Anda di halaman 1dari 4

Kelompok 3

Kebudayaan Sampung

Bone Culture

Pada zaman Mesolitikum, manusia purba yang hidup di gua-gua menggunakan alat
sehari-hari dari tulang belulang. Cara hidup itu disebut bone culture atau kebudayaan tulang.
Awalnya, bone culture berasal dari Vietnam dan annam (kini Vietnam wilayah Tengah) dan
ikut tersebar ke Indonesia. Ia menemukan alat tulang dan tanduk pertama kali di Gua Lawa,
Sampung, Ponorogo, Jawa Timur. Alat-alat Mesolitikum yang ditemukan seperti mata panah
dan flake, batu-batu penggiling, dan alat-alat dari tulang dan tanduk. Karena Sebagian besar
alat-alat ditemukan di daerah Sampung, maka bone culture di Indonesia disebut kebudayaan
tulang Sampung hingga saat ini.
Alat-alat untuk bertahan hidup, alat pemukul kulit kayu, sering juga disebut batu ike.
Kegunaan dipakai untuk membuat pakaian dari kulit kayu. Ditemukan di Kalimantan dan
Sulawesi Tengah. Flakes, bisa di katakana juga sebagai pisau zamannya orang batu, yang
terbuat dari batu Chalcedon yang berguna untuk mengupas makanan dan sebagai ujung dari
alat berburu Binatang serta mengumpulkan umbi-umbian. Kapak persegi untuk bercocok
tanam (cangkul), tarah atau tatah. Ditemukan di Kepulauan Indonesia bagian barat, seperti
Sumatra, Jawa dan Bali. Kapak lonjong untuk memotong makanan, perkakas, bercocok tanam.
Ditemukan di Kepulauan Indonesia bagian Timur, misalnya di daerah Papua, Seram, Minahasa.
Kapak genggam untuk menusuk Binatang atau menggali tanah saat mencari umbi-umbian.
Ditemukan di Pacitan.

Budaya Kunda

Kebudayaan kunda, yang berasal dari kebudayaan Swiderian, terdiri dari komunitas
pemburu pengumpul mesolitik di zona hutan Baltik yang membentang kea rah timur melalui
Latvia hingga Rusia utara, berasal dari periode 8500-5000 SM menurut penanggalan
radiocarbon yang dikalibrasi. Nama kota ini diambil dari nama kota Kunda di Estonia, sekitar
110 kilometer (70 mil) sebelah timur Tallinn di sepanjang Teluk Filandia, dekat tempat
ditemukannya pemukiman pertama yang dipelajari secara ekstensif di Bukit Lammasmae dan
di sekitar rawa gambut. Pemukiman budaya Kunda tertua yang diketahui di Estonia adalah
Pulli. Kebudayaan Kunda digantikan oleh kebudayaan Narva, yang menggunakan tembikar
dan menunjukkan beberapa jejak produksi pangan.

Himpunan Artefak dari Gua Lawa

Himpunan artefak dari Gua Lawa hasil penggalian van Stein Callenfels 1928-1931.
Tembikar dengan motif tera-tali, mata panah berdasarkan cembung, beberapa jarum dan
penusuk, serta belati dari rangga Rusa. Alat tulang, perhiasan dari cangkang serta mata panah
berdasarkan cembung dan bersayap diilustrasikan tersebar di seluruh lapisan loess. Menurut
van Heekeren (1972, 94), himpunan alat tulang disebutkan berada di antara dua lapisan yang
jelas-jelas mengandung unsur budaya Neolitik.

Himpunan Alat Tulang (Sampung Bone Industry)

Sampung Bone Industry (Heekeren 1972, 92) memanfaatkan elemen keras dari hewan
seperti tulang, rangga, dan gigi. Elemen keras tersebut Sebagian besar berasal dari Binatang
buruan berukuran sedang-besar (game-hunting), terutama dari ordo Artiodactyla seperti famili
Bovidae dan Cervidae. Alat tulang umumnya berasal dari elemen tulang panjang atau pipih
yang dimodifikasi sehingga membentuk tipe spatula, sudip serta penusuk/lancipan. Elemen
rangga Cervidae secara eklusif dimanfaatkan sebagai bahan baku belati (dagger) yang masih
menyisihkan sedikit bagian coronet/burr pada sisi proksimalnya, sedangkan modifikasi pada
gigi yang pernah dilaporkan yaitu lubang pada bagian akar gigi sebagai ornament tubuh
(Dammerman 1934, 479).
a. Penusuk
Penusuk dibuat dari tulang panjang Binatang besar. Bagian pangkal atau ujungnya
dipangkas dan dibentuk meruncing.
b. Lancipan
Lancipan berukuran relative lebih kecil dari penusuk, baik panjang maupun lebarnya.
Alat ini dibuat dari tulang panjang yang dibelah dan bagian unjungnya dibentuk
meruncing melalui pangkasan dari arah samping.
c. Spatula
Tipe spatula atau sendok merupakan temuan yang paling menonjol dalam himpunan
alat tulang di Gua Lawa.
d. Belati
Istilah tipe alat ini mengikuti pemerian oleh Callenfels (1932, 328) yang kemudian
diadopsi oleh Heekeren (1972, 94) dan Soejono (1992, I:147) untuk mendifinisikan
elemen rangga Cervidae yang salah satu ujungnya dipangkas, kemungkinan untuk alat
menggali.
Hasil kebudayaan yang ditemukan di Gua Lawa tersebut adalah alat-alat dari batu,
seperti mata panah, karena Sebagian besar alat-alat yang ditemukan di Sampung berupa alat-
alat dari tulang, maka disebut dengan kebudayaan tulang sampung (Sampung Bone Culture).
Bone Culture adalah budaya manusia purba zaman Mesolitikum yang hidup di gua-gua untuk
menggunakan alat sehari-hari dari tulang. Nama sampung bone culture berasal dari penemuan
Callenfels di Gua Lawa di Jawa Timur yang Sebagian besar merupakan peralatan dari tulang.
Von Stein Callenfels merupakan peneliti pertama di Gua Lawa, dekat Sampung,
Ponorogo, Jawa Timur pada 1928-1931. Ia saat itu menemukan alat-alat dari batu, seperti
unung panang dan flake, batu-batu penggolingan, kapak yang sudah diasah, alat-alat dari
tulang, dan tanduk rusa.
Peninggalan zaman Mesolitikum yang sangat terkenal adalah adanya kebudayaan
kjokkenmoddinger dan berkembangnya abris sous roche.
1. Kjokkenmoddinger
Kjokkenmoddinger berasal dari kata bahasa Denmark kjokken yang artinya dapur dan
modding yang artinya sampah. Dengan kata lain, kjokkenmoddinger adalah sampah
dapur atau sampah makanan dari manusia purba di zaman Mesolitikum.
Kjokkenmoddinger merupakan timbunan kulit siput dan kerrang yang menggunung.
Manusia purba zaman Mesolitikum saat itu tinggal di tepi Pantai dengan rumah-rumah
bertonggak. Manusia purba saat itu hidup dari makan siput dan kerrang. Setelah isinya
diambil untuk dimakan, kulitnya dibuang begitu saja, sehingga dalam waktu lama
menjadi bukit kulit kerang. Kjokkenmoddinger ditemukan di depan Pantai Sumatra
Timur Laut, di antara Langsa di Aceh dan Medan di Sumatra Utara.
2. Pebble
Pebble atau Kapak Sumatra ditemukan dari penelitian ahli arkeologi Pieter Vincent van
Stein Callenfels pada tahun 1925. Saat itu, Callenfels menemukan kapak yang berbeda
dengan chopper, yaitu kapak genggam dari zaman Paleolitikum. Pebble culture banyak
ditemukan di Sumatra Utara.
3. Batu Pipisan
Batu pipisan adalah batu bata penggiling beserta landasannya yang di zaman kini akan
berfungsi mirip cobek. Batu pipisan berguna untuk menggiling makanan dan
menghaluskan pewarna atau cat merah. Cat tersebut diduga digunakan untuk kegiatan
yang terkait kepercayaan. Pipisan ditemukan di Sumatra Utara, Sampung di Ponorogo,
Gua Prajekan Besuki di Jawa Timur, dan Bukit Remis Aceh.
4. Abris Sous Roche
Kebudayaan ini adalah kebudayaan manusia purba yang tinggal di gua-gua. Manusia
purba zaman Mesolitikum juga tinggal di gua yang tersebar di berbagai tempat di
Indonesia. Karena dijadikan tempat tinggal, gua seolah-olah menjadi perkampungan
manusia purba yang meninggalkan jejak-jejak kebudayaan. Kebudayaan manusia purba
zaman Mesolitikum yang tinggal di gua-gua menciptakan kebudayaan-kebudayaan
baru, yaitu kebudayaan tulang atau bone culture dan kebudayaan Toala.
5. Kebudayaan Toala
Kebudayaan Toala adalah kebudayaan suku bangsa Toala yang mendiami gua-gua di
Lamocong, Sulawesi Selatan hingga akhir abad ke-19. Kebudayaan Toala
meninggalkan flake, alat-alat dari tulang, dan serpih bilah. Ujung serpih yang runcing
dapat menjadi alat penusuk untuk melubangi benda, seperti kulit. Salah satu ciri khas
kebudayaan Toala adalah lukisan-lukisan di gua-gua tempat tinggal warga suku Toala,
seperti cap tangan dan lukisan babi hutan yang dicat. Peninggalan lukisan kebudayaan
Toala masih dapat dilihat di Maros, Sulawesi Selatan.

Anda mungkin juga menyukai