Anda di halaman 1dari 12

ARKEOLOGI DAN SEJARAH BUDAYA DI SULAWESI SELATAN1

Oleh : Dr. Akin Duli, MA.2

A. Pendahuluan

Arkeologi, berasal dari bahasa Yunani, archaeo yang berarti "kuno" dan logos,
"ilmu". Nama alternatif arkeologi adalah ilmu sejarah kebudayaan
material.

Arkeologi adalah ilmu yang mempelajari kebudayaan (manusia) masa lalu melalui
kajian sistematis atas data bendawi yang ditinggalkan.

Kajian sistematis meliputi penemuan, dokumentasi, analisis, dan interpretasi data


berupa artefak (budaya bendawi, seperti kapak batu dan bangunan
candi) dan ekofak (benda lingkungan, seperti batuan, rupa muka bumi,
dan fosil) maupun fitur (artefaktual yang tidak dapat dilepaskan dari
tempatnya (situs arkeologi).

Teknik penelitian yang khas adalah penggalian (ekskavasi) arkeologis, meskipun


survei juga mendapatkan porsi yang cukup besar.
Peranan arkeologi

 Masa lampau: rekonstruksi sejarah kebudayaan, cara-cara hidup, dan


perubahan budaya.

 Masa kini: pemahaman dan aktualisasi akar budaya, penumbuhan


kebanggan dan jatidiri .

 Masa datang: titik tolak pengembangan, sumber inspirasi, dll.

1
Dibawakan dalam kegiatan penyuluhan/sosialisasi arkeologi dengan tema “Tinggalan
Arkeologi Dalam Membangun Karakter dan Jati Diri Bangsa” yang dilaksanakan oleh
Balai Arkeologi Makassar di SMA Neg. 17 Makassar pada tanggal 21 September 2013.
2
Dosen Arkeologi Universitas Hasanuddin.

1
B. Zaman Prasejarah di Sulawesi Selatan

Sejarah kebudayaan dan lintas peradaban Indonesia adalah rangkaian


jejak kehadiran manusia Indonesia sejak zaman prasejarah sampai sekarang.
Zaman prasejarah merupakan suatu masa yang sangat panjang, yaitu dari awal
kehadiran manusia sekitar 1,5 juta tahun yang lampau hingga masa mulai
dikenalnya budaya tulis sekitar abad ke-5 Masehi, yaitu ditemukannya prasasti
Yupa di daerah Kutai Kalimantan Timur. Secara khusus untuk daerah Sulawesi
Selatan, zaman prasejarah sudah mulai dikenal sejak zaman Paleolitik akhir
hingga pada sekitar abad ke-16 Masehi, ketika mulai dikenal budaya tulis Lontara
dan masuknya pengaruh Eropa.

1. Zaman Berburu dan Mengumpul Makanan Tingkat Awal (Paleolitik)


Zaman Paleolitik adalah masa awal kebudayaan dimana manusia baru
mengenal kehidupan perburuan dan mengumpulkan makanan tingkat sederhana.
Pada masa ini manusia masih tergantung pada alam dan belum menetap,
hidupnya masih berpindah-pindah (nomaden) mereka memilih tempat-tempat
yang dekat dengan air dan sumber makanan.
Van Heekeren adalah seorang peneliti Belanda yang berjasa dalam
penemuan situs Paleolitik di daerah Cabbenge (Soppeng) pada tahun 1947, yaitu
di desa Beru, kemudian pada tahun 1950 telah memperluas daerah penemuan
fosil binatang, kapak genggam dan alat serpih di desa Sompoh dan Celeko
(Soppeng). Manusia pendukung dari budaya awal di Cabbenge diperkirakan
adalah Homo Erectus yang sezaman dengan Homo erectus Wajakanesis di Jawa,
pada masa sekitar 150.000 - 50.000 tahun sebelum masehi. Hasil budaya dari
batu yang digunakan adalah kapak genggam (hand axe), kapak perimbas
(chopper), kapak penetak (chopping-tool) dan alat serpih bilah, yang ditemukan
pada beberapa situs di Cabbenge, seperti situs Marale, Paroto, Kecce, Berru,
Sompe, Calio, Lonrong, Lakibong, Lenrang, Jampu, Padali, Tanrung dan Salaonro.

Alat batu inti Cabbenge (Kapak perimbas, kapak genggam dan kapak penetak)

2
2. Zaman Berburu dan Mengumpulkan Makanan Tingkat Lanjut (Mezolitik)
Zaman Mezolitik adalah masa dimana manusia masih hidup berburu dan
mengumpulkan makanan, namun sudah mulai menetap sementara di gua-gua
atau membuat pondok-pondok sederhana, masih tetap hidup berpindah-pindah
dari satu daerah ke daerah lainnya, dan kehidupan ekonomi masih sangat
tergantung kepada persedian alam. Bekas peninggalannya ditemukan pada situs
ceruk dan gua batu serta situs alam terbuka, seperti di daerah Maros, Pangkep,
Bone, Soppeng, Bantaeng, Barru, Takalar dan lain-lain. Bentuk peninggalan
seperti mata panah (point), alat penyerut (flakes), pisau (blade) yang disebut
“Industri Alat Serpih Toalean”, sampah dapur (kjokken moddinger) dan lukisan
dinding gua. Didukung oleh manusia dari Ras Austromelanosoid sekitar 40.000
SM dan Ras Mongoloid sekitar 6000 SM. Penelitian awal di Sulawesi Selatan
dilakukan oleh dua orang bersaudara bangsa Swiss, Fritz dan Paul Sarasin di gua
Cakondo, Ululeba dan Balisao tahun 1930.
Budaya lain yang sangat menarik pada zaman Mezolitik adalah lukisan-
lukisan yang terdapat pada dinding gua, ditemukan pertama kali oleh C.H.M
Heeren-Palm pada tahun 1950 di Leang PattaE (Maros) berupa cap-cap tangan
dan babi-rusa warna merah, yang dimaksudkan sebagai suatu harapan agar
mereka terhindar dari bencana dan berhasil dalam usaha berburu di hutan.
Temuan lukisan dinding gua terdapat pada beberapa situs di Sulawesi Selatan,
seperti pada gua-gua di daerah Maros-Pangkep, Bonto Cani (Bone), Buttu Pasui

3
(Enrekang) dan gua-gua di sekitar Danau Towuti (Luwu Timur). Terdapat juga
motif garis-garis hitam, ikan dan bentuk perahu sederhana.
Mata panah bergerigi di Maros-Pangkep

Lukisan cap tangan di Gua Cammingkana dan Sakapao

3. Zaman Bercocok Tanam (Neolitik)


Zaman Neolitik adalah masa dimana terjadi perubahan budaya manusia
secara mendasar, yaitu dari kehidupan mengumpulkan makanan yang tersedia
secara alami (food gathering) ke budaya memproduksi makanan (food producting).
Pada masa ini manusia sudah mulai hidup menetap dan membentuk
perkampungan, serta bercocok tanam dan berternak. Manusia pendukung di
Sulawesi Selatan adalah bangsa Austronesia sekitar 2000 SM. Ada beberapa
situs budaya zaman Neolitik di Sulawesi seperti situs Kamasi, Minanga Sipakka
(Kalumpang, Sulbar), situs Mallawa dan situs Tallasa (Maros) dan situs gua Buttu

4
Banua (Enrekang). Mereka juga mulai membuat pakaian dari kulit kayu dan
perhiasan dari tanah liat, batu, kerang dan biji-bijian. Hasil budaya yang penting
adalah beliung persegi, kapak lonjong, tembikar, batu ike (alat pumukul kulit kayu
untuk dibuat pakaian), batu asah, batu pelandas dan pahat batu. Tanaman yang
dibudidayakan adalah keladi, ubi, sukun, pisang, sagu, dan memelihara babi dan
anjing.
Beliung persegi dari situs Mallawa (Maros)

4. Zaman Logam atau Perundagian (Paleometalik)


Zaman Paleometalik adalah masa berkembangnya ilmu pertukangan dan
perbintangan. Ciri khas masa ini adalah dikenalnya teknologi pencampuran,
peleburan dan penempaan logam. Hal ini memicu meningkatnya sistem pertanian
yang lebih maju dan meningkatkan pula produksi, pembuatan rumah panggung
yang lebih besar, pelayaran dengan perahu besar, membuat kubur-kubur batu
yang dipahat pada batu, menhir yang besar dan ditata untuk upacara keagamaan
dan berbagai alat rumah tangga dan senjata dari logam (perunggu dan besi),
nekara, kapak corong dan bejana dari prunggu. Ditemukan pula jenis-jenis
perhiasan seperti gelang, cincin, benda gantungan kalung (bandul) dan anting-
anting yang dibuat dari perunggu. Temuan benda-benda perunggu lainnya, seperti
alat keperluan rumah tangga sehari-hari (piring, ceret, mangkok, cangkir dan
sendok), alat-alat senjata (pisau, parang, mata tombak dan panah), alat-alat
perhiasan (gelang, binggal, kalung, anting-anting dan cincin), patung-patung

5
perunggu dan lain-lain. Zaman ini berlangsung sekitar 500 SM hingga 1000
Masehi.
Kapak Corong dari Makassar, tinggi 50 cm

Nekara Perunggu di Selayar

5. Tradisi Megalitik

Kebudayaan Megalitik mulai dikenal pada sekitar 1000 SM hingga zaman


sejarah, adalah suatu corak budaya yang berlandaskan kepada sistem
kepercayaan, yaitu adanya kepercayaan yang meyakini bahwa arwah leluhur akan
memberikan keselamatan dan kesejahteraan kepada manusia di dunia. Olehnya
itu, maka harus selalu mengadakan berbagai ritual pemujaan kepada arwah
leluhur dengan membuat monument-monumen dari batu, seperti menhir, teras
berundak, lumpang batu, batu dakon, dolmen, altar batu, patung batu, kubur batu

6
dan berbagai medium lainnya. Kematian seorang tokoh masyarakat diperlakukan
sedemikian rupa, seperti upacara kematian yang besar dan megah, pembuatan
kubur yang bagus dan monumental, seperti kalamba, sarkopagus, peti batu, liang
pahat, keranda dari kayu yang berukir menyerupai bentuk perahu (Erong, Duni,
Allung). Hampir seluruh daerah di Sulawesi Selatan dijumpai adanya tinggalan
dan tradisi budaya megalitik dalam berbagai bentuk dan corak.

C. Zaman Sejarah

1. Zaman Pra Islam (awal masehi - abad ke-15 M)


a. Terbentuknya komunitas (Wanua, Tongkonan, Gallarang)
b. Tomanurung - Kerajaan

2. Zaman Islam (sejak abad ke-16 M)

3. Zaman Kolonial (sejak abad ke-17 M)


a. VOC
b. Pemerintah Hindia Belanda
c. Inggris
d. Jepang.

D. Penutup : Austronesia Nenek Moyang Kita

Untuk mendapat ide akan tanah air dari bangsa Austronesia, cendekiawan
menyelidiki bukti dari arkeologi dan ilmu genetika. Penelaahan dari ilmu genetika
memberikan hasil yang bertentangan. Beberapa peneliti menemukan bukti bahwa
tanah air bangsa Austronesia purba berada pada benua Asia. (seperti Melton dkk.,
1998), sedangkan yang lainnya mengikuti penelitian linguistik yang menyatakan
bangsa Austronesia pada awalnya bermukim di Taiwan. Dari sudut pandang ilmu
sejarah bahasa, bangsa Austronesia berasal dari Taiwan karena pada pulau ini

7
dapat ditemukan pembagian terdalam bahasa-bahasa Austronesia dari rumpun
bahasa Formosa asli. Bahasa-bahasa Formosa membentuk sembilan dari sepuluh
cabang pada rumpun bahasa Austronesia [3]. Comrie (2001:28) menemukan hal ini
ketika ia menulis:

Bahasa-bahasa Formosa lebih beragam satu dengan yang lainnya


dibandingkan seluruh bahasa-bahasa Austronesia digabung menjadi satu
sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa terjadi perpecahan genetik dalam
rumpun bahasa Austronesia di antara bahasa-bahasa Taiwan dan sisanya.
Memang genetik bahasa di Taiwan sangatlah beragam sehingga mungkin saja
bahasa-bahasa itu terdiri dari beberapa cabang utama dari rumpun bahasa
Austronesia secara kesuluruhan.

Setidaknya sejak Sapir (1968), ahli bahasa telah menerima bahwa


kronologi dari penyebaran sebuah keluarga bahasa dapat ditelusuri dari area
dengan keberagaman bahasa yang besar ke area dengan keberagaman bahasa
yang kecil. Walau beberapa cendekiawan menduga bahwa jumlah dari cabang-
cabang di antara bahasa-bahasa Taiwan mungkin lebih sedikit dari perkiraan Blust
sebesar 9 (seperti Li 2006), hanya ada sedikit perdebatan di antara para ahli
bahasa dengan analisis dari keberagaman dan kesimpulan yang ditarik tentang
asal dan arah dari migrasi rumpun bahasa Austronesia.

Bukti dari ilmu arkeologi menyarankan bahwa bangsa Austronesia


bermukim di Taiwan sekitar delapan ribu tahun yang lalu . Dari pulau ini para
pelaut bermigrasi ke Filipina, Indonesia, kemudian ke Madagaskar dekat benua
Afrika dan ke seluruh Samudra Pasifik, mungkin dalam beberapa tahap, ke
seluruh bagian yang sekarang diliputi oleh bahasa-bahasa Austronesia. Bukti dari
ilmu sejarah bahasa menyarankan bahwa migrasi ini bermula sekitar enam ribu
tahun yang lalu. Namun, bukti dari ilmu sejarah bahasa tidak dapat menjembatani
celah antara dua periode ini. Analisis kebahasaan dari bahasa Austronesia purba
berhenti pada pesisir barat Taiwan. Bahasa-bahasa Austronesia yang pernah

8
dituturkan di daratan Cina tidak bertahan. Satu-satunya pengecualian, bahasa
Chamic, adalah migrasi yang baru terjadi setelah penyebaran bangsa Austronesia.

DAFTAR RUJUKAN
Bernadeta, E,K.W. 1999. Bentuk-Bentuk Wadah Kubur Kayu di Sulawesi Selatan
dan Tenggara. Dalam WalennaE, No. 3, hlm. 79-86. Makassar:
Balai Arkeologi Makassar.
Bougas, W. A. 1996. Bantayan, Kerajaan Makassar Awal. Ujung Pandang.

Bulbeck, D., dan Caldwell, I. 2000. Land Of Iron, The Historical Archaeology of
Luwu and the Cenrana Valley. Centre for South-East Asian
Studies University of Hull and School of Archaeology and
Anthropology Australian Nation University.

9
Buijs, K. 2009. Kuasa Berkat Dari Belantara dan Langit, Struktur dan Transformasi
Agama Orang Toraja di Mamasa Sulawesi Barat. Makassar:
Ininnawa.
Chia, S., Duli, A., dan Husni, M. 2010. Erong, Keranda Bangsawan Toraja. Dalam
Jurnal Lensa Budaya, Vol. 5, No. 2, hlm. 1-21. Makassar:
Fakultas Sastra, Universitas Hasanuddin.
Duli, A. 1996. Bentuk dan Fungsi Batu Temu Gelang di Sulawesi Selatan: Suatu
Studi Etnoarkeologi. Dibawakan pada Pertemuan Ilmiah Arkeologi
VII, pada tanggal 6-11 Maret 1996, di Cipanas, Jawa Barat.
_______ 1999. Bentuk-Bentuk Kubur dalam Sistem Penguburan Orang Toraja,
Suatu Studi Etnoarkeologi. Dibawakan pada Kongres dan
Pertemuan Ilmiah Arkeologi VIII, di Yogyakarta, 15-18 Februari
1999
________ 2001. Peninggalan Megalitik Pada Situs Sillanan di Kabupaten Tana
Toraja, Provinsi Sulawesi Selatan, Suatu Rekonstruksi
Masyarakat Megalitik Berdasarkan Studi Etnoarkeologi. Tesis
Magister. Jakarta: Universitas Indonesia.
Duli, A. 2010. Peranan Keranda Erong Dalam Sistem Penguburan Masyarakat
Toraja. Dibawakan pada Seminar Internasional, dalam Rangka
Dies Natalis Fakultas Sastra, Universitas Hasanuddin, tanggal 8-9
Disember 2010, di Makassar.

Duli, A. 2011a. Keranda Erong Dalam Sistem Penguburan Akhir Jaman


Prasejarah di Sulawesi Selatan. Dalam Jurnal Lensa Budaya, Vol.
6, N0.2. Edisi Agos 2011.

Duli, A. 2011b. Keranda Duni Sebagai Simbolisasi Perahu Arwah Masyarakat


Enrekang Jaman Prasejarah. Dalam Jurnal Lensa Budaya, Vol. 6,
No. 3. Edisi Disember 2011.

Duli, A. 2011c. Kajian Bentuk-Bentuk Keranda Kayu di Mamasa, Sulawesi Barat.


Dalam Jurnal WalannaE, Vol. 13, No. 2. Edisi Jun 2011.

Duli, A. 2011d. Peranan Situs Liang Dalam Sistem Pemukiman Masyarakat Toraja.
Dalam Jurnal WalannaE, Vol. 13, No. 2. Edisi Jun 2011.
Duli, Akin dan Hasanuddin (ed). 2003. Toraja Dulu dan Kini. Makassar: Pustaka
Refleksi.
Dyson, L., dan Asharini, M. 1980/1981. Tiwah Upacara Kematian pada
Masyarakat Dayak Ngaju di Kalimantan Tengah. Jakarta: Proyek
Media Kebudayaan Ditjen Kebudayaan Depdikbud.

10
Ellen, R. F. 1978. Nualu Settlement and Ecology, Dalam VKI, 83. Gravenhage:
The Hague-Martinus Nijhoff.
Endang, S. H. 1996-1997. Laporan Penelitian Arkeologi Arca Terrakota
Kabupaten Bantaeng. Provinsi Sulawesi Selatan. Depdikbud,
Balai Arkeologi Makassar.
Heekeren, H. R. van. 1972. The Stone Age of Indonesia. 2nd ed. Gravenhage: The
Hague- Martinus Nijhoff.
Kana, N. L. 1983. Dunia Orang Sewu. Jakarta: Sinar Harapan.
King, V. W. 1985. The Maloh of West Kalimantan. Dalam VKI, 108. Dordeesh-
Cinnaminson: Foris Publications.
Kirby, E, T. 1983. Mask. Dalam Grolier Academic Encyclopedia, 13. Grolier
International, hlm. 196.
Koentjaraningrat. 1958. Ritus Peralihan di Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Koentjaraningrat dan Harsja W. Bachtiar. 1963. (Ed). Penduduk Irian Barat.
Djakarta: Penerbit Universitas.
Kruyt, A. C. 1923. De Toradja’s van de Sa’dan, Massoeppoe en mamasa. Dalam
Bijdragen tot de Taal – Land-en Volkenkunde van Nederlandsch
Indie. LXIII, hlm. 81 – 259. Amsterdam: ‘s Gravenhange.
Macknight. C. C. 1993. The Rise of Agriculture in South Sulawesi Before 1600.
Maria, E.I. 1993. Sistem Pemakaman Masyarakat Kampung Bayoa, Tallo. Skripsi
Sarjana. Fakultas Sastra, Universitas Hasanuddin, Makassar.
Nooy-Palm, H. 1979. The Sa’dan Toraja, A Study of Their Social Life and Religion.
Vol.1: Organisation, Syimbols and Beliefs. KITLV, Verhandelingen,
87. The Hague: Nijhoff.
Notohaminoto, G., dkk. 1978. Laporan Ekskavasi Gunung Piring (Lombok Selatan).
Dalam Berita Penelitian Arkeologi, No.17. Jakarta: Pusat
Penelitian Arkeolgi Nasional.
Pelras, C. 1972. Sulawesi Selatan Sebelum Datangnya Islam Berdasarkan
Kesaksian Bangsa Asiang. Dalam Citra Masyarakat Indonesia,
hlm. 56-83. Jakarta: Sinar Harapan.
__________ 1996. The Bugis, A Socio-Cultural History. Oxford: Blackwell
Publishers Ltd.
Soejono, R. P. 1977. Sistem-Sistem Penguburan Pada Akhir Masa Prasejarah di
Bali. Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi
Nasional.

11
Soelarto, B. 1980. Pustaka Budaya Sumba, Jilid II. Jakarta: Proyek
Pengembangan Media Kebudayaan Ditjen Kebudayaan
Depdikbud.
Somba, N. 1999. Sistem Penguburan Wadah Kayu di Sulawesi Selatan. Dalam
Jurnal Arkeologi WalennaE, No. 3, hlm. 73 – 78. Makassar: Balai
Arkeologi Makassar.
Sukendar, H. 1977. Tinjauan Tentang Peninggalan Megalitik di Daerah Sulawesi
Tengah. Dalam PIA I. Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi
Nasional.
Sukendar, H., et. al. 1982. Laporan Survei Pandeglang dan Ekskavasi Anyar,
Jawa Barat. BPA, No. 28.
Sukendar, H., dan Rokus, D. A. 1981. Laporan Penelitian Terian dan Pelawangan,
Jawa Tengah. BPA, No. 27.
Tangdilintin, L. T. 1980. Toraja dan Kebudayaannya, Cetakan IV. Tana Toraja:
Yayasan Lepongan Bulan.
Tangdilintin, L. T. 1981. Upacara Pemakaman Adat Toraja. Tana Toraja: Yayasan
Lepongan Bulan.
Tjandrdasarmita, U. 1972. Les Fouilles et L’Historie A Celebes Sud. Dalam
Archipel 3. Paris.

12

Anda mungkin juga menyukai