Periodesasi zaman pra aksara berdasarkan arkeologi di bagi menjadi 2 (dua) antara lain:
1. Zaman Batu
Pembabakan zaman pra aksara ini berdasarkan pada benda-benda peninggalan yang di
hasilkan oleh manusia. Pembabakan zaman pra aksara menurut penemuan benda-benda
peninggalan di bagi menjadi 4 antara lain :
2. Zaman Logam
Mengakhiri kehidupan zaman batu maka muncullah kehidupan zaman logam. Selain di
sebut zaman logam, zaman ini ada juga yang menyebut sebgai zaman perundagian karena
zaman ini mulai muncul para perajin logam. Para perajin tersebut sangat mahir membuat
peralatan yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari dari bahan logam. Zaman logam
yang dialami manusia purba yang hidup di Indonesia terdiri atas :
a. Zaman Perunggu
b. Zaman Besi
Zaman Paleolitikum ( Zaman Batu Tua)
Ciri-ciri, Peninggalan, dan Manusia Pendukung
2. Kebudayaan Ngandong
Kebudayaan Ngandong adalah hasil kebudayaan manusia praaksara yang
berkembang di daerah Ngandong, Kabupaten Blora, Jawa Tengah.
Di daerah ini banyak ditemukan peralatan manusia purba yang terbuat dari batu,
tulang hewan dan tanduk rusa.
Manusia yang hidup pada periode ini mencari makan dengan cara berburu dan meramu atau
food gathering. Selain itu, sebagian masyarakatnya mulai mengenal tradisi bercocok tanam.
Peralatan dan senjata yang digunakan pada periode ini masih berbentuk kasar dan belum
dihaluskan, seperti contohnya kapak genggam (pebble) dan kapak pendek berbentuk
setengah lingkaran (hachecourt). Masyarakatnya juga telah mengenal sistem organisasi
sosial, pembagian kerja, dan kepercayaan terhadap roh nenek moyang.
abris sous roche yaitu Goa-goa tempat tinggal manusia purba pada Zaman Mesolitikum
Pebble dan Pipisan
Alat-alat ini terbuat dari batu bulat kecil (pebble) dan batu pipih (pipisan).
Meskipun sederhana, alat-alat ini adalah bukti keterampilan dan pengetahuan manusia
Mesolitikum dalam membuat dan menggunakan peralatan dari bahan alam.
Hasil kebudayaan zaman Mesolitikum berupa pebble dan pipisan juga ditemukan tersebar
di berbagai wilayah Indonesia.
Beberapa lokasi penemuan melibatkan gua-gua atau situs pemukiman sementara yang
mencerminkan pola hidup nomaden dan semi-sendenter manusia Mesolitikum.
Lukisan
Lukisan gambar berwarna dari seekor binatang menjadi salah satu hasil budaya zaman
Mesolitikum.
Lukisan ini bukan hanya pencitraan artistik, tetapi juga mungkin memiliki makna
keagamaan atau seremonial. Artefak ini menunjukkan tingkat keahlian dan ekspresi seni
manusia Mesolitik.
Kebudayaan Tulang Sampung
Kebudayaan Tulang Sampung merujuk pada suatu kebudayaan khas yang berkembang
pada zaman Mesolitikum di wilayah Sampung, Jawa Timur, Indonesia.
Berikut adalah beberapa karakteristik yang diciptakan oleh kebudayaan Tulang Sampung
yang menjadi salah satu hasil budaya zaman Mesolitikum.
a. Gua Lawa sebagai Pusat Kebudayaan
Gua Lawa di Sampung dianggap sebagai pusat kebudayaan ini. Gua ini menjadi situs
arkeologi penting yang memberikan wawasan mendalam tentang kehidupan manusia
Mesolitikum di wilayah tersebut.
b. Kearifan dalam Pemanfaatan Tulang
Salah satu ciri utama Kebudayaan Tulang Sampung adalah keahlian mereka dalam
memanfaatkan tulang.
Manusia Mesolitikum di Gua Lawa menggunakan tulang sebagai bahan utama untuk
membuat alat dan perkakas, seperti mata panah dan alat-alat lainnya.
c. Teknologi Batu dan Tulang yang Maju
Kebudayaan Tulang Sampung menunjukkan tingkat teknologi yang maju dalam
pengolahan batu dan tulang.
Mereka menggunakan alat-alat batu dan tulang yang dirancang dengan cermat,
menunjukkan tingkat keterampilan dan keahlian yang tinggi dalam pembuatan
peralatan
d. Pola Hidup Nomaden
Manusia Mesolitikum yang terlibat dalam Kebudayaan Tulang Sampung cenderung
menjalani pola hidup nomaden.
Mereka cenderung tidak menetap di satu tempat untuk waktu yang lama dan dapat
dilihat dari penemuan artefak di lokasi-lokasi yang tersebar di sekitar gua.
Kebudayaan Toala
Kebudayaan Toala adalah salah satu kebudayaan yang berkembang pada zaman
Mesolitikum di wilayah Indonesia, khususnya di Sulawesi Selatan.
Kebudayaan ini ditemukan di situs arkeologi yang terletak di Toala, Maros, Sulawesi
Selatan.
Berikut adalah beberapa ciri utama dari Kebudayaan Toala sebagai hasil budaya zaman
Mesolitikum:
Salah satu ciri khas Kebudayaan Toala adalah seni cadas yang ditemukan di Gua Toala.
Seni cadas ini terdiri dari gambar-gambar yang diukir atau dicadas pada dinding gua,
termasuk gambar manusia dan hewan. Seni ini memberikan wawasan tentang aspek
artistik dan kreatif dari kebudayaan mereka.
Zaman Neolitikum atau Zaman Batu Muda adalah periode pada masa prasejarah
ketika manusianya menggunakan alat-alat dari batu yang telah dihaluskan.
Pada zaman ini dikatakan terjadi revolusi kebudayaan yang sangat besar dalam
peradaban manusia. Sebab, pada Zaman Neolitikum terjadi perubahan yang cukup mendasar
dari meramu atau food gathering menjadi food producing alias membuat makanan sendiri.
Masyarakatnya diduga telah mengenal tradisi pertukaran barang atau dagang, beternak, dan
mengembangkan kebudayaan agraris walaupun dalam tingkatan yang masih sangat
sederhana. Selain itu, manusia purba yang hidup pada zaman ini telah membangun tempat
tinggal permanen seperti rumah sederhana, membuat kerajinan.
Sementara kehidupan sosial Zaman Neolitikum ditandai dengan masyarakatnya yang telah
mengembangkan gotong-royong, membuat aturan hidup bersama, dan memiliki kepercayaan
terhadap arwah.
Hasil kebudayaan yang terkenal pada Zaman Neolitikum secara garis besar dibagi
menjadi dua kelompok, yaitu:
Nama kapak persegi pertama kali disebutkan oleh von Heine Geldern. Penamaan ini
dikaitkan dengan bentuk alat yang ditemukan, yaitu berbentuk persegi. Kapak persegi
berbentuk persegi panjang dan ada pula yang berbentuk trapesium. Kapak persegi
yang besar sering disebut dengan beliung atau cangkul, bahkan sudah ada yang diberi
tangkai sehingga persis seperti bentuk cangkul zaman sekarang. Sementara yang
berukuran kecil dinamakan tarah atau tatah. Penyebaran alat-alat ini terutama di
Kepulauan Indonesia bagian barat, seperti Sumatera, Jawa, dan Bali. Ada juga
peninggalan Zaman Neolitikum semacam kapak persegi yang disebut sebagai kapak
bahu. Bentuk kapak bahu terbilang sama, hanya di bagian yang diikatkan pada
tangkainya diberi leher sehingga menyerupai bentuk botol persegi. Di Indonesia,
kapak bahu hanya ditemukan di Minahasa.
2. Kebudayaan Kapak Lonjong
Nama kapak lonjong berasal dari bentuk penampang alat ini yang berbentuk lonjong.
Bentuk keseluruhan alat ini lonjong sepeti bulat telur, di mana pada ujungnya yang
lancip ditempatkan tangkai dan bagian ujung yang bulat diasah hingga tajam. Kapak
lonjong mempunyai berbagai macam ukuran, yang besar sering disebut walzenbeil,
sedangkan yang kecil dinamakan kleinbeil. Penyebaran jenis kapak lonjong terutama
di Kepulauan Indonesia bagian timur, seperti di daerah Papua, Seram, dan Minahasa.
Secara etimologi, megalitikum berasal dari kata mega yang berarti besar, dan lithos yang
artinya batu. Oleh karena itu, zaman megalitikum biasa disebut dengan zaman batu besar, di
mana masyarakatnya menggunakan peralatan dari batu yang berukuran besar. Pada periode
ini, setiap bangunan yang didirikan oleh masyarakat sudah mempunyai fungi yang jelas. Budaya
megalitikum sendiri lebih mengarah pada sebuah pemujaan terhadap roh leluhur.
Kubur batu adalah wadah penguburan mayat yang terbuat dari batu.
Menhir
Biasa disebut sebagai batu tegak, menhir adalah batu alam yang telah dibentuk manusia
untuk keperluan pemujaan atau untuk tanda penguburan.
Dolmen
Dolmen atau meja batu adalah peninggalan zaman megalitikum yang terdiri dari sebuah
batu besar yang ditopang oleh batu-batu berukuran lebih kecil sebagai kakinya.
Sarkofagus
Sarkofagus adalah kubur batu yang terdiri dari wadah dan tutup yang umumnya terdapat
tonjolan pada ujungnya.
Waruga
Waruga adalah kubur batu yang bentuknya seperti rumah dan biasanya ditemukan di
daerah Minahasa.
Punden berundak
Benda peninggalam zaman megalithikum yang berbentuk anak tangga, berfungsi sebagai
pemujaan arwah nenek moyang dan dianggap suci, dinamakan punden berundak.
Arca batu
Arca batu adalah pahatan berbentuk manusia atau binatang yang dipercaya sebagai
wujud dari nenek moyang.
Ada yang mengatakan bahwa tradisi megalitik berasal dari daerah Laut Tengah, sebagian
lainnya percaya berasal dari Mesir. Teori yang diakui adalah teori Von Heine Geldern,
yang mengatakan bahwa tradisi megalitik berasal dari daerah Tiongkok Selatan dan
disebarkan oleh bangsa Austronesia.
Pada zaman megalitikum, masyarakat telah mengenal kepercayaan, meskipun masih dalam
tingkat awal, yaitu kepercayaan terhadap roh nenek moyang. Masyarakatnya percaya bahwa
arwah nenek moyang yang telah meninggal masih terus hidup di dunia arwah. Mereka juga
meyakini bahwa kehidupannya sangat dipengaruhi oleh arwah nenek moyang.
Perlakuan baik terhadap arwah nenek moyang yang meninggal dipercaya akan
menghindarkan dari ancaman, begitu pula sebaliknya.
Berdasarkan penemuan benda hasil kebudayaan manusia purba, fosil, dan artefak, para
ahli arkeologi membagi masa prasejarah ke dalam dua periode, yaitu Zaman Batu dan Zaman
Logam.
Pada Zaman Logam, manusianya tidak hanya menggunakan peralatan sehari-hari dari
batu, tetapi juga mampu membuat alat-alat dari logam. Manusia yang hidup pada Zaman Logam
dikatakan telah mengembangkan teknologi yang cukup tinggi. Sebab, logam tidak dapat dipecah
dan dipahat dengan mudah sebagaimana halnya batu. Pada periode ini, bahan-bahan dari logam
diolah dan dibentuk menjadi beraneka ragam peralatan. Hal itu membuktikan bahwa manusia
purba telah mengenal teknik peleburan logam. Zaman Logam juga disebut Masa Perundagian,
sebab di dalam masyarakatnya muncul golongan undagi yang terampil di bidangnya masing-
masing.
Teknik pengolahan logam Pada periode ini, masyarakatnya mengenal dua teknik
pengolahan logam, yaitu: 1) Teknik Bivalve, atau teknik setangkup adalah cara pengolahan
logam menggunakan dua cetakan dari batu yang dirapatkan.
Teknik seperti ini dapat digunakan berkali-kali. 2) Teknik Cire Perdue, adalah cara
pengolahan logam menggunakan cetakan yang terbuat dari lilin dan tanah liat. Teknik ini hanya
bisa dipakai sekali saja.
Bejana perunggu dari Madura (kiri) dan Nekara dari Jawa Tengah (kanan). (Kemdikbud)
Kapak corong juga dikenal sebagai kapak perunggu atau kapak sepatu, yang banyak
ditemukan di Sumatera Selatan, Jawa, Bali, Sulawesi Tengah dan Selatan, dan di
Pulau Selayar. Bentuknya bermacam-macam, ada yang besar dan diberi hiasan,
pendek dan lebar, bulat, dan ada pula yang berukuran kecil.
Sedangkan kapak corong yang panjang di salah satu sisinya disebut sebagai
candrasa. Kapak corong dan candrasa umumnya digunakan dalam upacara
keagamaan serta perkakas rumah tangga.
3. Arca Perunggu
Arca perunggu ada yang berbentuk manusia, ada pula yang berbentuk binatang.
Umumnya berukuran kecil dan terdapat cincin di bagian atasnya. Di Indonesia,
peninggalan arca perunggu ditemukan di Bangkinang (Riau), Lumajang (Jawa Timur),
Palembang (Sumatera Selatan), Limbangan (Bogor).
4. Bejana Perunggu
Bejana perunggu berbentuk seperti periuk, tetapi lebih langsing dan gepeng. Benda
dari Zaman Logam ini ditemukan di tepi Danau Kerinci (Sumatera) dan Madura.
5. Perhiasan
Pada periode ini, juga ditemukan perhiasan seperti kalung, cincin, anting-anting, dan
manik-manik dari perunggu. Gelang dan cincin perunggu ditemukan hampir di semua
daerah perkembangan budaya perunggu di Indonesia.
6. Senjata perunggu
Berikut ini senjata dan benda-benda perunggu lainnya yang juga ditemukan di
Indonesia:
Ujung tombak berbentuk daun dengan tajaman pada kedua sisinya yang
ditemukan di Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur.
Belati yang ditemukan di Jawa Timur dan Flores.
Mata pancing yang ditemukan di Bali dan Jawa Tengah
Ikat pinggang berpola geometris dari Jawa Timur
Penutup lengan dari Sumatera Barat dan Bali
Bandul atau mata kalung berbentuk manusia dari Bogor
Silinder kecil dari perunggu dari Malang
Kelintingan (bel) kecil dari perunggu dari Bali
Pengunjung mengamati koleksi manusia purba pada Pameran Museum Manusia Purba Sangiran di Medan, Sumatera Utara,
Rabu (18/10/2017). ANTARA FOTO/Septianda Perdana
Mata Panah
Mata panah yang terbuat dari besi biasanya digunakan untuk berburu.
Mata Pisau
Mata pisau dari Zaman Besi merupakan pengembangan alat serupa dari masa sebelumnya
yang terbuat dari batu atau kayu. Mata pisau dari Zaman Besi terbuat dari besi dan biasanya
digunakan sebagai peralatan sehari-haru ataupun sebagai alat untuk mempertahankan diri.
Mata Sabit
Mata sabit sebenarnya hampir mirip dengan mata pisau. Namun, ada perbedaan dari sisi
bentuk dan kegunaannya secara khusus. Mata sabit biasanya digunakan sebagai alat
bercocok tanam, atau untuk mencari rumput pakan ternak.
Cangkul
Cangkul sederhana yang terbuat dari paduan kayu sebagai gagang dan besi sebagai
ujungnya sudah dikenal sejak Zaman Besi. Sama seperti mata sabit, cangkul juga digunakan
untuk kepentingan bertani, berkebun, alias bercocok-tanam.
Pedang
Pedang pada Zaman Besi diciptakan sebagai alat mempertahankan diri, baik dari ancaman
binatang buas maupun sebagai senjata ketika terjadi pertikaian dengan komunitas manusia
lainnya.
Perhiasan
Besi juga bisa dijadikan sebagai bahan membuat perhiasan. Manusia pada Zaman Besi
sudah mengenal perhiasan sehingga logam, termasuk besi, bisa digunakan sebagai bahan
untuk membuat gelang, kalung, cincin, atau jenis perhiasan lainnya.
PERIODESASI ZAMAN PRA AKSARA
BERDASARKAN CARA HIDUP
Pada awal kehidupan, manusia bertahan dengan berburu dan mengumpulkan makanan tingkat
sederhana. Pada masa ini, manusia hidup berdampingan bersama hewan dan tumbuhan secara
terbuka dan bebas. Pada masa berburu dan mengumpulkan makanan tingkat sederhana, mereka
berburu hewan besar bertulang belakang, seperti rusa, babi, dan kerbau. Mereka juga
mengumpulkan buah-buahan dan umbi-umbian, serta ikan. Kehidupan manusia pada masa ini
masih sangat sederhana. Hal tersebut dapat dilihat dari kehidupan manusia yang hanya terpusat
pada upaya mempertahankan diri di tengah alam yang penuh tantangan, dengan kemampuannya
yang masih sangat terbatas.
Berdasarkan ciri-ciri di atas, kehidupan pada masa berburu dan mengumpulkan makanan tingkat
sederhana di berbagai bidang, sebagai berikut:
Keadaan lingkungan
Untuk menghindari dari panas, hujan, dan bahaya hewan buas, manusia masa berburu
dan mengumpulkan makanan akan tinggal di dalam gua atau membuat sarang di atas
pohon. Mereka juga akan mencari lokasi yang dekat dengan aliran sungai, di tepi danau,
atau pantai. Manusia pada masa ini mendapatkan bahan makanan secara langsung dari
alam, baik dengan berburu maupun mengambil hasil alam.
Kehidupan Ekonomi
Kehidupan manusia pada masa berburu dan mengumpulkan makanan tingkat sederhana
masih sangat bergantung pada alam. Kebutuhan makanan dipenuhi dengan cara berburu
hewan dan mengumpulkan umbi-umbian, buah-buahan serta dedaunan yang ditemukan
di sekitar lingkungan mereka. Jika sumber makanan di sekitar tempat mereka menipis
atau sudah habis, mereka berpindah ke tempat lain.
Kehidupan sosial
Pada masa ini manusia menjalankan kehidupannya dengan berpindah-pindah atau tidak
menetap. Manusia pada masa berburu dan mengumpulkan makanan tingkat sederhana
hidup secara berkelompok yang tersusun dari keluarga-keluarga kecil. Anggota kelompok
laki-laki melakukan perburuan, sementara kelompok perempuan mengumpulkan makanan
dari tumbuh-tumbuhan serta hewan-hewan kecil.
Kehidupan budaya
Pada masa berburu dan mengumpulkan makanan tingkat sederhana, mereka sudah
mengenal api dalam kehidupan sehari-hari. Api menjadi hal penting bagi masa ini, karena
digunakan untuk meramu makanan, pencahayaan di malam hari, dan mengembangkan
teknologi. Pada masa ini, manusia sudah mampu membuat alat-alat sederhana dari batu,
tulang dan kayu meskipun masih berbentuk kasar.
Alat-alat masa berburu dan mengumpulkan makanan tingkat sederhana, antara
lain:
a. Alat-alat batu inti, terdiri dari kapak perimbas, kapak penetak, pahat genggam, dan
kapak genggam.
b. Alat serpih yang digunakan untuk pisau, serut, gurdi, mata panah, dan untuk
menguliti umbi-umbian. Alat serpih dibuat dengan cara memukul bongkahan batu
menjadi pecahan-pecahan kecil yang berbentuk segitiga, trapesium, atau
setengah bulat. Alat ini tidak dikerjakan lebih lanjut dan digunakan untuk alat
pemotong, gurdi atau penusuk. Alat serpih ada yang dikerjakan lagi menjadi mata
panah dan ujung tombak.
c. Alat dari tulang-belulang atau tanduk.
Manusia purba yang mendominasi pada masa food gathering atau zaman berburu dan
meramu sederhana adalah jenis Pithecanthropus erectus.
Pada masa berburu tingkat lanjut atau Mesolitikum Akhir, corak hidup yang berasal dari periode
sebelumnya masih berpengaruh. Corak kehidupan pada Zaman Mesolitikum Akhir adalah
mengumpulkan makanan dan menetap. Hidup dengan cara berburu dan mengumpulkan makanan
masih dilanjutkan, hal ini terbukti dari bentuk alat-alat yang digunakan, yakni dari batu, tulang, dan
kulit kerang. Ciri utama kehidupan sosial manusia purba pada masa berburu dan mengumpulkan
makanan adalah berpindah-pindah. Salah satu contoh kehidupan budaya masyarakat pada masa
berburu dan mengumpulkan makanan tingkat lanjut yaitu gambar tangan pada dinding gua.
A. CIRI-CIRI KEHIDUPAN PADA MASA BERBURU DAN MENGUMPULKAN MAKANAN
TINGKAT LANJUT
masyarakatnya masih bergantung pada alam sekitar
Cara memperoleh makanan masih bersifat food gathering, yakni dengan mengumpulkan
umbi-umbian, buah-buahan, keladi, daun-daunan, siput, kerang, serta berburu binatang di
dalam hutan dan menangkap ikan
awal kegiatan pertanian di mulai pada masa ini
Kehidupan sosial-ekonomi
Pada masa berburu dan mengumpulkan makanan tingkat lanjut, masyarakatnya masih
bergantung pada alam sekitar. Cara memperoleh makanan masih bersifat food gathering, yakni
dengan mengumpulkan umbi-umbian, buah-buahan, keladi, daun-daunan, siput, kerang, serta
berburu binatang di dalam hutan dan menangkap ikan. Selain itu, awal kegiatan pertanian diduga
juga berlangsung pada periode ini. Akan tetapi kehidupan bercocok tanam masih dikerjakan
dengan amat sederhana dan berpindah-pindah. Masyarakatnya hanya bisa menanam umbi-
umbian, karena belum mengenal cara menanam biji-bijian. Manusia purba pada masa berburu
dan mengumpulkan makanan tingkat lanjut telah menunjukkan keinginan untuk bertempat tinggal
menetap di dalam gua-gua. Mereka biasanya memilih gua yang tidak jauh dari sumber air, yakni di
dekat sungai dan di pinggir pantai.
Contoh peninggalan yang khas dari masyarakat berburu dan meramu tingkat lanjut adalah
abris sous roche, yaitu gua menyerupai ceruk batu karang yang digunakan sebagai tempat tinggal.
Selain itu, bukti bahwa masyarakatnya juga hidup di pinggir pantai dan sering
mengonsumsi kerang dan siput adalah ditemukannya kjokkenmoddinger (sampah bukit kerang).
Di gua-gua tersebut, manusia purba hidup dalam kelompok kecil yang terdiri atas dua atau tiga
keluarga. Akan tetapi, situs-situs tersebut belum ditempati secara permanen. Pasalnya, manusia
purba akan berpindah ke tempat lain apabila bahan makanan di wilayah tersebut sudah habis.
Kehidupan sosial-budaya
Manusia pendukung pada masa berburu dan mengumpulkan makanan tingkat lanjut adalah
Australomelanesid dan Mongoloid
Corak kehidupan manusia praaksara pada periode ini setingkat lebih tinggi daripada masyarakat
berburu dan meramu tingkat awal. Hal ini terlihat dari teknik pembuatan alat ataupun hasil
kebudayaannya. Peralatan sehari-hari yang dihasilkan berupa alat-alat batu seperti kapak
genggam dan kapak pendek, kemudian peralatan dari tulang, tanduk, dan kulit kerang. Di samping
itu, pada masa ini mungkin sekali dibuat peralatan berbahan bambu. Diduga bambu memiliki
peran penting, karena dapat dengan mudah diolah menjadi berbagai macam peralatan sehari-hari.
Misalnya, bambu dapat dijadikan sudip untuk mencungkil atau membersihkan umbi-umbian,
dijadikan keranjang, dan bahan bakar. Selama bertempat tinggal di gua, manusia purba tidak
hanya membuat peralatan yang diperlukan, tetapi juga melukiskan sesuatu di dinding. Lukisan itu
dibuat dengan cara menggores pada dinding gua atau menggunakan cat dari bahan alami
berwarna merah, hitam, atau putih. Lukisan yang dibuat biasanya menggambarkan pengalaman
sehari-hari, sebuah perjuangan, harapan, atau kepercayaan. Contoh lukisan yang dibuat adalah
berupa cap-cap tangan, orang naik perahu, dan lukisan binatang buruan.
Kehidupan spiritual
Kehidupan spiritual masyarakat berburu dan meramu tingkat lanjut tergambar pada lukisan-lukisan
yang ada di dinding gua. Cap tangan mungkin mengandung arti kekuatan atau lambang kekuatan
pelindung untuk mencegah roh jahat. Di samping itu, lukisan juga bertalian dengan upacara-
upacara penghormatan nenek moyang, upacara penguburan, dan keperluan meminta hujan atau
kesuburan. Selain lukisan pada dinding gua, kepercayaan masyarakat saat itu terlihat pada tradisi
penguburan. Hal ini terlihat pada masyarakat si Gua Lawa, Sampung, bukit kerang di Sumatera
Utara, dan Gua Sodong, Jawa Timur, di mana mayatnya ditaburi dengan pewarna alami oker
merah. Diduga, pemberian oker merah dimaksudkan untuk memberikan kehidupan baru di alam
baka.
B. HASIL KEBUDAYAAN PADA MASA BERBURU DAN MENGUMPULKAN MAKANAN
TINGKAT LANJUT
Beberapa contoh hasil kebudayaan masa berburu dan mengumpulkan makanan tingkat lanjut
adalah kapak perimbas, kapak Sumatera, kapak penetak, anak panah, serta alat dari tulang dan
tanduk rusa.
Masa bercocok tanam lahir melalui proses panjang dari usaha manusia prasejarah dalam
memenuhi kebutuhan hidup pada periode-periode sebelumnya. Periode ini amat penting dalam
sejarah perkembangan dan peradaban masyarakat, karena beberapa penemuan baru berupa
penguasaan sumber-sumber alam bertambah cepat. Hal ini dikarenakan kemampuan berpikir
manusia prasejarah semakin terasah untuk menjawab tantangan alam. Masa bercocok tanam
dimulai sekitar 10.000 tahun lalu, bersamaan dengan Zaman Neolitikum. Kehidupan masyarakat
masa bercocok tanam ditandai oleh perubahan tradisi yang semula mengumpulkan makanan
(food gathering) menjadi menghasilkan makanan (food producing). Jenis manusia pendukung dari
periode ini adalah Proto Melayu, antara lain suku Dayak, Toraja, Sasak, dan Nias. Masa bercocok
tanam sering disebut sebagai masa revolusi kebudayaan karena terjadi perubahan besar pada
berbagai corak kehidupan masyarakat praaksara.
Kata perundagian diambil dari kata dasar undagi, yang artinya seseorang yang memiliki
keterampilan jenis usaha tertentu, seperti pembuatan gerabah, perhiasan, kayu, batu, dan logam.
Masa perundagian adalah periode akhir prasejarah atau yang lazim disebut Zaman Logam.
Manusia pendukung masa perundagian adalah bangsa Deutro Melayu, yang masuk ke Indonesia
sekitar tahun 500 SM.
Karakteristik utama manusia pada masa atau zaman perundagian adalah lahirnya tukang yang
terampil. Pada masa ini, berbagai usaha dilakukan manusia menuju ke penyempurnaan kegiatan
dalam bidang pertanian, peternakan, dan pembuatan gerabah. Selain itu, hal-hal baru mulai
ditemukan masyarakatnya, yang terpenting di antaranya adalah peleburan bijih logam dan
pembuatan benda-benda dari logam. Sejalan dengan kemajuan-kemajuan yang dicapai,
kehidupan manusianya pun semakin kompleks.
1. TEORI DE CASPARIS
https://www.scribd.com/document/675184141/kisi-kisi-lcc