Anda di halaman 1dari 3

C.

Kebudayaan Austronesia Kalumpang

Keanekaragaman sifat lingkungannya dan terdapat berbagai tempat permukiman


pedalaman yang penduduknya lebih berorientasi dan mempunyai akses ke daerah
pedalamannya, antara lain melalui sungai purba Karama yang menghubungkan
penduduk di hulu dan hilir sungai. Tautan lingkungan alami dan sosio-budaya yang
beraneka ragam merupakan keunikan dan kekhususan yang dimiliki oleh suatu
daerah. Lingkungan alami di Indonesia secara sosio-budaya dengan
keanekaragaman tinggi, yang tercermin dari banyaknya suku bangsa, ribuan pulau
memiliki sifat ekologi dan kekayaan sumber daya alam yang berbeda-beda.

Orang Kalumpang hidup bersahaja di perkampungan unik khas dataran tinggi,


dataran lembah subur yang dikelilingi pegunungan. Warga menyandarkan
penghidupan dari menggarap pertanian dan hasil hutan, seperti cacao, padi, kopi,
tanaman kayu, rotan, kemiri, enau, damar nilam, dan tanaman jangka pendek
lainnya. Juga masih ada yang menyambung hidup dengan menenun walaupun
tersisa hanya segelintir.
Kalumpang, bukan sekadar kecamatan terluas di dataran tinggi Mamuju, ibukota
Sulawesi Barat. Daerah yang mencakup komunitas adat Tana Lotong itu menyimpan
dan meninggalkan jejak peradaban manusia di Sulawesi yang hingga kini masih
menyisakan tradisi Austronesia dengan lengkap. Bangsa Austronesia, bangsa
penutur yang berasal dari Asia daratan diyakini kali pertama menginjakkan kaki di
wilayah ini. Keberadaan bangsa yang menurunkan populasi di sepanjang Pasifik
sampai Madagaskar, serta Selandia Baru sampai Hawaii itu terlacak melalui
penemuan sejumlah situs di wilayah Kalumpang.

Kalumpang sebagai hunian dari masa neolitik, pertama kali diperkenalkan oleh
Dr. P.V Stein Callenfels, seorang prehistorian berkebangsaan Belanda bekerja di
Lembaga Purbakala (Oudheidkundige Dienst) pada masa kolonial. Stein Callenfels
mempresentasekan hasil penelitiannya pada Kongres Prasejarah Asia Timur Jauh di
Manila tahun 1951 dan menerbitkannya dalam Journal of East Asiatic Studies, 1952.

Singkatnya, riset itu dimulai tahun 1933, A.A. Cense juga mengajak Van Stein
Callenfels, dua arkeolog Belanda, memulai penelitiannya. Berbagai temuan yang
didapat menarik arkeolog Belanda H.R. van Heekeren. Pada 1949, Van Heekeren
juga melakukan pekerjaan yang sama dan menemukan banyak benda-benda
prasejarah.

Seperti pendahulunya, Heekeren menyusuri Sungai purba Karama selama


hampir sepekan untuk mencapai Kalumpang. Tetapi kedatangan Cense ke
Kalumpang atas perintah dan ketertarikan Gubernur Jenderal di Wilayah Sulawesi
ketika itu J. Caron atas temuan arca Budha tipe amarawati yang ditemukan
penduduk lokal. Patung amarawati inilah yang menjadi awal dari rangkaian panjang
penelitian dan penelusuran artefak yang kemudian mempertemukannya dengan
benda-benda prasejarah yang lebih tua.

Data sekunder hasil riset Cense dan


Callenfels memberi kemudahan Van Heekeren
untuk menjadikan bukit Kamassi Desa menjadi
sasaran utama. Walaupun sebelumnya,
arkeolog Belanda ini telah melakukan ekskavasi
di Desa Sikendeng, di daerah muara Sungai
Karama yakni di Desa Sampaga. Di Kamassi
Van Heekeren banyak menemukan mata
beliung dari batu dan gerabah, tentu dengan
melibatkan warga lokal. Callenfels sendiri
pernah kembali ke Kalumpang tahun 1937.
Van Heekerenlah yang menemukan situs Minanga Sippako, sekitar 2 km dari
Desa Kalumpang dan situs Kamasi, sekitar 500 meter dari pusat Desa Kalumpang.
Ada mata kapak berbagai bentuk dan ukuran, pecahan gerabah, dan gerabah utuh.,
dari sinilah bermula keyakinannya bahwa benda-benda itu berasal dari zaman
prasejarah. Lebih tepatnya dari masa bercocok tanam tatkala Kalumpang memulai
berladang. Masa yang menandai beralihnya pola pencarian sumber makanan dari
berburu menjadi berladang. Saat itu manusia memang menggunakan beliung batu
sebagai salah satu alat membuka dan mengolah lahan.

Anda mungkin juga menyukai