sangat kasar.
Paleolitikum atau zaman batu tua disebut demikian sebab
alat-alat batu buatan manusia masih dikerjakan secara
kasar, tidak diasah atau dipolis. Apabila dilihat dari sudut
mata pencariannya periode ini disebut masa berburu dan
meramu makanan tingkat sederhana. Manusia pendukung
zaman ini adalah Pithecantropus Erectus, Homo
Wajakensis, Meganthropus Paleojavanicus dan Homo
Soloensis. Fosil-fosil ini ditemukan di sepanjang aliran
sungai Bengawan Solo. Mereka memiliki kebudayaan
Pacitan dan Ngandong. Kebudayaan Pacitan pada tahun
1935, Von Koenigswald menemukan alat-alat batu dan
kapak genggam di daerah Pacitan. Cara kerjanya
digenggam dengan tangan. Kapak ini dikerjaan dengan
cara masih sangat kasar. Para ahli menyebut alat pada
zaman Paleolithikum dengan nama chopper. Alat ini
ditemukan di Lapisan Trinil. Selain di Pacitan, alat-alat dari
zaman Paleplithikum ini temukan di daerah Progo dan
Gombong (Jawa Tengah), Sukabumi (Jawa Barat), dan
Lahat (Sumatera Selatan).
A. CIRI-CIRI ZAMAN PALEOLITHIKUM
1. Jenis Manusia
Berdasarkan penemuan fosil manusia purba, jenis manusia purba hidup pada
zaman Paleolitikum adalah Pithecanthropus Erectus, Homo Wajakensis,
Meganthropus paleojavanicus, dan Homo Soliensis. Fosil ini ditemukan di
aliran sungai Bengawan Solo.
2. Kebudayaan
Berdasarkan daerah penemuannya maka alat-alat kebudayaan Paleolithikum
tersebut dapat dikelompokan menjadi kebudayaan Pacitan dan kebudayaan
Ngandong.
a. Kebudayaan Pacitan
Pada tahun 1935, von Koenigswald menemukan alat batu dan kapak genggam
di daerah Pacitan. Kapak genggam itu berbentuk kapak tetapi tidak bertangkai.
Kapak ini masih dikerjakan dengan sangat kasar dan belum dihaluskan. Para
ahli menyebutkan bahwa kapak itu adalah kapak penetak. Selain di Pacitan alatalat banyak ditemukan di Progo dan Gombong (Jawa Tengah), Sukabumi (Jawa
Barat), dan Lahat (Sumatera Utara).
b. Kebudayaan Ngandong
Para ahli berhasil menemukan alat-alat dari tulang, flakes, alat
penusuk dari tanduk rusa dan ujung tombak bergigi di daerah
Ngandong dan Sidoarjo. Selain itu di dekat Sangiran ditemukan
alat sangat kecil dari betuan yang amat indah. Alat ini
dinamakan Serbih Pilah, dan banyak ditemukan di Cabbenge
(Sulawesi Selatan) yang terbuat dari batu-batu indah seperti
kalsedon. Kebudayaan Ngandong juga didukung oleh
penemuan lukisan pada dinding goa seperti lukisan tapak
tangan berwarna merah dan babi hutan ditemukan di Goa
Leang Pattae (Sulawesi Selatan).
Zaman Paleolithikum ditandai dengan kebudayan manusia yang masih sangat
sederhana. Ciri-ciri kehidupan manusia pada zaman Paleolithikum, yakni:
1.Hidup berpindah-pindah (Nomaden)
2. Berburu (Food Gathering)
3. Menangkap ikan
B. ALAT-ALAT ZAMAN PALEOLITHIKUM
Pada zaman ini alat-alat terbuat dari batu yang masih kasar
dan belum dihaluskan. Contoh alat-alat tersebut adalah:
1. Kapak Genggam
Kapak genggam banyak ditemukan di daerah Pacitan. Alat ini biasanya disebut
"chopper" (alat penetak/pemotong)
Alat ini dinamakan kapak genggam karena alat tersebut serupa dengan kapak,
tetapi tidak bertangkai dan cara mempergunakannya dengan cara
menggenggam. Pembuatan kapak genggam dilakukan dengan cara memangkas
salah satu sisi batu sampai menajam dan sisi lainnya dibiarkan apa
adanyasebagai tempat menggenggam. Kapak genggam berfungsi menggali.
umbi, memotong, dan menguliti binatang.
2. Kapak Perimbas
Kapak perimbas berfungsi untuk merimbas kayu, memahat tulang dan sebagai
senjata. Manusia kebudayan Pacitan adalah jenis Pithecanthropus. Alat ini juga
ditemukan di Gombong (Jawa Tengah), Sukabumi (Jawa Barat), lahat, (Sumatra
selatan), dan Goa Choukoutieen (Beijing). Alat ini paling banyak ditemukan di
daerah Pacitan, Jawa Tengah sehingga oleh Ralp Von Koenigswald disebut
kebudayan Pacitan.
3. Alat-alat dari tulang binatang atau tanduk rusa
Salah satu alat peninggalan zaman paleolithikum yaitu alat dari tulang binatang.
Alat-alat dari tulang ini termasuk hasil kebudayaan Ngandong. Kebanyakan alat
dari tulang ini berupa alat penusuk (belati) dan ujung tombak bergerigi. Fungsi
dari alat ini adalah untuk mengorek ubi dan keladi dari dalam tanah. Selain itu
alat ini juga biasa digunakan sebagai alat untuk menangkap ikan.
4. Flakes
Flakes yaitu alat-alat kecil yang terbuat dari batu Chalcedon, yang dapat
digunakan untuk mengupas makanan. Flakes termasuk hasil kebudayaan
Ngandong sama seperti alat-alat dari tulang binatang. Kegunaan alat-alat ini
pada umumnya untuk berburu, menangkap ikan, mengumpulkan ubi dan buahbuahan.
2.kebudayaan batu madya (mesolithikum)
Mesolitikum
Mesolitikum atau Zaman Batu Madya(Bahasa Yunani: mesos
"tengah", lithos batu) adalah suatu periode dalam
perkembangan teknologi manusia, antara Paleolitik atau
Zaman Batu Tua dan Neolitik atau Zaman Batu Muda.
Istilah ini diperkenalkan oleh John Lubbock dalam makalahnya "Jaman
Prasejarah" (bahasa Inggris: Pre-historic Times) yang diterbitkan pada tahun
1865. Namun istilah ini tidak terlalu sering digunakan sampai V. Gordon Childe
mempopulerkannya dalam bukunya The Dawn of Europe (1947).
Zaman mesolitikum di Indonesia
Pada zaman mesolitikum di Indonesia, manusia hidup tidak jauh
berbeda dengan zaman paleolitikum, yaitu dengan berburu dan
menangkap ikan, namun manusia pada masa itu juga mulai
mempunyai tempat tinggal agak tetap dan bercocok tanam
secara sederhana. Tempat tinggal yang mereka pilih umumnya
berlokasi di tepi pantai (kjokkenmoddinger) dan goa-goa (abris
sous roche) sehingga di lokasi-lokasi tersebut banyak
ditemukan berkas-berkas kebudayaan manu Kjokkenmoddinger
Kjokkenmoddinger adalah sampah dapur dari zaman mesolitikum yang
ditemukan di sepanjang pantai timur Pulau Sumatera.Hal ini diteliti oleh
Dr. P. V. van Stein Callenfels pada tahun 1925 dan menurut penelitian
yang dilakukannya, kehidupan manusia pada saat itu bergantung dari
hasil menangkap siput dan kerang karena ditemukan sampah kedua
hewan tersebut setinggi 7 meter.Sampah dengan ketinggian tersebut
kemungkinan telah mengalami proses pembentukan cukup lama, yaitu
mencapai ratusan bahkan ribuan tahun. Di antara tumpukan sampah
yaitu kebudayaan pebble (alat-alat tulang yang datang dari jalan barat)
dan kebudayaan flakes (datang melalui jalan timur). Sementara itu,
penelitian kebudayaan Bandung dilakukan oleh van Koenigswald di
daerah Padalarang, Bandung Utara, Cicalengka, BanjarabSoreang, dan
sebelah barat Cililin. Kebudayaan yang ditemukan berupa flakes yang
disebut microlith (batu kecil), pecahan tembikar, dan benda-benda
perunggu.
Galeri
Berikut ini gambar-gambar peninggalan dari zaman Mesolitikum yang
ditemukan pada situs pemakaman di Thviec, Saint-Pierre-Quiberon, Bretagne,
Perancis. Koleksi Musum de Toulouse.
Sebagian besar kapak lonjong dibuat dari batu kali, dan warnanya
kehitam-hitaman. Bentuk keseluruhan dari kapak tersebut adalah bulat
telur dengan ujungnya yang lancip menjadi tempat tangkainya, sedangkan
ujung lainnya diasah hingga tajam. Untuk itu bentuk keseluruhan
permukaan kapak lonjong sudah diasah halus.
Ukuran yang dimiliki kapak lonjong yang besar lazim disebut dengan
Walzenbeil dan yang kecil disebut dengan Kleinbeil, sedangkan fungsi
kapak lonjong sama dengan kapak persegi. Daerah penyebaran kapak
lonjong adalah Minahasa, Gerong, Seram, Leti, Tanimbar dan Irian. Dari
Irian kapak lonjong tersebar meluas sampai di Kepulauan Melanesia,
Wonosari (Yogyakarta) dan Cepu (Jawa Timur). Di dalam kubur batu tersebut
juga ditemukan rangka manusia yang sudah rusak, alat-alat perunggu dan besi
serta manik-manik. Dari penjelasan tentang peti kubur, tentu Anda dapat
mengetahui persamaan antara peti kubur dengan sarkofagus, dimana keduanya
merupakan tempat menyimpan mayat yang disertai bekal kuburnya.
6.Arca batu
Arca/patung-patung dari batu yang berbentuk binatang atau manusia. Bentuk
binatang yang digambarkan adalah gajah, kerbau, harimau dan moyet.
Sedangkan bentuk arca manusia yang ditemukan bersifat dinamis. Maksudnya,
wujudnya manusia dengan penampilan yang dinamis seperti arca batu gajah.
Arca batu gajah adalah patung besar dengan gambaran seseorang yang sedang
menunggang binatang yang diburu. Arca tersebut ditemukan di daerah Pasemah
(Sumatera Selatan). Daerah-daerah lain sebagai tempat penemuan arca batu
antara lain Lampung, Jawa Tengah dan Jawa Timur.
7.Waruga
Waruga adalah peti kubur peninggalan budaya Minahasa pada zaman
megalitikum. Didalam peti pubur batu ini akan ditemukan berbagai macam jenis
benda antara lain berupa tulang- tulang manusia, gigi manuisa, periuk tanah liat,
benda- benda logam, pedang, tombak, manik- manik, gelang perunggu, piring
dan lain- lain. Dari jumlah gigi yang pernah ditemukan didalam waruga, diduga
peti kubur ini adalah merupakan wadah kubur untuk beberapa individu juga
atau waruga bisa juga dijadikan kubur keluarga (common tombs) atau kubur
komunal. Benda- benda periuk, perunggu, piring, manik- manik serta benda lain
sengaja disertakan sebagai bekal kubur bagi orang yang akan meninggal.
4.BUDAYA MEGALITIKUM DI INDONESIA
Di Indonesia, beberapa etnik masih memiliki unsur-unsur
megalitik yang dipertahankan hingga sekarang.
1.Pasemah
Pasemah merupakan wilayah dari Propinsi Sumatera Selatan,
berada di kaki Gunung Dempo. Tinggalan-tinggalan megalitik di
wilayah ini tersebar sebanyak 19 situs, berdasarkan penelitian
yang di lakukan oleh Budi Wiyana (1996), dari Balai Arkeologi
Palembang. Tinggalan megalitik Pasemah muncul dalam bentuk
yang begitu unik, patung-patung dipahat dengan begitu
dinamis dan monumental, yang mencirikan kebebasan sang
seniman dalam memahat sehingga tinggalan [megalitik
Kehidupan yang serba tergantung kepada alam membuat pola hidup yang
bergotong-royong. Dalam melakukan persembahan/penyembahan terhadap roh
leluhur maupun kekuatan alam, masyarakat prasejarah ini melakukannya secara
bersama-sama. Yang memimpin upacara itu adalah mereka yang berusia paling
tua atau dituakan oleh masyarakat yang bersangkutan. Pemimpin inilah yang
berhak menentukan kapan acara sedekah bumi dan upacara-upacara religius
lainnya dilakukan. Dialah juga yang dipercayai masyarakat dalam hal mengusir
roh jahat, mengobati orang sakit, dan menghukum warganya yang melanggar
nilai atau hukum yang diberlakukan.
Kehidupan Keagamaan Masyarakat Sunda Masa Hindu-Buddha
Setelah kedatangan orang-orang India, masyarakat Sunda kuno mulai
terpengaruh ajaran-ajaran Hindu dan Buddha. Penemuan sejumlah arca-batu
bercorak Hindu dan Buddha (meski dibuat sangat sederhana) menandakan
bahwa merekaterutama kaum bangsawanmemercayai dan mempraktikkan
ajaran-ajaran Hindu-Buddha. Meski jarang sekali ditemukan candi yang
bercorak Hindu-Buddha, tak dipungkiri bahwa masyarakat Sunda Kuno
terutama keluarga rajamenganut agama-agama dari India itu, yang kemudian
dipadukan dengan kepercayaan nenek-moyang mereka, yaitu Sunda Wiwitan.
Sejak masa Salakanagara dan Tarumanagara, raja-raja di Sunda memiliki gelar
yang sangat kental warna Hindu maupun Buddha. Gelar dewawarman yang
berarti baju perisai dewa, tentu mengacu kepada kepercayaan Hindu, selain
karena pendiri Salakanagara berasal dari negeri India. Mereka begitu memuja
dewa-dewa Hindu seperti Surya, Wisnu, dan Siwa.
Kehidupan agama masyarakat Sunda kuno dapat dilihat dari, misalnya, naskah
Sanghyang Sisksakandang Karesian (disebut pula Kropak 603) yang ditulis
pada 1518 atau Carita Parahyangan yang ditulis pada 1580 M. Berdasarkan
naskah tersebut, terang sekali bahwa agama orang Sunda terdiri atas tiga
kepercayaan utama, yaitu tradisi Sunda Wiwitan (Sunda asli) yang begitu
memuja leluhur (hyang), Buddhisme, dan Hindu. Oleh masyarakat Sunda,
kepercayaan Buddha dan Hindu tersebut dipadukan yang cenderung lebih
mengarah kepada Buddhaisme. Perpaduan kedua agama ini dapat dilihat dari
doa (semacam syahadat) mereka yang diucapkan ketika upacara keagamaan
berlangsung. Doa tersebut berbunyi: Hong kara nomo Sewaya, sembah ing
hulun di Sanghyang Panca Tatagata, yang artinya: Ya Tuhan, segala perbuatan
demi nama Siwa, sembahku kepada Sanghyang Buddha yang lima.
Jelas sekali corak sikretisme dalam doa tersebut. Sanghyang Buddha yang 5
atau Dyani Buddha adalah posisi Buddha dalam bersemadi yang mengacu
kepada arah mata angin, yakni :
1. amogasiddha (utara);
2. akshobya (timur);
3. ratnasambhawa (selatan);
4. amithabba (barat);
5. wairocana (pusat/zenit).
Sementara itu, dalam Hindu pun terdapat lima dewa, disebut Batara Jagat atau
Lokapala. Akan tetapi, para dewa tersebut tidak dianggap tuhan melainkan
tunduk kepada Hyang (dewata bakti di Hyang). Maka dari itu dikatakan, Sing
para dewata kabeh pada bakti ke Batara Seda Niskala (Semua dewa tunduk
kepada Batara Seda Niskala). Adapun kelima dewa tersebut adalah :
1. Wisnu (utara);
2. Isora/Iswara (timur);
3. Mahadewa (selatan);
4. Bratha (barat);
5. Siwa (tengah).
Agama Buddha yang berkembang di Jawa Barat (dan juga di kerajaan-kerajaan
kuno lainnya di Nusantara) adalah Buddha Mahayana. Pada abad ke-7,
Sriwijaya bahkan merupakan pusat studi Buddha Mahayana di sekitar Asia
Timur-Tenggara. Mahzab Mahayana ini menitikberatkan kepada usaha saling
membantu antarpengikutnya dalam mencapai kebebasan jiwa (nirvana), berbeda
dengan Buddha Hinayana yang lebih bersifat individualistis dalam mencapai
nirwana. Aliran Hinayana berkembang di Sri Langka, Burma, dan Thailand;
namun kemudian tak berkembang dan lebih dulu menghilang. Sebaliknya,
aliran Mahayana ini kemudian terpengaruh oleh Hinduisme, yang
mengakibatkan makin menjauhnya ajarannya dari ajaran Siddharta Gautama
sendiri.
Dalam Buddha Mahayana akhirnya mengenal pendewaan atas diri Buddha dan
Bodhisatwa, surga dalam artian tempat, bhaktimarga (jalan bakti), dan dewadewa lainnya yang patut disembah. Penyelewangan ajaran ini tentunya makin
menjauhkan Buddhisme dari semangat Buddha Siddharta, karena ajaran Buddha
aslinya tak mengenal adanya tuhan, tak mengenal doa, tak mengenal dewa-dewa
layaknya dalam Hindu. Maka dari itu, di India sendiri ajaran Buddha
menghilang dan kemudian lebih banyak dianut di Asia Timur dan Tenggara.
Ada pun, ajaran Hindu yang dianut oleh masyarakat, atau lebih tepatnya para
raja-raja, Pasundan adalah aliran Waisnawa (Wisnu) dan Bairawa (Siwa).
Penemuan patung-patung Wisnu dan Siwa di beberapa tempat di Jawa Barat
membuktikan hal ini. Belum lagi bila kita melihat gelar raja-raja Sunda, Galuh,
atau Pajajaran yang berbau Wisnu. Sanjaya Sang Harisdarma, Prabu Resi
Atmajadarma Hariwangsa, Sri Jayabupati Jayamanahen Wisnumurti, Guru
Dharmasiksa Prabu Sanghyang Wisnu, merupakan raja-raja yang memakai gelar
kewisnuan (Harisdarma, Hariwangsa, Wisnumurti). Dewa atau Batara Wisnu
sendiri adalah dewa yang memelihara perdamaian di bumi dari kehancuran yang
disebabkan oleh Dewa Siwa.
Dalam melaksanakan upacara/ritual keagamaan, masyarakat Sunda
mempergunakan bangunan atau tempat yang telah ada, seperti punden
berundak-undak atau babalayan, menhir, atau bangunan peninggalan budaya
prasejarah Megalitikum yang memang banyak tersebar di Tatar Sunda. Maka
dari itu, di Jawa Barat jarang sekali ditemukan bangunan tempat ibadah atau
pun tempat penyimpanan abu raja seperti candi yang banyak ditemukan di Jawa
Tengah dan Timur. Hal ini terjadi karena masyarakat Sunda adalah masyarakat
peladang yang hidupnya cenderung nomaden, berpindah-pindah tempat.
Sebagai komunitas nomaden, mereka merasa tak perlu membangun tempattempat suci (candi atau wihara) karena akan memakan waktu yang lama. Lagi
pula, mereka akan selalu berpindah tempat lagi untuk menemukan lahan baru
guna dijadikan tempat berladang mereka yang baru. Bagi masyarakat Sunda
kuno, bangunan megalitik itulah candi mereka. Maka dari itu, gaya hidup
orang Sunda yang hidup di dataran tinggi dan bertradisi ladang, berbeda dengan
orang Jawa yang memiliki tradisi sawah yang gaya hidupnya cenderung
menetap.
Perpaduan unsur Buddha dengan Hindu rupanya menghasilkan agama baru,
yakni Tantrayana, yang juga dianut oleh sebagian masyarakat Sunda, terutama
kalangan atas yang status sosialnya tinggi. Mahzab Tantrayana (pengikutnya
disebut Tantris) terdapat dalam Buddhisme maupun Hinduisme. Sekte ini lahir
di India pada tahun 600 Saka, dan lima puluh tahun kemudian menyebar ke
Tibet, Cina, Korea, Jepang, hingga Indonesia (Jawa dan Sumatera). Tantra
sendiri artinya adalah intisari, esensi, atau asal.
Dalam kepercayaan Tantrayana ini mengenal adanya laku meditasi dengan
menggunakan alat berupa mandala (bagi penganut Buddha) atau yantra (bagi
penganut Hindu). Mandala adalah variasi lain yang bercorak Buddha dari apa
yang disebut yantra oleh penganut Hindu, yakni berupa lukisan yang berfungsi
sebagai alat bantu dalam meditasi sehari-hari. Alat tersebutbisa dibuat dari
tanah, kain, pada dinding, logam, atau batuharus digunakan oleh mereka yang
mencari pelepasan dari rangkaian siklus (lingkaran) kelahiran kembali.
Penggunaan mandala/yantra ini biasanya dibarengi dengan memegang aksamala
(seperti tasbih atau rosario) oleh tangan kanan untuk menghitung mantra yang
diucapkan. Di Jawa Barat, para penganut Tantra ini menjalankan ibadahnya di
bangunan-bangunan megalitik.
Di Sriwijaya, aliran ini lebih dulu berkembang pada abad ke-7, ditandai adanya
Prasasti Talang Tuo dan Kota Kapur yang berisi kutukan dan sumpah. Di Jawa
Tengah pada abad ke-8 dalam Prasasti Kalasan tahun 778 disebutkan bahwa
Rakai Panangkaran mendirikan bangunan suci, Candi Kalasan, untuk memuja
Dewi Tara. Dewi Tara ini merupakan salah satu bentuk penyimpangan Buddha
Mahayana karena dewi tersebut dianggap sebagai istri (syakti) pada Dyani
Buddha; padahal Buddha sendiri menilai syahwat merupakan musuh terbesar
manusia. Sementara itu, pada masa Raja Sindhok di Jawa Timur abad ke-10
telah disusun sebuah kitab yang menguraikan paham Tantra, yakni Sanghyang
Kamahayanikan.
Di Sunda sendiri, diketahui sejumlah raja penganut Tantra di antaranya: Sri
Jayabhupati dan Raja Nilakendra (ayah Prabu Suryakancana, raja terakhir
Pajajaran). Prasasti Sanghyang Tapak (Cibadak) menyebutkan sejumlah sumpah
dan kutukan mengerikan yang menyerukan supaya orang yang menyalahi
ketentuan dalam prasasti tersebut diserahkan kepada kekuatan-kekuatan gaib
untuk dibinasakan dengan menghisap otaknya, menghirup darahnya,
memberantakkan ususnya, dan membelah dadanya.
Selain kutukan-sumpah, Tantrayana mengajarkan agar badan, perkataan, serta
pikiran digiatkan oleh ritual, mantra, dan samadi. Dalam Tantrayana Hindu,
kesaktian Siwa dinilai bersifat wanita dan akhirnya dianggap sebagai istri Siwa
sendiri. Munculnya unsur wanita ini mengakibatkan lahirnya kegiatan
hubungan intim yang dianggap suci dan membawa manusia kepada
kebebasan jiwa dalam upacara Tantrayana. Begitu pula dalam Tantrayana
Buddha (Wajrayana), yang ditandai dengan adanya hubungan Dewi Tara dengan
Dyani Buddha. Tantrayana menganggap bahwa penciptaan alam semesta beserta
isinya dilakukan oleh Unsur Asal (dalam Buddhisme disebut Buddha, dalam
Hinduisme disebut Siwa-Bhairawa) melalui hubungan intim dengan istrinya.
Upacara Tantrayana ini semakin menyimpang dengan adanya penggunaan
minuman keras oleh para pengikutnya. Minuman keras ini dimaksudkan untuk
mempercepat peleburan diri kepada Unsur Asal. Mereka pun selalu
mengutamakan makanan-makanan lezat dan mewah, yang jelas bertentangan
dengan ajaran Buddha murni yang mengharamkan minuman keras dan hidup
berfoya-foya.
Kemerosotan akhlak dan moral di kalangan istana dengan adanya praktik
Tantrayana ini kelak mempercepat penyebaran Islam di dalam masyarakat
Sunda. Belum lagi faktor bahwa dalam Buddha sendiri tak dikenal pengkastaan.
Kepercayaan terhadap (Ajaran) Leluhur
Seperti telah dikupas sedikit, bahwa pada masa nirleka (prasejarah) masyarakat
Sunda begitu menjunjung tinggi (roh) para leluhur dan ajaran-ajarannya.
Kepercayaan terhadap nenek moyang ini senantiasa dipelihara oleh mereka
hingga berabad-abad kemudian setelah agama Hindu-Buddha dan Islam masuk
ke wilayah mereka. Jadi, walaupun pengaruh agama lain kuat terhadap
kehidupan, masyarakat Sunda kuno tetap memegang teguh kepercayaan
terhadap (ajaran) nenek-moyang. Naskah-naskah kuno begitu sering
menyebutkan adanya kabuyutan, yakni tempat sakral yang diperuntukkan bagi
kaum brahmana atau resi atau bagawat yang bertugas memelihara ajaran agama
dan tempat suci itu sendiri. Kabuyutan juga merupakan tempat di mana para
pujangga (kauam intelektual) menulis kitab-kitab tentang agama. Prasasti
Gegerhanjuang (1111 M) di Singaparna (Tasikmalaya), misalnya, menyebutkan
adanya panyusukan atau penyaluran air sehubungan dengan pembangunan
Kabuyutan Linggawangi di tempat bersangkutan.
Upaya raja-raja Sunda dalam membuat kabuyutan juga banyak diabadikan
dalam naskah-naskah, salah satunya Amanat Galunggung (dikenal juga sebagai
Kropak 632 atau Naskah Ciburuy). Di dalamnya diberitakan bahwa Prabu
.Dharmasiksa berpesan terhadap anak-cucunya agar memegang teguh ajaran
agama dan menjaga Kabuyutan Galunggung. Diperingatkannya bahwa
kabuyutan tersebut jangan jatuh ke tangan orang non-Sunda, dan orang yang
memelihara kabuyutan tersebut akan memeroleh kesaktian, unggul dalam
perang, hidup akan lama, keturunannya akan bahagia. Jelas, bahwa bagi rajaraja Sunda, fungsi kabuyutan sebagai kekuatan magis dinilai sangat penting,
lebih penting dari, misalnya, lamanya sang raja memerintah. Dalam pandangan
orang Sunda Kuno, kedudukan kabuyutan sejajar dengan nilai kemenangan
dalam perang. Pada masa Sri Baduga, pemeliharaan terhadap kabuyutan ini
tetap dilaksanakan. Ia menyatakan, kabuyutan di Sunda Sembawa dan Gunung
Samaya dijadikan sebagai desa perdikan, yaitu desa yang dibebaskan dari
pajak. Kabuyutan ini dibebaspajakkan karena jasa-jasanya terhadap negara
dalam memelihari ajaran leluhur dan juga perintah raja.
Naskah Amanat Galunggung juga memuat ajaran agar senantiasa melaksanakan
perintah nenek moyang (juga orangtua) serta menjaga apa-apa yang telah
diperbuat oleh leluhur yang telah almarhum (suwargi).
Tetaplah mengikuti orangtua, melaksanakan ajaran yang membuat parit di
Galunggung, agar unggul perang, serba tumbuh tanam-tanaman, lama berjaya.
Sungguh-sungguhlah mengikuti patikrama warisan dari para almarhum.
Carita Parahyangan pun membeberkan, bahwa bila seseorang meninggalkan
ajaran leluhur niscaya akan dihinggapi kesusahan dan penyakit batin.
Sebaliknya, orang yang memelihara ajaran nenek moyang pasti akan senang
lahir-batin.
Ajaran dari leluhur dijunjung tinggi sehingga tidak akan kedatangan musuh,
baik berupa laskar maupun penyakit batin. Senang-sejahtera di utara, barat, dan
timur. Mungkin, faktor menghormati leluhur inilah yang menyebabkan ajaran
Islam dapat diserap oleh mayoritas masyarakat Sunda. Islam pun mengajarkan
bahwa menghormati orang tua merupakan salah satu unsur terpenting dalam
kehidupan; dan barang siapa yang selalu mendoakan arwah orangtua akan diberi
pahala melimpah. Salam Nusantar.
6.KEHIDUPAN SOSIAL
Pada zaman ini manusia melakukan banyak kegiatan yang
menyangkut kehidupannya. Mereka sudah mepunyai aktifitas
seperti berbueu dan mengumpulkan makanan, bercocok
tanam.
Ciri-cirinya adalah:
- Manusia sudah dapat membuat dan meninggalkan
kebudayaan yang terbuat dari batu-batu besar
- Berkembang dari zaman neolitikum sampai zaman perunggu
- Manusia sudah mengenal kepercayaan utamnya animism
7.MANUSIA PENDUKUNG
Di sebut kebudayaan batu besar karena pada umumnya
menghasilkankebudayaan dalam bentuk monument yang
terbuat dari batu berukuranbesar. Kebudayaan ini muncul pada
akhir jaman neolhitikum , tetapiperkembangannya justru terjadi
pada jaman perunggu
Jadi, mungkin saja :
1.suku dayak golongan ras proto melayu
2. bangsadeuteuro melayu (melayu muda) yang migrasi ke
Indonesia sambilmembawa kebudayaan dongson.
Keturunannya adalah jawa, bali, bugis,madur, dll. Bahkan
ditemukan beberapa bukti bahwa telah terjadipembaruan
antara melayu monggoloide (proto melayu dengan
deuteuromelayu) dan papua melaneside.