Anda di halaman 1dari 7

Zaman Mesolithikum

Mesolithikum juga di sebut zaman batu tengah atau zaman batu madya, yang di perkirakan
berlangsung pada masa Holosen (10.000 tahun yang lalu). Perkembangan kebudayaan pada
zaman ini berlangsung lebih cepat dari masa sebelumnya. Hal ini di sebabkan antara lain.
1. Keadaan alam yang sudah lebih stabil, yang memungkinkan manusia dapat hidup lebih tenang,
sehingga dapat mengembangkan kebudayaannya
2. .Manusia pendukungnya adalah dari jenis Homo sapien, mahluk yang lebih cerdas di
bandingkan pendahulunya
Mesolitikum secara bahasa dapat diartikan sebagai batu tengah, merupakan tahapan
perkembangan masyarakat masa pra sejarah antara batu tua dan batu muda. Tidak jauh berbeda
dengan peride sebelumnya, kehidupan berburu atau mengumpulkan makanan. Namun manusia
pada masa itu juga mulai mempunyai tempat tinggal agak tetap dan bercocok tanam secara
sederhana. Tempat tinggal yang mereka pilih umumnya berlokasi di tepi pantai
(kjokkenmoddinger) dan goa-goa (abris sous roche) sehingga di lokasi-lokasi tersebut banyak
ditemukan berkas-berkas kebudayaan manusia pada zaman itu.
Pada zaman ini manusia telah mampu membuat gerabah yang di buat dari tanah liat, selain kapak
genggam Sumatra (Sumatralith pebble culture), alat tulang yang di temukan di Sampung (bone
culture), dan sejumlah flakes yang di temukan di Toala (flakes culture). Kehidupan manusia
semi-sedenter, banyak dari manusia purba yang tinggal di gua-gua di tebing pantai, yang
dinamakan dengan abris sous roche, dimana banyak ditemukan tumpukan sampah dapur yang di
sebut dengan kjokkenmoddinger.
Ciri zaman Mesolithikum:
Nomaden dan masih melakukan food gathering (mengumpulkan makanan)
Alat-alat yang dihasilkan nyaris sama dengan zaman palaeolithikum yakni masih merupakan
alat-alat batu kasar.
Ditemukannya bukit-bukit kerang di pinggir pantai yang disebut Kjoken Mondinger (sampah
dapur)
Alat-alat kebudayaan Mesolithikum yang ditemukan di gua Lawa Sampung, Jawa Timur yang
disebut Abris Sous Roche antara lain: Flakes (Alat serpih),ujung mata panah, pipisan, kapak
persegi dan alat-alat dari tulang.
Alat-alat zaman mesolithikum antara lain: Kapak genggam (Pebble), Kapak pendek (hache

Courte) Pipisan (batu-batu penggiling) dan kapak-kapak dari batu kali yang dibelah.
Alat-alat diatas banyak ditemukan di daerah Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Flores.

Ada tiga bagian penting kebudayaan Mesolithikum:


Pebble-Culture (alat kebudayaan kapak genggam dari Kjoken Mondinger)
Bone-Culture (alat kebudayaan dari Tulang)

Flakes Culture (kebudayaan alat serpih dari Abris Saus Roche)

Manusia pendukung kebudayaan Mesolithikum adalah bangsa PapuaMelanosoid. Di situs


Sampung, dimana di temukan alat-alat dari tulang, arkeolog Van Stein Callenfels juga
menemukan fosil dari ras Austromelanosoid, yang di perkirakan sebagai nenek moyang suku
bangsa Papua sekarang. Hasil budaya lain yang cukup menonjol pada zaman ini adalah lukisan
gua, yang kemudian banyak di teliti oleh dua orang bersaudara Roder dan Galis terutama
lukisan gua yang ada di daerah Papua. Dari penelitian tersebut, terdapat bukti bahwa lukisan itu
di buat antara lian dengan tujuan.
1.
Sebagai bagian dari ritual agama, seperti ucapan untuk menghormati nenek moyang,
upacara inisiasi, upacara memohon kesuburan, upacara meminta hujan.
2.
Untuk keperluan ilmu dukun, seperti tampak pada gambar binatang yang dianggap
memiliki kekuatan magis.
3.

Memperingati peristiwa penting yang terjadi di lingkungan tempat tinggal mereka.

Lukisan gua ini tersebar hampir di seluruh kepulauan indonesia terutama di wilayah indonesia
bagian timur. Hal menarik lainnya dari penemuan ini adalah tema dan bentuk lukisan
menunjukan kemiripan antara yang satu dengan lainnya, meskipun lukisan gua tersebut
diperkirakan berkembang sekitar 40.000 tahun SM ini sudah mengenal teknik pewarnaan. Warna
merah berasal dari hematite (oksida besi atau oker merah), putih dari kaolin (kapur), sementara
warna hitam terbuat dari arang atau mangan dioksida.
Lukisan tapak tangan lainnya ditemukan juga di gua Leang-Leang, Sulawesi Selatan, cap jari
tangan warna merah disana diperkirakan sebagai simbol kekuatan atau lambang kekuatan
pelindung terhadap gangguan roh-roh jahat, dan cap-cap tangan yang jari-jarinya tidak lengkap
diperkirakan sebagai ungkapan duka atau berkabung.
HASIL KEBUDAYAAN MESOLITHIKUM

1.

Kebudayaan Pebble (Pebble Culture)

a.

Kjokkenmoddinger (Sampah Dapur)

Kjokkenmoddinger adalah istilah yang berasal dari bahasa Denmark yaitu kjokken artinya dapur
dan modding artinya sampah jadi Kjokkenmoddinger arti sebenarnya adalah sampah dapur.
Dalam kenyataan Kjokkenmoddinger adalah timbunan atau tumpukan kulit kerang dan siput
yang mencapai ketinggian 7 meter dan sudah membatu atau menjadi fosil. Kjokkenmoddinger
ditemukan disepanjang pantai timur Sumatera yakni antara Langsa dan Medan. Dari bekas-bekas
penemuan tersebut menunjukkan bahwa manusia purba yang hidup pada zaman ini sudah
menetap. Tahun 1925 Dr. P.V. Van Stein Callenfels melakukan penelitian di bukit kerang tersebut
dan hasilnya banyak menemukan kapak genggam yang ternyata berbeda dengan chopper (kapak
genggam Palaeolithikum).
b.

Pebble (kapak genggam Sumatera = Sumateralith)

Tahun 1925, Dr. P.V. Van Stein Callenfels melakukan penelitian di bukit kerang tersebut dan
hasilnya menemukan kapak genggam. Kapak genggam yang ditemukan di dalam bukit kerang
tersebut dinamakan dengan pebble/kapak genggam Sumatra (Sumatralith) sesuai dengan lokasi
penemuannya yaitu dipulau Sumatra. Bahan-bahan untuk membuat kapak tersebut berasal batu
kali yang dipecah-pecah.
c.
Hachecourt (kapak pendek)
Selain pebble yang diketemukan dalam bukit kerang, juga ditemukan sejenis kapak tetapi
bentuknya pendek (setengah lingkaran) yang disebut dengan hachecourt/kapak pendek.
d.

Pipisan

Selain kapak-kapak yang ditemukan dalam bukit kerang, juga ditemukan pipisan (batu-batu
penggiling beserta landasannya). Batu pipisan selain dipergunakan untuk menggiling makanan
juga dipergunakan untuk menghaluskan cat merah. Bahan cat merah berasal dari tanah merah.
Cat merah diperkirakan digunakan untuk keperluan religius dan untuk ilmu sihir.
2.

Kebudayaan Tulang dari Sampung (Sampung Bone Culture)

Berdasarkan alat-alat kehidupan yang ditemukan di goa lawa di Sampung (daerah Ponorogo Madiun Jawa Timur) tahun 1928 - 1931, ditemukan alat-alat dari batu seperti ujung panah dan
flakes, kapak yang sudah diasah, alat dari tulang, tanduk rusa, dan juga alat-alat dari perunggu
dan besi. Oleh para arkeolog bagian terbesar dari alat-alat yang ditemukan itu adalah tulang,
sehingga disebut sebagai Sampung Bone Culture.
3. Kebudayaan Flakes (Flakes Culture)

Abris Souce Roche


Abris Sous Roche adalah goa-goa yang yang dijadikan tempat tinggal manusia purba pada
zaman Mesolithikum dan berfungsi sebagai tempat perlindungan dari cuaca dan binatang buas.
Penyelidikan pertama pada Abris Sous Roche dilakukan oleh Dr. Van Stein Callenfels tahun
1928-1931 di goa Lawa dekat Sampung Ponorogo Jawa Timur. Alat-alat yang ditemukan pada
goa tersebut antara lain alat-alat dari batu seperti ujung panah, flakes, batu pipisan, kapak yang
sudah diasah yang berasal dari zaman Mesolithikum, serta alat-alat dari tulang dan tanduk
rusa.Di antara alat-alat kehidupan yang ditemukan ternyata yang paling banyak adalah alat dari
tulang sehingga oleh para arkeolog disebut sebagai Sampung Bone Culture / kebudayaan tulang
dari Sampung. Karena goa di Sampung tidak ditemukan Pebble ataupun kapak pendek yang
merupakan inti dari kebudayaan Mesolithikum. Selain di Sampung, Abris Sous Roche juga
ditemukan di daerah Besuki dan Bojonegoro Jawa Timur. Penelitian terhadap goa di Besuki dan
Bojonegoro ini dilakukan oleh Van Heekeren. Di Sulawesi Selatan juga banyak ditemukan Abris
Sous Roche terutama di daerah Lomoncong yaitu goa Leang Patae yang di dalamnya ditemukan
flakes, ujung mata panah yang sisi-sisinya bergerigi dan pebble. Di goa tersebut didiami oleh
suku Toala, sehingga oleh tokoh peneliti Fritz Sarasin dan Paul Sarasin, suku Toala yang sampai
sekarang masih ada dianggap sebagai keturunan langsung penduduk Sulawesi Selatan zaman
prasejarah. Untuk itu kebudayaan Abris Sous Roche di Lomoncong disebut kebudayaan Toala.
Kebudayaan Toala tersebut merupakan kebudayaan Mesolithikum yang berlangsung sekitar
tahun 3000 sampai 1000 SM. Selain di Jawa Timur dan Sulawesi Selatan, Abris Sous Roche juga
ditemukan di daerah Timor dan Rote. Penelitian terhadap goa tersebut dilakukan oleh Alfred
Buhler yang di dalamnya ditemukan flakes dan ujung mata panah yang terbuat dari batu indah.
Kebudayaan bacson-hoabinh
Kebudayaan ini ditemukan dalam gua-gua dan dalam bukit-bukit kerang di Indo-China, Siam,
Malaka, dan Sumatera Timur. Alat-alat kebudayaannya terbuat dari batu kali, seperti bahewa
batu giling. Pada kebudayaan ini perhatian terhadap orang meninggal dikubur di gua dan juga di
bukit-bukit kerang. Beberapa mayatnya diposisikan dengan berjongkok dan diberi cat warna
merah. Pemberian cat warna merah bertujuan agar dapat mengembalikan hayat kepada mereka
yang masih hidup. Di Indonesia, kebudayaan ini ditemukan di bukit-bukit kerang. Hal seperti ini
banyak ditemukan dari Medan sampai ke pedalaman Aceh. Bukit-bukit itu telah bergeser sejauh
5 km dari garis pantai menunjukkan bahwa dulu pernah terjadi pengangkatan lapisan-lapisan
bumi. Alur masuknya kebudayaan ini sampai ke Sumatera melewati Malaka. Di Indonesia ada
dua kebudayaan Bacson-Hoabinh, yakni:

1. Kebudayaan pebble dan alat-alat dari tulang yang datang ke Indonesia melalui jalur
barat.

2. Kebudayaan flakes yang datang ke Indonesia melalui jalur timur.

Dengan adanya keberadaan manusia jenis Papua Melanosoide di Indonesia


sebagai pendukung kebudayaan Mesolithikum, maka para arkeolog
melakukan penelitian terhadap penyebaran pebble dan kapak pendek
sampai ke daerah teluk Tonkin daerah asal bangsa Papua Melanosoide. Dari
hasil penyelidikan tersebut, maka ditemukan pusat pebble dan kapak pendek
berasal dari pegunungan Bacson dan daerah Hoabinh, di Asia Tenggara.
Tetapi di daerah tersebut tidak ditemukan flakes, sedangkan di dalam Abris
Sous Roche banyak ditemukan flakes bahkan di pulau Luzon (Filipina) juga
ditemukan flakes. Ada kemungkinan kebudayaan flakes berasal dari daratan
Asia, masuk ke Indonesia melalui Jepang, Formosa dan Filipina.

Kebudayaan toala

Kebudayaan Toala dan yang serumpun dengan itu disebut juga kebudayaan
flake dan blade. Alat-alatnya terbuat dari batu-batu yang menyerupai batu
api dari eropa, seperti chalcedon, jaspis, obsidian dan kapur. Perlakuan
terhadap orang yang meninggal dikuburkan didalam gua dan bila tulang
belulangnya telah mengering akan diberikan kepada keluarganya sebagai
kenang-kenangan. Biasanya kaum perempuan akan menjadikan tulang
belulang tersebut sebagai kalung. Selain itu, didalam gua terdapat lukisan
mengenai perburuan babi dan juga rentangan lima jari yang dilumuri cat
merah yang disebut dengan silhoutte. Arti warna merah tanda berkabung.
Kebudayaan ini ditemukan di Jawa (Bandung, Besuki, dan Tuban), Sumatera
(danau Kerinci dan Jambi), Nusa Tenggara di pulau FloreZaman mesolitikum
di Indonesia
Pada zaman mesolitikum di Indonesia, manusia hidup tidak jauh berbeda dengan
zaman paleolitikum, yaitu dengan berburu dan menangkap ikan, namun manusia pada masa itu
juga mulai mempunyai tempat tinggal agak tetap dan bercocok tanam secara sederhana. Tempat
tinggal yang mereka pilih umumnya berlokasi ditepi pantai (kjokkenmoddinger) dan goa-goa
(abris sous roche) sehingga di lokasi-lokasi tersebut banyak ditemukan berkas-berkas
kebudayaan manusia pada zaman itu.
Kjokkenmoddinger
Kjokkenmoddinger adalah sampah dapur dari zaman mesolitikum yang ditemukan di sepanjang
pantai timur Pulau Sumatera. Hal ini diteliti oleh Dr. P. V. van Stein Callenfels pada tahun 1925

dan menurut penelitian yang dilakukannya, kehidupan manusia pada saat itu bergantung dari
hasil menangkap siput dan kerang karena ditemukan sampah kedua hewan tersebut setinggi 7
meter. Sampah dengan ketinggian tersebut kemungkinan telah mengalami proses pembentukan
cukup lama, yaitu mencapai ratusan bahkan ribuan tahun. Di antara tumpukan sampah tersebut
juga ditemukan batu penggiling beserta landasannya (pipisan) yang digunakan untuk
menghaluskan cat merah. Cat tersebut diperkirakan digunakan dalam acara keagamaan atau
ilmu sihir. Di tempat itu juga ditemukan banyak benda-benda kebudayaan
seperti kapak genggam yang disebut pebble atau kapak genggam Sumatera (Sumeteralith) sesuai
dengan tempat penemuannya. Kapak tersebut terbuat dari batu kali yang dibelah dua dan
teksturnya masih kasar. Kapak lain yang ditemukan pada zaman ini adalah bache courte (kapak
pendek) yang berbentuk setengah lingkaran seperti kapak genggam atau chopper.] Berdasaran
pecahan tengkorak dan gigi yang ditemukan pada Kjokkenmoddinger, diperkirakan bahwa
manusia yang hidup pada zaman mesolitikum adalah bangsa Papua Melanesoide.(nenek moyang
suku Irian dan Melanesoid)[4]
Abris Sous Roche[sunting | sunting sumber]

Salah satu peninggalan zaman mesolitik berupa Abris sous roche.


Abris sous roche adalah goa menyerupai ceruk batu karang yang digunakan manusia sebagai
tempat tinggal.[4] Penelitian mengenai kebudayaan Abris sous roche ini juga dilakukan oleh van
Stein Callenfels pada tahun 1928-1931 di Goa Lawu dekat Sampung, Ponorogo (Madiun).
[5]
Alat-alat yang ditemukan lebih banyak terbuat dari tulang sehingga disebut sebagaiSampung
Bone Culture.[5] Di daerah Besuki (Jawa Timur), van Heekeren juga menemukan
kapak Sumatera dan kapak pendek. Abris sous roche juga ditemukan pada
daerah Timor dan Rote oleh Alfred Buhler yang menemukan flakes culturedari kalsedon
bertangkai dan hal ini diduga merupakan peninggalan bangsa Papua Melanesoide.[6]. Hasil
kebudayaan Abris sous roche juga ditemukan di Lamancong (Sulawesi Selatan) yang biasa
disebut kebudayaan Toala[4]. Kebudayaan Toala ditemukan pada suatu goa yang disebut Goa
Leang Pattae dan inti dari kebudayaan ini adalah flakes dan pebble[4]. Selain Toala, para ahli juga
menemukan kebudayaan Bacson-Hoabinh dan Bandung di Indonesia. BacsonHoabinh diperkirakan merupakan pusat budaya prasejarah Indonesia dan terdiri dari dua macam

kebudayaan, yaitu kebudayaan pebble (alat-alat tulang yang datang dari jalan barat) dan
kebudayaan flakes (datang melalui jalan timur)[4]. Sementara itu, penelitian
kebudayaan Bandung dilakukan oleh van Koenigswald di daerah Padalarang, Bandung
Utara, Cicalengka, BanjarabSoreang, dan sebelah barat Cililin. Kebudayaan yang ditemukan
berupa flakes yang disebut microlith (batu kecil), pecahan tembikar, dan bendabenda perunggu[4].
s dan Timor.

Anda mungkin juga menyukai