Anda di halaman 1dari 75

ARSITEKTUR

KALUMPANG
JANTUNG TRADISI AUSTRONESIA

Muhaimin Faisal
Arsitektur Banoa Batang Kalumpang iii
ARSITEKTUR KALUMPANG
Penulis : Muhaimin Faisal
Penyunting :
Penata Letak :

Diterbitkan pada tahun 2022 oleh


Dinas Pendidikan dan Kebudayaan
Provinsi Sulawesi Barat

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang


Isi buku ini, baik sebagian maupun seluruhnya, dilarang
diperbanyak dalam bentuk apa pun tanpa izin dari
penerbit, kecuali dalam hal pengutipan untuk keperluan
penulisan artikel atau karangan ilmiah.

iv iii
Arsitektur Rumah Tradisional
Aceh
SAMBUTAN
Lompatan teknologi perlahan membentuk karakter generasi
millenial untuk pragmatis dan cenderung tidak mau ribet dan fokus pada
hasil serta abai pada proses. Realitas ini merupakan ancaman sekaligus
tantangan terhadap nilai-nilai luhur budaya bangsa. Nilai kearifan lokal
yang santun, ramah, saling menghormati, arif, bijaksana, dan religius
seakan terkikis dan tereduksi gaya hidup instan dan modern. Fenomena
itu dapat menjadi representasi melemahnya karakter bangsa yang
terkenal ramah, santun, toleran, serta berbudi pekerti luhur dan mulia.

Sebagai bangsa yang beradab dan bermartabat, situasi yang


demikian itu jelas tidak menguntungkan bagi masa depan bangsa,
khususnya dalam melahirkan generasi masa depan bangsa yang cerdas
cendekia, bijak bestari, terampil, berbudi pekerti luhur, berderajat mulia,
berperadaban tinggi, dan senantiasa berbakti kepada Tuhan Yang Maha
Esa. Oleh karena itu, dibutuhkan paradigma pendidikan karakter bangsa
yang tidak sekadar memburu kepentingan kognitif (pikir, nalar, dan
logika), tetapi juga memperhatikan dan mengintegrasi persoalan moral
dan keluhuran budi pekerti. Hal itu sejalan dengan Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional, yaitu fungsi pendidikan adalah mengembangkan kemampuan
dan membangun watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam
rangka mencerdaskan kehidupan bangsa dan untuk mengembangkan
potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa
kepada Tuhan yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta
bertanggung jawab.

Penguatan pendidikan karakter bangsa dapat diwujudkan


melalui pengoptimalan peran Gerakan Literasi Nasional (GLN) yang
memumpunkan ketersediaan bahan bacaan berkualitas bagi masyarakat
Indonesia. Bahan bacaan berkualitas itu dapat digali dari lanskap dan
perubahan sosial masyarakat perdesaan dan perkotaan, kekayaan
bahasa daerah, pelajaran penting dari tokoh-tokoh Indonesia, kuliner

iv
Indonesia, dan arsitektur tradisional Indonesia. Bahan bacaan yang
digali dari sumber-sumber tersebut mengandung nilai-nilai karakter

v
bangsa, seperti nilai religius, jujur, toleransi, disiplin, kerja keras,
kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan,
cinta tanah air, menghargai prestasi, bersahabat, cinta damai, gemar
membaca, peduli lingkungan, peduli sosial, dan tanggung jawab. Nilai-
nilai karakter bangsa itu berkaitan erat dengan hajat hidup dan
kehidupan manusia Indonesia yang tidak hanya mengejar kepentingan
diri sendiri, tetapi juga berkaitan dengan keseimbangan alam semesta,
kesejahteraan sosial masyarakat, dan ketakwaan kepada Tuhan Yang
Maha Esa. Apabila jalinan ketiga hal itu terwujud secara harmonis,
terlahirlah bangsa Indonesia yang beradab dan bermartabat mulia.

Salah satu rangkaian dalam pembuatan buku ini adalah proses


penilaian yang dilakukan oleh Pusat Kurikulum dan Perbukuaan. Buku
nonteks pelajaran ini telah melalui tahapan tersebut dan ditetapkan
berdasarkan surat keterangan dengan nomor 13986/H3.3/PB/2018 yang
dikeluarkan pada tanggal 23 Oktober 2018 mengenai Hasil Pemeriksaan
Buku Terbitan Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa.

Akhirnya, kami menyampaikan penghargaan dan ucapan terima


kasih yang setulus-tulusnya kepada Kepala Pusat Pembinaan, Kepala
Bidang Pembelajaran, Kepala Subbidang Modul dan Bahan Ajar beserta
staf, penulis buku, juri sayembara penulisan bahan bacaan Gerakan
Literasi Nasional 2018, ilustrator, penyunting, dan penyelaras akhir atas
segala upaya dan kerja keras yang dilakukan sampai dengan
terwujudnya buku ini. Semoga buku ini dapat bermanfaat bagi khalayak
untuk menumbuhkan budaya literasi melalui program Gerakan Literasi
Nasional dalam menghadapi era globalisasi, pasar bebas, dan
keberagaman hidup

manusia.

Mamuju,

Kadis Pendidikan dan


Kebudayaan

Salam kami,

Ttd

vi
Prof. Gofron

vii
viii
ABSTRAK
Abstrak Arsitektur dari suatu bangsa, pada suatu masa
sering berbeda-beda, baik dalam hal bentuk maupun
konsep-konsep yang melandasinya. Hal ini tentu disebabkan
adanya perbedaan kebudayaan dari suatu masyarakat
dengan masyarakat lainnya. Setiap suku bangsa biasanya
akan menunjukkan identitas budayanya melalui benda-
benda budaya yang mereka buat. Demikian halnya
masyarakat Dayak Kanayatn memiliki ciri tersendiri dalam
bentuk arsitektur bangunan khususnya bangunan rumah
tinggal. Bentuk arsitektur masyarakat Dayak Kanayat’n yang
tinggal di Desa Sahapm tercermin dalam bentuk Rumah
Betang atau Rumah Panjang dan hingga kini masih dijaga
dan dihuni oleh masyarakat. Bentuk rumah Betang juga
menunjukkan hidup kebersamaan bagi penghuninya. Dalam
Rumah panjang atau Rumah Betang mereka berinteraksi
antara bilik yang satu dengan bilik yang lainnya Indonesia
sangat kaya akan seni, adat, dan budaya. Terkadang,
ketiganya—seni, adat, budaya—bisa menyatu dalam
satu bentuk. Rumah tradisional, misalnya, bisa
memuat ketiga hal tersebut. Secara arsitektur, rumah
tradisional mengandung nilai seni yang sangat tinggi.
ix
Secara filosofis, rumah tradisional memuat nilai-nilai
adat dan kearifan suatu daerah. Secara umum, rumah
tradisional menggambarkan kehidupan dan budaya
masyarakat pemilik rumah tersebut.
Dalam buku ini dipaparkan tentang rumah
tradisional komunitas Kalumpang Sulawesi Barat yang
dikenal dengan nama Banoa Batang. Bagi komunitas
Kalumpang, rumah tradisional rumah khas, yang
dihuni sejak lampau.
Buku sederhana ini berusaha memaparkan
arsitektur Banoa Batang secara umum, mulai dari
truktur bangunan, hingga nilai-nilai filosofi yang
terkandung di baliknya. Dengan membaca buku ini,
siswa diharapkan dapat mengenal lebih dekat
tentang konstruksi dan nilai-nilai di balik rumah
tradisional Banoa Batang. Rumah tradisional Banoa
Batang merupakan salah satu sumber kekayaan
seni, adat, dan budaya S u l a w e s i B a r a t s e c a r a
khusus dan Indonesia secara umum. Oleh karena
itu, dengan membaca buku ini, siswa akan semakin
mengenal kekayaan seni budaya dan keunggulan
komparatif nenek moyangnya.
daerah di Indonesia.
Buku ini diharapkan dapat menjadi referensi bagi
siswa setingkat sekolah menengah atas dalam
mengenal arsitektur tradisional. Kendati
x
diperuntukkan bagi siswa sekolah menengah atas,
buku ini juga dapat digunakan para pelajar dan
mahasiswa lain serta para arsitek.
Beberapa bagian tentang struktur Banoa Batang
menggunakan bahasa Kalumpang. Hal ini bertujuan
agar terbangun jarak psikologis yang lebih dekat juga
sebagai bentuk penghargaan terhadap bahasa daerah
yang merupakan identitas setiap daerah.
Akhirnya, penulis berharap semoga buku ini dapat
bermanfaat bagi anak-anak Indonesia yang mau
belajar lebih dalam tentang arsitektur tradisional di
Indonesia. Semoga buku ini dapat pula menjadi
referensi atau acuan bagi setiap orang untuk menulis
kekayaan arsitektur tradisional di daerahnya masing-
masing. Akhirulkalam, penulis mengucapkan selamat
membaca. Dengan membaca, kita banyak tahu. Dengan
menulis, kita memberi tahu.

Mamuju, Februari
2021 Muhaimin Faisal

xi
Rumah Betang, Jantung Tradisi dan Pusat Kebudayaan
Dayak Kanayat’n

Melihat bentuk rumah betang dari sisi tata ruang, bentuk bangunan,
aksesoris seperti patung, ukiran, pernak pernik, dan pola penataannya
memiliki arsitektur tersendiri. Ini tergambar dari bagaimana pola hidup,
pola pikir, filosofi serta kebudayaan yang terjadi dalam masyarakat suku
Dayak Kanayat’n.

Bentuk rumah betang milik suku Dayak Kanayat’n terdiri dari bangunan
panjang dan hanya terdapat satu unit dalam satu kampung. Kepala Dusun
Dayak Kanayat’n, Desa Saham, Kecamatan Tengah Kemila Kabupaten
Landak, Jonianto, menjelaskan, “Rumah ini memiliki 35 pintu, dengan
masing-masing pintu yang dapat menampung 2-3 kepala keluarga.
Uniknya, rumah ini sangat tidak biasa, karena berbeda dengan rumah
betang dari suku Dayak lain. Biasanya rumah betang Dayak lain tidak
lebih dari 5 unit”. Ungkap Jonianto kepada tim Indonesiakaya.com yang
menemuinya langsung di Dusun Dayak Kanayat’n.

Bentuk rumah betang memiliki ciri khas yakni berkolong tinggi, dengan
ketinggian sampai dengan 4 meter dari permukaan tanah. Ruang kosong di
bawah rumah berfungsi sebagai tempat menyimpan padi hasil panen. Badan
rumah (dinding) di beberapa rumah memiliki arsitektur jengki dengan atap
pelana memanjang. Struktur ruang rumah Betang memiliki serambi, dimana
setiap pintu memiliki serambi yang tidak bersekat satu sama lain. Kemudian,
rumah ini juga memiliki ruang keluarga, ruang dapur, dan ruang tidur.

Dapur mempunyai pemandangan langsung menuju ruang keluarga. Seperti


umumnya dapur, ruang ini hanya berukuran 1x2m dan hanya untuk
menempatkan tungku perapian untuk memasak. Di atas perapian biasanya
ada tempara untuk menyimpan persediaan kayu bakar. Arsitektur dapur di
rumah betang amat sederhana dan hanya berfungsi untuk kegiatan masak
memasak saja.

Jonianto menceritakan, suku Dayak Kanayant’n memiliki beberapa keahlian


misalnya, bermain musik, gong dan kecapi. Kesenian ini menurutnya, untuk
mempertahankan budaya masyarakat di sini. Suku Dayak Kanayat’n juga
xii
memiliki sanggar seni, sanggar ini dimaksudkan sebagai sarana 
mempertahankan budaya dan untuk keperluan regenerasi.
 
Selain itu, warga suku Dayak Kanayat’n mahir membuat anyaman. Anyaman
dari daun tersebut kemudian dirangkai menjadi topi capling (topi tani) dan
tas punggung untuk membawa hasil pertanian. ”Warga Dayak Kanayat’n
memiliki mata pencaharian dari berladang dengan nyorek atau mengambil
karet dan menanam padi. Setiap kali akan berladang, suku Dayak Kanayat’n 
memiliki beberapa ritual salah satunya bersembahyang di sebuah tempat
khusus untuk memberikan penghormatan,” ungkap Jonianto.

Selain di ladang dan hutan, aktivitas suku Dayak lebih banyak dilakukan di
dalam rumah baik itu aktivitas sosial, kebudayaan, bahkan pusat kekuasaan
mengatur tata kehidupan masyarakat. ”Dengan kata lain, rumah betang bagi
suku Dayak merupakan pusat kebudayaan dan jantung tradisi mereka.
Karenanya, keberadaan rumah betang harus tetap dijaga kelestariannya.
Walaupun sudah tidak ditempati lagi, setidaknya tetap dijadikan sebagai
bangunan konservasi karena memiliki nilai sejarah yang tinggi bagi orang
Dayak,”

xiii
DAFTAR ISI
Sambutan..............................................................................
Abstrak................................................................................
Daftar Isi............................................................................
Kalumpang Pusat Kebudayaan Austronesia
Rumah Tradisional Banoa Batang......................................
1. Tipologi permukiman
2. Tipologi dan Morfologi Banoa Batang
3. Banoa Batang “Jantung” Tradisi Austronesia
4. Orientasi bangunan
5. Konstruksi Bangunan.......................................................
a. Elemen Banoa Batang...............................................
b. Perkakas Membangun Banoa Batang.......................
c. Pembagian Ruang......................................................
d. Rumah Tahan Gempa................................................
6. Makna dan Filosofi Banoa Batang.................................
7. Budaya Berhuni dan Kesan Termis pada Banoa Batang
8. Tektonika Arsitektur Banoa Batang
Kehandalan Sistem Struktur dan Konstruksi Banoa Batang dalam
Merespon
Gempa
9. Pengaruh Pondasi Umpak pada Perilaku Seismik
10.Ritual Pendirian dan Memasuki Banoa Batang
11. Eksistensi Banoa Batang
12. Arsitektur Kalumpang sebagai sumber pengetahuan ..........
13. Asosiasi dengan bangunan lain
14. Arsitektur Lumbung ......................... ......................................
15. Arsitektur Jembatan .............................................................
Pola Ruang dan Siklus Udara

******

Kalumpang Pusat Kebudayaan Austronesia

Secara harfiah, Austronesia berarti “Kepulauan Selatan” berasal dari bahasa Latin:
Australis yang berarti Selatan dan bahasa Yunani: nenos (jamak: nesia) yang berarti
pulau. Suku Austronesia menjadi leluhur cikal bakal kebudayaan dan Bahasa
Indonesia. Suku Austronesia memiliki teknologi irigasi maju seperti terasiring, dengan
begitu suku Austronesia telah memberi kontribusi penting dalam memajukan pertanian
Nusantara kala itu.

Dalam historisitas Indonesia, awal kolonialisasi Austronesia di Kepulauan Nusantara


adalah sekitar 3.800 SM, dengan Situs Minanga Sipakko di Kalumpang Sulawesi Barat
sebagai penanda. Hasil penelitian ini mengindikasikan bahwa Kalumpang merupakan
lokasi koloni tertua, secara gradual lebih mengarah ke Barat menuju Sumatera dan
Jawa, ke Selatan menuju Kepulauan Sunda Kecil dan ke Timur menuju Maluku dan
Pasifik, menurut para ahli antropologi.

Dengan segala bentuk penyebaran yang tidak terduga, Austronesia masih belum bisa
menghasilkan peradaban akibat pola penyebarannya yang divergen. Disaat bersamaan
peradaban menghasilkan system tulisan yang penyebarannya berpola konvergen.
Mereka tersebar kedalam komunitas-komunitas kecil atau sering juga disebut dengan
head hunting. Untuk menumbuhkan kapasitas identitas Austronesia di wilayah yang
cross-regional dipercaya harusnya ada regional grouping yang baru dan lebih kuat
secara sosial politik.

Perkembangan teori asal-usul Austronesia yang telah diajukan oleh para ahli memiliki
sudut pandang yang berbeda-beda melalui pendalaman studi antropologi, arkeologi,
bahasa, dan genetika. Tetapi intinya ada tiga kubu model rekonstruksi asal-usul
masyarakat penutur Bahasa Austronesia, yaitu; Pertama, Austronesia berasal dari
pulau Taiwan. Kedua, Austronesia berasal dari kawasan Asia Tenggara Kepulauan dan
Ketiga Austronesia berasal dari kawasan Melanesia.

Migrasi ini didasarkan pada bukti material bertipe sama yang juga tercatat ada di
pulau-pulau Asia Tenggara. Semua muncul di lokasi penggalian yang tersebar luas
antara 6.000 dan 3.500 tahun yang lalu. Umur temuan yang setipe ditemukan semakin
ke Selatan semakin muda, yaitu menuju Indonesia dan Oseania Barat. Diantaranya
adalah tembikar berslip merah diperkirakan berusia 4.500 – 3.500 tahun, muncul di
daerah pesisir dan pedalaman Filipina, Sulawesi, Kalimantan Utara dan Halmahera.
Warisan bersama juga terlihat lewat kebiasaan seni tato, penggunaan cadik pada
perahu dan karakteristik social seperti perhatian terhadap urutan kelahiran saudara
kandung dan penghormatan untuk pendiri suku dan leluhur.

Kalumpang, bukan sekadar kecamatan terluas di dataran tinggi Mamuju, ibukota


Sulawesi Barat. Daerah yang mencakup komunitas adat Tana Lotong itu menyimpan
dan meninggalkan jejak peradaban manusia di Sulawesi yang hingga kini masih
menyisakan tradisi Austronesia dengan lengkap. Bangsa Austronesia, bangsa penutur
yang berasal dari Asia daratan diyakini kali pertama menginjakkan kaki di wilayah ini.
Keberadaan bangsa yang menurunkan populasi di sepanjang Pasifik sampai
Madagaskar, serta Selandia Baru sampai Hawaii itu terlacak melalui penemuan
sejumlah situs di wilayah Kalumpang.

Kalumpang sebagai hunian dari masa neolitik, pertama kali diperkenalkan oleh Dr.
P.V Stein Callenfels, seorang prehistorian berkebangsaan Belanda bekerja di Lembaga
Purbakala (Oudheidkundige Dienst) pada masa kolonial. Stein Callenfels
mempresentasekan hasil penelitiannya pada Kongres Prasejarah Asia Timur Jauh di
Manila tahun 1951 dan menerbitkannya dalam Journal of East Asiatic Studies, 1952. 

Singkatnya, riset itu dimulai tahun 1933, A.A. Cense juga mengajak Van Stein
Callenfels, dua arkeolog Belanda, memulai penelitiannya. Berbagai temuan yang
didapat menarik arkeolog Belanda H.R. van Heekeren. Pada 1949, Van Heekeren juga
melakukan pekerjaan yang sama dan menemukan banyak benda-benda prasejarah.
Seperti pendahulunya, Heekeren menyusuri Sungai purba Karama selama hampir
sepekan untuk mencapai Kalumpang.
Tetapi kedatangan Cense ke Kalumpang atas perintah dan ketertarikan Gubernur
Jenderal di Wilayah Sulawesi ketika itu J. Caron atas temuan arca Budha tipe
amarawati yang ditemukan penduduk lokal. Patung amarawati inilah yang menjadi
awal dari rangkaian panjang penelitian dan penelusuran artefak yang kemudian
mempertemukannya dengan benda-benda prasejarah yang lebih tua.

Data sekunder hasil riset Cense dan Callenfels memberi kemudahan Van Heekeren
untuk menjadikan bukit Kamassi Desa menjadi sasaran utama. Walaupun sebelumnya,
arkeolog Belanda ini telah melakukan ekskavasi di Desa Sikendeng, di daerah muara
Sungai Karama yakni di Desa Sampaga. Di Kamassi Van Heekeren banyak
menemukan mata beliung dari batu dan gerabah, tentu dengan melibatkan warga lokal.
Callenfels sendiri pernah kembali ke Kalumpang tahun 1937.

Van Heekerenlah yang menemukan situs Minanga Sippako, sekitar 2 km dari Desa
Kalumpang dan situs Kamasi, sekitar 500 meter dari pusat Desa Kalumpang. Ada mata
kapak berbagai bentuk dan ukuran, pecahan gerabah, dan gerabah utuh., dari sinilah
bermula keyakinannya bahwa benda-benda itu berasal dari zaman prasejarah. Lebih
tepatnya dari masa bercocok tanam tatkala Kalumpang memulai berladang. Masa yang
menandai beralihnya pola pencarian sumber makanan dari berburu menjadi berladang.
Saat itu manusia memang menggunakan beliung batu sebagai salah satu alat membuka
dan mengolah lahan.

Dari rangkaian penelitian-penelitian itu, Kalumpang menjadi magnet kuat bagi para
peneliti kelas dunia sejak penelitian pertama tersebut. Diantaranya Soejono dan
Mulvaney tahun 1969 serta Uka Tjandrasasmita dan Abu Ridho tahun 1970. Hasil
eksplorasi Soejono memperkaya pengetahuan tentang jejak dan fase kebudayaan
Kalumpang akan adanya periode Paleometalik yang buktinya diperkuat atas hasil
penelitian Balai Arkeologi Sulawesi Selatan pada tahun 20013 dan 2014 .

Selain pecahan tembikar, baik bermotif maupun polos, di kedua situs juga ditemukan
berbagai peralatan batu, seperti beliung persegi, pisau, mata panah, mata tombak, dan
pemukul kulit kayu. Artefak-artefak itu menandai corak kebudayaan neolitikum
masyarakat Kalumpang. Alat batu yang dipoles dan mata tombak. Tembikar, alat
pertanian batu, kayu dan tulang, bukti pertukangan, pembuatan kapal, kumparan
pemintal benang untuk menenun, anyaman tali bercocok tanam, padi lading serta
hewan ternak seperti babi dan kerbau. Adanya pergeseran dari gaya hidup berburu
yang diduga berasal dari masa Paleolitik Asia Timur ke kehidupan menetap dengan
bertani dan beternak.

Profesor Truman Simanjuntak peneliti senior Pusat Arkeologi Nasional juga menjadi
salah seorang yang membuktikan ketertarikannya. Selain pecahan tembikar, baik
bermotif maupun polos, di kedua situs juga menemukan berbagai peralatan batu,
seperti beliung persegi, mata panah, pisau, mata tombak, dan pemukul kulit kayu.
Artefak-artefak itu menandai corak kebudayaan neolitikum masyarakat pembuatnya.

Karena itu, Truman menilai, Kalumpang menjadi titik penting menelusuri leluhur
langsung bangsa Indonesia dan kehidupan awal mereka di Nusantara. Dalam konteks
temuan tembikar, penanda utama kebudayaan Austronesia, Truman mengatakan,
Kalumpang adalah situs terkaya di Asia Tenggara. ”Ada puluhan motif, hiasan, dan
teknik pembuatan keramik yang ditemukan di Kalumpang. Ia juga mengatakan, situs
Kalumpang adalah peninggalan Austronesia tertua di Nusantara dari jalur migrasi utara
(Taiwan). ”Hasil penanggalan di situs itu mencapai usia 3.800 tahun,” ujarnya.
Berdasarkan penanggalan pada artefak dan ekofak yang ditemukan, diketahui bahwa
situs itu berasal dari 3.600 SM. Terbilang tua lantaran penutur Austronesia kuno
memasuki wilayah nusantara sekitar 4.000 SM. Di sana, selain artefak, juga ditemukan
ekofak berupa sisa tulang-tulang hewan hasil konsumsi, seperti babi, rusa, dan kerbau.
Sejauh ini, situs-situs neolitik yang ditemukan di kawasan pesisir dan pantai di
Sulawesi berusia lebih muda, antara 1.000 sampai 3.000 SM. Di Minanga Sipakko dan
Kalumpang para arkeolog itu berhasil menemukan puluhan alat batu seperti beliung
dan kapak batu. Model semacam itu juga amat umum ditemukan di situs-situs neolitik
lainnya di Sulawesi. Beliung dan kapak batu itu rupanya ditemukan pula di Filipina,
Jepang, dan Taiwan. Alat ini juga tersebar sampai ke Pulau Jawa, Sumatera, dan
Malaysia. Para arkeolog itu juga menemukan peralatan dari gerabah atau tanah liat
yang dibakar. Bentuk-bentuknya variatif, mulai dari mangkuk sampai tempayan, dan
kaya dengan ragam hias. Bahkan ada ragam hias yang bersifat lokal, yang tak
ditemukan pada situs-situs neolitik lain di Nusantara. Kalumpang dan Minanga
Sipakko terbilang sebagai situs neolitik terlengkap di Indonesia.

Termasuk Peter Bellwood seorang dosen arkeologi di School of Archaeology and


Anthropology Australian National University (ANU) di Canberra, Australia. Bidang
kepakarannya mencakup prasejarah Asia Tenggara dan Pasifik dari segi arkeologi,
linguistik dan biologi, asal usul pertanian dan akibatnya dalam perkembangan
kebudayaan, bahasa dan biologi, kaitan interdisipliner antara arkeologi, linguistik dan
biologi manusia.

Professor Bellwood adalah sekretaris jenderal Indo-Pacific Prehistory Association dan


editor Bulletin of the Indo-Pacific Prehistory Association dan anggota dewan redaksi
Asian Perspective, Journal of Archaeological Method and Theory, Journal of
Austronesian Studies, Journal of World Prehistory, Review of Archaeology dan
Sarawak Museum Journal.

Peter Bellwood, dalam buku Prehistory of the Indo-Malaysian Archipelago terbitan


tahun 2007, meyakini bahwa peralatan batu dan motif tembikar dari situs Kalumpang
merupakan yang paling mirip dengan artefak neolitik. Artefak jenis ini ditemukan di
Taiwan. Salah satu teori yang populer menyebutkan, orang Austronesia bermigrasi dari
Taiwan sekitar 5.000 tahun silam melintasi lautan menuju Filipina. Dari sana mereka
menyebar ke Sulawesi dan Kalimantan, lalu ke seluruh kepulauan Nusantara dan
pulau-pulau di Samudra Pasifik.

Ujung terjauh migrasi itu mencapai Pulau Paskah di timur dan Madagaskar di barat.
Bahasa Austronesia pun menjadi ”moyang” dari sebagian besar bahasa yang
digunakan di wilayah itu, termasuk Indonesia. Selain bahasa, peralatan batu, dan
tembikar, orang Austronesia juga membawa budaya pertanian ke wilayah-wilayah
tersebut.

Informasi lain dari Iwan Sumantri seorang arkeolog Universitas Hasanuddin,


Makassar. Menurutnya, “sebelum dilakukan banyak penelitian di Kalumpang,
masyarakat setempat masih beranggapan bahwa mereka bagian dari suku Toraja atau
Mamasa, daerah tetangga Kalumpang. ”Namun, setelah masyarakat mengetahui
riwayat daerah yang dihuni selama ribuan tahun, mereka berkeyakinan memiliki
identitas tersendiri sebagai orang Kalumpang”.

Menurut arkeolog dari Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Makassar, Rustan,
situs Kalumpang memiliki karakter neolitik murni yang sangat sulit ditemui di daerah
lain di Indonesia. Namun, penelitian arkeologis yang dilakukan selama ini belum bisa
menjangkau semua potensi sebaran situs. Selain Minanga Sipakko dan Kamassi,
BPCB Makassar juga mencatat setidaknya terdapat delapan situs lain yang belum
dieksplorasi maksimal di wilayah Kalumpang.

Tradisi memahat yang beralur di sebuah batu gigantik tidak jauh dari Patondokan,
sebuah perkampungan tua masyarakat komunal Kalumpang, ditemukan Zulkifli
Pagessa, seorang arsitek, sejarawan, pemerhati sosial dan pekerja seni budaya dari
Donggala Sulawesi Tengah. Orang Kalumpang menyebutnya Batu Kondongan, tempat
melantik Petoiutta (Pasukan Perang) dengan melompati batu di tebing Tanete Paken
atau orang dahulu mengenalnya Tanete Tau-Tau.

Juga tentang peti mayat lapuk diletakkan diantara dua batu tersimpan rapih dalam goa
dengan bebatuan hijau di wilayah Kalimbuang. Menurut cerita Tobaraq Kalumpang
Silas Paindang biasa disapa Nenek Udang, mayat dalam peti tersebut adalah Ni
Pandang, seorang putera tersayang, rasa sayang itulah yang menyebabkan tak rela dan
sudi untuk ditanam. Diletakkan dalam sebuah peti disimpan dalam goa dengan maksud
ketika itu agar setiap saat dapat dikunjungi dan dipandangi.

Orang Kalumpang hidup bersahaja di perkampungan unik khas dataran tinggi, dataran
lembah subur yang dikelilingi pegunungan. Warga menyandarkan penghidupan dari
menggarap pertanian dan hasil hutan, seperti padi, kopi, tanaman kayu, rotan, kemiri,
enau, damar nilam dan tanaman jangka pendek lainnya. Juga masih ada yang
menyambung hidup dengan menenun walaupun yang tersisa hanya segelintir..

”Orang Seko (daerah perbatasan Kalumpang- Luwu Sulawesi Selatan) dulu menyebut
daerah kami Tanalotong. Artinya, ’tanah subur’. Kini, kami memakai nama itu untuk
menyebut masyarakat adat kami,” kata Robert Eli Sipayo sang penjaga tradisi
Kalumpang seorang Tobaraq yang menjadi langganan para peneliti. Masyarakat adat
Tana Lotong perlahan mulai popular terlepas dari pro kontra yang menyertainya.

Secara administratif masyarakat adat “Tana Lotong” tersebar di tiga kecamata yakni :
Kecamatan Kalumpang, Kecamatan Bonehau, dan Kecamatan Tommo Kabupaten
Mamuju, Provinsi Sulawesi Barat. Secara geografis, letak wilayahnya sangat terpencil.
Kondisi jalan tanah berbatu, melintasi sekitar 20 anak sungai, dan menerobos kanopi
hutan. Dengan medan yang cukup rawan, kondisi jalan yang masih dalam tahap
perbaikan, dan beberapa anak sungai yang berpotensi meluap menyebabkan akses
menuju wilayah masyarakat adat Tana Lotong cukup sulit dijangkau.

Kecamatan Bonehau merupakan pemekaran dari Kecamatan Kalumpang sejak 10


tahun yang lalu. Jumlah penduduk di kecamatan Bonehau pada tahun 2013 kurang
lebih 6.000 jiwa (versi BKKBN) dengan jumlah penduduk wajib  pilih 1.823 jiwa, dan
729 Kepala Keluarga. Masing-masing jumlah penduduknya, Kalumpang 13.536 jiwa,
dan 9.257 jiwa untuk Bonehau. Ini menurut Data Statistik Kabupaten Mamuju 2009.

Kondisi geografis yang jauh dari perkotaan tersebut membuat masyarakat adat

Tana Lotong saat ini masih tetap eksis berusaha sendiri untuk memenuhi segala

kebutuhan hidupnya tanpa menggantungkan harapan dengan dunia luar. Di antara

penyebab eksisnya masyarakat adat Tana Lotong sampai saat ini adalah Masyarakat

adat Tana Lotong sebagai salah satu komunitas adat yang masih memegang teguh

adat-istiadat, dan kebudayaan yang turun temurun diwariskan oleh nenek moyangnya.
Rumah adat Banoa Batang yang mengandung nilai filosofis yang masih dipegang

teguh oleh masyarakatnya hingga saat ini.

Tipologi permukiman

Sebagai negara kepulauan terbesar dan tersebar dengan jumlah pulau sekitar 17.508
membentang sepanjang 5.210 km dari Timur ke Barat, dihuni oleh sekitar 300 suku
bangsa dengan 583 bahasa dan dialek. Disertai keanekaragaman dan karakteristik
masing-masing secara fisik, lingkungan, sosial-budaya terwujud dalam model
permukiman, baik terletak dipedalaman, pegunungan maupun tepian sungai. Ini adalah
salah satu keunikan negeri kita Indonesia diantara sekian banyak keunikannya.

Permukiman sebagai wadah atau wujud fisik budaya saling mempengaruhi dengan
isinya, dan bertautan dengan lingkungan alami sebagai tempatnya. Ada dua aspek
penting mengenai isi dan lingkungan alami dari sebuah permukiman. Pertama, isi
meliputi dinamika perubahan demografis, sosial ekonomi dan budaya. Kedua,
lingkungan alami meliputi sumberdaya alam dan fisik spasial (geografi fisik)
mengalami perubahan dan perkembangan, karena terjadinya perubahan fisik, sosio-
ekonomi masyarakat.

Permukiman tradisional masyarakat Indonesia ditinjau dari segi historis banyak berada
di Daerah Aliran Sungai (DAS) karena akses transportasi, demikian pula dengan
Kalumpang. Akses DAS merupakan karakteristik permukiman awal sebagai cikal
bakal tumbuh dan berkembangnya Kalumpang. Sungai purba Karama yang berhulu di
Seko Kabupaten Luwu Sulawesi Selatan mengalir membelah Kalumpang sepanjang
hingga bermuara di Sampaga.

Abstrak, Penelitian situs di kawasan Daerah Aliran Sungai (DAS) Karama,


Sulawesi Barat, telah dilakukan selama bertahun-tahun dan menghasilkan
indikasi aktivitas hunian yang intensif pada masa Prasejarah. Dengan
demikian, perlu diupayakan mencari alasan di balik penghunian manusia di
DAS Karama berdasarkan korelasi antara morfologi, karakteristik situs, dan
distribusi situs. Metode saintifik diterapkan untuk mendapatkan data dari
lapangan
dan melakukan analisis spasial. Perubahan morfologi lokasi situs dan erosi di
kawasan DAS Karama menyebabkan transformasi data arkeologi serta
memengaruhi lingkungan fisik lokasisitus. Meskipun demikian, pengaruh
tersebut tidak lantas mengurangi pentingnya komponenfisik lokasi situs
sebagai data analisis spasial. Analisis korelasi data dari situs, baik di
sepanjang
aliran utama Sungai Karama di kawasan muara maupun di kawasan
pedalaman, mengindikasikan karakteristik lanskap hunian. Karakteristik
tersebut menunjukkan lokasi hunian berada padamorfologi aluvial sungai
(puncak bukit, teras bukit, dan teras sungai), berada pada topografi
lahan yang relatif datar dan berlokasi di tepi aliran utama sungai atau di tepi
pertemuan sungai(confluence). Ada dua faktor utama yang mendukung
kawasan DAS Karama sebagai lokasihunian, yakni aksesibilitas dan
keamanan. Faktor aksesibilitas meliputi kemudahan aksesterhadap sumber
daya alam dan akses yang memungkinkan terjadinya interaksi
antarkomunitas.
Faktor keamanan menunjukkan bahwa lokasi situs relatif terlindungi dari
ancaman bencanaalam dan manusia. Kedua faktor tersebut kemungkinan
besar menjadi alasan utama manusia memilih kawasan DAS Karama sebagai
lokasi hunian.

Sebaran situs di sepanjang DAS Karama digolongkan ke dalam dua


kelompok,
yakni kelompok situs di muara dan kelompoksitus di pedalaman. Kelompok
situs di muara DAS Karama, antara lain Sikendeng, Lattibung, Lemo Lemo,
Along Along, dan Pantaraan, sedangkan kelompok situs di pedalaman DAS
Karama, antara lain Sakkarra, Salu Makulak, Minanga Sipakko, Kamassi, dan
Palemba.

selaras dengan lingkungan sosial masyarakat Indonesia. Aksesibilitas penduduk di


daerah pedalaman, pegunungan maupun tepian sungai, terhubung melalui hutan dan
sungai-sungai untuk menghubungkan penduduk dari daerah hulu ke daerah hilir
sungai, seperti aksesibilitas masyarakat Kalumpang tautan lingkungan alami tercermin
melalui karakteristik fisik merupakan sifat alami, dimana sungai memiliki keunikan
lingkungan berwujud permukiman tradisional sebagai respon sifat lingkungannya.

Selain itu, Soekandar Wiriaatmadja (1972) membagi pola pemukiman di pedesaan ke


dalam empat pola, yakni:
a.      Pola permukiman menyebar
Rumah-rumah para petani tersebar berjauhan satu sama lain. Pola ini terjadi karena
belum adanya jalan-jalan besar, sedangkan orang-orang harus mengerjakan tanahnya
secara terus menerus. Dengan demikian, orang-orang tersebut terpaksa harus bertempat
tinggal di dalam lahan mereka.
b.      Pola permukiman memanjang
Bentuk pemukiman yang terlentak di sepanjang jalan raya atau di sepanjang sungai,
sedangkan tanah pertaniannya berada di belakang rumahnya masing-masing.
c.       Pola permukiman berkumpul
Bentuk pemukiman di mana rumah-rumah penduduk berkumpul dalam sebuah
kampung, sedangkan tanah pertaniannya berada di luar kampung.
d.     Pola permukiman melingkar
Bentuk pemukiman di mana rumah-rumah penduduk melingkar mengikuti tepi jalan,
sedangkan tanah pertaniannya berada di belakangnya.
4    Berdasarkan mata pencaharian
Tipe masyarakat desa berdasarkan mata pencaharian pokok dapat diklasifikasikan
dalam desa pertanian dan desa industri.
a.      Desa pertanian terdiri atas: 1) desa pertanian dalam artian sempit yang meliputi:
desa pertanian lahan basah dan lahan kering. 2) desa dalam artian luas yang meliputi:
desa perkebunan milik rakyat, desa perkebunan milik swasta, desa nelayan tambak,
desa nelayan laut, dan desa peternakan.
b.      Desa industri yang memproduksi alat pertanian secara tradisional maupun modern.
5    Berdasarkan perkembangannya
Berdasarkan perkembangannya, tipe desa di Indonesia terbagi atas empat tipe, yakni:
a.      Pra desa (desa tradisional)
Tipe desa semacam ini pada umumnya dijumpai dalam kehidupan masyarakat adat
terpencil, dimana seluruh kehidupan masyarakatnya termasuk teknologi bercocok
tanam, cara memelihara kesehatan, cara makan dan sebagainya masih sangat
tergantung pada alam sekeliling mereka. Tipe desa seperti ini cenderung bersifat
sporadis dan sementara.
b.      Desa swadaya
Desa ini memiliki kondisi yang relatif statis tradisional, dalam artian masyarakatnya
sangat tergantung pada keterampilan dan kemampuan pimpinannya. Kehidupan
masyarakat sangat tergan-tung pada alam yang belum diolah dan dimanfaatkan secara
baik. Susunan kelas dalam masyarakat masih bersifat vertikal dan statis, serta
kedudukan seseorang dinilai menurut keturunan dan luasnya pemilikan tanah.
c.       Desa swakarya
Keadaan desa ini sudah mulai disentuh oleh anasir-anasir (unsur) dari luar berupa
adanya pembaharuan yang sudah mulai dirasa-kan oleh anggota masyarakat. Benih-
benih demokrasi dalam pem-bangunan sudah mulai tumbuh, karya dan jasa serta
keterampilan mulai menjadi ukuran dalam penilaian, bukan lagi semata-mata pada
keturunan dan luas pemilikan tanah, mobilitas sosial baik vertikal maupun horizontal
mulai ada.
d.     Desa swasembada
Masyarakat telah maju, sudah mengenal mekanisasi pertanian, mulai menggunakan
ilmiah, unsur partisipasi masyarakat sudah efektif, norma-norma penilaian sosial
selalu dihubungkan dengan kemampuan dan keterampilan seseorang, dan yang
tidak kalah pentingnya adalah sudah terdapat golongan pengusaha yang berani
mengambil resiko dalam menanam modal (interpreneur).

“....Semua bagian rumah punya filosofi, tiap-tiap balok-baloknya dan itulah


panjang kalo diuraikan tiap balok punya makna semua....pertama, ada tiga
ruangan di bagian atas, meliputi Paladan, semacam ruangan seperti teras untuk
menerima tamu. Paladan tidak berdinding, menandakan keterbukaan
masyarakatnya....”

Sayangnya, para peneliti itu hanya asyik dengan dirinya sendiri tanpa empati yang
sedikit mendalam pada manusianya sebagai

Buku Arsitektur Banoa Batang ini akan mengantarkan pembaca


untuk mengetahui kekhasan arsitektur Kalumpang, mulai
struktur bangun, filosofi,

Latar Belakang
Arsitektur venakular atau arsitektur tradisional/rumah tradisional merupakan salah satu
wujud budaya masyarakat penutur bahasa Austronesia yang menyebar di Asia
Tenggara hingga ke Madagaskar. Dalam bukunya Ensiklopedi Venankular
Architecture Paul Oliver mengatakan:

 “Vernacular Architecture is now a term most widely used to denote indigenous, tribal,
folk, peasant, and traditional architecture”

Koentjaraningrat (1997) mendefinisikan arsitektur tradisional sebagai suatu


pencerminan wujud/zaman tertentu yang mempunyai ciri khas dan asli daerah tersebut,
dan sudah menyatu secara seimbang, serasi dan selaras dengan masyarakat, adat
istiadat, dan lingkungan. Berbeda dengan Djauhari Sumintardja (1978), yang
mengatakan “rumah tradisional dapat diartikan sebuah rumah yang dibangun dan
digunakan dengan cara yang sama sejak beberapa generasi. Adanya beberapa
perbedaan rumah tradisional di Indonesia, tetapi juga memiliki beberapa memiliki
kesamaan secara general (Arya Abieta, dkk; Tanpa Tahun;60-61) yakni:

1. Ritual kepercayaan sebagai acuan pembentukan ruang;


2. Beradaptasi dengan alam dan iklim setempat;
3. Memiliki bentuk atap yang dominan;
4. Memiliki konstruksi kayu;
5. Sebagian besar merupakan rumah panggung;
6. Memiliki pondasi di atas tanah.

Bentuk  yang sama juga terlihat pada rumah tradisional Suku Dayak di Kalimantan
yang disebut rumah panjang (long house). Penamaan lokal untuk rumah panjang  di
Kalimantan berbeda-beda, yaitu  Lamin di Kalimantan Timur, Balai di Kalimantan
Selatan, Radakng di Kalimantan Barat dan Betang di Kalimantan Tengah. Bagi Suku
Dayak, rumah tidak hanya sekedar tempat tinggal tetapi mencerminkan satu kesatuan
budaya Suku Dayak yang saling terkait antara religi, sistem sosial/masyarakat, sistem
pengetahuan, bahasa, sistem mata pencaharian hidup, kesenian, dan sistem peralatan
hidup dan teknologi serta kearifan lokal/adaptasi terhadap alam atau lingkungan
sekitar.

Provinsi Kalimantan Tengah merupakan daerah yang masih memiliki banyak  rumah
betang. Sebagian daerah ini didiami Suku Dayak Ngaju, yang merupakan salah satu
dari 7 (tujuh) Suku Dayak Besar yang mendiami Pulau Kalimantan, dan terbagi dalam
4 suku kecil, dan ke 4 suku terbagi dalam 90 suku-suku paling kecil (Tjilk
Riwut,2007;266). Pola pemukiman suku Dayak Ngaju berada di pinggir sungai-sungai
besar maupun sungai-sungai kecil dan membentuk pola pemukiman linear
(memanjang) mengikuti aliran sungai dari hulu hingga ke hilir. Pola ini disebabkan
oleh peranan sungai sebagai   sarana komunikasi dan transportasi utama bagi penduduk
sekitar. Dengan demikian, maka penempatan betang selalu berada/berorientasi di tepi
sungai. Selain betang, masyarakat Suku Dayak Ngaju juga mengenal beberapa bentuk
rumah yang dikelompokkan dalam empat yakni:

1. Rumah tinggal; betang, huma gantung, pasha dukuh, tingkap.


2. Rumah ibadah: Pasha Patahu.
3. Rumah musyawarah: Dan
4. Rumah penyimpanan: lepau, pasah lisung, dan pasah raung.

 Pada umumnya rumah panjang berbentuk rumah panggung tapi pada beberapa daerah
memiliki pembagian ruang yang berbeda-beda, seperti Radakng di Kalimantan Barat
(Dayak Kanayatn) dan Lamin di Kalimantan Timur (Dayak Benuaq). Perbedaan
pembagian ruang terletak  pada bagian depan rumah panjang berupa aula, sedangkan
bilik-bilik berjejer di belakang aula. Pada Balai di Kalimantan Selatan (Dayak
Meratus), aula ditempatkan pada bagian tengah dan bilik-bilik ditempatkan
disekeliling aula (Hartatik, 2009;244). Sedangkan betang di Kalimantan (khususnya
suku Dayak Ngaju di tepi Sungai Kalang) memiliki pola pembagian ruang yang
berbeda, balai kandang (biasa digunakan dalam upacara adat ataupun sebagai tempat
musyawarah adat) ditempatkan di pintu masuk utama atau di tengah-tengah rumah dan
di samping kiri dan kanan ditempatkan bilik-bilik serta aula (tempat bersantai para
penguin betang) yang memanjang berada di depan bilik-bilik. Pada bagian belakang
dan samping, terdapat teras menghubungkan antara bangunan utama dan bagian dapur.

Perbedaan pembagian ruang di Betang Tumbang Gagu  berdampak pada bentuk dan
fungsi arsitektur bangunan tersebut serta keterkaitan dengan benda-benda/bangunan
lainnya, seperti lumbung/lepau, sapundu, sandung, dan tiang pantar. Penelitian
terhadap rumah panjang sudah beberapa dilakukan oleh para peneliti lainnya, seperti
Hartatik dan Imam Hindarto dalam beberapa jurnal Naditira Widya[1] yang
mengangkat nilai-nilai dalam rumag betang. Penulis mencoba untuk mengangkat tema
yang sama terkait dengan kajian bentuk dan fungsi serta nilai penting berdasarkan
undang-undang cagar budaya pada rumah tradisional Suku Dayak (Betang Tumbang
Gagu) sebagai salah satu upaya dalam bidang pelestarian arsitektur venankular atau
arsitektur tradisional.

keaneka-ragaman sifat lingkungannya dan terdapat


berbagai tempat permukiman pedalaman yang penduduknya lebih berorientasi dan
mempunyai akses ke daerah pedalamannya, antara lain melalui sungai purba Karama
yang
menghubungkan penduduk di hulu dan hilir sungai.
Tautan lingkungan alami dan sosio-budaya yang beraneka ragam merupakan
keunikan dan kekhususan yang dimiliki oleh suatu daerah. Lingkungan alami di
Indonesia
secara sosio-budaya dengan keanekaragaman tinggi, yang tercermin dari banyaknya
suku
bangsa, ribuan pulau memiliki sifat ekologi dan kekayaan sumber daya alam yang
berbeda-
beda.
Permukiman tradisional masyarakat Indonesia
ditinjau dari segi historis banyak berada di daerah aliran sungai karena akses
transportasi.
Akses Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan karakteristik permukiman awal sebagai
cikal
bakal tumbuh dan berkembangnya suatu kota, selaras dengan lingkungan sosial
masyarakat
Indonesia.
Banoa batang mempunyai nilai historis dan sakral merupakan bentuk
permukiman awal dan mata rantai kebudayaan Austronesia Kalumpang masa lampau
dialog manusia dengan lingkungan, tanggap terhadap lingkungan, keterbatasan
material, budaya, dan teknologi, serta konteks relasi sosial. Keberadaan lingkungan
dan arsitektur bangunan selalu terlingkupi faktor lingkungan fisik dan sosial-budaya
karena lahir di dalam jejaring kehidupan manusia.
Asosiasi dengan benda lainnya

 Lumbung/Lepau

Lumbung atau lepau merupakn tempat penyimpanan padi, pada masa lalu jumlah
lepau pada Betang Tumbang gagu sebanyak 2 (lihat foto 1), tetapi kini hanya tersisa
bekas tiangnya saja dan tidak lagi dimanfaatkan seperti sebelumnya. Lepau
mempunyai ukuran panjang 359 cm, lebar 178 cm dan tinggi 150 cm.

 Sapundu

Sapundu yang ada di Betang Tumbang Gagu berjumlah 12 buah dengan ukuran yang
beragam. Pendirian sapundu mempunyai aturan sendiri berdasarkan kepercayaan
kaharingan, sapundu ada dua macam yakni sapundu gapit dan sapundu lepas.
Sapundu gapit yakni sapundu yang diletakkan didekat sandung biasanya tidak lebih
dari tujuh buah, sapundu gapit biasanya melambangkan pekerjaan, kesenangan atau
keahlian si mati dan berkaian erat dengan kerbau yang dikurbankan. Dan yang kedua
sapundu lepas, yang diletakkan tidak berdekatan dengan sandung (Bambang,
Sugiayanto,2000;59), sapundu ini diletakkan di tepi Sungai Kalang. Pada sapundu
gapit maupun sapundu lepas terlihat adanya motif hias berupa tetat atau motif tangga
terbalik. Kondisi sapundu yang masih utuh hanya beberapa saja, sedangkan sapundu
lainnya dalam keadaan rusak. Bentuk pahatan manusia pada sapundu bermacam-
macam, seperti pahat seorang wanita yang sedang membawah bejana air, seorang pria
yang digambarkan sedang duduk dan seorang pria yang berdiri tegap sambil
memenang pisau, serta adapula digambarkan dengan sikap tangan yang disilangkan ke
dadanya. Ukuran tinggi sapundu bervariasi antara 3,40 -3,18 m dan berdiameter 49- 28
cm.

 Sandung

Sandung berada di halaman depan betang, ditempatkan diatas satu tiang dengan tinggi
4,10 m dan berdiameter 45 cm, sedangkan pada bagian atasnya berbentuk rumah kecil
yang sudah dicat warna hijau. Hanya ditemukan 1 buah sandung, pada sandung
terdapat motif hias tangga terbalik atau tetat dan motif tumpal atau gigi belalang pada
bagian dinding sandung. Kondisi sandung masih dalam kondisi baik.

 Tiang Pantar

Tiang pantar diletakkan tidak jauh dari sandung, jumlah tiang pantar sebanyak 7 yang
berukuran tinggi antara 7,8 – 6,60 m dan berdiameter 45 – 31 cm. Tiang pantar yang
dibuat dari kayu ulin utuh dan terdapat motif hias berupa tetat, dan bagian atas
dibentuk menyerupai lingkaran atau bentuk kepala burung enggang. Kondisi tiang
pantar beberapa dalam keadaan baik, namun ada juga tiang yang sudah rubuh dan
patah.

Kajian Fungsi

Kajian fungsi terhadap betang tumbang gagu memuat tentang makna penempatan
betang dan pembagian fungsi ruang, serta makna ukiran baik pada betang, maupun
pada sapundu, sandung, tiang pantar serta upacara-upacara yang dilakukan dibalik
pendirian betang yang dikaitkan dengan kepercayaan kaharingan.
Pendirian betang tidak lepas dari kepecayaan yang dianut oleh Suku Dayak Ngaju,
terdapat beberapa upacara yang dilakukan sebelum betang didirikan, yang dibagi
dalam tiga tahap yakni pada saat sebelum betang didirikan, pada saat betang didirikan
dan upacara saat betang selesai didirikan, berikut penjabarannya:

Upacara sebelum betang didirikan

Upacara ini diawali dengan mengambilan bahan baku di hutan atau biasa disebut
baramu, ada dua jenis upacara yang dilakukan yakni

 Manawursahut, atau bernazar agar mereka terhindar dari malapetaka atau


kecelakaan seperti terluka oleh senjata tajam, tertimpa kayu atau digigit
binatang buas, tujuan dari upacara ini adalah memohon kepada pitik (binatang
kecil seperti bajing) agar menjaga mereka selama di hutan. Upacara ini
dilakukan sebelum masuk ke hutan.
 Marasih petak, pengertian marasih petak ialah memeriksan atau membersihkan
tanah atau perwatasan, mengukurnya serta membuat patok-patokan diatas
tanah dimana bangunan akan didirikan, pada saat itu biasanya dilakukan
upacara kecil yang disebut marasih petak tujuan dilaksanakannya upacaraini
adalah semacam permohonan kepada mahluk halus atau penjaga daerah tempat
bangunan akan didirikan agar pindah ketempat lain, sehingga baik pada saat
permulaan pendirian sampai selesai mendirikan bangunan bahkan sampai
mereka menghuni rumah tersebut (Willem,1981/1982;121).

Upacara pada saat mendirikan betang


Pada saat mendirikan bangunan, dilakukan upacara mampendeng. Mampendeng
artinya mulai mendirikan bangunan yang dimulai dengan pendirian jihi bakas hingga
jihi busu. Menurut kepercayaan Suku Dayak Ngaju, bahwa ketentraman penghuni
betang, lebih banyak ditentukan oleh cara/pekerjaan pada waktu memulai
membangun/mendirikan betang yang disebut mampendeng, yang tujuannya agar
menghuni betang selalu hidup tentram, aman, berkecukupan, murah rejeki dan lain-
lainnya. Waktu pelaksanaannya sesaat sebelum mendirikan jihi, setelah jihi terakhir
berdiri, maka disiapkan beberapa bahan seperti pahera paneweng, lakar rinjing ijr
badare hapan uei anak, daren dawen enyuh ije inyewut/kambar sanggar, bindang
bapetuk, edan sawang nyahu, tewu nyaru dan temu bulau. Bahan-bahan tersebut diikat
pada jihit, dengan tujuan agar segala roh jahat tidak mendahului menghuni memasuki
betang.

Upacara setelah betang selesai didirikan

Lumpat Huma merupakan upacara yang dilakukan setelah betang selesai dibangun dan
siap untuk dihuni. Upacara ini disebut lumpat huma karena upacara ini dilakukan pada
waktu pertama kali memasuki betang, dengan tujuan agar selalu mendapat
perlindungan dari Tuhan mendapat rejeki melimpah, aman tentram, dijauhkan dari
segala macam bahaya.

Penempatan betang, bentuk bangunan dan pembagian ruang didalamnya tentu tidak
dilakukan secara sembarangan termasuk makan ukiran yang terdapat di betang, namun
juga mempertimbangkan fungsi dan makna yang terkait erat dengan kepercayaan
mereka, begitu pula dengan penempatan lumbung/lepau, sapundu, sandung dan tiang
pantar, penempatan betang ditepi sungai merupakan hal yang banyak dilakukan oleh
masyarakat dayak, bahkan bisa dikatakan betang berorietasi dengan sungai, begitu
pula dengan Betang Tumbang Gagu yang berada ditepi Sungai Kalang, selain hal
tersebut juga dikarenakan sungai dianggap sebagai salah satu sarana komunikasi dan
transportasi yang menghubungkan masyarakat dengan dunia luar disamping itu kondisi
geografis Kalimantan yang didominasi sungai-sungai besar mengharuskan masyarkat
beradaptasi dengan lingkungannya. Betang yang merupakan rumah panggung, dengan
tiang-tiang yang tinggi hingga mencapai 5,79 m dari permukaan tanah, dimaksudkan
agar terhindar dari serang binatang buas dan serangan dari suku lain, karena pada
waktu itu tradisi ngayau[6] masih dilakukan oleh suku dayak (sebelum adanya
perjanjian Tumbang Anoi).

Pembagian ruang di  dalam betang juga sangat terkait dengan kepercayaan serta sistem
sosial/masyarakat, seperti Balai Kandang, penempatan balai yang berada ditengah-
tengah bangunan berfungsi sebagai ruang tempat pelaksanaan upacara seperti tiwah,
tempat pertemuan/musyawarah adat, perkawinan, pengobatan, kelahiran dan upacara
lainnya, serta adanya jihi yang dianggap sakral juga terletak pada ruang ini.
Penempatan bilik-bilik di samping kiri dan kanan balai kandang difungsikan sebagai
ruang pribadi oleh masing-masing pendiri. Sedangkan penempatan bilik yang dibentuk
berjejer (dari hulu ke hilir) juga menandakan status sosial seseorang. Sebagai contoh,
penempatan bilik yang berada di tengah biasanya diperuntukkan bagi kepala adat atau
pihak memiliki status sosial tinggi. Teras yang berada di depan balai kandang dan
yang berada di belakang, biasa digunakan sebagai tempat menerima tamu dan juga
difungsikan menjemur padi atau hasil ladang, serta sebagai penghubung antar ruang
utama dengan dapur (Hartatik, 2013;50). Aula yang berada di depan bilik biasanya
difungsikan sebagai tempat berkumpul bagi para penghuni betang. Ukiran pada betang
hanya ditemukan pada bagian atap atau bubungan, berupa ukiran burung enggang atau
tingang, menurut kepercayaan Suku Dayak Ngaju. Burung enggang atau tingang
menggambarkan dunia atas, dan juga dianggap sebagai penangkal petir. Ukiran juga
terlihat pada pinggiran sisi atap yakni dawen pangintar, yang dimaksudkan agar segala
sifat-sifat iri, dengki, guna-guna dan lain-lain dari orang lain dapat dihindari atau
dihalau.

Beberapa rumah panjang yang ada di Kalimantan seperti Lamin Mancong, Lamin
Tolan di Kalimantan Timur, Randakng di Kalimantan Barat  memperlihatkan asosiasi
dengan benda-benda/bangunan lainnya seperti lumbung/lepau, sapundu, sandung dan
tiang pantar. Hal ini juga terlihat pada Betang Tumbang Gagu, dengan menempatkan
Lumbung/lepau, sapundu, sandung dan tiang pantar  di halaman depan betang.
Pendirian sapundu, sandung dan tiang pantar saling terkait antara satu dengan lainnya
dan biasanya terkait dengan pelaksanaan tiwah[7] (upacara kematian). Dalam tradisi
penganut kaharingan, kubur ditempatkan di halaman rumah dengan maksud agar
keluarga yang ditinggalkan setiap hari bisa melihat dan menjaga kubur leluhurnya
sehingga hubungan batin di antara mereka tidak terputus (Hartatik,2009:247).

Lumbung/lepau difungsikan sebagai tempat menyimpan padi, walaupun kini lepau


sudah tidak digunakan seperti sebelumnya. Dengan adanya lumbung ini
mengindikasikan bahwa penghuni betang ini dulunya bercocok tanam/berladang
dengan sistem tadah hujan. Sementara pendirian sapundu mempunyai aturan-aturan
sendiri, biasanya dalam pendirian sapundu mensyaratkan pengurbanan 1 (satu) ekor
ayam. Sapundu difungsikan sebagai tiang pengikat binatang kurban pada saat upacara
tiwah,  yang terdiri dari dua jenis sapundu, yakni sapundu gapit dan sapundu lepas.
Sapundu gapit  ditempatkan di dekat sandung yang berfungsi sebagai tanda
penguburan (lambang orang yang mendirikan sanding) sekaligus orang yang pertama 
di-tiwah-kan. Jumah sapundu menunjukkan berapa banyak jumlah orang yang di-
tiwah-kan, serta penggambaran tokoh manusia  dianggap sebagai personifikasi si mati
yang terkait dengan pekerjaan, kesenangan atau keahlian orang yang dikuburkan.
Sedangkan sapundu lepas difungsikan sebagai tanda kebesaran atau penolak bala, yang
juga erat kaitannya dengan jenis kerbau yang dikurbankan. Apabila Sapundu laki-laki,
maka jenis kerbau yang dikurbankan adalah kerbau betina, begitupun sebaliknya
(Hartatik,2000;58-60).

Pada Sapundu juga ditemukan adanya motif tetah/tangga terbalik  dalam jumlah
tertentu, yang menunjukkan banyaknya kepala yang dipenggal oleh keluarga si mati.
Kegiatan mengayau dilakukan untuk memberi kekuatan semangat jiwa kepada roh.
Motif ini juga ditemukan pada sandung dan tiang pantar. Sanduang difungsikan
sebagai tempat menyimpan tulang belulang manusia yang telah di-tiwah-kan. Selain
motif tetah, juga ditemukan adanya motif tumpal di dinding sandung dan motif naga
pada bagian atasnya. Simbol naga merupakan simbol dunia bawah dan sebagai
petunjuk jalan bagi roh menuju ke lewu tatau. Tiang pantar merupakan tiang yang
tinggi sebagai simbol tangga arwah menuju lewu tatau.

Yang masih kurang terekspose di Kalumpang yaitu rumah komunal itu Banoa Batang.
Rumah-rumah itu dihuni oleh kelompok keluarga. Antara lima kepala keluarga hingga
mencapai 20 kepala keluarga. Di Banoa Batang, setiap keluarga akan memiliki kamar
masing-masing. Dalam satu rumah terdapat satu dapur umum yang digunakan
bersama. 
Rumah-rumah yang dihuni keluarga dalam skala kecil, biasanya hanya menggunakan
sembilan tiang vertikal.  Namun, bangunan akan terus mengalami perubahaan jika
anggota keluarga bertambah.

Permukiman vernakular mempertimbangkan kondisi-kondisi fisik yang melingkupinya


selain unsur-unsur ekonomi sosial-budaya-religi dan berpengaruh terhadap
karakteristiknya. Aspek yang sangat kuat ialah kebutuhan manusia pada lingkungan
budaya. Struktur sosial empengaruhi karakter khusus pada hunian, permukiman, desa
dari lingkungan budaya yang berbeda. Tradisi ritual suatu masyarakat mempengaruhi
organisasi spasial di suatu desa. emikian juga tradisi perkawinan dan tradisi-tradisi
lain, berpengaruh pada tata letak dan pengembangan desa-desa suatu masyarakat. Ciri
spesifik pada sosial masyarakat akan menghasilkan arsitektur vernakular seperti
bangunan, permukiman, desa yang spesifik pula (Oliver, P, 1987).
Lingkungan terbangun oleh hubungan dari relasi-relasi elemen didalamnya dan
memiliki pola tertentu, memiliki struktur tertentu. Relasi yang terbentuk antara
manusia dengan lingkungan fisik secara fundamental bersifat spasial/keruangan
dipisahkan dan disatukan oleh ruang. leh karena itu, karakteristik sosial dan budaya
suatu lingkungan tercermin didalam tatanan osialnya. Ruang ialah ruang tiga dimensi
yang mengelilingi manusia, relasi antara elemen-elemen didalamnya membentuk
tatanan tertentu yang disebut organisasi spasial (Rapoport, 1977: Haryadi dan
Setiawan, 2010). Aspek spasial sebagai unsur mendalam pada tatanan ruang, dimana
space sebagai aspek permukaan, dan spatial sebagai struktur didalamnya, yang
mencerminkan karakteristik space (Bacon, E., 1967: Hiller, 1989). Ruang selalu terkait
realistis manusia dan kehidupannya dimana manusia terhadap artefak-artefak,
membentuk „spasial budaya‟. Spasial budaya ialah tatanan ruang tertentu yang
mengungkapkan tatanan relasi artefak-artefak berdasarkan prinsip tatanan sosial.
Relasi bolak-balik antara tatanan sosial dengan tatanan fisik spasial, mencerminkan
bahwa pada momen tertentu tatanan spasial dipengaruhi oleh tatanan sosial, begitu
pula sebaliknya.
Manusia sangat mencerminkan keunikan suatu bangunan, permukiman dan desa,
khususpada arsitektur permukiman vernakular. Keunikan tercermin dari cara manusia
berperilaku erhadap lingkungan yang menjadi ruang kehidupan manusia (Madanipour,
1996). Perilaku me-ruang manusia mempunyai sistem tertentu, dan berpengaruh
terhadap tatanan spasial yang erbentuk sebagai wadah kehidupannya (Waterson, R,
1990). Perbedaan individu, kelompok, dan masyarakat, menghasilkan konsep dan
wujud yang berbeda (Rapoport, 1969: Haryadi dan Setiawan, 2010). Bentukan
lingkungan merupakan hasil pikiran dan perilaku manusia. Setiap kelompok etnis
memiliki image yang khas tentang lingkungannya, karena perilaku masing-masing
etnis juga khas. Bentukan lingkungan tidak hanya disebabkan kondisi iklim dan
lingkungan yang unik, tetapi juga perilaku dari etnis itu sendiri.

Permukiman
Setiap manusia membutuhkan tempat tinggal, yang sifatnya sementara maupun
menetap. Tempat tinggal atau tempat kediaman secara umum disebut permukiman dan
secara khusus disebut sebagai bangunan rumah (Hudson dan Hammond, 1979).
Permukiman menurut Barlow dan Newton (1971) mengacu ke arti kolonisasi di suatu
daerah baru dengan proses pemindahan penduduk, dan permukiman yang mengacu
pada arti kelompok-kelompok bangunan rumah tempat tinggal manusia yang
dibedakan ke dalam dukuh (dusun), desa, kota
kecil, dan kota besar. Selanjutnya Barlow dan Newton (1971) mengemukakan istilah
permukiman (settlement) adalah semua tipe tempat tinggal manusia baik berupa gubuk
atau
pondok tunggal beratap dedaunan atau rumah-rumah di perladangan hingga kota yang
sangat
besar dengan ribuan bangunan atau ribuan rumah tempat tinggal.
Permukiman ialah sebagai wadah kehidupan manusia, bukan hanya menyangkut aspek
teknis dan fisik saja, tetapi juga juga menyangkut aspek sosial, ekonomi dan budaya
dari penghuninya. Sedangkan Rapoport (1977) mendefinisikan permukiman
(settlement) pada
dasarnya merupakan suatu bagian wilayah dimana penduduk (pemukim) tinggal,
berkiprah
dalam kegiatan kerja dan usaha, berhubungan dengan sesama pemukim sebagai suatu
masyarakat serta memenuhi berbagai kegiatan kehidupan.Hubungan ini oleh Rapoport
(1977)
digambarkan sebagai interaksi antara manusia dan lingkungan dan memahami
karakteristik
manusia yang akan menggunakan atau merancang ataupun membentuk lingkungannya,

sehingga manusia akan berperilaku berbeda dalam setting tertentu. Perilaku manusia
beragam
dan berubah tergantung pada setting dimana tempat manusia itu berada.
Menurut Rapoport (1969) perwujudan dari sebuah bentuk rumah dipengaruhi oleh dua
hal, aspek fisik dan aspek sosio-culture dimana aspek kedua memerlukan penekanan
yang
lebih mendalam. Aspek kedua ini merupakan aspek yang dominan yang menentukan
bentuk
dari sebuah rumah. Bentuk rumah bukan merupakan sebuah hasil kekuatan faktor fisik
atau
faktor tunggal lainya, tetapi merupakan konsekwensi dari cakupan faktor-faktor
budaya
yang terlihat dalam pengertian yang lebih luas. Dalam hal memilih bentuk bangunan.
Bentuk-bentuk tertentu dipilih sesuai kesepakatan bersama dengan melihat pada tradisi

yang telah turun temurun. Bentuk-bentuk tertentu diterima apa adanya, dan perubahan
di
tolak dengan keras karena mereka cendrung berorientasi pada tradisi. Itulah sebabnya
bentuk-bentuk tertentu tersebut bertahan sangat lama.Bentuk rumah primitif dan
vernakuler
tidak hanya sebagai hasil keinginan individu akan tetapi lebih sebagai tujuan dan
keinginan
dari kesatuan masyarakat untuk kenyamanan lingkungan bersama. Dengan demikian
dapat
disimpulkan bahwa aspek sosial budaya sangat menentukan perwujudan bentuk dari
sebuah
rumah tradisional bahkan lebih jauh aspek ini merupakan faktor yang paling dominan
dalam menentukan bentuk rumah.
Sebuah karya besar dalam dunia arsitektur tidak bisa diartikan secara sederhana
dengan bentuk dan wujud yang memiliki ukuran besar. Apalagi pada masa sekarang
dengan
perkembangan teknologi konstruksi yang memungkinkan pembangunan dengan skala
besar
dan raksasa, ukuran besar menjadi relatif. Besar untuk masa lalu menjadi kecil dan
hampir
tak nampak untuk saat sekarang.Namun demikian dalam dunia arsitektur, kebesaran
sebuah
karya tidak dilihat sebatas ukuran akan tetapi ada yang hal spesifik yang tidak mungkin
luntur
karena perkembangan jaman. Hal spesifik tersebut adalah keunikan, kelangkaan,
kejamakan
dan hal-hal lain yang berhubungan dengan makna kultural dari masyarakat termasuk
didalamnya religi. Kenyataan yang ada kesadaran dan motivasi kita sering terlambat
untuk
menilai sebuah karya arsitektur yang mempunyai nilai ini. Bangunan sudah terlanjur
hancur
ataupun telah berubah sama sekali sehingga sangat sulit untuk ditelusuri bentuk awal
yang
sebenarnya.
Pola Ruang
Filosofi Betang Toyoi ini mengacu pada teori Experiencing Architecture dijabarkan
oleh Rasmussen (1964), yaitu teori yang mengemukakan bahwa arsitektur bukan hanya
yang
dapat dilihat dan diraba saja, yang didengar dan dirasa pun merupakan bagian dari
arsitektur.
Melalui pendengaran ini ungkapan space dalam pola tata ruang rumah Betang dapat
menggambarkan sesuatu yang berhubungan dengan struktur, bentuk dan material
bangunan.
Fungsi irama (Rhytme) ialah memunculkan interpretasi yang mungkin akan berbeda
antara
orang yang satu dengan yang lain. Interpretasi itu secara tidak langsung akan mengarah
ke
suatu kualitas ruang. Meskipun hasil interpretasi tersebut bersifat maya, namun jika
sudah
dapat menginterpretasikan sebuah kualitas ruang, berarti sebenarnya secara tidak sadar
kita
sudah membentuk sebuah ruang di alam bawah sadar kita. Irama (Rhytme) pada
arsitektur
bangunan tradisional Betang di Kalimantan Tengah berorientasi pada irama upacara
tiwah

Komposisi arsitektur
BetangToyoi, Tumbang Anoi dikaji melalui geometri dan eksistensi,
serta Proporsi dan dimensi. Berikut penjabaran komposisi arsitektur Betang Toyoi.
Geometri dan Eksistensi Bentukan geometri tidak harus simetris, tetapi harus
mempunyai titik , sudut , garis dan permukaan yang solid namun Eksistensi betang
seolah berusaha mengajak kita Kembali untuk memahami dan mengacu pada
pemaknaan ruang yang salah satunya mendefinisikan ruang sebagai sesuatu,
merupakan wujud yang paling immaterial (without physical substance).

Proporsi dan Dimensi


Jihi betangmemiliki bentukan geometris seperti pada Gambar 3.4. bentuk berupa
lingkaran;
penerapan ini tidak sengaja digunakan.Bentukan dasar dari bahan sendiri digunakan
sehingga
tercipta sebuah keragaman bentuk dan kesatuan (unity) namun ditinjau dari
dimensinya
sendiri akan memiliki ukuran yang berbeda karena alam menghasilkan pohon-pohon
dengan
dimensi berbeda yang digunakan sebagai bahan bangunannya.

B. TINJAUAN KHUSUS

Berdasarkan sejarah, bahwa arsitektur rumah adat suku kalumpang memiliki kaitan
dengan nenek moyang Austronesia. Keberadaan rumah adat dari suku kalumpang yang
dikenal dengan nama Banoa Batang kaya akan keunggulan komparatif nenek moyang.

Terdapat ciri khas yang paling menonjol yaitu terdapat pada atap bangunan dan bagian
bawah atap yang ada. Bentuk tiang rumah berupa panggung yang memiliki desain
berbentuk rakit.

Secara konstruksi maka penjelasan dari rumah adat suku kalumpang. Pembuatan atap
rumah bisa digunakan menggunakan parang labo, alat khusus dari suku kalumpang.
Hal inilah yang menjadi ciri khas rumah tradisional yang mewarisi banyak budaya
leluhur.
Penggunaan kayu menjadi bahan utama dinding rumah adat, bagi suku kalumpang pun
memanfaatkannya atau bisa juga menggunakan papan pada dinding rumah dan
memiliki kualitas terbaik sebagai bahan alam.

Bahkan zaman dahulu cara memasangnya dengan menggunakan teknik simpul serta
ikat agar elastis tapi tetap kokoh.

Arsitektur rumah adat Kalumpang tentu menarik diteliti untuk mencari tahu jejak
nenek moyang Austronesia. Sebuah upaya menyusunnya dalam bentuk buku tentu
menjadi catatan sekalkigus tantangan tersendiri.

Arsitektur atau ilmu bangunan adalah seni yang dilakukan oleh setiap individu untuk
mengimajinasikan diri dan ilmu mereka dalam merancang bangunan. Dalam artian
yang lebih luas, arsitektur mencakup merancang dan membangun keseluruhan
lingkungan binaan, mulai dari level makro yaitu perencanaan kota, perancangan
perkotaan, arsitektur lanskap, hingga ke level mikro yaitu desain bangunan, desain
interior dan desain produk.

Secara berdasarkan kata, film (cinema) asalnya dari kata cinematographie yang
memiliki arti cinema (gerak), tho atau phytos (cahaya) dan graphie atau grhap (tulisan,
gambar, citra). Sehingga bisa diartikan Film merupakan mewujudkan gerak dengan
cahaya. Mewujudkan atau Melukis gerak dengan cahaya tersebut menggunakan alat
khusus, seringkali alat yang digunakan adalah kamera.
Definisi lain dari film yakni, Film merupakan hasil cipta karya seni yang memiliki
kelengkapan dari beberapa unsur seni untuk melengkapi kebutuhan yang sifatnya
spiritual. Unsur seni yang ada dan menujang sebuah film antara lain seni rupa, seni
fotografi, seni arsitektur, seni tari, seni puisi sastra, seni teater, seni musik, seni
pantonim dan juga novel.

Pengertian Film menurut Effendi adalah hasil budaya dan alat ekspresi kesenian. Film
sebagai komunikasi massa merupakan gabungan dari berbagai teknologi seperti
fotografi dan rekaman suara, kesenian baik seni rupa dan seni teater sastra dan
arsitektur serta seni musik.

Seringkali film ditontoh untuk menjadi hiburan. Tetapi fungsi sebenarnya dalam film
antara lain fungsi informatif, edukatif, dan juga persuasif. Film nasional fungsinya
sebagai media edukatif untuk sebagai pembinaan generasi muda dalam rangka nation
and character building

rumah adat dari suku kalumpang yang ada di Sulawesi Barat dinamakan rumah adat
banoa sibatang. Terdapat ciri khas yang paling menonjol yaitu terdapat pada atap
bangunan dan bagian bawah atap yang ada.

Berdasarkan sejarah, bahwa rumah adat suku kalumpang atau galumpang ini memiliki
kaitan dengan nenek moyang Austronesia.
Kenapa Austronesia?

Bentuk tiang rumah berupa panggung yang memiliki desain berbentuk rakit. Yang
merupakan salah satu jejak adanya para nenek moyang Austronesia melakukan migrasi
dari Taiwan ke selatan.

Caranya dengan menggunakan rakit tersebut dan terdapat jejak sejarah yang diteliti
oleh para arkeolog di suku kalumpang ini.

Secara konstruksi maka penjelasan dari rumah adat suku kalumpang memang mirip
dengan rumah toraja. Hal ini dikarenakan suku kalumpang juga berasal dari Tana
Toraja sehingga bangunan pun mempengaruhi gaya Toraja.

Rangka Utama Rumah Adat Banoa Sibatang

Pada pembangunan rumah tradisonal rangka utama yang dipilih adalah kayu.
Pemilihan kayu tersebut juga harus yang kuat, kokoh serta tidak mudah lapuk
digunakan pada penyangga pada banoa sibatang.

Karena nilai keunikan dan tradisi yang sudah ada sejak lama inilah menjadikan rumah
adat memiliki ciri khas.

Biasanya bahan rumah menggunakan bahan alam, bahan ini juga digunakan oleh
rumah adat lainnya. Atap berbahan alam tentu memiliki nilai filosofi tersendiri selain
memiliki manfaat yang besar.

Konstruksi Pada Rumah Adat


Tiang pada Banoa Sibatang mirip dengan rumah adat suku mandar. Fungsinya sebagai
penyangga rumah panggung. Disambungkan dengan lantai rumah yang memiliki
desain seperti rakit dan pengaruh dari gaya rumah Toraja.

Mirip dengan rumah tongkonan yang atapnya juga berbentuk rakit, sehingga banoa
sibatang memiliki pengaruh dari suku Toraja.

Konstruksi Atap

Untuk bagian atap yang digunakan biasanya memanfaatkan bahan alam yang ada bagi
rumah adat. Seperti, daun nipah, rumbia, sirap, kayu besi, bambu, ijuk hingga ilalang
sebagai atap rumah.

Pembuatan atap rumah bisa digunakan menggunakan parang labo, alat khusus dari
suku kalumpang. Hal inilah yang menjadi ciri khas rumah tradisional yang mewarisi
banyak budaya leluhur.

Bagian Dinding Rumah Adat

Penggunaan kayu menjadi bahan utama dinding rumah adat, bagi suku kalumpang pun
memanfaatkannya atau bisa juga menggunakan papan pada dinding rumah dan
memiliki kualitas terbaik sebagai bahan alam.

Bahkan zaman dahulu car memasangnya dengan menggunakan teknik simpul serta ikat
agar tetap kokoh.

Tangga dari Banoa Sibatang


Anak tangga pada rumah adat Sulawesi Barat menggunakan kayu atau bambu.
Tentunya dipilih kayu yang kokoh dan bambu berkualitas agar terjaga keawetannya.

Untuk jumlah anak tangga pada rumah adat biasanya berjumlah ganjil dan semakin
tinggi maka semakin tinggi pula strata sosialnya.

Ciri khas lain yaitu dengan melihat kolong rumah yang terlihat tinggi yang artinya
pemilik rumah mempunyai strata yang tinggi pula. Status sosial pada suku kalumpang
masih ada hingga kini, yang tetap menjunjung tinggi budaya leluhur.

Zaman dahulu pembuatan tiang tinggi juga menghindari banjir serta adanya binatang
buas.

Kini rumah adat, khususnya banoa sibatang justru menjadi tempat yang diteliti untuk
mencari tahu jejak nenek moyang Austronesia. Berdasarkan peninggalan yang ada dan
harus diteliti lagi secara sempurna.

Dengan adanya penjelasan tentang rumah adat Sulawesi Barat yang ada tentu menjadi
catatan tersendiri. Ternyata secara menyeluruh hanya memiliki dua rumah adat
Sulawesi Barat, yaitu Boyang dan Banoa Sibatang.

Adapun wujud altruisme yang terkandung dalam rumah adat Banoa


Batang Masyarakat Adat Tana Lotong menurut penuturan Subyek B yakni:
a) Ada tiga ruangan di bagian atas, meliputi :

1) Paladan, semacam ruangan seperti teras untuk menerima tamu. Paladan


tidak berdinding, menandakan keterbukaan masyarakat.
2) Di bagian atasnya ada tangga semacam perahu untuk naik ke Sali to
Ballaq, merupakan tempat menginap bagi tamu yang berasal dari luar
daerah. Sali (lantai), To Ballaq (orang luar).
3) Di sebelah kiri, dan kanan Sali To Ballaq terdapat Sali Woloq. Sali
(lantai), Woloq (warisan) jadi ruangan ini adalah ruang khusus untuk
keluarga.

b) Pondasinya adalah Batu Lettong, berupa batu yang berbentuk bulat yang
harus berasal dari sungai Karama, atau sungai di sekitar, tidak boleh batu
gunung sebab batu ini sudah tahan uji gempa dan masih alami proses
terbentuknya.
c) Di atas batu sungai dipasang 8 kayu yang masing-masing dihubungkan
dengan satu lok kayu bundar yang disebut Batang, oleh karena itu rumah ini
disebut Rumah Batang. Sebab didirikan dari 8 kayu bundar jenis kayu besi
berdiameter 50-60 cm. Pada tiap-tiap pertemuan dua buah ujung kayu,
didirikan tiang utama yang disebut Busun, dengan diameter yang sama
dengan batang kayu bundar.

“....Kayu ini dilubangi hingga menembus batu lettong, dia menggigit kayu
di bawahnya. Tiang Busun berjumlah 8, tidak lebih tidak kurang. Jika
kurang dapat mengakibatkan kepincangan. Di antara tiang-tiang ini ada
tiang induk yang disebut Soko Guru oleh orang jawa, atau Possiq.....”
d) Adapula tiang yang disebut To Kamban (orang kebanyakan). Orang-orang
inilah yang akan mendukung kehidupan di kampung. Tiap tiang utama ini
memiliki nama, sesuai dengan nama para To Baraq yang memimpin
kampung. Ada To Baraq Timbaq, To baraq Pondan, To baraq Lolo,
Topakkaloq, To Maq Dewata, To tumado, dan Tomakaka, serta To
Kamban. 8 Tiang ini melambangkan kepemimpimpinan kedelapan To
Baraq, dibantu oleh To Kamban (masyarakat lainnya).
e) Di bagian atas dipasang Pelelen (tali yang dipakai saat menyimpan ikan
hasil tangkapan, sejenis benang, atau tasi). Di bagian bawah, ada balok
yang melintang menyangga lantai, disebut Pekaloq. Pekaloq adalah besi
yang berbentu bundar di hidung kerbau. Di atas Pekaloq, ada lettenan,
lettenan ini seperti roda (kayu bundar), di atas Lettenan ada Tu Marang
(perantara, diameter 7-10 cm), di atas Tu Marang ada Karatan, yang
merupakan pengganjal, di atas karatan ada tamben yang tingginya 50 cm,
tebalnya 10 cm, panjangnya sesuai dengan panjang rumah. Tamben artinya
pagar.
f) Ada tiga jenis kayu bundar, yang memberi makna adanya kesatuan yang
timbal balik antara kehidupan duniawi dan kehidupan akhirat artinya
adanya kesatuan dan korelasi antara kehidupan jasmaniah-duniawi, dengan
kehidupan spiritual-akhirat. Ketiganya satu dalam Lada’ (kasih sayang),
meliputi:

1) Lettenan, untuk memuluskan jalan


2) Tu Marang, untuk semangat dan cita-cita
3) Karatan, Pemersatu, yang menghubungkan.
g) Dari pertemuan tamben, berdiri tiang-tiang dinding. Di tiap sudutnya
dipasangi Dua Boriq. Dua Boriq artinya tiap manusia mempunyai
keterbatasan-keterbatasan. Boriq (bagian). Pada bagian untuk membuat
kamar, namanya Tallu Boriq yang memiliki tiga arah artinya manusia
memiliki tiga talenta (pertanian, perburuan, penenunan).
h) Dinding rumah ini bersistem panel, antara Dua Boriq dan Tallu Boriq ada
Manangnga (penengah) yang jaraknya kurang lebih antara 1 meter. Di
dalamya diisi papan yang diletakkan harus melintang (horizontal), ditutup
dari atas dengan Rakkapan. Tiap satu meter ditutup satu Rakkapan (anai-
anai/ padi). Tingkat yang kedua dikurangi Sepalaq ( tidak cukup semeter)
makin naik makin dikurangi, tingkat ketiga dikurangi dua palaq. Semakin
ke atas semakin berkurang ukuran Rakkapannya. Maknanya, semakin di
atas, semakin merendah. Bila berada pada kedudukan yang tinggi, maka
tidak boleh sombong. Penggunaan anai-anai padi pun, mengandung
falsafah padi “Semakin Berisi, Semakin Merunduk”. Selain itu Padi
merupakan lambang pertanian, dan makanan pokok masyarakat setempat.
i) Balok terakhir (Blandar) disebut Passamboq (penutup), ukurannya 20
cmx10 cm. Di atas Passamboq dibuat atap. Ada tiangnya disebut Petuoq
(memberi hidup) Maknanya, di atas manusia ada Yang Maha Kuasa, yang
memberikan kehidupan. Atapnya biasanya dari daun rumbia, daun ijuk,
alang-alang, namun jika dalam kondisi darurat disebut bisa memakai rotan.

Yang unik dari bangunan ini adalah ukurannya sangat besar, bisa
sampai 60 meter panjang dengan lebar lima meter. Bagian tiang dan kayu di
struktur di bawah lantai, terbuat dari batang-batang kayu yang masih bulat,
tidak ada penggunaan pasak atau paku, dan desain bagian bawah rumah
seperti bangunan tahan gempa. Di zaman dahulu, ada indikasi di daerah ini
rawan gempa, sehingga struktur bangunan dibuat sedemikian rupa.
Pembangunan banoa batang cukup rumit dan memakan waktu lama, bisa
sampai tahunan.

“....Matematikanya orang dulu nda pake rumus. Mereka kan buta huruf.
Perhitungannya orang di sini itu hanya sepuluh, tapi bangunannya bisa
kokoh dan anu anti gempa lagi...tidak pake paku mulai dari bawah sampai
ke atas tidak ada paku tidak ada... pasak... tidak ada... ikat....”

Saat ini di Kalumpang dan Bonehau, sepertinya jumlah banua


batang bisa dihitung dengan jari alias jarang ditemukan apalagi yang
bagian-bagiannya lengkap. Beberapa rumah bahkan hanya bisa
memperlihatkan keaslian struktur bagian bawah atau tiangnya. Sedang
bagian tengah, sudah menggunakan struktur modern. Selain itu, karena
bahan yang digunakan harus didatangkan dari hutan, dan semakin
berkurangnya sumber daya untuk pembangunan rumah ini, sehingga
restruksturisasi tak mungkin dilakukan kembali.

A. Kesimpulan

Adapun kesimpulan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1) Salah satu wujud altruisme masyarakat adat Tana Lotong tersirat dalam
rumah adat mereka, yaitu Banoa Batang yang menggambarkan keterbukaan
dan sifat suka menolong penduduknya.
2) Banoa Batang, sebagai wujud kearifan lokal di bidang arsitektur
mengandung filosofi kepemimpinan delapan orang Tobaraq yang menjaga
keharmonisan, dan keselarasan kehidupan masyarakat adat Tana Lotong.
3) Kekerabatan, dan kekeluargaan yang sangat erat terjalin, serta kerukunan
umat beragama yang menyelaraskan kehidupan masyarakat adat Tana
Lotong. Ketika di tempat lain nampak ramai dengan isu konflik antar
agama, maka hal ini tidak ditemukan di daerah tersebut.

Dalam pandangan semiotika, ide dari pemikiran manusia ini adalah sebuah tanda
yang dihadirkan oleh karya arsitektur yang dapat dilihat sebagai teks, sedangkan
makna
yang dibawa tanda tersebut berperan sebagai konsep yang dibawa oleh desain
arsitektur.
Sistem tanda yang merupakan naungan relasi triadik ini adalah konteks tempat desain
arsitektur sebagai media komunikasi ide dan kebudayaan. Memahami relasi
antara
konsep mental suatu karya arsitektur, bentukan desainnya, dan ide budaya yang
dibawanya adalah inti dari semiotika arsitektur. Kritikus arsitektur Charles
Jencks
kemudian memunculkan suatu relasi triadik dari semiotika yang tetap berkaitan dengan
relasi triadik Peirce di atas.
Dalam sistem tanda ini, Jencks mengembangkan
terminologi (1) simbol (symbol) sebagai bentuk lain dari penanda dalam sistem tanda
pada arsitektur, (2) pikiran (thought) sebagai bentuk lain dari konsep mental, dan (3)
rujukan (referent) sebagai bentuk lain atau acuan dari eksistensi bentuk/desain, yang
langsung berkaitan dengan fungsi utama dari arsitektur tersebut (Jencks, 1980, pp. 80–
82).

Umberto Eco mengkaitkan fungsi tanda-tanda dalam arsitektur dan elemen-


elemennya sebagai media komunikasi suatu ide. Tanda dalam arsitektur adalah suatu
media yang membawa makna denotatif, yaitu tingkat pertama dari tatanan pertandaan
yang fungsi utama tanda sebagai bentuk eksistensial dalam karya rupa arsitektur.
Karena makna denotatif ini dapat berkembang lepas dari fungsi utama/aslinya,
dalam relasinya, bentuk/penanda denotatif ini menjadi faktor yang memengaruhi
desain. Dengan demikian, suatu makna denotatif dari suatu tanda dapat terbagi
menjadi dua fungsi, yaitu fungsi utama dan fungsi pengembangan, yang
keduanya bekerja sama beriringan untuk dapat dipahami isi konsep yang akan
diwakilinya.

Seni Konstruksi.
Didalam seni konstruksi terutama konstruksi rumah adat yang disebut
banua batang serta konstruksi jembatan kuno to Tanalotong yang disebut tendan yang
semuanya menampak dalam bentuk karya seni dengan tetap mempertahankan bentuk
alaminya - bundar – sebagai pengeja wantahan ungkapan arsitektur kelokalan dengan
kandungan makna keadiluhungan sebuah konsep perancangan seni.
Secara arsitektual, pesan itu tampak lebih menonjol dalam penampilannya secara
simbolik menjadikannya sebagai karya seni disamping memiliki otoritas fungsional,
tapi juga memancarkan nilai estetika yang tinggi.
Konsep dasar perancangan banoa batang dan jembatan ini sangat jelas mengacu
pada memori kolektif mereka untuk memperingati atau untuk mengenang dan sebagai
ungkapan rasa syukur terhadap jasah sebuah kendaraan yang telah mengantarkan
mereka beberapa lamanya di tengah samudra yang tak dikenal dari negeri asalnya dan
yang telah pulah mendamparkan mereka ke muara sungai Karama.
Secara arsitektual, pesan itu nampak lebih menonjol dalam perancangan yang
menghasilkan bangunan unik monumental, menarik serta serasi dan selaras dengan
lingkuangan alam yang mengitarinya. Kesan arsitektual tsb, tercermin dalam
perancangan tata ruang dalam

52

yang merupakan inti yang terintegral secara keseluruhan dengan perancangan tata
ruang luar dengan orientasi gunung dengan kiblat arah
ke timur. Penerapan makna simbolik pada bentuk maupun pola dan unsur2 banua
batang dan jembatan dalam bentuk;
a Pola keperkasaan yang dilambangkan lewat bentuk atap yang berpola punggung
gunung,- buana agung - yang bernama sambo tanete atau selubung alam semesta.
b Pola bundar yang mengandung makna harapan yang tak perna pupus oleh ruang dan
waktu didalam satu lingkaran hukum alam yang tetap yang mencerminkan
keabadian,keseimbangan, keselarasan, serta keserasian fungsi yang kemudian disebut
salepongan bulan atau seantero hidup dan kehidupan.

BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Altruisme adalah perhatian terhadap kesejahteraan orang lain tanpa memperhatikan
diri sendiri (Campbell R.L., 2006) .Sehingga altruisme menjelaskan sebuah perhatian
yang tidak mementingkan diri sendiri untuk kebutuhan org lain. Jadi, ada tiga
komponen dlm altruisme, yaitu

. Perilaku ini merupakan kebaikkan yang ada dalam banyak budaya dan dianggap
penting oleh beberapa agama. Gagasan ini sering digambarkan sebagai aturan emas
etika. Altruisme adalah lawan dari sifat egois yang mementingkan diri sendiri.
Altruisme dibedakan dengan perasaan loyalitas dan kewajiban (de Waal F.B.M., 2008)
.Altruisme memusatkan perhatian pada motivasi untuk membantu orang lain dan
keinginan untuk melakukan kebaikan tanpa memperhatikan ganjaran, sementara
kewajiban memusatkan perhatian pada tuntutan moral dari individu tertentu, seperti
Tuhan, raja, organisasi khusus, seperti pemerintah, atau konsep abstrak, seperti
patriotisme, dan sebagainya. Beberapa orang dapat merasakan altruisme sekaligus
kewajiban, sementara yang lainnya tidak. Altruisme murni memberi tanpa
memperhatikan ganjaran atau keuntungan. Pada literatur terdahulu, altruism memiliki
hubungan yang erat dengan  perasaan empati (Sesardic N., 1999). Seseorang yang
altruis memiliki motivasi
 
altruistik, keinginan untuk selalu menolong orang lain. Motivasi altruistik tersebut
muncul karena ada alasan internal di dalam dirinya yang menimbulkan
 positive  feeling 
 sehingga dapat memunculkan tindakan untuk menolong orang lain(Gintisa H. B.,
2002; Linley, 2006). Menurut Comte (Campbell R.L., 2006) altruisme adalah tindakan
mutlak dari manusia, untuk mencapai suatu sikap pengabdian tanpa pamrih terhadap
orang lain atau masyarakat. Sedangkan menurut Rushton (F. D. W. Rushton J.P.,
Neale M.C., Blizard R.A., Eysenck H.J., 1984; F. D. W. Rushton J.P., Neale M.C.,
Nias D.K.B, Eysenck H.J., 1986), perilaku altruistik adalah berbagai macam perilaku
kebaikkan dalam sehari-hari, dengan berbagi sumber daya yang langka, dan
mendahulukan kepentingan atau keselamatan orang lain dibandingkan diri sendiri.
berbagai macam perilaku kebaikkan dalam sehari-hari, dengan  berbagi sumber daya
yang langka, dan mendahulukan kepentingan atau keselamatan orang lain
dibandingkan diri sendiri. Masyarakat adat Tana Lotong adalah sebutan bagi
masyarakat adat yang tersebar di Kecamatan Kalumpang, dan Kecamatan Bonehau,
Kabupaten Mamuju, Provinsi Sulawesi Barat. Secara geografis, letak wilayahnya
sangat terpencil. Kondisi jalan tanah berbatu, melintasi sekitar 20 anak sungai, dan
menerobos kanopi hutan. Dengan medan yang cukup rawan, kondisi jalan yang masih
dalam tahap perbaikan, dan beberapa anak sungai yang berpotensi meluap
menyebabkan akses menuju wilayah masyarakat adat Tana Lotong cukup sulit
dijangkau (Kompas.com, 5/9/2012)
 
Kondisi geografis yang jauh dari perkotaan tersebut membuat masyarakat adat Tana
Lotong saat ini masih tetap eksis berusaha sendiri untuk memenuhi segala kebutuhan
hidupnya tanpa menggantungkan harapan dengan dunia luar. Di antara penyebab
eksisnya masyarakat adat Tana Lotong sampai saat ini adalah Masyarakat adat Tana
Lotong sebagai salah satu komunitas adat yang masih memegang teguh adat istiadat,
dan kebudayaan yang turun temurun diwariskan oleh nenek moyangnya. Rumah adat
 Banua Batang 
 yang mengandung nilai filosofis yang masih dipegang teguh oleh masyarakatnya
hingga saat ini. Sebagaimana penuturan Subyek A:
“....Semua bagian rumah punya filosofi, tiap-tiap balok-baloknya dan itulah  panjang
kalo diuraikan tiap balok punya makna semua....pertama, ada tiga ruangan di bagian
atas, meliputi Paladan, semacam ruangan seperti teras untuk menerima tamu. Paladan
tidak berdinding, menandakan keterbukaan
masyarakatnya....”
 
Dari pemaparan di atas, peneliti tertarik untuk melakukan penelit
 
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran eksistensi pada
wujud altruisme yang terkandung pada masyarakat adat Tana Lotong. 2. Manfaat a.
 
Manfaat Teoritis Penelitian ini dapat memperluas khazanah pengetahuan di bidang
psikologi khususnya psikologi sosial, dan psikologi kepribadian.  b.
 
Manfaat Praktis 1)
 
Bagi Masyarakat Agar masyarakat dapat mengambil pelajaran dari budaya lokal
Indonesia yang masih dalam ranah budaya timur, sehingga dapat memperkuat karakter
bangsa. Bagi guru Agar penelitian ini dapat menjadi bahan ajar dalam proses
pendidikan moral siswa. 2)
 
Bagi Orangtua Agar penelitian ini dapat menjadi kerangka acuan dalam mewujudkan
pola asuh yang sehat terhadap anak. 3)
 
Bagi Masyarakat Adat Tana Lotong Agar dapat mempertahankan tradisi dan budaya
yang dapat memfilter segala pengaruh negatif yang masuk dari luar. 4)
 
Bagi Peneliti Agar dapat memahami psikologi timur, yang sebenarnya lebih tepat
diterapkan dalam kehidupan Bangsa Indonesia yang berbeda dengan budaya barat.
 
BAB II LANDASAN TEORI A.
 
Altruisme 1.
 
Pengertian
Menurut Walstern, dan Piliavin (Deaux, 1976). Perilaku altruistik adalah  perilaku
menolong yang timbul bukan karena adanya tekanan atau kewajiban, melainkan
tindakan tersebut bersifat suka rela dan tidak berdasarkan norma
 – 
norma tertentu, tindakan tersebut juga merugikan penolong, karena meminta
pengorbanan waktu, usaha,uang dan tidak ada imbalan atau pun
reward 
 dari semua pengorbanan . Definisi lain menyebutkan bahwa altruisme adalah tindakan
suka rela yang dilakukan oleh seseorang atau pun kelompok orang untuk menolong
orang lain tampa mengharapkan imbalan apa pun, kecuali mungkin perasaan telah
melakukan perbuatan baik. Sears dkk,(1994) dengan defenisi ini, apakah suatu
tindakan altuistik atau tidak, tergantung pada tujuan penolong, orang yang tidak
dikenal mempertaruhkan nyawanya sendiri untuk menolong korban dari mobil yang
terbakar, dan menghilang begitu saja, merupakan tindakan altruistik, lebih lanjut
dijelaskan perilaku altruistik adalah salah satu dari sisi sifat manusia dengan rela untuk
berbuat sesuatu untuk orang lain, tanpa berharap mendapatkan imbalan apa pun,
sebaliknya egoisme mengunakan kepentingan sendiri diatas kepentingan orang lain
untuk mengejar kesenagan.
 
Ajaran islam altruisme merupakan tindakan untuk menolong orang lain secara
iklas
karena islam menilai kebaikan dan perbuatan seseorang berdasarkan keiklasan untuk
mengharapkan ridho Allah swt, sehingga setiap amal yang dilakukan hanya semata-
mata karena Allah swt, menafkahkan harta ditetapkan sebagai perbuatan baik, dan
berpahala besar sebap sanggat bermanfaat untuk orang banyak, tindakan yang
dilakukan seperti ini merupakan manifestasi dari  bentuk kesolehan sosial.(Tasmara,
2001). Setiap muslim harus berusaha memberikan kontribusi dan peran nyata yang
bermanfaat sehingga menjadikan kehidupan di dalam masyarakat sebagai kesempatan
untuk mengaktualisasikan diri, Rasulullah saw bersabda bahwa.

 Sebaik
 – 
 baiknya manusia adalah yang lebih bermanfaat bagi manusia yang
lain “
(H-R Thabrani ). Sebagai mahluk sosial, seorang muslim diperintahkan untuk
memberikan  pertolongan dan bantuan kepada sesama. Terdapat kesamaan kesimpulan
Menurut Leeds (Staub, 1978) bahwa suatu tindakan yang dapat dikatakan altruisme
apa bila memenuhi tiga kriteria yaitu: 1.
 
Hasilnya baik bagi penolong maupun yang ditolong 2.
 
Tindakan tersebut dilakukan secara sukarela tindakan tersebut dilakukan atas dasar
empati bukan karena paksaan
 
 
Tindakan itu bukan untuk kepentingan diri sendiri, karena tindakan tersebut
mengandung resiko tinggi pelaku, pelaku tidak mengharapkan imbalan materi, tidak
untuk memperoleh persahabatan dan keintiman Kesimpulannya bahwa prilaku
altruisme adalah tindakan diberikankan atau ditujukan pada orang lain dan memberi
manfaat secara positif bagi orang lain atau orang yang dikenai tindakan tersebut dan
dilakukan suka rela tampa mengharapkan imbalan apa pun, atau hanya sekedar untuk
persahabatan, sikap ini tidak berdasarkan tekanan atau norma bahkan sikap ini dapat
merugikan bagi sipenolong.
 
Secara umum fungsi jantung yang utama adalah memompa darah ke seluruh tubuh dan
menampungnya kembali setelah dibersihkan organ paru-paru. Hal ini berarti bahwa fungsi
jantung manusia adalah sebagai alat atau organ pemompa darah pada manusia

Selain itu dapat menjadi sumber energi sosial-budaya yang dapat memacu semangat
dan soliditas yang dapat diarahkan untuk proses pembangunan serta sarana
pembelajaran dari kearifan-kearifan lokal yang telah dikembangkan oleh orang-orang
Austronesia pada masa lampau.
A. Tipologi
Studi tentang tipologi menyangkut studi tentang tipe, yaitu mengkaji
adanya kesamaan ciri khas secara formal dari sekelompok obyek.
Tipologi juga dapat berarti sebagai studi tentang pengelompokan
obyek (sebagai model) melalui kesamaan struktur. Struktur formal
ini
mengandung makna yang tidak hanya berkaitan dengan geometri
fisik saja, tetapi juga yang berkaitan dengan kondisi nyata, mulai dari
aktifitas sosial hingga konstruksi bangunan. Studi tipologi juga
mencakup upaya mengkategorisasi dan taksonomi. Taksonomi
yaitu formulasi aturan-aturan dari informasi-informasi pada obyek
melalui penyusunan keteraturan kategori secara hierarkis, dan dalam

mengklasifikasikan dilakukan juga katagorisasi dengan melihat


perbedaan sehingga dalam studi tipologi dilihat keseragaman dan
keragaman sekaligus.

B. Morfologi
Morfologi adalah studi tentang bentuk. Studi ini dimulai pada masa
Renaissance, yaitu pada masa ditemukannya daerah-daerah baru
dengan
flora dan fauna yang sangat beragam. Dalam perkembangan
selanjutnya, studi morfologi tidak hanya menemukan klasifikasi dari
bentuk dan
struktur suatu obyek, tetapi lebih ke arah pemahaman tentang
evolusi dan transformasi (metamorfosa). Dalam bidang arsitektur,
konsep morfologi merupakan studi mendasar dalam melihat dan
memilah komponen dan mengklasifikasikannya ke dalam tipe-tipe;
morfologi juga merupakan studi evolusi tipe dan model; morfologi
memperlihatkan transformasi dan metamorfosa; dan morfologi
merupakan studi tipologi dari transformasi.
Definisi Tipologidan Morfologi Bangunan
dalam Arsitektur

Definisi Tipologi bangunan :Tipologi berasal dari dua suku kata yaitu
Tipo yang berarti pengelompokan dan Logos yang mempunyai arti ilmu atau bidang
keilmuan. Jadi Tipologi adalah ilmu yang mempelajari pengelompokan suatu benda
dan makhluk secara umum. Berikut ini adalah beberapa pengertian Tipologi :

Tipologi (dalam Arsitektur dan Perancangan Kota)

Adalah klasifikasi taksonomi ( fisik ) karakteristik umum yang ditemukan pada


bangunan dan tempat-tempat diperkotaan.

Tipologi adalahklasifikasi (biasanya berupa klasikasi fisik suatu bangunan)


karakteristik umum ditemukan pada bangunan dan tempat-tempat perkotaan, menurut
hubungan mereka dengan kategori yang berbeda, seperti intensitas pembangunan
(dari alam atau pedesaan ke perkotaan) derajat, formalitas, dan sekolah pemikiran
(misalnya, modernis atau tradisional)
.
Karakteristik individu tersebut membentuk suatu pola.Kemudian pola tersebut
berhubungan dengan elemen-elemen secara hirarkis di skala fisik (dari detail kecil
untuk sistem yang besar).

Tipologi secara Harfiah Tipologi adalah suatu ilmu yang mempelajari segala sesuatu
tentang tipe. Tipologi arsitektur atau dalam hal ini tipologi bangunan erat kaitannya
dengan suatu penelusuran elemen-elemen pembentuk suatu sistem objek bangunan
atau arsitektural. Elemen-elemen tersebut merupakan organisme arsitektural terkecil
yang berkaitan untuk mengidentifikasi tipologi dan untuk membentuk suatu sistem,
elemen-
elemen tersebut mengalami suatu proyek komposisi, baik penggabungan,
pengurangan, stilirisasi bentuk dan sebagainya.

Dalam bidang arsitektur, konsep morfologi merupakan studi mendasar dalam melihat
dan memilah komponen dan mengklasifikasikannya ke dalam tipe-tipe; morfologi juga
merupakan studi evolusi tipe dan model; morfologi memperlihatkan transformasi dan
metamorfosa; dan morfologi merupakan studi tipologi dari transformas
74

Anda mungkin juga menyukai