Anda di halaman 1dari 7

BAB II

PEMBAHASAN
A. Kebudayaan Pada Zaman Prasejarah Indonesia
Pengertian Zaman prasejarah yaitu zaman ketika manusia belum mengenal
atau menggunakan tulisan. Prasejarah atau nirleka (nir: tidak ada, leka: tulisan) adalah
istilah yang digunakan untuk merujuk kepada masa di mana catatan sejarah yang
tertulis belum tersedia. Dalam era tersebut muncul berbagai jenis kebudayaan, adapun
di wilayah Indonesia terbagi menjadi :
1. Kebudayaan zaman Batu
Pada zaman ini terbagi lagi menjadi tiga periode yaitu :
Palaeolithikum (zaman batu tua) disebut demikian karena  alat-alat
batu buatan manusia masih dikerjakan secara kasar, tidak diasah atau
dipolis. Dilihat dari sudut mata pencariannya, periode ini disebut masa
mengumpulkan makanan (food gathering). Manusia di zaman Batu Tua
masih hidup secara nomaden (berpindah-pindah) dan belum tahu bercocok
tanam, adapun hasil kebudayaan yang berada di Indonesia yaitu
Kebudayaan Pacitan (Pithecantropus) dan Kebudayaan Ngandong, Blora
(Homo Wajakensis dan Homo Soloensis). Alat-alat yang dihasilkan antara
lain kapak genggam atau kapak perimbas (golongan chopper atau
pemotong), alat-alat dari tulang binatang atau tanduk rusa dan flakes dari
batu chalcedon (untuk mengupas makanan).
Mesolithikum (zaman batu tengah) pada masa ini manusia masih
bersifat nomaden dan mengumpulkan makanan (food gathering), alat-alat
yang dihasilkan nyaris sama dengan zaman Palaeolitikum yaitu alat-alat
batu kasar serta ditemukannya bukit-bukit kerang di pinggir pantai yang
disebut Kjokken. Alat-alat berupa kapak genggam (pebble), kapak pendek
(hache courte), pipisan (batu-batu penggiling) dan kapak-kapak dari batu
kali yang dibelah. Alat-alat tersebut banyak ditemukan di Sumatera, Jawa,
Kalimantan, Sulawesi dan Flores. Alat-alat kebudayaan Mesolitikum yang
ditemukan di Gua Lawa Sampung, Jawa Timur yang disebut Abris Sous
Roche antara lain flakes (alat serpih), ujung mata panah, pipisan, kapak
persegi dan alat-alat dari tulang. Adapun bagian penting dalam masa
tersebut adalah Pebble Culture : alat kebudayaan kapak genggam dari
Kjokkenmoddinger, Bone Culture : alat kebudayaan dari tulang, Flakes
Culture : kebudayaan alat serpih dari Abris Sous Roche. Manusia
pendukung kebudayaan Mesolitikum adalah bangsa Papua Melanosoid.
Neolithikum (zaman batu muda) hasil kebudayaan yang terkenal
adalah jenis kapak persegi dan kapak lonjong, ciri utama zaman tersebut
adalah alat-alat batu buatan manusia sudah diasah atau dipolis sehingga
halus dan indah. Alat-alat yang dihasilkan antara lain Kapak persegi
misalnya beliung, pacul, dan torah yang banyak terdapat di Sumatera,
Jawa, Bali, Nusa Tenggara, Maluku, Sulawesi dan Kalimantan, kapak batu
(kapak persegi berleher) dari Minahasa, serta perhiasan (gelang dan kalung
dari batu indah) ditemukan di Jawa, ditemukan juga pakaian dari kulit
kayu, tembikar (periuk belaga) yang ditemukan di Sumatera, Jawa, dan
Melolo (Sunda). Manusia pendukung kebudayaan zaman Neolitikum
adalah Austronesia (Austria), Austro-Asia (Khamer Indocina).
2. Kebudayaan zaman Logam
Munculnya kepandaian mempergunakan bahan logam, tentu diikuti
dengan kemahiran teknologi yang disebut perundagian, karena logam
harus dilebur terlebih dahulu baru kemudian dicetak bukan dipukul atau
dipecah seperti batu. Adapun teknik pembuatan yang pertama adalah
teknik a cire perdue adalah teknik yang dipakai untuk membuat seni
pahat dari logam (perak, emas, atau perunggu) dengan cara mengecor
model yang terbuat dari lilin. Kemudian yang kedua adalah bivalve yaitu
penggunakan dua cetakan yang dirapatkan, dibagian atas terdapat lubang
untuk masuknya udara agar logam cair dingin. Hasil kebudayaan yang
terdapat di Indonesia yang pertama adalah Kapak Corong dengan daerah
penyebaran berada di Sumatera Selatan, Jawa, Bali, Sulawesi Tengah dan
Sulawesi Selatan. Yang kedua Nekara merupakan simbol status, daerah
penemuan berada di Pulau Sumatera, Jawa, Bali, Sumbawa, Sangean, Roti,
dan Kei serta Pulau Selayar. Kemudian yang ketiga adalah Arca Perunggu
ditemukan di Bangkinang (Riau), Palembang (Sumsel) dan Limbangan
(Bogor). Keempat yaitu Bejana Perunggu yang ditemukan di tepi Danau
Kerinci (Sumatera) dan Madura dengan bentuk seperti periuk tetapi
langsing dan gepeng. Kelima adalah perhiasan perunggu yang berada di
Bogor, Malang dan Bali. Terakhir yang keenam adalah manik-manik
3. Kebudayaan zaman Megalithikum.
Megalithikum (zaman batu besar) sesungguhnya bukanlah mempunyai
artian timbulnya kembali zaman batu sesudah zaman logam akan tetapi
kebudayaan tersebut menghasilkan bangunan-bangunan dari batu besar
yang muncul sejak zaman Neolithikum dan berkembang pesat pada zaman
logam. Hasil kebudayaan di masa ini biasanya tidak dikerjakan secara
halus tetapi hanya diratakan secara kasar dan terutama hanya untuk
mendapatkan bentuk yang diperlukan. Contoh hasil kebudayaan tersebut
yang pertama adalah Menhir yaitu Tugu batu atau tiang batu terbuat dari
batu tunggal dan ditempatkan di tempat tertentu. Berfungsi sebagai tempat
pemujaan roh nenek moyang dan tanda peringatan orang yang telah
meninggal. Ditemukan di sumatera, Sulawesi Tengah dan Kalimantan.
Kemudian Dolmen yaitu meja batu tempat untuk meletakkan sesaji yang
akan dipersembahkan kepada roh nenek moyang, di bawah dolmen
biasanya terdapat kubur batu, ditemukan di Sumatera Barat dan Sumbawa.
Ketiga yaitu Sarkofagus atau peti jenazah yang terbuat dari batu utuh (batu
tunggal), Sarkofagus yang ditemukan di Bali sampai sekarang tetap
dianggap keramat dan memiliki kekuatan magis oleh masyarakat setempat.
Keempat yaitu Kubur batu adalah peti jenazah yang terdiri dari lempengan
batu pipih, ditemukan di daerah Kuningan, Jawa Barat. Kelima adalah
Punden berundak yaitu bangunan suci tempat memuja roh nenek moyang
yang dibuat dengan bentuk bertingkat-tingkat, ditemukan di daerah Lebak,
Cibedug, Banten. Keenam Waruga yaitu kubur batu yang berbentuk kubus
terbuat dari batu utuh, ditemukan di Sulawesi Tengah dan Utara. Ketujuh,
Arca yaitu patung yang menggambarkan manusia atau binatang, binatang
yang dibuat arca antara lain kerbau, gajah, dan kera yang ditemukan di
Lampung, Jawa Tengah, dan Jawa Timur.
SISA-SISA KEHIDUPAN PRASEJARAH DI MASA KINI

Di Indonesia masih terlihat tanda-tanda bertahannya tradisi prasejarah


sampai jauh memasuki masa sejarah, bahkan hingga masa kini. Sumber-
sumber etnografi melukiskan perikehidupan beberapa suku menunjukkan
masih terdapatnya unsur-unsur prasejarah yang mengendap di dalam
kehidupan masyarakat-masyarakat itu. Beberapa unsur tersebut mengendap
dalam beberapa aspek kehidupan, sosial, ekonomi, dan kepercayaan, dapat
dikembalikan asalnya ke masa bercocok tanam. Paling menonjol di antara
sisa-sisa kehidupan itu adalah tradisi pemujaan nenek moyang, baik yang
diwujudkan dalam bangunan-bangunan megalitik maupun yang di kandung
dalam alam pikiran meskipun beberapa konsepsi keagamaan seperti
Hindu-Budha, Islam dan Kristen secara berlapis-lapis turut membentuk
alam pikiran spiritual bangsa Indonesia.
A. PENDUDUK

Sementara masa kemahiran teknologi perubahan-perubahan tidak begitu


mencolok dalam komposisi rasial penduduk Indonesia. Kecenderungan-
kecenderungan yang terdapat adalah karena mikroevolusi yang terus
berlangsung. Proses pemungilan terus terjadi pada perbedaan-perbedaan
antara populasi dari beberapa daerah, baik pada rangka sekarang dan
penduduk sekarang. Arus gen mongoloid kelihatan terus bertambah,
terutama di daerah barat dan utara, dan unsur rasial australomelanesid
terutama dihimpun di daerah timur dan selatan. Arus gen kaukasid yang
tidak begitu mencolok berasal dari orang-orang Arab, Inggris, India,
Portugis, dan Belanda. Pembauran di antara berbagai populasi lokal lebih
meningkat dan terjadi berulan-ulang serta majemuk. Hibridasi kembali
dengan populasi induk menambah komposisi rasial di Indonesia.

Populasi bertambah dengan cukup pesat dengan pemusatan di daerah-


daerah yang subur, tempat terdapatnya pusat-pusat pertanian yang mampu
menampung populasi yang lebih besar. Bentuk kepulauan negeri kita
menyebabkan masih ada juga populasi-populasi lokal yang terpencil
sehingga arus gen dan hibridasi tidak merata. Akibatnya, terdapatlah
kantong-kantong kecil yang berlainan di latar belakang luas yang homogen.
B. TRADISI HIDUP BERCOCOK TANAM

Di beberapa tempat di Indonesia masih terdapat cara-cara membuat gerabah


yang mengingatkan kita kepada teknik yang dikenal pada masa bercocok
tanam. A. C. Kruyt dan H. R. Van Heereken mencatat cara pembuatan
gerabah di kalangan penduduk desa di Indonesia. Sebagai contoh yang
didiami oleh orang-orang toraja di sulawesi bagian barat. Dari tempat-
tempat tersebut dikenal pengerjaan yang sangat sederhana. Segala sesuatu
nya di siapkan dengan tangan. Alat-alat yang dipergunakan hanya berupa
batu kali yang berfungsi sebagai tatap. Keseluruhan bentuk tergantung pada
kemahiran tangan. Heereken dan R.P.soejono juga mencatat cara membuat
gerabah di desa beru (shoppeng) di sulawesi selatan di tempat tersebut
pekerjaan membuat gerabah khusus dilakukan oleh kaum perempuan yang
berlangsung turun-temurun para lelaki hanya membantu menyiapkan tanah
liat untuk gerabah. Beberapa larangan masih berlaku saat dilakukan
pembakaran, antara lain berbicara dengan para perempuan saat-saat itu
adalah tabu. Satu hal yang perlu dicatat dari sumber keterangan itu adalah
bahwa peran kaum perempuan sangat menonjol dalam pembuatan gerabah.
Pekerja kaum perempuan dalam pekerjaan seperti ini mungkin lebih besar
pada masa-masa prasejarah (masa bercocok tanam dan masa perundagian)
sejak pembagian kerja atas perbedaan jenis kelamin mulai menunjukkan
batas-batasnya.

C. TRADISI MEGALITIK

Kepulauan Indonesia merupakan satu rantai gugusan yang cocok bagi


pemeliharaan kelangsungan kehidupan prasejarah karena letak kepulauan
yang berserakan. Kontak dengan budaya pendatang tidak merata dan
memperlihatkan proses yang sama sekali belum mengalami perubahan dan
masih dalam keadaan tingkat kehidupan masa prasejarah, misalnya
beberapa bagian di daerah Irian Jaya/Papua dan Nusa Tenggara. Di pihak
lain ada beberapa daerah dengan kehidupan dengan kehidupan prasejarah
yang berlangsung terus bersamaan dengan ciri-ciri masa yang paling baru.
Demikian pula tradisi megalitik yang muncul setelah tradisi bercocok tanam
sudah meluas, tidak ketinggalan terus-menerus ikut menghayati setiap corak
budaya yang masuk di Indonesia. Bentuk-bentuk menhir, batu lumpang,
batu dakon, serta susunan batu berundak masih banyak diperlihatkan di
kuburan-kuburan islam maupun kristen, seperti yang terdapat di Sulawesi
Selatan, Flores, dan Timor.

D. TRADISI PENGUBURAN

Penguburan masih dilakukan dengan langsung dan tidak langsung,


menggunakan wadah atau tanpa wadah. Wadah yang dipergunakan dapat
dibuat dari bahan kayu atau kayu utuh yang dilubangi : batu tempayan,
kubur silindris, batu besar dilubangi, dolmen, dan sebagainya disimpan di
ceruk, gua, batu besar yang dibuat ceruk.

Jika ada yang meninggal setelah upacara pemandian mayat di bungkus


dengan kain adat yang berlapis dan pada umumnya diberikan pada para
kerabat atau teman dekat. Kemudian mayat disimpan di dalam peti kayu
atau anyaman, atau diletakkan di suatu tempat tertentu. Sementara itu
keluarga dan handai taulan menyiapkan upacara. Jika akan dikuburkan
secara langsung, setelah seluruh upacara dan sesaji siap, mayat langsung
dikuburkan ke dalam tanah (tanpa wadah), kubur dari batu atau kayu.
Penguburan langsung dilakukan dengan meletakkan mayat dalam posisi
membujur atau terlipat seperti yang terdapat di Sabu, Timor, Batak Nias,
Kayan, dan sebagainya. Model pengubuan yang lain adalah dengan
meletakkan mayat di atas sebuah pondok atau para-para. Jenazah ini juga
diberi bekal kubur biasanya benda yang mereka gunakan selama hidup,
seperti korek api, topi, senjata tajam, makanan, dan sebagainya. Penguburan
ini dapat dilihat di Seram, Kalimantan Barat, dan suku anak dalam di
provinsi Jambi.

E. PERKAMPUNGAN LAMA

Perkampungan lama atau adat pada umumnya ditandai oleh :

1 . sebuah rumah adat (sering juga bergabung dengan rumah kepala


adat/suku)

2 . halaman yang luas di depan rumah adat


3 . mempunyai tempat untuk mesbah (pemujaan/upacara)

4 . mempunyai sumber air minum (minum dan keperluan lain)

5 . mempunyai tempat pencaharian (ladang, kebun, hutan, laut, sungai, dan


danau). Mereka dapat membuat perkampungan di pantai, di dataran rendah,
di dataran tinggi, di pedalaman, atau bahkan di lereng gunung.

Lingkungan alam sangat penting karena mereka dapat memanfaatkan alam


dengan membudidayakan, memelihara, maupun merusaknya.

Anda mungkin juga menyukai