Anda di halaman 1dari 76

Muhaimin Faisal

DPD
BIS
A
1
APA
Daftar Isi
BAB I Pendahuluan ……………………………..
BAB II DPD Dalam Struktur Parlemen Indonesia …

A. Konstruksi Pembentukan DPD ………………

B. Marwah DPD Dalam Sistem Ketatanegaraan


Indonesia ………………………………………………..

C. Realitas Politik DPD ………………………………….


BAB III Masa Depan DPD Dalam Sistem Tata Negara
Indonesia ………………………………………………..

A. Eksistensi DPD ……………………………………………

2
B. Wacana Penguatan Versus Pembubaran… ..

C. Sinergitas DPD Dalam Sistem Ketatanegaraan


Indonesia…………………………………………………….

BAB IV Format Baru DPD

A. Kilas Balik …………………………………………………..


B. Demokrasi Deliberatif ………………………………….
C. Format Baru 2024 ……………………………………….

D. Recall…………………………………………………………

BAB V DPD Bisa Apa ………………………………………………


A. Penyerapan Aspirasi Daerah …………….…………

B. Metode Kampanye ……………………………………..


C. Pakta Integritas ………………………………………….
D. Kuatkan atau Bubarkan ………………………………

Lampiran : Pakta Integritas

Data Pribadi

3
BAB
4

I
Pendahuluan
HIDUP LEMAS, MATI CEMAS. Mungkin ini dapat
mengilustrasikan situasi dan deretan panjang
perdebatan soal eksistensi Dewan Perwakilan
Daerah Republik Indonesia (DPD-RI) dalam struktur
parlemen dan system ketatanegaraan Indonesia,
dengan pro kontra yang terus berulang menyertai.

Sekadar setback, ketika gagasan


pembentukan DPD mewacana di publik ketika itu,
bayangan jamak orang, adalah terbentuknya
struktuD. r parlemen bikameral. Struktur parlemen
terdiri atas dua kamar yang memiliki kedudukan
dan kewenangan yang dan berimbang. Struktur
parlemen yang diidealkan adalah seperti
bikameralisme seperti di Amerika Serikat.
Tentu harapan publik tersebut dapat
dipahami mengingat dari sisi teoretis adanya

5
parlemen bikameral juga memiliki pembenaran.
Kalaupun dikaitkan dengan variabel bentuk negara
terdapat keberatan, parlemen bikameral di negara
kesatuan Indonesia, tetapi juga banyak negara yang
berbentuk negara kesatuan menganut sistem
perwakilan bikameral.
Penelitian yang dilakukan oleh IDEA hasilnya
menunjukkan bahwa dari 54 negara demokratis
yang diteliti terdapat 22 negara yang menganut
sistem perwakilan unikameral, sedangkan sebanyak
32 negara memilih sistem bikameral. Banyak juga
negara dengan bentuk negara kesatuan memilih
sistem bikameral di samping juga ada yang memilih
unikameral. Hasil penelitian juga menunjukkan
bahwa semua negara demokratis yang memiliki
wilayah luas memiliki dua majelis (bikameral)
kecuali Muzambique.
Pelemahan wewenang melalui Undang-
Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis

6
Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan
Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah dan Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan terkesan dilakukan
oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia
(DPR) dan Lembaga Kepresidenan, dalam kadar
tertentu sering muncul di ruang-ruang diskusi yang
bertema politik.
Berdasarkan 10 karakteristik model
demokrasi baik executives-party dimension dan
federal-unitary dimension yang dikemukakan oleh
Lijphart demokrasi di Indonesia adalah consensus
model. Oleh karena itu secara teoritis selayaknya
Indonesia menganut sistem parlemen bikameral,
bahkan strong bicameralism jika Indonesia adalah
negara pure consensus model democracy.

Proses perumusan DPD memang tidak


terlepas dari terjadinya tarik-menarik antara
7
berbagai gagasan. Rumusan-rumusan yang tercapai
dapat dikatakan sebagai “kompromi setengah hati”
antara bikameralisme dan unikameralisme.
Pembatasan kewenangan DPD merupakan
hasil kompromi dari beberapa pendapat, mulai dari
yang menginginkan strong bicameralism hingga
yang tidak menyetujui adanya DPD. Wewenang DPD
tersebut diatur dalam Pasal 22D ayat (1), (2), dan
(3) UUD 1945. DPD memiliki tiga fungsi tetapi
terbatas bersifat konsultatif dan subordinat
terhadap fungsi yang sama yang dimiliki DPR.
Semua fungsi yang dimiliki DPD berakhir dan
bermuara pada DPR. Adapun fungsi-fungsi DPD
dapat disebutkan sebagai berikut:
1. Fungsi Legislasi

a. Mengajukan rancangan undang-undang


kepada DPR yang berkaitan dengan
otonomi daerah, hubungan pusat dan
daerah, pembentukan dan pemekaran
8
serta penggabungan daerah, pengelolaan
sumber daya alam dan sumber daya
ekonomi lainnya, serta yang berkaitan
dengan perimbangan keuangan pusat dan
daerah.

b. Ikut membahas pada tingkat I atas


rancangan undang-undang yang
berkaitan dengan otonomi daerah,
hubungan pusat dan daerah,
pembentukan dan pemekaran serta
penggabungan daerah, pengelolaan
sumber daya alam dan sumber daya
ekonomi lainnya, serta yang berkaitan
dengan perimbangan keuangan pusat dan
daerah.
c. Memberikan pertimbangan kepada
Dewan Perwakilan Rakyat atas
rancangan undang-undang yang
berkaitan dengan anggaran pendapatan

9
dan belanja negara, pajak, pendidikan,
dan agama.
2. Fungsi Pengawasan
Pelaksanaan undang-undang mengenai
otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah,
pembentukan dan pemekaran serta
penggabungan daerah, pengelolaan sumber
daya alam dan sumber daya ekonomi
lainnya, pelaksanaan anggaran pendapatan
dan belanja negara, pajak, pendidikan, dan
agama, berdasarkan laporan yang diterima
dari BPK, aspirasi dan pengaduan
masyarakat, keterangan tertulis pemerintah,
dan temuan monitoring di lapangan. Hasil
pengawasan tersebut disampaikan kepada
Dewan Perwakilan Rakyat sebagai bahan
pertimbangan untuk ditindaklanjuti
3. Fungsi Nominasi
Memberikan pertimbangan kepada DPR

10
dalam pemilihan anggota BPK yang
dilakukan oleh DPR.

DPD merupakan cerminan lembaga negara yang


diparadigmakan sebagai bagian dari lembaga
legislatif. Landasan konstitusional kewenangan
terbatas, berimplikasi negatif terhadap kedudukan
DPD dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.
Pengebirian kewenangan melalui produk legislasi
(undang-undang), praktik ketatanegaraan
menggambarkan sifatnya yang auxiliary.

Mahkamah Konstitusi mengembalikan marwah


DPD sebagai lembaga legislatif yang bersumber dari
representasi territorial, melalui Putusan MK No.
92/PUU-X/2012, tanggal pada tanggal 5 Agustus
2014.

Sayangnya, Presiden mengesahkan Undang-


Undang Nomor 17 Tahun 2014 Tentang Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan
Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan
11
Perwakilan Rakyat Daerah. Kembali lagi DPD
dikebiri kewenangannya melalui undang-undang
tersebut.

Oleh karena itu, DPD memohonkan kepada


Mahkamah Konstitusi untuk menegaskan kembali
makna yang terkandung dalam Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD
1945) sebagai landasan kewenangan DPD melalui
Permohonan Pengujian Undang-Undang tersebut.
Mahkamah Konstitusi melalui Putusan MK Nomor
79/PUU-XII/2014 memutuskan apa yang menjadi
kewenangan DPD dalam sistem ketatanegaraan
Indonesia.

Rentetan peristiwa hukum tersebut menjadi


problematika ketatanegaraan yang senantiasa
menempatkan DPD di ruang ketidakberdayaan.
Bagaimana potensi eksistensi DPD, mulai dari
konstruksi kewenangan DPD dalam struktur
parlemen, pembangkangan putusan MK melalui

12
produk legislasi, bahkan gagasan pembubaran
versus penguatan DPD dalam sistem
ketatanegaraan Indonesia.

13
BAB DPD Dalam Struktur
II Parlemen Indonesia

A. Konstruksi Pembentukan DPD

Salah satu tujuan pembentukan DPD adalah


untuk mewakili kepentingan-kepentingan daerah,
serta untuk menjaga keseimbangan antara pusat dan
daerah. Gagasan dasar pembentukan DPD adalah
14
keinginan untuk lebih mengakomodir aspirasi
daerah dan sekaligus memberi lebih besar peran
kepada daerah dalam proses pengambilan keputusan
politik untuk hal-hal yang berkaitan langsung dengan
kepentingan daerah. Keinginan tersebut didasari
pengambilan keputusan yang bersifat sentralistik
pada masa lalu yang mengakibatkan ketimpangan
dan mencederai rasa keadilan, serta mengancam
keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia.

Sesungguhnya DPD merupakan pertemuan dari


dua gagasan, yaitu pertama, demokratisasi, seluruh
perwakilan rakyat harus dipilih melalui pemilu.
Tidak lagi melestarikan otoritarianisme dengan
mengukuhkan dukungan melalui pengisian sebagian
anggota MPR dengan cara pengangkatan. Kedua,
upaya mengakomodir kepentingan daerah dalam
kebijakan nasional dalam rangka mencegah
disintegrasi bangsa. Jadi DPD dibentuk sebagai

15
representasi kepentingan rakyat di daerah, DPD
dapat dikatakan sebagai upaya institusionalisasi
representasi teritorial keterwakilan wilayah.

B. Marwah DPD Dalam Sistem Ketatanegaraan


Indonesia

Hal mendasar yang menentukan bangunan suatu


Negara adalah konsep kedaulatan yang dianut. Benar
bahwa, konstruksi ketatanegaraan Indonesia
menempatkan kedaulatan berada di tangan rakyat.
Hal tersebut ditegaskan melalui Pasal 1 ayat (2) UUD
1945 yang menentukan bahwa “Kedaulatan berada
di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-
Undang Dasar.” Jika paham kedaulatan rakyat
(demokrasi) diadopsi dalam konstruksi bernegara,
maka setiap pengambilan keputusan kenegaraan
harus diputuskan oleh rakyat.
Pengambilan keputusan dalam penyelenggaraan
pemerintahan di banyak negara besar pada fase-fase
awal terkendala oleh jumlah dan luas wilayah,
sehingga membutuhkan biaya dan waktu yang
sedikit merepotkan. Hal ini melahirkan sistem
demokrasi perwakilan yang bertujuan agar
16
kepentingan dan kehendak warga negara tetap dapat
menjadi bahan dalam mengambil keputusan melalui
orang-orang yang mewakili mereka.
Marwah DPD dalam struktur parlemen dengan
kondisi apapun, bahkan jika suatu norma undang-
undang terkait DPD dibentuk dengan menggunakan
posisi alamiah hukum tanpa diganggu oleh
kepentingan politik manapun tetap saja akan
menghasilkan kualitas kewenangan yang lemah.

Sejak terbentuknya DPD ini, muncul pertanyaan


mengenai eksistensi DPD. DPD dianggap tidak
mempunyai kewenangan yang mengikat dalam
kegiatan bernegara. Hal tersebut dapat dikaji dalam
Pasal 22D ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UUD 1945
terkait kewenangan DPD. Hal tersebut berimplikasi
pada ungkapan bahwa DPD hanya sebagai auxiliary
terhadap fungsi DPR, padahal dasar isu
pembentukan DPD pada pembahasan amandemen
UUD 1945 adalah menjadikan DPD sebagai
penyeimbang DPR dalam lembaga legislatif.
Pelaksanaan prinsip kedaulatan rakyat dalam

17
suatu penyelenggaraan negara di Indonesia diatur
melalui Pasal 1 ayat (3) UUD NKRI 1945 menentukan
bahwa “negara Indonesia adalah negara hukum.
Dengan kata lain negara Indonesia pada dasarnya
berdiri atas prinsip kedaulatan rakyat (demokrasi)
dan prinsip negara hukum (nomokrasi). Demokrasi
dan nomokrasi seyogianya berjalan bersama dalam
penyelenggaraan Negara. Hal inilah yang kemudian
dikenal dengan istilah demokrasi konstitusional.
Demokrasi menyatakan secara tak langsung,
pemerintah yang memerintah dinyatakan melalui
mayoritas (Majority Rule). Sedangkan paham
Konstitusi menyatakan pembatasan kekuasaan dapat
menjadi kacau balau dan merusak minoritas dan
suatu Negara konstitusi tanpa demokrasi dapat
menjadi tidak bertanggung jawab atau cenderung
korup. Dengan demikian penyatuan prinsip dasar
terbesar demokrasi yang membentuk aturan
mayoritas dan konstitusi yang membatasi idealnya
berpotensi mencegah pelanggaran terhadap
minoritas.
C. Realitas Politik DPD
Proporsi untuk keanggotaan DPD tiap provinsi
18
jumlahnya sama yaitu empat orang tiap, tanpa
mempertimbangkan jumlah penduduk dan luas
wilayah. Jumlah seluruh anggota DPD adalah 128
anggota.
Dalam ranah konstitusional, posisi DPD tidak
sebanding dengan besarnya kewenangan politik
yang dimiliki DPR. Hal ini semakin menguatkan
posisi DPD justru sebagai sebagai lembaga kuasi
perwakilan politik yang hanya berperan sebagai
dewan konsultatif dalam setiap proses legislasi.
Karena itu, DPD kalah pamor dibandingkan dengan
DPR yang memiliki kewenangan lebih luas, jelas dan
powerfull. Walaupun sama-sama dipilih melalui
mekanisme demokrasi yaitu pemilu, kehadiran DPD
dalam pentas politik nasional seakan hanya sebagai
pembantu rumah tangga mengingat sentrum tarik-
menarik dalam peta politik nasional.
Posisi DPD terkesan marginal, mengingat pasal-
pasal yang melegitimasikan tugas dan kewenangan
DPD hanya sebatas memberi usul, saran dan
masukan kepada DPR baik menyangkut fungsi
legislasi, pengawasan dan anggaran. Dengan

19
demikian, adanya sistem dua kamar dalam lembaga
perwakilan politik kita, DPR dan DPD (merupakan
anggota MPR) merupakan realitas politik dalam
sistem perwakilan kepentingan kita yang plural
namun dalam aspek legalitas berbeda peran dan
fungsi.

Masa Depan DPD


BAB
Dalam Sistem
III Ketatanegaraan
Indonesia
20
A. Eksistensi DPD
Secara factual dalam praktik ketatanegaraan, DPD
hanyalah formalitas prosedural belaka. Logika
hukum pada hubungan kelembagaan antar lembaga
parlemen menggambarkan kedudukan DPD yang
sangat lemah. DPD sama sekali tidak memiliki power
untuk melakukan penyeimbangan atas kekuasaan
DPR.
Konstruksi yang dibangun dalam sistem
ketatanegaraan Indonesia adalah sistem
pemerintahan presidensial. Salah satu bentuk
hubungan kekuasaan legislatif dan eksekutif dalam
sistem presidensial adalah pembentukan undang-
undang. Dalam proses pembentukan undang-undang,
ada 3 (tiga) lembaga negara yang memiliki landasan
konstitusional untuk membentuk undang-undang
yaitu DPR, DPD, dan Presiden.
Dalam sistem pemerintahan presidensial terkait
pembentukan undang-undang, Dewan Perwakilan
Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang-
undang. Implikasi hukum atas norma tersebut adalah

21
seluruh ketentuan terkait undang-undang akan
berhubungan dengan DPR, baik itu proses
pembentukan undang-undang yang dibuat secara
normal, maupun memberikan persetujuan atas
Perppu yang dibentuk oleh presiden dalam keadaan
yang tidak lazim (kegentingan yang memaksa).
Makna memegang kekuasaan membentuk undang-
undang juga berimplikasi pada pemberian hak
kepada anggotanya (anggota DPR) untuk
mengajukan usul Rancangan Undang-Undang.
Hal terpenting dalam pembentukan undang-
undang adalah persetujuan. Oleh karena yang
memegang kekuasaan pembentukan undang-undang
adalah DPR maka keputusan persetujuan pun ada
pada DPR. Hanya untuk mewujudkan prinsip checks
and balances antar-kekuasaan negara dalam rangka
menghindari kesewenang-wenangan, maka Presiden
diberikan kewenangan juga untuk melakukan
persetujuan bersama-sama dengan DPR. Landasan
konstitusional tersebut menentukan bahwa setiap
rancangan undang-undang dibahas oleh Dewan
Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk mendapat
persetujuan bersama.

22
Kemudian yang menjadi pertanyaan dimanakah
letak kewenangan DPD, jika landasan konstitusional
menentukan bahwa yang memiliki wewenang untuk
membuat persetujuan RUU menjadi undang-undang
hanyalah DPR dan Presiden? Terkait dengan proses
pembentukan undang-undang, DPD dapat
mengajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat
rancangan undang-undang yang berkaitan dengan
otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah,
pembentukan dan pemekaran serta penggabungan
daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber
daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan
pusat dan daerah, serta yang berkaitan dengan
perimbangan keuangan pusat dan daerah. Menurut
Mahkamah :
kata “dapat” dalam Pasal 22D ayat (1) UUD 1945
tersebut merupakan pilihan subjektif DPD “untuk
mengajukan” atau “tidak mengajukan” RUU yang
berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan
pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran
serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber
daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya,
serta yang berkaitan dengan perimbangan

23
keuangan pusat dan daerah sesuai dengan pilihan
dan kepentingan DPD.
Kata “dapat” tersebut bisa dimaknai juga sebagai
sebuah hak dan/atau kewenangan, sehingga
analog atau sama dengan hak dan/atau
kewenangan konstitusional Presiden dalam Pasal
5 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan, “Presiden
berhak mengajukan rancangan undang-undang
kepada Dewan Perwakilan Rakyat”. Dengan
demikian, DPD mempunyai posisi dan kedudukan
yang sama dengan DPR dan Presiden dalam hal
mengajukan RUU yang berkaitan dengan otonomi
daerah, hubungan pusat dan daerah,
pembentukan dan pemekaran serta
penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya
alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta
yang berkaitan dengan perimbangan keuangan
pusat dan daerah.
Kemudian dalam proses pembentukan undang-
undang, DPD juga diberikan kewenangan
membahas undang-undang tertentu dan
memberikan pertimbangan kepada Dewan
Perwakilan Rakyat atas rancangan undang-undang
yang berkaitan dengan pajak, pendidikan dan
agama. Jadi, terkait persetujuan RUU menjadi

24
undang-undang, DPD tidak memiliki kewenangan
tersebut. Ada beberapa pro-kontra terkait frasa
“membahas” dalam kewenangan DPD. Beberapa
kalangan berpendapat bahwa DPD memiliki
kewenangan untuk memberikan persetujuan karena
akhir dari pembahasan adalah memberikan
persetujuan atas RUU, atau dengan kata lain
persetujuan masih masuk dalam substansi materi
pembahasan. Sebagaimana dikemukakan Yuliandri
bahwa:
Oleh sebab itu, hak DPD untuk membahas
Rancangan Undang-Undang tidak dapat dibatasi
hanya untuk tahapan tertentu saja. Seperti
hanya terlibat dalam pembahasan tingkat I saja.
Melainkan semua tahapan pembahasan sampai
proses persetujuan (pengambilan keputusan),
DPD mesti terlibat. Sebab, persetujuan atas
sebuah Rancangan Undang-Undang merupakan
bagian tidak terpisah dari tahap pembahasan.
Persetujuan merupakan akhir dari sebuah
proses pembahasan.

Laica Marzuki berupaya lebih soft :


Tidak tepat manakala pengikutsertaan
pembahasan rancangan undang-undang oleh

25
DPD berakhir sebelum diambil persetujuan
bersama antara DPR dan Presiden. Pembahasan
rancangan undang-undang yang diajukan DPD
kiranya juga menjadi bahan pertimbangan dalam
penentuan pengambilan persetujuan
bersama.

Namun Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa:


Pasal 22D ayat (2) UUD 1945 telah menentukan
dengan jelas bahwa DPD hanya berwenang ikut
membahas RUU yang berkaitan dengan otonomi
daerah, hubungan pusat dan daerah,
pembentukan, pemekaran, dan penggabungan
daerah, pengelolaan sumber daya alam dan
sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan
keuangan pusat dan daerah dan tidak ikut serta
pada pemberian persetujuan akhir yang lazimnya
dilakukan pada rapat paripurna DPR
pembahasan Tingkat II. Artinya, DPD dapat saja
ikut membahas dan memberi pendapat pada saat
rapat paripurna DPR yang membahas RUU pada
Tingkat II, tetapi tidak memiliki hak memberi
persetujuan terhadap RUU yang bersangkutan.
Persetujuan terhadap RUU untuk menjadi
Undang-Undang, terkait dengan ketentuan Pasal
20 ayat UUD 1945 yang menegaskan bahwa

26
hanya DPR dan Presidenlah yang memiliki hak
memberi persetujuan atas semua RUU.
Kewenangan DPD yang demikian, sejalan dengan
kehendak awal (original intent) pada saat
pembahasan pembentukan DPD pada Perubahan
Ketiga UUD 1945 yang berlangsung sejak tahun
2000 sampai tahun 2001. Semula, terdapat usulan
bahwa kewenangan DPD termasuk memberi
persetujuan terhadap RUU untuk menjadi Undang-
Undang, tetapi usulan tersebut ditolak.
Pemahaman yang demikian sejalan dengan
penafsiran sistematis atas Pasal 22D ayat (2) UUD
1945 dikaitkan dengan Pasal 20 ayat (2) UUD
1945.
Jadi dapat disimpulkan bahwa kewenangan
DPD terkait proses pembentukan undang-undang
berdasarkan Pasal 22D ayat (1) dan ayat (2) UUD
1945 dan tafsiram Putusan MK melalui Putusan MK
No. 92/PUU-X/2012 dan Putusan MK Nomor
79/PUU-XII/2014 adalah:
1. Mengajukan kepada DPR Rancangan Undang
Undang (bukan usul RUU) yang berkaitan
dengan:
a. Otonomi daerah
b. Hubungan pusat dan daerah
27
c. Pembentukan dan pemekaran serta
penggabungan daerah
d. Pengelolaan sumber daya alam dan sumber
daya ekonomi lainnya
e. Serta yang berkaitan dengan perimbangan
keuangan pusat dan daerah
2. Ikut membahas RUU yang berkaitan dengan:
a. Otonomi daerah
b. Hubungan pusat dan daerah
c. Pembentukan, pemekaran dan
penggabungan daerah
d. Pengelolaan sumber daya alam dan sumber
daya ekonomi lainnya
e. Perimbangan keuangan pusat dan daerah
3. Memberikan pertimbangan kepada DPR atas
RUU terkait
a. Pajak
b. Pendidikan
c. Agama

Sesungguhnya kedudukan DPD yang saat ini


diparadigmakan sebagai lembaga legislatif memiliki
tujuan yang sangat penting. Dalam teori struktur
parlemen. Ada tiga prinsip perwakilan yang dikenal

28
di dunia, yaitu:
1. Representasi politik (political representation)
2. Representasi territorial (territorial
representation)
3. Representasi fungsional (functional
representation)
Perwakilan politik dianggap tidak sempurna
jika tidak dilengkapi dengan sistem “double-check”
sehingga aspirasi dan kepentingan seluruh rakyat
benar-benar dapat disalurkan dengan baik. Karena
itu diciptakan pula adanya mekanisme perwakilan
daerah (regional representation) atau Representasi
territorial (territorial representation).

Kedudukan DPD sebagai perwakilan teritorial


dalam struktur parlemen menjadi hal yang sangat
fundamental, apalagi Indonesia menganut prinsip
pemerintahan daerah yang menjalankan otonomi
seluas-luasnya dalam bingkai negara kesatuan.
Negara kesatuan dapat bertahan jika kepentingan
daerah yang plural juga dapat diakomodir oleh
pemerintah pusat melalui kebijakan legislasi
(peraturan perundang-undangan).
Selain mewakili secara kelembagaan
29
pemerintahan daerah dalam memperkuat negara
kesatuan, DPD juga berfungsi sebagai wakil rakyat
yang kepentingannya (aspirasi) tidak diakomodasi
oleh anggota DPR akibat adanya tarik-menarik
kepentingan rakyat dan kepentingan partai politik
yang mengusungnya. DPD dibentuk terkait sifat
degree of representativeness dari lembaga
perwakilan sungguh-sungguh itu bisa dijamin
sehingga menjamin keseluruhan kelompok-
kelompok yang ada dalam masyarakat.
Kemudian hal yang penting mengenai
keberadaan DPD adalah fungsi DPD sebagai
penyeimbang dalam parlemen. Ketakutan yang
timbul dalam unicameral adalah adanya monopoli
kekuasaan lembaga legislatif dalam proses legislasi.
Merujuk pendapat Allen R. Ball dan B. Guy Peters,
kebanyakan parlemen modern menerapkan sistem
dua kamar. Dengan adanya kamar kedua, monopoli
proses legislasi dalam satu kamar dapat dihindari
sehingga mampu mencegah kolusi legislatif dan
eksekutif. Dengan begitu maka akan menjaga
pemegang kekuasaan tidak dalam kekuasaan tanpa
batas. Kecenderungan bahwa kekuasaan yang tanpa

30
batas dapat menjadi kesewenang-wenangan.
Kehadiran DPD sebagai lembaga legislatif
bukanlah proses politik hukum yang mudah.
Mengubah paradigma utusan daerah tanpa melalui
pemilihan umum kemudian berubah menjadi
Dewan Perwakilan Daerah yang anggotanya dipilih
melalui pemilihan umum menjadi jawaban sehingga
DPD memiliki kedudukan yang seimbang dengan
DPR. Gagasan pembentukan DPD adalah untuk
merekonstruksi kembali struktur
parlemen menjadi bicameral.
Dengan kondisi struktur parlemen yang soft
bicameralism, maka marwah DPD akan selalu
dipandang sebagai auxiliary terhadap DPR, hal ini
berarti bahwa DPD pun tidak sejalan dengan
gagasan awal pembentukannya.
B. Wacana Penguatan Versus Pembubaran

Untuk menakar penting tidaknya DPD sebagai


salah satu lembaga negara anak kandung reformasi,
ada baiknya kita meminjam teori Lawrence M
Friedman (1986) terkait structure of law, substance

31
of law dan legal-cultur. Struktur, berkaitan dengan
legalitas organ DPD dibanding MPR dan DPR.
Substansi, berhubungan dengan tugas dan fungsi
yang diemban. Kultur, sejauh mana representasi dan
akseptabilitas publik terhadap DPD.

Bila dibandingkan struktur DPD dengan DPR


tampak jomplang. Peran dan kewenangan DPD tak
sama sebagaimana praktek di Amerika dan Inggris.
Di kedua negara tersebut, kongres (MPR) terdiri dari
senat yang mewakili negara bagian dan majelis
rendah (house of representative) yang mewakili
rakyat pada umumnya. Bila disepadankan, senat
diasumsikan DPD, majelis rendah DPR. Keduanya
dipilih lewat parlemen tingkat lokal.

Sekalipun jumlah anggota senat minoritas,


namun undang-undang memberi kewenangan
strategis dalam hal impeachment, pertahanan, dan
otoritas bank sentral. Disitu peran dan kewenangan
32
senat yang jumlahnya hanya 100 orang dibanding
majelis rendah yang berjumlah 435 orang memiliki
posisi tawar seimbang. Kongres sendiri adalah
gabungan kedua institusi tersebut (bicameral
system), dan bukan sekadar kumpulan orang-orang.
Terkait substansi, senat (DPD) memiliki wewenang,
tugas dan fungsi yang sepadan bahkan lebih
dibanding majelis rendah (DPR). Dengan
kewenangan yang cukup, majelis rendah tak
berkutik dalam pengajuan rancangan undang-
undang jika ditolak mentah-mentah oleh senat.

Equalitas tersebut menjadikan DPD dihargai


sama dan sebangun dengan DPR, bahkan MPR
(kongres). Disini dengan sendirinya tercipta chek
and balance system.

Bagaimana tugas, fumgsi dan kewenangan


DPD di Indonesia? Dari aspek substansi, DPD tak
memiliki kewenangan, tugas dan fungsi yang
33
seimbang dengan DPR. Kecuali ikut membahas isu
otonomi daerah, pemekaran wilayah dan soal-soal
perbatasan, DPD tak memiliki kekuatan imperatif
yang efektif mengontrol tirani DPR. Dalam konteks
inilah kita dapat memaklumi mengapa DPR dewasa
ini sangat mendominasi dibanding DPD (legislative
heavy).

Kemudian sinergitas DPD dalam sistem


ketatanegaraan Indonesia ke depan perlu diperkuat
melalui purifikasi struktur parlemen yang
mencerminkan strong bicameralism. Sehingga akan
berimplikasi pula pada proses pembentukan undang-
undang (melibatkan DPR-DPD-Presiden) yang
harmonis dan berkualitas. Bangunan Strong
Bicameralism diharapkan mampu meningkatkan
peran DPD sebagai salah satu penopang utama
dalam mewujudkan keinginan negara dalam bidang
otonomi daerah dan negara kesatuan.

34
Jika hadirnya DPD dengan kewenangan
terbatasnya, negara masih belum dapat
memaksimalkan potensi daerah, baik terkait
otonomi daerah, pembentukan, pemekaran, dan
penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah,
pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya
ekonomi lainnya, pelaksanaan anggaran dan belanja
negara, pajak, pendidikan, dan agama apalagi jika
DPD dihilangkan dalam sistem ketatanegaraan
Indonesia. Bahkan menurut Siti Zuhro,
pembangkangan Pemerintah Daerah terhadap
Pemerintah nasional tidak perlu terjadi bila
Indonesia mampu memaksimalkan institusi
demokrasi seperti DPD, baik dalam posisinya
sebagai bridging maupun dalam sebagai perwakilan
daerah. Masalahnya pola hubungan antara
pemerintah pusat dan Pemerintah Daerah sejauh ini
belum terformat. Adalah jelas bahwa negara
kesatuan dan prinsip otonomi daerah tak perlu
dibenturkan. Jadi dapat dikatakan bahwa kebutuhan
akan DPD sangatlah diperlukan dalam sistem
ketatanegaraan Indonesia yang begitu kompleks.
C. Sinergitas DPD dalam Sistem Ketatanegaraan

35
Indonesia
Sejatinya, tujuan politik dan hukum adalah
sama, yakni “mewujudkan kedamaian dalam hidup
bersama”. Perbedaan dasar antara politik dan
hukum adalah sifat dari keduanya, politik
merupakan proses mencapai tujuan, sementara
hukum merupakan produk akhir dari proses
tersebut. Dengan kata lain, semua urusan politik
terarah untuk menghasilkan hukum positif. UUD
1945 merupakan hasil dari proses politik hukum,
yang mana dalam praktik kehidupan berbangsa dan
bernegara harus dijadikan pedoman dari segala
bentuk peraturan perundang-undangan.

Hal tersebut semakin menguatkan pentingnya


DPD dalam sistem ketatanegaraan Indonesia,
sehingga martabat DPD sebagai lembaga negara
harus dinaikkan melalui kewenangan yang setara
dengan lembaga negara lainnya (Presiden dan DPR).
Setara bukan berarti harus sama, melainkan sesuai
fungsinya masing-masing bukan sebagai auxiliary
dari lembaga lain.

36
Jika keputusan DPD menjadi jawaban untuk
menyempurnakan struktur parlemen dalam sistem
ketatanegaraan Indonesia, maka wewenang
Parlemen harus ditingkatkan kualitasnya. Benar
bahwa dalam perkembangannya, konsep bikameral
banyak diterapkan di negara-negara federal, namun
begitu besar dan kompleksnya kehidupan
berbangsa dan bernegara dengan kedaulatan rakyat
sebagai landasan konstitusionalnya, maka
kebutuhan akan kamar kedua menjadi fundamental
untuk mewujudkan prinsip “semua harus terwakili”.

Oleh karena itu, ke depan struktur parlemen kita


sebaiknya mengarah kepada bikameralisme yang
bersifat strong bicameralism (tentu melalui
amandemen UUD 1945). Soft bicamerilsm pada
substansinya telah kita praktikkan melalui parlemen
saat ini. Gambaran kewenangan yang dimiliki DPD
memperlihatkan bahwa DPD merupakan lembaga
yang mempunyai legitimasi yang berkualitas namun
“miskin” kewenangan.
Inti dari penguatan lembaga legislatif adalah
kewenangan legislasi. Dengan kata lain untuk
meningkatkan kualitas DPD, maka kewenangan DPD
37
dalam hal legislasi perlu diperkuat, yakni dengan
memberikan kewenangan kepada DPD untuk ikut
dalam proses persetujuan bersama.

Pengembangan konsep pembentukan undang-


undang secara utuh melalui tripartit (antara DPR,
DPD, dan Presiden) diharapkan mampu
meningkatkan kualitas undang-undang di Indonesia.
Agar setiap protes publik atas setiap undang-
undang tidak meluluh diarahkan untuk ke
Mahkamah Konstitusi.

BAB 38

IV
Format Baru DPD
A. Kilas Balik

Sejak kelahiran DPD, sistem perwakilan dan


parlemen di Indonesia berubah dari sistem
unikameral menjadi sistem bikameral. Namun,
dalam perjalanannya, sangat dirasakan bahwa
fungsi dan wewenang sebagaimana tercantum
dalam pasal 22 D UUD 1945 setelah amandemen
sulit diwujudkan maksud dan tujuan
pembentukannya. Demikian juga bagi anggota DPD
sulit mempertanggungjawabkan secara moral dan
politik kepada pemilih dan daerah pemilihannya.
Padahal, DPD sebagai lembaga negara memiliki
legitimasi yang sangat kuat karena anggotanya
dipilih secara langsung oleh rakyat. Sebagaimana
lembaga negara, tentunya DPD seyogyanya memiliki
kedudukan yang sama dengan lembaga negara
lainnya. Sementara kelahirannya diharapkan dapat
menjadi solusi atas praktik sentralisme pada masa
39
lalu yang dialami oleh masyarakat di daerah yang
banyak menimbulkan ketimpangan dan
ketidakadilan.

Sejarah perjalanan bangsa kita, seringkali muncul


gejolak perlawanan untuk memisahkan diri. Di
sinilah urgensi keberadaan DPD juga dimaksudkan
untuk memperkuat integrasi bangsa dan
mengembangkan demokrasi khususnya yang
berkaitan dengan daerah. Kini setelah cukup lama
berselang, keberadaan DPD mulai dievaluasi
eksistensinya dalam memenuhi unsur sistem dua
kamar parlemen (bikameral) dengan Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR).

Secara kultural DPD merupakan reinkarnasi dari


utusan golongan yang hidup sesuai konstitusi lama.
Mereka diangkat dan merepresentasikan kelompok
minoritas dalam masyarakat (ormas, ABRI, toga,
tomas, toda). Sebagaimana di Amerika, Inggris dan
Perancis, mereka diangkat mewakili kelompok
minoritas tertentu. Maknanya, DPD adalah

40
representasi socio-cultural sekaligus heritage
bangsa yang patut diakomodir.

Masalahnya, amandemen konstitusi merubah


mekanisme pemilihan DPD menjadi dipilih langsung.
Dampaknya, yang terpilih tak mewakili kelompok
minoritas dalam masyarakat, tapi dikuasai mantan
anggota partai politik, kepala daerah & local
strongman yang ingin memperpanjang durasi
kekuasaan, kalau tidak mau dibilang, terbiasa
dengan hidup yang ditanggung negara.

Penguatan DPD tak perlu lagi dikaitkan dengan


bentuk federalisme dengan sistem perwakilan
bikameral. Memang benar bahwa banyak negara
yang menganut federalisme menggunakan sistem
perwakilan bikameral, tetapi juga banyak negara
yang berbentuk negara kesatuan menganut sistem
perwakilan bikameral. Penelitian yang dilakukan
oleh IDEA hasilnya menunjukkan bahwa dari 54
negara demokratis yang diteliti terdapat 22 negara
yang menganut sistem perwakilan unikameral,
sedangkan sebanyak 32 negara memilih sistem
41
bikameral. Banyak juga negara dengan bentuk
negara kesatuan memilih sistem bikameral di
samping juga ada yang memilih unikameral. Hasil
penelitian juga menunjukkan bahwa semua negara
demokratis yang memiliki wilayah luas memiliki dua
majelis (bikameral) kecuali Muzambique.

Melalui DPD ini diharapkan hubungan dengan


otonomi daerah dan pusat dan daerah,
pembentukan dan pemekaran serta penggabungan
daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber
daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan
perimbangan keungan pusat dan daerah bisa
berjalan dengan baik. Harus ada amandemen UUD
1945 terkait kewenangan legislasi DPD. Konkretnya
bahwa DPD adalah lembaga legislatif, selayaknya
memiliki kewenangan membuat undang-undang
bersama DPR.

Tanpa ada perubahan terhadap UUD 1945, maka


seviral apapun aspirasi masyarakat dan daerah yang
dikawal anggota DPD, tetap tidak mudah untuk
ditindaklanjuti dan direalisasi. Dengan kata lain,
42
tanpa adanya amandemen UUD 1945 terkait
kewenangan DPD, diprediksi nasib masyarakat dan
daerah tidak akan berubah signifikan ke arah yang
lebih baik, lebih sejahtera, dan lebih menguatkan
NKRI.

B. Demokrasi Deliberatif
Demokrasi kontemporer di Indonesia sedang
terjun bebas ke titik terendah, semakin
terperangkap dalam konflik kepentingan (conflict of
interest) yang bersifat pribadi, perilaku politik yang
lebih mengutamakan pencitraan daripada substansi,
debat kusir di ruang publik dan pertarungan
kekuasaan demi ambisi dan keuntungan pribadi dan
kelompok.
Realitas politik kita hari ini penuh dengan
kepura-puraan. Implementasi demokrasi dimaknai
hanya dalam bentuk kebebasan mendirikan partai
politik, hanya urusan pilih-memilih dalam Pemilu
lima tahunan.

43
Akibatnya, jika yang terpilih mengecewakan,
pemilih tidak memiliki ruang untuk melakukan
recall. Padahal suara rakyat terbukti diabaikan
bahkan dikhianati. Padahal demokrasi dalam
berbagai kajian teoritis, berdasarkan pada sejarah
kemunculannya, didefinisikan sebagai pemerintahan
yang mengutamakan rakyat. Jadi, sebenarnya dalam
demokrasi terlihat jelas bagaimana keterlibatan
masyarakat secara total. Hanya saja realitas politik
yang muncul ke permukaan justru sebaliknya,
sehingga timbul pertanyaan apakah demokrasi yang
diagung-agungkan selama ini, bahkan cenderung
menjadi “agama” baru adalah demokrasi semu
(pseudo democracy) karena pada hakikatnya yang
menentukan kebijakan cuma para elit? Dimana
peran rakyat?
Di tengah situasi seperti itu, menyeruak teori
demokrasi deliberatif sebagai salah satu cara untuk
melengkapi, atau bahkan menyempurnakan praktek

44
demokrasi liberal (demokrasi representatif) di
Indonesia pasca reformasi. Dengan menggunakan
perspektif demokrasi deliberatif yang dipopulerkan
Jurgen Habermas seorang ilmuwan sosial kritis
madzab Frankfurt, setidaknya teori demokrasi
deliberatif mampu memberikan kontribusi terhadap
ide dan praktek demokrasi liberal yang sedang
dijalankan di Indonesia, khususnya pasca Reformasi
1998.
Dalam demokrasi deliberatif, kebijakan-kebijakan
penting (perundang-undangan) dipengaruhi oleh
diskursus-diskursus “liar” yang terjadi dalam
masyarakat Di samping kekuasaan administratif
(negara) dan kekuasaan ekonomis (kapital)
terbentuk suatu kekuasaan komunikatif melalui
jejaring komunikasi publik masyarakat sipil agar
partisipasi masyarakat dalam membentuk aspirasi
dapat dihargai secara setara.
Model demokrasi deliberatif memberikan arti

45
penting pada proses atau prosedur pengambilan
keputusan yang menekankan musyawarah dan
penggalian masalah melalui dialog ataupun sharing
ide di antara para pihak dan warga negara.
Keterlibatan warga merupakan inti dari demokrasi
deliberatif, berbeda dengan ide dasar paham
demokrasi perwakilan yang lebih menekankan
keterwakilan.

Jika model demokrasi deliberatif mengutamakan


kerjasama antar ide dan antar pihak, maka demokrasi
perwakilan adalah kompetisi antar ide dan antar pihak.
Namun demikian, bukan tidak mungkin narasi besar
deliberasi diterapkan dalam sistem demokrasi perwakilan,
dimana proses pembentukan atau pengambilan kebijakan
oleh wakil rakyat diwarnai oleh keterlibatan
rakyat/konstituen melalui proses yang deliberatif.

Di Indonesia, kesadaran akan pluralisme


46
sangatlah penting. “Masyarakat itu plural atau
majemuk dan sangat beragam dari berbagai aspek,
tahun-tahun terakhir bangsa kita secara faktual
mendadak menemukan diri sebagai komunitas-
komunitas yang mudah tersinggung dan suka
bertengkar, berujung proses hukum saling lapor.
Realitas-realitas itu memperlebar jarak psikologis,
baik dalam bentuk diskriminasi minoritas,
prejudice-prejudice atau pembatasan hak-hak
politik”
Distingsi pemikiran ‘Habermas’, bahwa di dalam
komunitas-komunitas dan identitas-identitas kolektif
terdapat perbedaan pandangan, persepsi tentang
kebaikan dan kebudayaan, cara hidup, dan seterusnya
yang sangat plural. “Untuk mengatasinya, harus
dibangun dan dikelola  melalui sebuah sistem politik
yang bisa mengakomodir seluruh perbedaan
tersebut”,
Secara kultural, seharusnya DPD merupakan

47
representasi kemajemukan vertikal dan horisontal.
Mereka dipilih di tingkat lokal guna
mengartikulasikan kepentingan daerah yang tak
tersentuh oleh perwakilan rakyat (partai politik). Jadi,
DPD secara faktual bukan saja mewakili ruang, juga
minoritas kultural dalam masyarakat.
Jika merujuk pada praktek di Amerika dan Inggris,
kongres (MPR) terdiri dari senat yang mewakili
negara bagian dan majelis rendah (house of
representative) yang mewakili rakyat pada umumnya.
Bila disepadankan, senat diasumsikan DPD, majelis
rendah DPR. Keduanya dipilih lewat parlemen tingkat
lokal.

C. Format Baru 2024

Bagaimanapun DPD adalah lembaga yang lahir


dari rahim reformasi. Pembentukannya dilandasi
oleh maksud yang sangat mulia yaitu membangun
checks and balances di lembaga perwakilan sehingga

48
mutu keputusan yang dikeluarkan oleh lembaga ini
akan semakin berkualitas.

Bagaimana peran DPD dalam konstalasi


perwakilan politik di Indonesia pasca pemilu 2024 ?
Mengapa kewenangan politik DPD hingga umur 17
tahun ini tidak kunjung mengalami penguatan?
Bagaimana pengaruh dinamika politik di luar DPD
mempengaruhi perkembangan DPD sebagai lembaga
perwakilan rakyat daerah?

Dilema DPD sebagai lembaga wakil rakyat


daerah yang dipilih secara nasional, pamor
politiknya makin tidak merakyat dan tidak jelas basis
legitimasinya. Anggota DPD tidak memiliki basis
massa politik yang jelas dan tidak ditunjang adanya
relasi emosional-ideologis dengan para pemilihnya.
Artinya, kehadiran DPD sebagai bagian dari
delegative democracy, bukan mewakili fragmentasi
partisipasi ideologi politik kepartaian di tingkat riil
massa politik namun lebih mengarah sebagai
49
lembaga kuasi perwakilan politik daerah.

Seorang anggota DPD menghadapi dua masalah


serius. Pertama, menyangkut keringnya relasi
emosional politis antara elite dan massa. Padahal,
relasi emosional-idelogis merupakan faktor
pengikat yang sangat dibutuhkan sebagai modal
melakukan tawar-menawar politik dalam pasar
politik dengan kekuatan politik lainnya. Kedua,
ketiadaan relasi emosional-ideologi antara elite DPD
dengan pemilih dapat menimbulkan krisis
keterwakilan politik yang terbukti melahirkan
ketidakpedulian rakyat pada kinerja politik DPD.
Lebih jauh, hubungan anggota DPD dengan massa
dalam sistem rekrutmen anggota DPD yang tak jelas
kriteria politiknya, hanya akan menghasilkan elite
DPD yang tidak mengakar. Masyarakat sendiri belum
tentu memahami program kerja anggota DPD. Begitu
pula ikatan emosional politis dan ideologis anggota
DPD dengan massa tidak terbentuk mengingat

50
anggota DPD tidak dibangun dalam institusi partai
yang memiliki jaringan, identitas politik, ideologi dan
pengakaran yang mendalam dalam masyarakat.

Masalah kepercayaan politik massa terhadap


anggota DPD juga tidak jelas sebagai konsekuensi
ketiadaan basis riil politik anggota DPD. Ditambah
kecenderungan model budaya politik kita yang
dominan pada aspek pola kepengikutan
(partronase), maka kecenderungan yang muncul
adalah anggota DPD hanya dikenal di daerah
tertentu saja. Dengan demikian, sangat sulit
membangun struktur legitimasi dan menumbuhkan
kepercayaan politik riil pemilih terhadap anggota
DPD.

Memasuki Periode ke V ini, mereka yang


sungguh-sungguh ingin bekerja sesuai jualan di
atribut kampanye tak bisa menghindar dari tiga hal
yang mutlak dimiliki oleh seorang anggota DPD,
yakni :

51
1. Kapabilitas

Anggota DPD itu “pendekar tunggal” bertarung


seorang diri, menghadapi berbagai dinamilka
politik dalam memperjuangkan kepentingan
daerah. Karena itu, dibutuhkan kapabilitas yang
cukup dalam “menegosiasiakan” dengan berbagai
pihak beragam rupa kepentingan daerah sesuai
dengan tugas dan kewenangan yang
diamanahkan undang-undang, bahkan
melampaui itu.

2. Integritas

Jabatan anggota DPD itu luput dari kontrol dan


perhatian publik, karena memang tidak ada
harapan besar yang melekat padanya mengingat
lembaga DPD nyaris tidak berfungsi. Dalam
situasi seperti itu, dibutuhkan integritas tinggi
untuk tetap dapat melaksanakan tugas-tugas

52
dengan baik. Artinya, jika tidak berintegritas
tinggi, sangat terbuka kesempatan untuk makan
“gaji buta” absensi kehadiran cukup diwakili staf.

3. Peduli

Jarak emosional dengan pemilih berpeluang


untuk tidak dekat rasanya, dalam situasi sejak
awal para pemilih tidak begitu memiliki
pengharapan besar maka dapat dipahami jika
seorang anggota DPD tidak menjadi tempat keluh
kesah para pemilih, berbeda dengan anggota
DPRD dan DPR-RI. Dalam situasi itu, yang
dibutuhkan adalah sikap peduli yang tinggi, dan
kepedulian harus dilatih, ia tidak bisa muncul
sekonyong-konyong. Walaupun dalam masa
kampanye banyak orang mendadak kelihatan
peduli, tidaklah mengherankan jika sudah
terpilih, orang bilang berubah, padahal yang
terjadi adalah, mereka kembali ke tabiat aslinya.
53
D. Recall

Publik kini sedang berada di puncak-puncak


kejengkelannya menyaksikan setiap saat perilaku
para pejabat publik. Penyimpangan dan pelanggaran
yang terjadi di banyak lembaga negara sudah dalam
tahap tidak rasa malu sedikitpun. Realitas ini harus
menjadi warning bagi kita semua bahwa
mengupayakan agar orang-orang yang duduk dalam
jabatan publik adalah benar-benar orang yang
memiliki kapabilitas, integritas dan pengalaman
empirik mengurus kepentingan publik. Memiliki
pengetahuan akan fungsi dan kewenangan untuk
jabatan tersebut dan mempublis program dan
rencana kerja ketika menduduki jabatan tersebut.
Tradisi seperti ini menjadi sesuatu yang mendesak
dan harus didesakkan bersama di tengah situasi
kedaruratan bangsa saat ini, supaya kita punya
indicator untuk menilai berhasil tidaknya seorang
pejabat publik, kita harus segera menghentikan
segala bentuk penjualan “kucing dalam karung”.

54
Harus ditata ulang secara komprehensi aturan
dan mekanisme untuk menduduki jabatan publik,
termasuk lembaga DPD. Sebelum memberikan
penguatan terhadap fungsi dan kewenangan DPD,
“aturan main” seputar mekanisme pemilihan atau
pemberhentian anggota DPD adalah sesuatu yang
mendesak. Karena pada akhirnya yang menentukan
baik tidaknya sebuah kewenangan akan sangat
ditentukan oleh siapa pemegang kewenangan
tersebut.

Evaluasi menyeluruh terhadap mekanisme dan


persyaratan untuk menjadi anggota DPD penting
dilakukan. Guna melakukan control terhadap DPD
agar tetap konsisten dengan statement dan slogan-
slogan pada alat peraga ketika kampanye. Kehadiran
DPD merupakan sesuatu yang penting, namun yang
tidak kalah penting adalah bagaimana
keberadaannya tidak hanya sebentuk kehadiran
fisik, tetapi mampu memberikan citra positif wajah
parlemen. Paling tidak, ada tiga hal yang perlu
dilakukan. 

55
1. Tidak diperbolehkan anggota partai menjadi
calon DPD, seorang anggota partai seharusnya
mencalonkan diri ke DPR-RI.
2. Syarat untuk menjadi anggota DPD, tidak hanya
bersifat administratif tetapi harus terdapat
syarat substantif seperti, pengetahuan dan
pengalaman empirik. Seorang calon mempublis
pengetahuannya soal tugas, fungsi dan
kewenangan DPD, serta program kerjanya.
3. Harus ada mekanisme recall. Selama ini hanya
anggota DPR yang bisa direcall sementara
anggota DPD tidak. Jika yang berhak merecall
anggota DPR adalah parpol karena ia dicalonkan
melalui parpol, maka ke depan perlu
dikembangkan mekanisme recall anggota DPD
oleh masyarakat dimana ia berasal (dapil).
Harapannya, adanya recall ini akan menjadi
system control dari masyarakat agar seluruh
anggota DPD tetap berada dalam garis
konstitusional. Juga diharapkan muncul
hubungan emosional-ideologis.

56
Membangun sebuah sistem guna menutup
potensi munculnya hal-hal yang dapat merusak
marwah lembaga ini sangat penting dilakukan.
Rakyat sebagai pemilih juga harus disiapkan ruang
dan mekanisme untuk melakukan kontrol kinerja
pemimpin. sesuai dengan aturan dan tata tertib
yang berlaku, baik itu para proses
pengangkatannya atau pada proses turunnya dari
masa jabatan tersebut. Sekalipun, dalam proses
turunnya dari
masa jabatan dilakukan dengan pencopotan, karena
dinilai kurang amanah dalam memimpin, tetap
harus melalui aturan dan tata tertib yang berlaku.
Dalam konteks demikian, Imaroh
mengusulkan adanya sekelompok orang atau
lembaga yang terdiri dari orang-orang yang
mempunyai pengetahuan yang cukup untuk menilai
hal-hal tersebut serta memberikan teguran,
peringatan dan nasehat kepada kepala negara. Tugas
dari lembaga ini adalah menilai

57
BAB
V DPD Bisa Apa

A. Penyerapan Aspirasi Daerah

Sampai periode ke-IV terbentuknya DPD ini,


muncul pertanyaan mengenai eksistensi DPD. DPD
dianggap tidak mempunyai kewenangan yang
mengikat dalam kegiatan bernegara. Hal tersebut
dapat dikaji dalam Pasal 22D ayat (1), ayat (2), dan
ayat (3) UUD 1945 terkait kewenangan DPD. Hal
tersebut berimplikasi pada ungkapan bahwa DPD
58
hanya sebagai auxiliary terhadap fungsi DPR,
padahal dasar isu pembentukan DPD pada
pembahasan amandemen UUD 1945 adalah
menjadikan DPD sebagai penyeimbang DPR dalam
lembaga legislatif.

Tidak sejalannya ide pembentukan DPD dengan


hasil akhir rumusan kewenangan DPD pada
amandemen UUD 1945, mengesankan Marwah DPD
jatuh tanpa arah. Mahkota DPD kembali “dijatuhkan”
oleh karena wewenang yang diberikan oleh UUD
1945 kemudian dilemahkan lagi melalui Undang-
Undang Nomor 17 Tahun 2014 Tentang Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan
Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah dan Dewan Perwakilan


Rakyat Daerah dan Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan.

Akhirnya DPD dianggap Lembaga yang bencong,


59
kakaknya LSM, atau berbagai macam stigma yang
memandang remeh lembaga tersebut.

Walaupun wewenang yang dimiliki sangat


terbatas, tentu DPD harus tetap menjalankan
fungsinya sesuai dengan tujuan awal pembentukan
yaitu memberikan saluran kepada daerah dalam
proses pengambilan keputusan nasional yang
terkait dengan kepentingan daerah. Sesuai dengan
hakikat keberadaannya sebagai perwakilan daerah,
tugas utama DPD adalah menyerap dan
mengartikulasikan aspirasi daerah. Oleh karena itu
harus terdapat hubungan yang jelas dan erat antara
anggota DPD dengan daerah yang diwakili.
Guna menentukan bagaimana penyerapan
aspirasi harus dilakukan tentu harus sesuai dengan
ruang lingkup wewenang yang dimiliki, tanpa harus
bergantung pada sejauh mana daya jangkau yang
diberikan. Berdasarkan ruang lingkup tersebut
dapat ditentukan dengan pihak mana saja hubungan
60
harus dijalin agar penyerapan aspirasi dapat
dilakukan, sesuai dengan wewenang konstitusional
yang dimiliki.
Setiap anggota DPD harus menjalin hubungan
aspiratif dengan berbagai pihak, tidak hanya dengan
pemerintah daerah. Apalagi berdasarkan latar
belakang pembentukannya DPD tidak hanya
dimaksudkan untuk mewakili semata-mata warga
negara di suatu daerah, tetapi juga kepentingan
alam dan lingkungan dalam arti konkrit seperti
gunung, sungai, lautan, dan lain-lain. Oleh karena itu
hubungan aspiratif yang harus dijalin oleh anggota
DPD meliputi antara lain dengan:
a. Daerah sebagai satu kesatuan geografis dan
lingkungan.
b. Masyarakat di daerah, terutama yang menjadi
satu kesatuan hukum beserta alam dan
lingkungannya.
c. Warga negara di daerah.

61
d. Pemerintah daerah kabupaten/kota.
e. Pemerintah Provinsi.
f. Organisasi kemasyarakatan.
g. Organisasi keagamaan.

Sesungguhnya anggota DPD harus selalu hadir


di dua tempat, yaitu di daerah yang diwakili dan di
pusat. Oleh karena itu sudah seharusnya bahwa
anggota DPD aktif bergerak (mobile) dari daerah ke
pusat serta sebaliknya. Tidak dapat dikatakan
bahwa anggota DPD harus lebih banyak di daerah
ataupun harus lebih banyak di Jakarta.
Dapat dikatakan bahwa konstituen anggota
DPD jauh lebih luas dan lebih banyak dari pada
anggota DPR. Dari sisi penduduk sudah jelas bahwa
konstituen anggota DPD adalah seluruh masyarakat
di suatu provinsi yang jauh lebih besar
dibandingkan dengan konstituen anggota DPR yang
hanya di satu Daerah Pemilihan.

62
Berdasarkan kondisi tersebut, yang diperlukan
anggota DPD bukan sekadar domisili di provinsi
terkait, tetapi harus punya organ dan perangkat
yang dapat menggerakan proses penyerapan
aspirasi. Singkatnya, anggota DPD bukan sekadar
memiliki kantor yang beroperasi di daerah,
melainkan menyesuaikan diri dengan
perkembangan digital yang memberi ruang dengan
berbagai macam model platform media sosial untuk
menyerap aspirasi dengan cepat dan murah.
Selanjutnya mengolah, mengkomunikasikan, dan
mensistemasisasi, serta menyiapkannya sebagai
bahan dan rumusan kebijakan yang akan disalurkan
dan diperjuangkan oleh anggota DPD di pusat.
Hanya dengan perangkat tersebut anggota DPD
dapat menjalankan fungsi menyalurkan aspirasi
daerah secara maksimal tanpa meninggalkan tugas
menyerap aspirasi daerah itu sendiri.

B. Metode Kampanye
63
Kalau mau jujur dan harus percaya pada
demokrasi, sebenarnya saya lebih setuju dengan
demokrasi seperti yang dirumuskan sebelum
kemerdekaan oleh orang-orang cerdas para
pendiri republik ini : tokoh sekelas :
Cokroaminoto, Soekarno, Syahrir, Hatta, Supomo,
Tan Malaka dll, Dalam negara yang rakyatnya tidak
terdidik merata, kenapa status suaranya harus
sama ? Akibatnya, pemilu harus melibatkan semua
warga negara.

Undang-Undang Dasar 1945 diamandemen


berkali-kali hingga dalam politik elektoral seluruh
warga negara mempunyai hak yang sama untuk
memilih dan dipilih menjadi pejabat negara.
Karena melibatkan seluruh warga negara, pemilu
menjadi praktik politik mahal. Demokrasi tak
terbayangkan tanpa pemilu, pemilu tidak mungkin
jalan tanpa uang, baik untuk penyelenggara
maupun untuk peserta. Mau diapa lagi aturan main
64
sekarang sudah seperti itu. Sambil tetap
melakukan propaganda untuk perubahan aturan
main, sekarang ini kita memang masih harus ikut
pada apa yang ada dan berlaku. Tetapi untuk
menyiasati, saya menawarkan kepada para peserta
perubahan metode kampanye.

Kampanye seharusnya sejak awal masing-


masing kita (peserta dan pendukung) sama-sama
dapat merasakan manfaatnya sejak proses,
sehingga peserta tidak lagi butuh memberi janji
dan pendukung tak lagi berharap dijanji. Adapun
kebaikan-kebaikan setelah terpilih, anggap saja itu
bonus. Misalnya, kita berkolaborasi dalam kerja-
kerja kreatif untuk berbagai platform media sosial.
Atau berkolaborasi untuk menanam pohon dijalur
jalan yang sering longsor, atau tanam bakau di
wilayah yang sering abrasi sebab kita juga yang
perjalanannya sering terhambat karena itu
tertahan berjam-jam sehingga harus mengeluarkan
65
biaya lebih dari yang biasanya. Saya menuangkan
gagasan dalam buku ini, kalau memang ada sedikit
kandungan pengetahuan yang bermanfaat,
dapatkah dihargai dengan mengganti biaya cetak,
misalnya, untuk disubsidi pada alat peraga yang
lain.

Hal-hal demikian ini tentu merupakan bentuk


kontribusi pada upaya-upaya untuk membuat
keadaan menjadi lebih baik. Tidak cukup hanya
menggerutu pada kegelapan, kita semua harus
mulai menyalakan lilin-lilin kecil dan tetap
menjaganya.

Tidak bisakah kita berpikir lebih detil sehingga


yang kita sebut uang bukan hanya nyata bentuknya
segi empat berukuran kecil berwarna merah, biru,
hijau, abu-abu dengan nol berentet dapat dilipat
lalu disimpan dalam dompet.

66
Memang, inisiatif itu harus datang dari peserta
(kandidat) karena gagasan harus dimiliki oleh
seseorang yang percaya diri menawarkan diri
untuk menjadi perwakilan.

C. Pakta Integritas

Ladang itu penting, kesuburan tanahnya dll,


tetapi yang lebih penting dari itu adalah siapa
petaninya. Sebetulnya, terdapat peluang untuk
memaksimalkan fungsi dan peran politik DPD
dalam memfasilitasi aspek-aspek pelaksanaan
undang-undang otonomi daerah yang mampu
membawa perbaikan kondisi daerah. Misalnya,
memperjuangkan masalah anggaran, DAU daerah,
pemekaran daerah dan maksimalisasi hubungan
pusat dan daerah.

Sedangkan ketatanegaraan itu sendiri


merupakan konsekuensi hubungan dan kedudukan
antar lembaga tinggi dan tertinggi yang diatur
67
dalam konstitusional suatu negara. Hubungan dan
kedudukan lembaga tinggi dan tertinggi inilah yang
mendinamisasi proses penyel enggaraan kehidupan
kenegaraan suatu bangsa. Legitimasi konstitusional
keberadaan DPD tertuang pada pasal 2 ayat 1 UUD
1945, yang menyatakan MPR terdiri dari anggota
DPR dan anggota DPD yang dipilih melalui
pemilihan umum dan diatur lebih lanjut melalui
undang-undang. Dengan demikian legitimasi atas
keberadaan DPD sangat kuat, sebab
keanggotaannya dipilih melalui pemilihan umum.

Lebih jauh dari itu, harus dibangun atmosfir


“ruang publik” bukan sekadar ketersediaan forum
untuk mendiskusikan setiap kebijakan publik,
melainkan sebuah kondisi yang memungkinkan
konstituen untuk selalu berperan sebagai pengeras
suara (sounding board) dalam menyuarakan
kepentingan publik untuk pembuatan kebijakan
publik. Ruang public untuk melakukan interupsi.

68
Ruang publik yang dapat menunjukkan diskursus
antara konstituen dan wakilnya yang berujung
pada kebijakan publik yang benar-benar berpihak
pada kepentingan publik. Ruang public untuk
memanggilnya pulang Ketika mengecewakan
pemilih, dan saya mau memulainya dengan
membuat dan mempublis Pakta Integritas yang
dapat dijadikan alat tagih di platform sosial media,
dan saya masih memiliki sisa-sisa rasa malu dan
rasa takut untuk dipermalukan.

D. Kuatkan atau Bubarkan

Hal mendasar yang menentukan bangunan suatu

Negara adalah konsep kedaulatan yang dianut. Benar


bahwa, konstruksi ketatanegaraan Indonesia
menempatkan kedaulatan berada di tangan rakyat.
Hal tersebut ditegaskan melalui Pasal 1 ayat (2) UUD
1945 yang menentukan bahwa “Kedaulatan berada
di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-
69
Undang Dasar.” Dengan kata lain, pemilik kekuasaan
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara
Indonesia adalah rakyat.

Jika keberadaannya tidak memberikan kontribusi


positif bagi pengembangan demokrasi dan
kesejahteraan rakyat, maka penulis berpendapat
akan lebih baik jika DPD dibubarkan karena ia hanya
memboroskan anggaran negara.

Suatu bangsa yang berhasil di dalam masyarakat


itu mempunyai pemikir-pemikir didalamnya,
bukan hanya peneliti, pengamat, dan pelaku, agar
bisa melihat sesuatu dari kejauhan bagaimana
strukturnya, tendensinya, akar-akarnya bagaimana,
semua dilihat dalam sebuah olah gambaran yang
lebih holistis.

Sebenarnya deliberasi demokrasi itu pada


prinsipnya sangat sederhana, hanya harus ditambah
satu yaitu ruang publik”, tegasnya.kalau perlu ada
amandemen konstitusi yang menjamin
distribusi .hak  komunikatif publik secara adil agar
70
Indonesia mendekati ke arah demokrasi liberatif,
diusulkan cara: (1) Perbanyak prestasi deliberasi
publik dalam masyarakat; ( 2) Pemilu berintegrasi
untuk legislasi berintegrasi; ( 3). Legislasi publik
pro deliberasi publik

PAKTA INTEGRITAS

Yang bertanda tangan di bawah ini

71
Nama : Muhaimin Faisal
Umur : 47 Tahun
Jabatan : Calon AnggotaDPD-RI Periode
2024-2029

dengan ini menyatakan bahwa :


Jika saya terpilih menjadi Anggota DPD-RI
Periode
2024-2029 saya berjanji dan bersedia untuk
mundur jika saya mencewakan 50% + 1
pendukung / pemilih saya.

Sulawesi Barat, 23 Mei 2023


Yang Membuat Pernyataan,

MUHAIMIN FAISAL

DATA PRIBADI
72
 Nama : Muhaimin Faisal
 Tpt, Tgl Lahir : Majene, 17 Februari 1976
 Alamat : Jalan Andi DAI No.55 Mamuju
 Jenis Kelamin : Laki-Laki
 Agama : Islam
 Status : Menikah
 Orang Tua : Faisal Gani (alm) & Nahariah (Almh)
 Isteri : Erna Zaenab
 Anak : Zabran Paingarang

PENDIDIKAN

 SDN No.031 Lembang-Lembang Polewali Mandar


(1988)
 MTs. GUPPI Binanga Majene (1991)
 SMA Neg. 1 Mamuju (1994)

KARYA ILMIAH, SASTRA, MUSIK DAN FILM

 Buku “Mereka Bicara Tentang Pemilu” 2004


 Buku “ Menuju Dewan Rakyat” 2010
 Buku “Pada Pemuda Sejarah Hari Esok
Dipertaruhkan’ 2011
 Buku “Esai Foto Tana Lotong Memanggil” 2015
 Buku Cerpen “Budi Bermain Bom” 2016
 Buku Novel Sejarah “Topoiyo” 2019
 Buku “Arsitektur Kalumpang” 2022
 Lagu Daerah : Seda, Sayo 2018
73
 Puisi : Di Pintumu Aku Mengetuk, Cinta Sederhana
2019
 Film Dokumenter “Ekspedisi Sungai Karama” 2017
 Film Dokumenter “Membendung Bendungan” 2022
ORGANISASI & KEPEMIMPINAN

 Relawan PMI Cab. Mamuju


 Penggagas Sulbar Creative Forum (SCF)
 Pendiri PT. PIJAR Tumbuh Bersama

74
Sinopsis

Masalahnya, mekanisme pemilihan DPD dipaksa


oleh amandemen konstitusi untuk dipilih secara
langsung. Dampaknya, yang terpilih tak mewakili
kelompok minoritas dalam masyarakat, tapi dikuasai
mantan anggota partai politik, kepala daerah & local
strongman yang ingin memperpanjang durasi
kekuasaan, kalau tidak mau dibilang, terbiasa dengan
hidup yang ditanggung negara .

75

Anda mungkin juga menyukai