pertama(Malang:Setara Press,2008), hlm. 7-8. Ibid.
http://parlemen.net/site/ldetails.php?docid=dpd Ibid.

Ibid. Ibid. Winardi, Dinam

Anda mungkin juga menyukai