Anda di halaman 1dari 31

dokumen jasman rantedoda

Selayang Pandang
HARI JADI MAMUJU

PENDAHULUAN
Mamuju merupakan daerah yang telah dihuni
sejak zaman neolitik. Hal tersebut dibuktikan dengan
penemuan sejumlah situs prasejarah yang memiliki
arti penting dibeberapa wilayah di Mamuju, seperti di
Kecamatan Kalumpang, Sampaga dan di sepanjang
Sungai Karama. Tabir itu mula-mula terkuak dari
penemuan secara kebetulan arca Budha tipe
Amarawati tahun 1933 di situs Sikendeng oleh
penduduk setempat saat membuat jalan penghubung
ke desa lainnya.
Menurut Christian Pelras dalam buku The
Bugis, patung Buddha dengan gaya Amaravati (abad
kedua hingga kelima M) adalah perunggu paling
terkenal dari Sulawesi yang ditemukan di Sampaga
dekat muara sungai Karama.
Penemuan acra Budha tersebut menggugah
kepedulian J. Caron, Gubernur Jenderal di wilayah

1
dokumen jasman rantedoda

Sulawesi saat itu, lantas J. Caron, memerintahkan A. A.


Cense, melakukan penelitian pada tahun 1933 itu
untuk mencari artefak pendukung lainnya. Berhari-
hari eskavasi melahkan A. A. Cense, di situs
Sikendeng, ia tidak menemukan artefak sesaman
dengan arca Budha, tetapi justru menemukan
sejumlah potongan gerabah bercorak prasejarah dan
beliung persegi di lokasi penemuan arca.
(Simanjuntak, 1994-1995). Hal tersebut memberi
inspirasi pada Gubernur Jenderal J. Caron dan A. A.
Cense untuk membuka tabir itu lebih lanjut dengan
menjadikan penemuan arca Budha di Kampung
Sikendeng, Sampaga, sebagai gerbang awal.
Selanjutnya, J. Caron dan A. A. Cense,
merencanakan ekspedisi ke hulu Sungai Karama
melalui perjalanan sungai, saat yang sama mereka
mendapat kabar tentang penemuan gerabah dan
beliung persegi di dalam rimba Kalupang oleh
penduduk setempat, keduanya kemudian
mengundang khusus Dr. Piter van Stein Callenfels
untuk meneliti di Kalumpang dengan tugas

2
dokumen jasman rantedoda

menyelamatkan data kebudayaan penting tersebut.


Callenfels langsung mengunjungi Kalumpang pada
tahun 1933 itu dan melakukan ekskavasi pertama di
Bukit Kamassi. Hasil penggalian pertama Callenfels di
Bukit Kamassi berupa alat-alat batu Hoabinhian,
berbagai kapak dan beliung, mata panah dan gerabah.
Tahun 1937, Callenfels, sekali lagi mendatangi
Bukit Kamassi. Pada ekskavasi 1937 itu, Callenfels
menemukan berbagai gerabah polos dan berhias,
beliung persegi, mata panah, dan alat-alat dari batu
lainnya (Callenfels, 1952; Simanjunttak, 1994). Hasil
penelitian itu kemudian dipaparkan dalam kongres
prasejarah (Frehistorian of the Far East) di Manila
pada tahun 1951 dan menerbitkannya dalam Journal
of East Asiatic Studies 1952.
Berdasarkan penelitiannya van Stein Callenfels
menyusun tiga gelompang kebudayaan di Kalumpang,
yaitu pertama Proto Neolitik yang dicirikan oleh
lapisan budaya kapak tajam miring, proto tipe kapak
batu, alat-alat Hoabinhian dan gerabah primitif. Kedua
Neolitik yang dicirikan oleh lapisan budaya kapak

3
dokumen jasman rantedoda

ditempa halus dan gerabah polos. Ketiga Neolitik


Akhir dicirikan oleh lapisan budaya mata panah,
pahat kecil, dan gerabah hias. Menurut Callenfels,
bahwa gelombang budaya pertama dan ketiga berasal
dari utara, lewat Filipina (Callenfels, 1951). Arkeolog
menemukan jejak artefak yang sama pada jalur
Filipina (Mindanau), terus memasuki Sulawesi Utara
dan mencapai Kalumpang.
Penelitian Callenfels kemudian dilanjutkan
oleh Heekeren tahun 1949. Awalnya, Heekeren
melakukan ekskavasi di situs yang sama dengan
lokasi penelitian Callenfels. Namun saat melakukan
penggalian, Heekeren, mendapatkan informasi dari
penduduk setempat bahwa mereka melihat benda
serupa di Minanga Sipakko, suatu lokasi perkebunan
di percabangan anak sungai, bantaran Sungai Karama.
Penelitian Heekeren memberi data-data lebih
maju. Ia mengumpulkan beberapa artefak penting
berupa gerabah polos dan berhias, beliung persegi
dan kapak lonjong, mata tombak, mata panah, pahat

4
dokumen jasman rantedoda

batu, batu asah, batu pipisan dan pemukul kulit kayu


(Heekeren, 1972; Simanjuntak, 1994).
Hasil penelitian Heekeren memberi gambaran
berbeda dari Callenfels. Ia cenderung menganggap
bahwa hanya terdapat dua fase kebudayaan di
Kalumpang, yaitu: pertama Neolitik Awal dicirikan
kapak lonjong dengan irisan ellipsoidal dengan
beberapa di antaranya berbentuk asimetris, alat
pemukul kulit kayu, gerabah polos dan gerabah
berhias motif garis-garis lurus dengan sejumlah
lingkaran kecil. Kedua Neolitik Akhir dicirikan oleh
beliung persegi yang diupam, beliung kecil, mata
tombak diupam, mata panah, alat-alat bor, dan
gergaji. Ciri-ciri lain fase Neolitik Akhir berupa
gerabah hias pola lingkaran, spiral, segitiga, meander,
pilin, lingkaran kecil dan motif tepi kulit kerang yang
diidentifikasi Heekeren sebgai pengaruh budaya
Dongson.
Bagi Heekeren, kedua fase kebudayaan di
Kalumpang berasal dari Cina Selatan dan mencapai
Sulawesi lewat jalur Filipina. Heekeren juga

5
dokumen jasman rantedoda

berpendapat bahwa Budaya Kalumpang mengalami


defisit kemampuan adaptif karena faktor isolasi
daerahnya.
Selanjutnya penelitian intensif dilakukan oleh
Balai Arkeologi Sulawesi Selatan bekerja sama dengan
Pusat Penelitian Arkeologi Nasional dari tahun 2003
sampai 2006 dipimpin oleh Prof. Dr. Harry Truman
Simanjuntak. Dari hasil penelitian tersebut Truman
berasumsi bahwa Situs Minanga Sipakko merupakan
transisi dari Neolitik ke Paleometalik. Dari hasil
pertanggalan radiometri yang dilakukan
memperlihatkan waktu yang lebih tua, yaitu 3800-
2.500 BC (Simanjuntak, 2011: 10).
Data dari situs Bukit Kamassi dan Minanga
Sipakko memiliki situs komleks yang pernah
mengalami tansisi budaya Neolitik-Paleometalik.
Hasil penelitian Balai Arkeologi Sulawesi Selatan
2012-2017 menunjukkan jejak kebudayaan di
Kalumpang dari periode awal Neolitik (3.800 BC)
hingga akhir Paleometalik dan awal Proto-Sejarah
(400-AD). Bukti-bukti ilmiah itu menyokong Mamuju

6
dokumen jasman rantedoda

sebagai salah satu peradaban tua, bukan saja di


Sulawesi tetapi di Nusantara.
Bagi Prof. Truman, Kalumpang menjadi titik
penting menelusuri leluhur langsung bangsa
Indonesia dan kehidupan awal mereka di Nusantara.
Dalam konteks temuan tembikar, penanda utama
kebudayaan Austronesia, Truman mengatakan,
Kalumpang adalah situs terkaya di Asia Tenggara. Ada
puluhan motif, hiasan dan teknik pembuatan keramik
yang ditemukan di Kalumpang.
Dalam buku Prehistory of the Indo-Malaysian
Archipelago yang ditulis Peter Bellwood terbit tahun
2007, ia meyakini bahwa peralatan batu dan motif
tembikar dari situs di Kalumpang, Mamuju,
merupakan yang paling mirip dengan artefak neolitik.
Artefak jenis ini ditemukan di Taiwan. Salah satu teori
yang populer menyebutkan, orang Austronesia
bermigrasi dari Taiwan sekitar 5.000 tahun silam
melintasi lautan menuju Filipina. Dari sana mereka
menyebar ke Sulawesi dan Kalimantan, lalu ke
seluruh kepulauan Nusantara dan pulau-pulau di

7
dokumen jasman rantedoda

Samudra Pasifik. Ujung terjauh migrasi itu mencapai


Pulau Paskah di timur dan Madagaskar di barat.
Banyaknya penelitian arkeologis di
Kalumpang, Mamuju, terutama di situs Bukit Kamassi
dan Minanga Sipakko, menurut arkeolog Universitas
Hasanuddin (Unhas) Makassar, Iwan Sumantri, tak
hanya memunculkan peninggalan purbakala bernilai
tinggi tetapi juga menghidupkan identitas masyarakat
Mamuju. Orang Mamuju menemukan identitasnya
sebagai masyarakat yang memiliki kebudayaan luhur
dan tua di Sulawesi.
Melalui serangkaian penelitian tersebut maka
terungkaplah bahwa di Mamuju (Kalumpang)
merupakan salah satu dari dua situs Neolitik tertua di
Nusantara yang menunjukkan bukti-bukti hunian
penutur Austronesia yang menjadi nenek moyang
sebagian besar masyarakat Indonesia. Situs sejenis
lainnya ditemukan di Jawa, yaitu Kendeng Lembu.

8
dokumen jasman rantedoda

PEMBAHASAN
Hari Jadi Mamuju
Menelusuri jejak-jejak kerajaan tua di
Nusantara lalu merekamnya dalam bentuk tulisan
utuh tidaklah semudah membalikkan telapak tangan,
demikian halnya kerajaan Mamuju. Hal tersebut
disebabkan terbatasnya sumber-sumber yang bisa
dijadikan referennsi. Adapun sumber-sumber yang
umumnya dari tradisi tutur/lisan, nyaris tidak
mencukupi untuk dijadikan sebagai acuan dalam
suatu penulisan sejarah secara serius dan ilmiah.
Menurut beberapa narasumber, Mamuju
sebagai kerajaan memiliki sumber-sumber sejarah
yang adiluhung seperti lontarak Tokaiyang di Padang,
Lontarak Tobara, lontarak Tomakaka, lontarak
Pappituang dan lontarak Punggaba. Namun
sayangnya sumber-sumber tersebut sudah tidak
diketahui keberadaannya. Sebagian lagi menyebutkan
sudah musnah bersama dibumihanguskannya
Mamuju oleh gerombolan DI/TII tahun 1957-1958.
(Tolla dan Muhammad Tahir Rachman, 2001: 200).

9
dokumen jasman rantedoda

Namun demikian, berpangku tangan tanpa


melakukan apa-apa bukanlah solusi untuk
menyelamatkan sejarah kerajaan yang pernah jaya di
masa lampau sebagai satu di antara tujuh kerajaan di
pesisir pantai Barat Sulawesi (Pitu Babana Binanga)
dan mendapat tempat khusus dalam catatan para
peneliti Eropa.
Pengungkapan sejarah Mamuju dapat
dilakukan, salah satunya, dengan menghimpun
ulasan-ulasan singkat dari berbagai sumber seperti
buku, majalah atau jurnal dan dari tradisi lisan yang
diturunkan dari masa ke masa dan dari generasi ke
generasi hingga menjadi ingatan umum masyarakat
Mamuju.
Merujuk pada hasil penelitian Balai Arkeologi
Sulsel yang menyebutkan bahwa situs dan toponim
penting di wilayah Mamuju di masa lalu adalah situs
Qui-qui (Kuri-kuri, red) dan Mamoyo. Qui-qui
sekarang jadi pelabuhan feri Mamuju, sudah dicatat
dalam peta Bangsa Eropa (Portugis) tahun 1540 M

10
dokumen jasman rantedoda

sebagai pelabuhan penting di Pantai Barat Jazirah


Selatan Sulawesi (Pelras, 1973 dan Andaya, 2004).
Pelabuhan Kuri-Kuri awalnya adalah akses
utama perdagangan cangkang kura-kura oleh Bangsa
Portugis. Kemudian menyusul komoditas lainnya
seperti rempah-rempah, rotan, kerbau, pucuk
cendana, damar dan budak (Bigalke 2006; M. Amir,
2019).
Dalam catatan Cristian Pelras dalam buku The
Bugis disebutkan, bahwa Butuh waktu cukup lama
bagi Portugis untuk benar-benar tertarik pada
Sulawesi. Peta pertama mereka mengabaikan pulau
itu. Akan tetapi tahun 1533 bangsa Portugis yang saat
itu berada di Ternate, mendengar dari kapten
berkebangsaan mereka sendiri bahwa terdapat
banyak emas di sekitar kepulauan Celebes. Mereka
(Portugis, red) kemudian mengirimkan ekspedisi
pengintaian. Tim ekspedisi itu tampaknya berlayar
dari pelabuhan ke pelabuhan di sepanjang
semenanjung utara dan kemudian di sepanjang pantai

11
dokumen jasman rantedoda

Barat Sulawesi, di Manado, Toli-Toli, Mamuju, Siang,


Tallo' dan Garassi'. (Pelras, 1996: 125).
Pelras juga mengatakan, Sungai Karama adalah
salah satu rute yang menghubungkan daerah
penghasil bijih besi di Seko, salah satu dari sedikit
tempat di kepulauan di mana besi dapat diekstraksi
dengan relatif mudah di zaman kuno. Itu
menunjukkan bahwa Sungai Karama merupakan rute
perdagangan awal di zaman kuno. (Pelras, 1996: 25)
Selain pendapat Pelras, laporan Jhon Dalton
Juli 1831 juga menyebutkan bahwa di Mamuju,
sekitar abad ke-5 masehi pada saat itu, hubungan
dengan dunia luar sudah begitu lancar. Selanjutnya
pada tahun 1540 berdasarkan catatan sejarah bahwa
Mamuju memiliki pelabuhan internasional Kurri-kurri
dimana didalam peta pelayaran Portugis pada tahun
tersebut dicatat bahwa pelabuhan Kurri-kurri
menjadi persinggahan orang-orang Portugis
membawa komoditas pada rute kerajaan Siang di
Pangkep sebelum Gowa dan Manado Tua (Sulawesi
Utara).

12
dokumen jasman rantedoda

Dari paparan data-data penelitian ilmiah


tersebut maka dapat disimpulkan bahwa penetapan
hari jadi Mamuju merujuk pada tahun 1540 di mana
pada tahun tersebut Mamuju sudah memiliki
pelabuhan penting sebagai akses utama perdagangan
oleh Bangsa Eropa (Portugis). Pada tahun itu juga
Mamuju sudah tercatat dalam peta Portugis. Dengan
demikian rentang waktu 1540-2022 sama dengan 482
tahun. Maka tahun 2022 diperingati sebagai hari jadi
Mamuju ke 482 tahun.
Namun jika dikaitkan dengan penemuan arca
Budha di situs Sikendeng dan sejumlah artefak di
Bukit Kamansi dan Minanga Sipakko (Situs
Kalumpang) yang mengungkapkan jejak-jejak
peradaban tua di Sulawesi dan Nusantara, maka usia
Mamuju sangat mungkin jauh lebih tua dari itu.
Penelitian ilmiah telah membuktikan bahkan peradan
di situs Kalumpang telah ada sejak 3800 tahun BC
hingga akhir Paleometalik dan awal Proto-Sejarah
(400-AD). Bukti-bukti ilmiah itu menyokong Mamuju

13
dokumen jasman rantedoda

sebagai salah satu peradaban tua, bukan saja di


Sulawesi tetapi juga di Nusantara.

Kerajaan Mamuju
Berdirinya Kerajaan Mamuju merupakan
penggabungan kerajaan Kurrikurri dan Langga
Monar. Sumber lain menyebutkan penggabungan tiga
kerajaan yaitu Kurrikurri, Langga Monar dan
Managallang. Hanya saja bukti-bukti keberadaan
Kerajaan Managallang di masa lalu yang konon
didirikan oleh Pue Tonileo, sangat lemah bahkan tidak
ditemukan sama sekali. Hal lain bahwa konon
Kerajaan Managallang didirkan oleh Pue Tonileo.
Padahal dalam catatan Maradika Mamuju (alm. Pue
Andi Maksum DAI), Pue Tonileo adalah raja ke-8 di
Mamuju. Dengan demikian, kurang logis jika kerajaan
yang didirikan oleh raja ke-8 Mamuju, akan menjadi
salah satu pembentuk kerajaan Mamuju itu sendiri.
Kerajaan Kurrikurri yang terletak di daerah
Tambajako, Simboro, waktu berdirinya sangat sukar
ditentukan tetapi dengan ditemukannya beberapa

14
dokumen jasman rantedoda

peninggalan seperti Pala Bitti Batu di Sumare, Bujung


Gassa di Rangas, Patung Budha berlilit Naga di Tanete
Bulukang, Labuang (pelabuhan) Kurrikurri, di
Simboro yang sampai sekarang masih ada dan bahkan
menjadi Pelabuhan Ferry untuk menyeberang ke
Kalimantan Timur (Balikpapan). Peninggalan-
peninggalan tersebut memberikan indikasi dan
memperkuat alasan bahwa Kerajaan Kurrikurri
memang pernah ada dan berjaya pada beberapa abad
yang silam (Tolla dan Muhammad Tahir Rachman,
2001: 205).1
Kerajaan Kurrikurri diperkirakan berdiri pada
abad pertengahan, sekitar abad VII Masehi.
Pendirinya adalah seorang keturunan dari nenek
Takaramata di Simboro2 yang bergelar Tomaballa
Pala Bitti’na.
Dialah raja pertama dari Kerajaan Kurrikurri.
Namun tidak banyak yang dapat diketahui tentang

1
Syahrir Kila, the establishment of Mamuju kingdom,
dipublikasikan dalam jurnal ilmiah Walasuji, Volume
10, Nomor 2 Desember 2019.
2
Disebutkan dalam sengo-sengo.

15
dokumen jasman rantedoda

masa pemerintahannya maupun latar belakang


keluarganya secara utuh. Ketika Tomaballa Pala
Bitti’na turun tahta, ia digantikan oleh salah satu
keturunannya yakni Tomentengkudu Gassa.
Pada masa pemerintahan Tomentengkudu
Gassa, Kerajaan Kurrikurri mengalami perkembangan
yang pesat ditandai dengan terbangunnya hubungan
bilateral dan multilateral dengan beberapa kerajaan
Nusantara, seperti Kerajaan Kutai, di Kalimantan
Timur (kerajaan tertua di Indonesia) dan Kerajaan
Johor di Semenanjung Malaka3.
Ketika Tomengtengkudu Gassa turun tahta,
digantikan oleh Tarapati, cucu Tomaballa Pala
Bitti’na. Karena ada keterkaitan hubungan darah
Kerajaan Kutai maka Tarapati digelari Toma’dua
Lemba. (Kila, 2010 :61). Salah satu aturan hukum
(pasang/hukum adat) yang ditinggalkan oleh Tarapati
yang menjadi ingatan umum masyarakat Simboro-
Tambajako adalah marru’dua gala’gar. Artinya
seseorang yang dijatuhi hukuman bersalah oleh

3
Lembaran Daerah Kabupaten Mamuju, 1999: 14-15.

16
dokumen jasman rantedoda

kerajaan, seluruh harta bendanya diambil oleh


kerajaan.
Tarapati kemudian mempersunting anak dari
Tokaiyang di Padang yang bernama Tomellipa Karoro.
Sebagai mas kawin, Tarapati mendirikan sebuah
kerajaan baru yang disebut Langga Monar. Kerajaan
tersebut dimaksudkan sebagai sorong atau mas kawin
yang akan dipersembahkan kepada isterinya. Nama
Kerajaan Langga Monar disesuaikan dengan maksud
didirikannya, yaitu sebagai mas kawin. Langga berarti
jaminan dan Monar berarti tanah; tanah jaminan atau
mas kawin (Lembaran Daerah Kabupaten Mamuju,
1999: 17).
Pusat Kerajaan Langga Monar ditempatkan di
Danga dengan maksud agar isterinya selalu
berdekatan dengan orang tuanya, di Padang. Setelah
menikah keduanya lebih banyak menetap Langga
Monar, karena itulah Tarapati berniat
mempersatukan Kerajaan Kurrikurri dengan Kerajaan
Langga Monar. Dalam penggabungan itu, Kerajaan
Kurrikurri hendak dijadikan sebagai bandar niaga

17
dokumen jasman rantedoda

karena memiliki sebuah pelabuhan. Sementara


Kerajaan Langga Monar akan dijadikan sebagai pusat
pemerintahan atau kotaraja. Tahun 1540, pelabuhan
Kurrikurri betul-betul menjadi pelabuhan
international dengan disinggahinya berbagai
pedagang dari berbagai bangsa seperti Portugis yang
membawa berbagai macam komoditas (Infokom
Kabupaten Mamuju, 2004:4).
Penggabungan Kerajaan Kurrikurri dan Langga
Monar menjadi satu kerajaan dan diberi nama
Kerajaan Mamuju diperkirakan terjadi pada tahun
1500-an (Kantor Infokom, 2004: 4). Berdirinya
Kerajaan Mamuju menandai berakhirnya Kerajaan
Kurrikurri dan Kerajaan Langga Monar. (Kila, 2010).
Perkawinan Tarapati dan Tomellipa Karoro,
melahirkan seorang anak yang diberi nama
Mattolabali yang berarti pewaris dua kerajaan, yaitu
Kurri-Kurri dari pihak ayahnya dan Langga Monar
dari pihak ibunya. Karena sejak kecil ia digembleng,
disiapkan untuk menggantikan ayahnya kelak
menjadi raja Mamuju, maka dia diberi gelar

18
dokumen jasman rantedoda

Tomejammeng diambil dari akar kata camming,


jaramming (bahasa Tambajako-Simboro).
Tomejammeng berarti pencerminan dari sifat-
sifat dan kepemimpinan ayahnya.
Ketika Matotolabali atau Tomejammeng
beranjak dewasa pihak kerajaan sudah merasa
waktunya untuk mengenakan pakaian kebesaran.
Untuk maksud tersebut maka dilaksanakanlah suatu
upacara adat kerajaan yang dikenal dengan nama
macco’bo. (Rasyid Kampil, 2000:7).
Dalam upacara adat tersebut Raja Mamuju,
mengundang sejumlah raja-raja di nusantara,
termasuk Kerajaan Badung, Bali. Saat hadir di
Kerajaan Mamuju, Raja Badung membawa serta
putrinya yang cantik jelita bernama Gusti Meraara
Puang.
Mattolabali jatuh cinta pada putri raja
Bandung tersebut, lalu dengan taktinya ia
memerintahkan rakyatnya membuat dangkal muara
Sungai Kasiwa agar kapal raja Badung kandas dan tak
bisa segera bertolak meninggalkan kerajaan Mamuju.

19
dokumen jasman rantedoda

Mengetahui hal tersebut, Tarapati kemudian


mengumpulkan semua anggota hadat Kerajan
Mamuju untuk molimbo (rapat umum) di Balauju
(aula pertemuan). Hasil pertemuan menyimpulkan
bahwa Maradika (raja) Mamuju harus menjelaskan
kepada raja Badung sekaligus menyampaikan
lamaran Mattolabali untuk putrinya. Lamaran
tersebut diterima hingga akhirnya Mattolabali dan
putri raja Badung, bali, menikah. (Rasyid Kampil,
2000: 9).
Tomejammeng menjadi raja Mamuju antara
tahun 1530-1547. Lontar Mandar menyebutkan
bahwa pada masa pemerintahan Mara’dia
Tomejammeng di Mamuju inilah ikrar Tammejarra
atau Assitalliang Allamungan Batu di Luyo
dilangsungkan. Setelah wafat digelar toniallung di
Badong yang artinya bersemayam di Badung, dalam
Lontar Mandar menyebutnya tonipatti yang artinya
orang yang dimasukkan ke dalam peti.
Dalam Lontar Mandar dikisahkan, perkawinan
Puatta Mamuju (Tomejammeng) dan putri Raja

20
dokumen jasman rantedoda

Bandung, Gusti Meraara Puang kemudian dikarunia


seorang anak yang diberi nama Lasalaga. “Ketika
menjelang sembilan bulan usia kehamilannya, sang
putri meminta pulang. Dengan perahu ia diantar ke
kampung halamannya, meninggalkan Mamuju ke
negeri Bandung. Sungguh mengherankan, ketika
waktunya datang ia melahirkan seorang putra dan
sebilah parang (kobi’: bahasa Mandar). Sang putra
diberi nama La Salaga”4. Parang tersebut menjadi
pusaka Kerajaan Mamuju yang diberi nama
manurung, karena kembar dengan La Salaga yang
kelak menjadi raja, maka piso manurung juga digelari
Maradika Tammangkanakana yang artinya raja tak
bertutur. Nama La Salaga diambil dari istilah telaga
atau slaga, diilhami oleh nama kedua telaga yang ada
di Bali, yaitu Bayan dan Brata.
Ketika Tomejammeng meninggal dunia5. Versi
lain menyebutkan berusia senja6, La Salaga muda
dijemput dan akan dinobatkan menjadi raja Mamuju

4
Lontarak Mandar, terjemahan Muis Mandra.
5
Lontara’ Mandar
6
Tolla Muhammad Tahir Rachman, 2001: 209

21
dokumen jasman rantedoda

menggantikan ayahnya. Seluruh hadat kerajaan


Mamuju molimbo bersama Tomatua Mamunyu dan
Takiyang Padang membicarakan penjemputan La
Salaga di kerajaan Badung. Maka diutuslah Baligau,
Tomatua Mamunyu, Pue Makisi dan Suro
Tannipasang untuk berangkat menghadap Raja
Badung, dengan maksud meminta La Salaga untuk
dibawah pulang ke Mamuju. (Tolla Muhammad Tahir
Rachman, 2001: 209).
“Namun tetua adat Badung menolak ketika
mendengar permohonan mereka. Tak tega
memisahkan La Salaga dari ibu dan tanah
kelahirannya”7. Utusan tersebut gagal membawa
pulang La Salaga ke Mamuju. Nanti pada penjemputan
kali kedua dengan taktik tertentu, oleh sakka
manarang dengan gasing emasnya La Salaga berhasil
di bawah pulang ke Mamuju. La Salaga setelah naik ke
kapal yang akan membawanya ke Mamuju, sakka
manarang kemudian membocori semua kapal yang

7
Lontara’ Mandar

22
dokumen jasman rantedoda

ada di pelabuhan Badung, sehingga pasukan kerajaan


Bandung tidak bisa mengejarnya.
“Kali kedua, tetua adat Mamuju berlayar ke
Pulau Bali, mereka telah menyiapkan sebuah strategi
mengajak Sakka’ Manarang si pandai besi. Ketika
malam tiba mereka meminta La salaga diizinkan naik
perahu. Tidur semalam bersama sanak saudara dari
Mamuju dengan alasan esok harinya mereka akan
kembali ke kerajaan Mamuju. Raja Badung
mengabulkan permohonan itu. Saat tengah malam,
Sakka Manarang diam-diam beraksi. Dengan tombak
besi ia lubangi perahu-perahu Bali. Kapal kerajaan
Mamuju lalu berlayar pergi, La Salaga berhasil
dibawah lari”8. Sebelum bertolak ke Mamuju, Lasalaga
sempat mencabut piso Manurung yang tersimpang di
bawah bantalnya, karena tergesa-gesa, sarung
(warangka) piso manurung tertinggal di Badung, Bali.
Perahu yang membawanya kemudian berlayar
sampai ke kerajan Mamuju (Kampil, 2000: 71).

8
Lontara’ Mandar

23
dokumen jasman rantedoda

La Salaga dinobatkan menjadi raja Mamuju


pada tahun 1575-1585. Lasalaga dalam Lontara’
Mandar juga dikenal dengan nama I Sallarang Daeng
Mallari. Putra Mamuju dan Bali yang menganut Islam
pertama kali. Digelari Tomatinddo Disambayanna,
keturunan Tomejammeng yang perkasa. Namanya
menggema hingga negeri Pamboang. Di sana ia
menikahi Putri Tomecipo’ dan diminta menjadi raja.
Saat bertahta di Pamboang, datang Syekh Zakaria Al-
Maghribi, ulama dari Giri, Jawa, menjadi gurunya. Ia
memeluk Islam dan bergelar Tomatindo
Disambayanna.
Raja Mamuju berikutnya adalah Tomatindo
Dipusanna, memimpin Kerajaan Mamuju antara tahun
1585-15909. Dalam Lontara’ Mandar disebutkan,
Tomatindo Dipusanna adalah putra dari Tomatindo
Disambayanna (La Salaga).
Raja Mamuju selanjutnya bernama Malloang
Rara, memimpin kerajaan Mamuju tahun 1590-1620.
Raja Mamuju selanjutnya bernama, Tomatindo
9
Dokumen Kerajaan Mamuju yang disimpan
Maradika Andi Maksud DAI

24
dokumen jasman rantedoda

Dibuttu Panjang, mempimpin Mamuju tahun 1620-


1680. Kemudian raja berikutnya Nae Sabang
memimpin tahun 1680-1700. Kemudian Raja Mamuju
selanjutnya bernama Lebopang atau Pue Tonileo,
memimpin Kerajaan Mamuju dari tahun 1700-1709.
Saat Pue Tonileo menjadi raja Mamuju, terjadi
pertentangan dikalangan internal kerajaan yang
sangat dahsyat membuat Pue Tonileo meninggalkan
tahtanya dan meyingkir ke Kaili. Sumber lain
menyebutkan ke Tolitoli. Menurut beberapa sumber
penyebab perpecahan internal itu adalah soal
penerapan hukum adat marru’dua gala’gar. (Pue Andi
Maksum DAI, 2019; Dokumen Kerajan Mamuju).
Pada saat Kerajaan Mamuju mengalami
kekosongan pemimpin atau Maradika, Arajang
Balanipa mengutus Pammarica untuk menjadi raja
menggantikan sementara Pue Tonileo. Dari sinilah
awal mula keberadaan raja-raja keturunan Arajang
Balanipa di Kerajaan Mamuju. Pammarica
diperkirakan menjadi raja di Mamuju sampai tahun
1720. Setelah Pammarica, selanjutnya yang menjadi

25
dokumen jasman rantedoda

raja Mamuju adalah Tomampellei Kasugikanna tahun


1720-1881. Lalu digantikan lagi oleh Malloanging
yang naik tahta antara tahun 1881-1890. Dan
selanjutnya Nae Sukur dari tahun 1890-1896. Dan
setelah Nae Sukur, digantikan oleh Karanene atau
Maradika Pua’aji dari 1896-1908. Setelah itu,
Kerajaan Mamuju dipimpin oleh H. Djalaluddin
Ammana Inda (DAI) antara tahun 1908-1964. (Pue
Andi Maksum DAI, 2019; Dokumen Kerajan Mamuju).
Setelah Pue Djalaluddin Ammana Inda wafat,
kemudian digantikan putranya, Pue Andi Maksum
DAI. Dinobatkan menjadi raja Mamuju sekitar tahun
1965 pada usia 22 tahun. Pue Andi Maksum DAI
menjadi raja Mamuju hingga mangkat pada Selasa 8
September 2020 sekitar pukul 20.00 Wita, di Rumah
Sakit Akademis Makassar, Sulawesi Selatan, pada usia
77 tahun (13 Juni 1943-8 September 2020).
Mangkatnya, Pue Andi Maksum DAI, kemudian
digantikan oleh putranya, Pue Andi Bau Akram
Maksum DAI yang sebelumnya telah dinobatkan
sebagai putra mahkota Kerajaan Mamuju, Rabu 12 Juli

26
dokumen jasman rantedoda

2017. Pue Andi Bau Akram Maksum DAI dinobatkan


menjadi Raja Mamuju ke-XVI pada hari Rabu 15
Semptember 2021, di Rumah Adat Mamuju.

Batas–Batas Kerajaan Mamuju


Kerajaan Mamuju sebelah utara berbatasan
dengan Kabupaten Donggala Sulawesi tengah
(Sulteng). Sebelah timur berbatasan dentan
Kabupaten Luwu, Sebelah selatan berbatasan dengan
Kerajaan Tapalang dan Sebelah barat adalah selat
Makassar.

Adat Gala’gar Pitu


Majelis hadat Gala’gar Pitu terdiri atas
1. Baligau
2. Pabbicara
3. Pue Ballung
4. Pue Pepa
5. Pue Kasiwa
6. Pue Bone-Bone

27
dokumen jasman rantedoda

7. Pue Makisi (ketika Islam menjadi agama resmi


kerajaan, maka Pue Makisi berubah menjadi
Pue Kali). (Kila dan Muhammad Amir,
2007:194-195).
Baligau bertugas menjadi wakil raja yang
memegang urusan menyangkut pertahanan dan
keamanan.
Pue Ballung, bertugas di bidang kepemudaan,
kesenian dan bidang pengadilan.
Pue Pepa, tugasnya adalah menyangkut bidang
kesejahteraan rakyat urusan bagian umum.
Pue To Bonebone, tugasnya di bidang
syahbandar dan mengelola hasil-hasil hutan dan
bidang olah raga.
Pue To Kasiwa, tugasnya adalah menyangkut
ketenagakerjaan dan penggerak massa.
Pabbicara, bertugas di bidang penerangan,
yakni menyampaikan semua hasil-hasil keputusan
dari sitammuuju dan perintah dari raja, dan
Pue Makisi bertugas dibidang keagamaan dan
pengadilan agama, setelah agama Islam masuk

28
dokumen jasman rantedoda

dan diterima di Kerajaan Mamuju, maka pue


makisi berubah menjadi pue kali. Ketujuh
perangkat adat itu kemudian dikenal dengan
sebutan Gala’gar Pitu atau anggota dewan hadat
besar. (Rachman, 2004:24-25).
Kemudian lapisan di bawah Gala’gar Pitu
masing-masing:
1. Djoa
2. Salim Tanabalang
3. Suro Udung
4. Panggulu Pomangan

Demikian selayang pandang ini disusun bukan


dengan maksud final, sebab sangat mungkin masih
ada versi-versi lainnya tentang Mamuju atau kerajaan
Mamuju yang penyusun belum temukan.
Kepada para pembaca yang memiliki versi yang
berbeda tersebut atau mengetahui lebih detil tentang
Mamuju; tentunya dengan paparan bukti-bukti
pendukung-, kiranya berkenan melakukan koreksi
demi perbaikan di masa mendatang.

29
dokumen jasman rantedoda

DAFTAR PUSTAKA

Hakim Budianto, 2013. Jejak-jejak Penutur Austronesia


(Sebagai leluhur Orang Sulawesi), di Situs
Kamansi, Kalumpang, Mamuju Sulawesi Barat,
Dari Temuan Arkeologi, Tradisi Tutur dan
Akar Bahasa, Makassar: De La Macca.
Infokom Kabupaten Mamuju, 2004, Selayang Pandang
Kabupaten Mamuju. Mamuju: Pemerintah
Kabupaten.
Kampil, Abd. Rasyid, 2000. Bahasa Mamuju Dalam
Aksara Lontarak. Mamuju: Citra Harmonis.
Kila Syahrir. 2010. Sejarah Mamuju: Dari Kerajaan
Sampai Kabupaten. Makassar: Dian Istana.
---------, 2019. Berdirinya Kerajaan Mamuju dalam,
“Walasuji Jurnal Balai Pelestarian Nilai
Budaya Sulawesi Selatan” Nomor 2. Makassar:
Balai Pelestarian Nilai Budaya Sulawesi
Selatan.

Lembaran Daerah Mamuju, 1999, Penetapan Hari Jadi


Mamuju. Mamuju: Pemerintah Kabupaten.

Mandra, Muis. 1986. Inventarisasi, Terjemahan dan


Pengungkapan Latar belakang Nilai, `Serta Isi
Naskah Kuno Lontarak Mandar. Ujung
Pandang: Inventarisasi Dokumentasi
Kebudayaan Daerah Sulawesi Selatan.

30
dokumen jasman rantedoda

---------, 2009. Assitaliang: Beberapa Perjanjian Mandar


pada Masa Pemerintahan Tradisional. Majene:
Yayasan Saq Adawang dan Pemda Majene.
Mahmud M Irfan, Hakim Budianto, Fakhri, Sardi M
Ratno, Suryaman, Saiful Andi Muhammad,
2019, Kebudayaan Kalumpang Sulawesi Barat
(3.800 BP-400 AD), Makassar: Masagena
Press.
Pelras Christian, 1996. The Bugis, Cambridge:
Blackwell Publishers Inc
Rachman, Ince Nurdin, 2004, Selayang Pandang
Sejarah Adat Mamuju. Mamuju: Pemerintah
Kabupaten Mamuju.
Simanjuntak, Truman, 2008. Austronesian In Sulawesi.
Center for Prehistoric and Austronesian
Studies, Yogyakarta: Galang Press.
Tolla Achmad, Rachman, Muhammad Tahir, 2001,
Sejarah Mamuju (belum terbit). Mamuju:
Pemerintah Kabupaten Mamuju.

31

Anda mungkin juga menyukai