Kelas : X RPL
No Absen : 14
Rangkuman tentang
1 paleolithicum
2. Mesolithicum
3. Neolithicum
4.Megalithicum
Berikut gambarnya
Pembagian zaman praaksara, berdasarkan sudut pandang arkeologi, dapat dibagi menjadi zaman
Batu dan zaman Logam. Tahukah kamu bagaimana kebudayaan zaman praaksara zaman Batu?
Mengutip Kemdikbud RI, zaman Batu adalah zaman ketika manusia membuat alat-alat kebudayaan
dari batu di samping kayu dan tulang. Zaman Batu terjadi sebelum manusia mengenal logam.
Zaman Batu dapat diperiodisasi menjadi empat zaman, yaitu:
Zaman Paleolitikum atau Zaman Batu Tua adalah periode prasejarah yang diperkirakan
berlangsung pada 600.000 tahun lalu.
Pada periode ini, alat-alat yang digunakan manusia purba terbuat dari batu kasar yang belum
dihaluskan, seperti kapak genggam atau chopper yang berfungsi untuk memotong kayu atau
membunuh binatang buruan.
Untuk memenuhi kebutuhan hidup, manusia purba sepenuhnya bergantung pada keadaan alam.
Mereka memenuhi kebutuhan sehari-hari dengan berburu dan mengumpulkan bahan makanan dari
alam untuk dikonsumsi saat itu, atau disebut food gathering.
Oleh karena itu, tempat tinggal mereka berpindah-pindah atau nomaden, tergantung pada daerah
yang masih subur dan banyak menyediakan bahan makanan seperti binatang buruan.
Setelah bahan makanan di tempat tersebut habis, mereka akan berpindah mencari tempat lain yang
masih subur, begitu seterusnya.
Zaman kebudayaan Batu Tua dinamakan dengan istilah paleolitikum. Disebut Zaman Batu Tua
karena alat-alat batu buatan manusia masih dikerjakan secara kasar, tidak diasah atau dipolis.
Dilihat dari sudut mata pencariannya, periode ini disebut masa mengumpulkan makanan (food
gathering). Manusia di zaman Batu Tua masih hidup secara nomaden (berpindah-pindah) dan
belum tahu bercocok tanam.
Hasil kebudayaan Zaman Paleolitikum secara umum dibagi menjadi Kebudayaan Pacitan dan
Kebudayaan Ngandong, karena peninggalannya banyak ditemukan di dua wilayah tersebut.
1. Kebudayaan Pacitan
Kebudayaan Pacitan pertama kali ditemukan oleh G.H.R. von Koenigswald pada 1935 di dekat
Punung, Kabupaten Pacitan.
Alat-alat peninggalan dari zaman ini terbuat dari batu yang masih sangat kasar.
Berikut ini beberapa hasil Kebudayaan pacitan yang ditemukan von Koenigswald.
Kapak genggam
Kapak perimbas
2. Kebudayaan Ngandong
Kebudayaan Ngandong adalah hasil kebudayaan manusia praaksara yang berkembang di daerah
Ngandong, Kabupaten Blora, Jawa Tengah.
Di daerah ini banyak ditemukan peralatan manusia purba yang terbuat dari batu, tulang hewan dan
tanduk rusa.
Kapak genggam
Zaman Paleolitikum diperkirakan didukung oleh jenis manusia purba yang ditemukan di Pulau Jawa
pada akhir abad ke-19 dan sepanjang abad ke-20.
Berikut beberapa manusia pendukung yang hidup pada Zaman Paleolitikum.
Meganthropus Paleojavanicus
Pithecanthropus Robustus
Pithecanthropus Mojokertensis
Pithecanthropus Erectus
Homo Soloensis
Homo Wajakensis
Zaman Mesolitikum merupakan zaman batu yang berlangsung antara periode Paleolitikum dan
Neolitikum.
Zaman Mesolitikum dikenal juga sebagai Zaman Batu Tengah atau Batu Madya.
Periode Mesolitikum memiliki rentang waktu yang berbeda di berbagai belahan dunia. Begitu pula
dengan hasil kebudayaan, yang dapat bervariasi di berbagai wilayah.
Di Indonesia, peninggalan dari Zaman Mesolitikum dapat ditemukan di Sumatera, Jawa, Kalimantan,
Sulawesi, dan Flores.
Dari peninggalan itu, dapat diketahui tentang kepercayaan, kebiasaan sehari-hari, dan cara manusia
purba bertahan hidup.
Pada periode ini, kondisi alam sudah jauh lebih stabil, sehingga manusianya dapat
mengembangkan beberapa aspek kehidupannya.
Ciri utama peradaban pada periode ini adalah kehidupan semi nomaden, di mana sebagian
manusianya telah hidup menetap di goa-goa dan yang lainnya masih berpindah-pindah.
Goa-goa tempat tinggal manusia purba pada Zaman Mesolitikum disebut abris sous roche.
Oleh karena itu, banyak ditemukan peninggalan Zaman Mesolitikum di sekitar tempat-tempat
tersebut, salah satunya Kjokkenmoddinger atau tumpukan sampah dapur berupa kulit siput dan
kerang.
Manusia yang hidup pada periode ini mencari makan dengan cara berburu dan meramu atau food
gathering.
Peralatan dan senjata yang digunakan pada periode ini masih berbentuk kasar dan belum
dihaluskan, seperti contohnya kapak genggam (pebble) dan kapak pendek berbentuk setengah
lingkaran (hachecourt).
Masyarakatnya juga telah mengenal sistem organisasi sosial, pembagian kerja, dan kepercayaan
terhadap roh nenek moyang.
Manusia pendukung pada periode ini berasal dari campuran bangsa-bangsa pendatang dari Asia.
Seperti contohnya Suku Irian, Suku Sakai, Suku Atca, Suku Aborigin, dan Suku Semang.
Peninggalan Zaman Mesolitikum
1. Kjokkenmoddinger
Kjokkenmoddinger berasal dari bahasa Denmark, kjokken berarti dapur dan modding yang artinya
sampah.
Kjokkenmoddinger adalah tumpukan sampah dapur berupa kulit siput dan kerang yang
menggunung dan tingginya bisa mencapai 7 meter.
Peninggalan ini ditemukan di sepanjang pantai timur Sumatera, antara Langsa di Aceh hingga
Medan.
Diduga, Kjokkenmoddinger telah menumpuk dari generasi ke generasi karena masyarakatnya mulai
menetap di sekitar pantai.
Zaman Mesolitikum juga dikenal karena kebudayaan abris sous roche, atau hasil kebudayaan yang
ditemukan di goa-goa.
Penemuan ini mengindikasikan bahwa manusia purba yang mendukung kebudayaan ini tinggal di
goa-goa.
Abris sous roche pertama kali dilakukan penelitian oleh Von Stein Callenfels di Goa Lawa dekat
Sampung, Ponorogo, pada 1928-1931.
Kebudayaan abris sous roche juga ditemukan di Besuki (Bojonegoro) dan di daerah Sulawesi
Selatan seperti Lamoncong.
3. Kapak genggam
Pada 1925, Von Stein Callenfels melakukan penelitian di bukit kerang yang berada di sepanjang
pantai timur Sumatera.
Dari lokasi tersebut, ditemukan kapak genggam yang berbeda dari chopper di periode Paleolitikum.
Kapak genggam tersebut kemudian diberi nama pebble, atau dikenal sebagai kapak Sumatera.
Pebble terbuat dari batu kali yang pecah dan sisi luarnya dibiarkan kasar, sementara bagian
dalamnya dikerjakan sesuai kebutuhan pemakainya.
Kapak pendek juga ditemukan oleh Von Stein Callenfels ketika sedang meneliti Kjokkenmoddinger.
Bentuknya lebih pendek di banding kapak Sumatera, sehingga dinamai kapak pendek.
5. Batu pipisan
Batu pipisan yang ditemukan di Jawa menjadi tanda bahwa manusia Zaman Mesolitikum telah
menumbuk makanan mereka.
Peninggalan ini berupa sejenis alat penggiling yang memiliki landasan. Selain itu, batu pipisan juga
dipakai untuk menghaluskan cat-cat merah yang berasal dari tanah.
6. Lukisan Peninggalan dari Zaman Mesolitikum yang dianggap sebagai hasil kebudayaan tertinggi
mereka adalah berupa lukisan gambar berwarna dari seekor babi hutan yang sedang berlari.
Sementara di beberapa goa lainnya, ditemukan gambar-gambar cap tangan berwarna merah. Hasil
kebudayaan ini ditemukan di Goa Leang-Leang di Sulawesi Selatan.
Pada zaman ini dikatakan terjadi revolusi kebudayaan yang sangat besar dalam peradaban
manusia. Sebab, pada Zaman Neolitikum terjadi perubahan yang cukup mendasar dari meramu
atau food gathering menjadi food producing alias membuat makanan sendiri.
Masyarakatnya diduga telah mengenal tradisi pertukaran barang atau dagang, beternak, dan
mengembangkan kebudayaan agraris walaupun dalam tingkatan yang masih sangat sederhana.
Selain itu, manusia purba yang hidup pada zaman ini telah membangun tempat tinggal permanen
seperti rumah sederhana, membuat kerajinan.
Sementara kehidupan sosial Zaman Neolitikum ditandai dengan masyarakatnya yang telah
mengembangkan gotong-royong, membuat aturan hidup bersama, dan memiliki kepercayaan
terhadap arwah.
Manusia pendukung
Pada zaman ini telah hidup manusia purba jenis Homo Sapiens yang mendukung terjadinya revolusi
kebudayaan.
Manusia pendukung kebudayaan Neolitikum adalah manusia Proto Melayu yang hidup pada 2000
SM, seperti Suku Nias, Toraja, Dayak, dan Sasak.
Hasil kebudayaan yang terkenal pada Zaman Neolitikum secara garis besar dibagi menjadi dua
kelompok, yaitu.
Nama kapak persegi pertama kali disebutkan oleh von Heine Geldern.
Penamaan ini dikaitkan dengan bentuk alat yang ditemukan, yaitu berbentuk persegi.
Kapak persegi berbentuk persegi panjang dan ada pula yang berbentuk trapesium.
Kapak persegi yang besar sering disebut dengan beliung atau cangkul, bahkan sudah ada yang
diberi tangkai sehingga persis seperti bentuk cangkul zaman sekarang. Sementara yang berukuran
kecil dinamakan tarah atau tatah.
Penyebaran alat-alat ini terutama di Kepulauan Indonesia bagian barat, seperti Sumatera, Jawa,
dan Bali.
Ada juga peninggalan Zaman Neolitikum semacam kapak persegi yang disebut sebagai kapak
bahu.
Bentuk kapak bahu terbilang sama, hanya di bagian yang diikatkan pada tangkainya diberi leher
sehingga menyerupai bentuk botol persegi.
Nama kapak lonjong berasal dari bentuk penampang alat ini yang berbentuk lonjong.
Bentuk keseluruhan alat ini lonjong sepeti bulat telur, di mana pada ujungnya yang lancip
ditempatkan tangkai dan bagian ujung yang bulat diasah hingga tajam.
Kapak lonjong mempunyai berbagai macam ukuran, yang besar sering disebut walzenbeil,
sedangkan yang kecil dinamakan kleinbeil.
Penyebaran jenis kapak lonjong terutama di Kepulauan Indonesia bagian timur, seperti di daerah
Papua, Seram, dan Minahasa.
Di samping kapak persegi dan kapak lonjong, ditemukan pula peninggalan Zaman Neolitikum yang
tidak terbuat dari batu.
1. Perhiasan Perhiasan berupa gelang dan kalung dari batu indah banyak ditemukan di Jawa.
2. Pakaian Di Kalimantan, Sulawesi Selatan, dan beberapa tempat lainnya ditemukan alat pemukul
kulit kayu yang biasanya dipakai untuk membuat pakaian.
Dapat diambil kesimpulan bahwa manusia dari Zaman Neolitikum sudah berpakaian.
3. Tembikar
Peninggalan berupa barang-barang tembikar atau periuk belanga terdapat di lapisan teratas dari
bukit-bukit kerang di Sumatra.
Walaupun hanya berupa pecahan-pecahan kecil, tetapi dapat dilihat bahwa tembikar tersebut sudah
dihiasi gambar-gambar yang didapat dengan cara menekankan suatu benda ke tanah yang belum
kering.
Di bukit-bukit pasir di pantai selatan Jawa antara Yogyakarta dan Pacitan juga ditemukan banyak
pecahan periuk belanga.
Gambar
Poulnabrone Dolmen, sebuah makam megalitik prasejarah di County Clare, Irlandia.(Tourism
Ireland/Holger Leue)
Secara etimologi, megalitikum berasal dari kata mega yang berarti besar, dan lithos yang artinya
batu.
Oleh karena itu, zaman megalitikum biasa disebut dengan zaman batu besar, di mana
masyarakatnya menggunakan peralatan dari batu yang berukuran besar.
Pada periode ini, setiap bangunan yang didirikan oleh masyarakat sudah mempunyai fungsi yang
jelas.
Budaya megalitikum sendiri lebih mengarah pada sebuah pemujaan terhadap roh leluhur.
Peninggalan-peninggalan dari zaman megalitikum mempunyai bentuk beraneka ragam. Begitu pula
dengan ukurannya, ada yang pendek dan ada pula yang tingginya mencapai delapan meter.
Di Indonesia, peninggalan zaman megalitikum dapat dijumpai di berbagai daerah, dari ujung
Sumatera hingga Timor-Timur. Situs megalitik di beberapa wilayah Indonesia biasanya juga
menunjukkan ciri khas tersendiri.
Pembagian dan Ciri-ciri Berikut ini beberapa peninggalan zaman megalitikum di Indonesia.
1. Kubur Batu
Kubur batu adalah wadah penguburan mayat yang terbuat dari batu.
2. Menhir
Biasa disebut sebagai batu tegak, menhir adalah batu alam yang telah dibentuk manusia untuk
keperluan pemujaan atau untuk tanda penguburan.
3. Dolmen
Dolmen atau meja batu adalah peninggalan zaman megalitikum yang terdiri dari sebuah batu besar
yang ditopang oleh batu-batu berukuran lebih kecil sebagai kakinya.
4. Sarkofagus
Sarkofagus adalah kubur batu yang terdiri dari wadah dan tutup yang umumnya terdapat tonjolan
pada ujungnya.
5. Waruga
Waruga adalah kubur batu yang bentuknya seperti rumah dan biasanya ditemukan di daerah
Minahasa.
6. Punden berundak Benda peninggalam zaman megalithikum yang berbentuk anak tangga,
berfungsi sebagai pemujaan arwah nenek moyang dan dianggap suci, dinamakan punden
berundak.
7. Arca batu Arca batu adalah pahatan berbentuk manusia atau binatang yang dipercaya sebagai
wujud dari nenek moyang.
Ada yang mengatakan bahwa tradisi megalitik berasal dari daerah Laut Tengah, sebagian lainnya
percaya berasal dari Mesir.
Teori yang diakui adalah teori Von Heine Geldern, yang mengatakan bahwa tradisi megalitik berasal
dari daerah Tiongkok Selatan dan disebarkan oleh bangsa Austronesia.
Berdasarkan bentuk peninggalannya, budaya megalitikum terbagi menjadi dua, yaitu: Megalith Tua,
menyebar ke Indonesia pada zaman Neolithikum (2500-1500 SM) dan dibawa oleh pendukung
Kebudayaan Kapak Persegi (Proto Melayu).
Contoh bangunannya adalah menhir, punden berundak-undak, arca-arca statis. Megalith Muda,
menyebar ke Indonesia pada zaman perunggu (1000-100 SM) dibawa oleh pendukung Kebudayaan
Dongson (Deutro Melayu).
Contoh bangunannya adalah peti kubur batu, dolmen, waruga, sarkofagus dan arca-arca dinamis.
Sedangkan berdasarkan masanya, tradisi megalitik dibedakan menjadi dua, yaitu: Tradisi
megalitikum yang berasal dari masa prasejarah dan umumnya berupa monumen yang tidak dipakai
lagi.
Tradisi megalitikum yang masih berlanjut dan umumnya ditemukan di daerah Nias, Toraja, Sumba,
Sabu, Flores, dan Timor.
Pembagian, Ciri-ciri, dan Peninggalan Kepercayaan zaman megalitikum
Pada zaman megalitikum, masyarakat telah mengenal kepercayaan, meskipun masih dalam tingkat
awal, yaitu kepercayaan terhadap roh nenek moyang.
Masyarakatnya percaya bahwa arwah nenek moyang yang telah meninggal masih terus hidup di
dunia arwah.
Mereka juga meyakini bahwa kehidupannya sangat dipengaruhi oleh arwah nenek moyang.
Perlakuan baik terhadap arwah nenek moyang yang meninggal dipercaya akan menghindarkan dari
ancaman, begitu pula sebaliknya.
Masyarakatnya menggunakan dan meninggalkan kebudayaan yang terbuat dari batu besar