Anda di halaman 1dari 3

2.

Demografis

Secara Demografis Kecamatan Kalumpang menurut data Badan Pusat


Statistik (BPS) Mamuju Dalam Angka 2020, memiliki luas wilayah 1.792,55 km²
dengan populasi ditahun 2020 berjumlah 12.175 jiwa, dan kepadatan 6,79
jiwa/km², dimana laki-laki sebanyak 6.298 jiwa dan perempuan sebanyak 5.877
jiwa. Kecamatan ini terbagi menjadi 13 desa dan memiliki 95 dusun.

Adapun persentasi keagamaan di kecamatan ini, pemeluk agama


Kekristenan sebanyak 97,77% (Protestan 97,76% dan Katolik 0,01%), Islam
2,22% dan lainnya 0,01%. Sementara jumlah penduduk Kecamatan Bonehau
tahun 2019 sebanyak 10.105 jiwa yang terdiria tas 5.310 jiwa penduduk laki-laki
dan 4.794 jiwa penduduk perempuan. Dengan kepadatan penduduk 33 jiwa/km2
dengan rata- rata jumlah penduduk per rumah tangga 4,51 orang.

Perkembangan pembangunan di bidang keagamaan dapat dilihat dari


banyaknya sarana peribadatan masing-masing agama. Terdapat 10 masjid,
1mushola, 68 gereja protestan dan, 1 gereja Katholik.

3. Geografis

Berdasarkan posisi geografisnya, Kecamatan Kalumpang memiliki batas-


batas : Utara : Kecamatan Tommo, Selatan : Provinsi Sulawesi Selatan, Barat :
Kecamatan Bonehau, Timur : Provinsi Sulawesi Selatan.

Kecamatan Kalumpang terdiri dari 13 desa, yaitu: Desa Kalumpang,


Desa Karataun, Desa Siraun, Desa Karama, Desa Tumonga, Desa Salumakki,
Desa Polio, Desa Limbong, Desa Sandapang, Desa Kondo Bulo, Desa Makkaliki,
Desa Lasa, Desa Batu Makkada.

Kecamatan Bonehau memiliki batas-batas : Utara – Kecamatan Kalumpang


; Selatan – Kecamatan Tabulahan, Kabupaten Mamasa ; Barat - Kecamatan
Kalukku, Kecamatan Papalang, Kecamatan Sampaga ; Timur – Kecamatan
Kalumpang.

Kecamatan Bonehau terdiri dari 9 desa yaitu : Desa Lumika, Desa


Bonehau, Desa Tamalea, Desa Hinua, Desa Kinatang, Desa Mappu, Desa Banua
Ada dan Desa Buttu Ada.
4. Kilas Balik Kalumpang

Berdasarkan jarak, sesungguhnya letak wilayah Kalumpang tidak begitu


jauh, tetapi minimnya fasilitas dasar, misalnya akses jalan membuat wilayah ini
menjadi sangat terpencil. Kondisi jalan tanah berbatu, untuk ke ibukota
kecamatan saja harus melintasi sekitar 20 anak sungai. Kabar baiknya sungai-
sungai tersebut tahun ini mulai dihubungkan oleh jembatan, yang sebagiannya
dibangun oleh perusahaan. Terlepas dari hitung-hitungan dan kalkulasi untung
rugi serta segenap perdebatan dan pro kontra yang mengitarinya. Juga tentang,
apakah jembatan-jembatan itu untuk membawa sesuatu ke dalam atau justru akan
dipakai sendiri untuk mengangkut kekayaan alam keluar Kalumpang.

Kalumpang memang cukup kaya dengan sumber daya alam, mulai dari
batubara, emas, mangan dan besi. Tidaklah mengherankan jika Kalumpang
menjagi target dan tempat wara-wiri perusahaan tambang maupun para broker.
Bahkan di atas areal lahan yang tumpang tindih. Sayangnya pemerintah daerah
hanya terkesan sebagai panitia pelaksana atas segala bentuk investasi yang
masuk ke daerah dan riang menunggu “remah-remah roti” dahulu pernah judul
“dana keseriusan”, tanpa melibatkan warga yang bermukim di areal yang menjadi
sasaran “investasi tanpa hati”.

Pernah tercatat, sebanyak 38 perusahaan tambang di Kabupaten Mamuju


yang mayoritasnya di Kalumpang, walaupun telah terdaftar pada Direktorat Jendral
Mineral dan Batubara Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral,
kenyataannya hanya menjadi “penambang surat-surat”, diduga hanya
membisniskan izin dari pemerintah untuk mengelola tambang batubara, emas,
mangan dan besi di Kalumpang hanya dijual kepada investor lain. Dengan strategi
memakai nama-nama lokal untuk memberi kesan dekat atau seakan-akan bagian
dari orang local, misalnya perusahaan bernama Bonehau Prima Coal.

Belum lagi potensi energi air di sepanjang sungai purba Karama yang
membuat beberapa perusahaan pembangkit listrik berebut lahan dan saling
menjegal. Diantaranya, Kalla Gruop melalui anak perusahaannya PT Bukaka
Group, PT DND Hydro Ecopower, dan perusahaan China Gezhouba Group
Corporation (CGGC) walau akhirnya angkat kaki, setelah mayoritas warga
bersama tobaraq menolak dengan daya dan upaya.

Tidak sedikit dari perusahaan-perusahaan itu, hanya menggundul hutan


dengan menggasak pohon-pohon raksasa yang bisa menghasilkan kayu-kayu
berkelas hingga 10 kubik per pohon. Setelah fase bisnis kayu usai, tanpa beban
apa-apa angkat kaki dari Kalumpang karena keuntungan kayu sudah cukup
memberi keuntungan dari modal yang dikeluarkan lalu izin tambang ditake
over.pada perusahaan lain di lobby-lobby hotel di Jakarta.

Ketika buku ini disusun, semua perusahaan perusak hutan itu yang dahulu
ditolak warga walau memperoleh Izin di masa Bupati Suhardi Duka, kini kembali
berbaris rapih di periode kepemimpinan Sutinah Suhardi, antri menghidupkan izin-
izin yang dahulu sudah dianggap tiada untuk kembali menggerayangi alam
Kalumpang yang dahulu sangat dihormati dan ditinggikan posisinya oleh para
leluhur orang Kalumpang.

Dan Kalumpang tetap saja Kalumpang yang dahulu, yang terus digilir para
kapitalis, cenderung diabaikan pengampu kebijakan, dengan medan yang cukup
rawan, kondisi jalan yang masih seperti sungai kering, walau sekarang sudak ada
beberapa kilometer jalan yang sudah beraspal, cukup menghibur sebelum kembali
dengan ketegangan berkendara meliuk diantara lobang, kubangan, gundukan
tanah dan kerikil lepas memperpanjang waktu tempuh walau jaraknya dari ibukota
Kabupaten hanya sekitar kurang lebih seratus kilometer.

Kondisi geografis dan kurangnya alokasi anggaran pembangunan membuat


masyarakat adat Tana Lotong saat ini masih tetap eksis berusaha sendiri untuk
memenuhi segala kebutuhan hidupnya tanpa menggantungkan harapan dengan
dunia luar. Di antara penyebab eksisnya masyarakat adat Tana Lotong sampai
saat ini adalah Masyarakat adat Tana Lotong sebagai salah satu komunitas adat
yang masih memegang teguh adat-istiadat, dan kebudayaan yang turun-temurun
diwariskan oleh nenek moyangnya.

Anda mungkin juga menyukai