Anda di halaman 1dari 8

`

NAMA KELOMPOK :
1. ELLY MARTA JESICA
2. FITRA YENI
3. INDAH STEYFI BAKARA
4. FAIZA SALSABILA

SEJARAH KEBUDAYAAN MELAYU RIAU


Menurut versi sejarah, pada masa silam kota ini hanya berupa dusun kecil yang
dikenal dengan sebutan Dusun Senapelan, yang dikepalai oleh seorang Batin
(kepala dusun). Dalam perkembangannya, Dusun Senapelan berpindah ke tempat
pemukiman baru yang kemudian disebut Dusun Payung Sekaki, yang terletak di
tepi Muara Sungai Siak. Perkembangan Dusun Senapelan ini erat kaitannya dengan
perkembangan Kerajaan Siak Sri Indrapura. Pada masa itu, raja Siak Sri Indrapura
yang keempat, Sultan Abdul Jalil Alamuddin Syah, bergelar Tengku Alam (1766-
1780 M.), menetap di Senapelan, yang kemudian membangun istananya di
Kampung Bukit berdekatan dengan Dusun Senapelan (di sekitar Mesjid Raya
Pekanbaru sekarang). Tidak berapa lama menetap di sana, Sultan Abdul Jalil
Alamudin Syah kemudian membangun sebuah pekan (pasar) di Senapelan, tetapi
pekan itu tidak berkembang. Usaha yang telah dirintisnya tersebut kemudian
dilanjutkan oleh putranya, Raja Muda Muhammad Ali di tempat baru yaitu di
sekitar pelabuhan sekarang.

Selanjutnya, pada hari Selasa tanggal 21 Rajab 1204 H atau tanggal 23 Juni 1784
M., berdasarkan musyawarah datuk-datuk empat suku (Pesisir, Lima Puluh, Tanah
Datar dan Kampar), negeri Senapelan diganti namanya menjadi Pekan Baharu.
Sejak saat itu, setiap tanggal 23 Juni ditetapkan sebagai hari jadi Kota Pekanbaru.
Mulai saat itu pula, sebutan Senapelan sudah ditinggalkan dan mulai populer
dengan sebutan Pekan Baharu. Sejalan dengan perkembangannya, kini Pekan
Baharu lebih populer disebut dengan sebutan Kota Pekanbaru, dan oleh pemerintah
daerah ditetapkan sebagai ibukota Provinsi Riau.

Jauh sebelum Sultan Abdul Djalil Alamuddin Syah, putra Sultan Abdul Djalil
Rahmat Syah memindahkan pusat pemerintahan Kerajaan Siak dari Sungai
Mempura ke Senapelan pada 1763 Masehi, Petapahan dan Teratak Buluh juga
menjadi pusat perdagangan yang cukup ramai pada saat itu. Kedua daerah ini
tempat berkumpulnya para pedagang dari pedalaman Sumatera membawa hasil
pertanian, hasil hutan, dan hasil tambang.

Oleh para pedagang, hasil pertanian, hasil hutan dan hasil tambang tersebut mereka
bawa ke Singapura dan Malaka mengunakan perahu. Untuk jalur perdagangan
Sungai Kampar, pusat perdagangannya terletak di Teratak Buluh. Sedangkan pusat
perdagangan jalur Sungai Siak terletak di Petapahan. Perdagangan jalur Sungai
Kampar kondisinya kurang aman, perahu pedagang sering hancur dan karam
dihantam gelombang (Bono) di Kuala Kampar dan sering juga terjadi perampokan
yang dilakukan oleh para lanun. Sedangkan Sungai Siak termasuk jalur
perdagangan yang cukup aman.

Senapelan ketika itu hanya sebuah dusun kecil yang letaknya di kuala Sungai
Pelan, hanya dihuni oleh dua atau tiga buah rumah saja (sekarang tepatnya di
bawah Jembatan Siak I). Pada saat itu di sepanjang Sungai Siak, mulai dari Kuala
Tapung sampai ke Kuala Sungai Siak (Sungai Apit) sudah ada kehidupan, hanya
pada saat itu rumah-rumah penduduk jaraknya sangat berjauhan dari satu rumah ke
rumah lainnya. Ketika itu belum ada tradisi dan kebudayaan, yang ada hanya
bahasa, sebagai alat komunikasi bagi orang-orang yang tinggal di pinggir Sungai
Siak.

Bahasa sehari-hari yang mereka pakai adalah bahasa Siak, bahasa Gasib, bahasa
Perawang dan bahasa Tapung, karena orang-orang inilah yang lalu-lalang melintasi
Sungai Siak. Pada saat itu pengaruh bahasa Minang, bahasa Pangkalan Kota Baru
dan bahasa Kampar belum masuk ke dalam bahasa orang-orang yang hidup di
sepanjang Sungai Siak.

Setelah Sultan Abdul Djalil Alamuddin Syah memindahkan pusat pemerintahan


Kerajaan Siak dari Sungai Mempura ke Senapelan, pembesar-pembesar kerajaan
serta orang-orang dalam kerajaan serta keluarganya ikut pindah ke Senapelan. Dan
pada saat itulah tradisi serta budaya, bahasa sehari-hari terbawa pindah ke
Senapelan.
Di Senapelan, sultan membangun istana (istana tersebut tidak terlihat lagi karena
terbuat dari kayu). Sultan juga membangun masjid, masjid tersebut berukuran
kecil, terbuat dari kayu, makanya masjid tersebut tidak bisa kita lihat lagi sekarang
ini. Dari dasar masjid inilah menjadi cikal bakal Masjid Raya Pekanbaru di Pasar
Bawah sekarang ini.

Sultan juga membangun jalan raya tembus dari Senapelan ke Teratak Buluh.
Sultan Abdul Djalil Alamuddin Syah membangun pasar, yang aktivitasnya hanya
sepekan sekali. Belum sempat Senapelan berkembang, Sultan Abdul Djalil
Alamuddin Syah wafat pada 1765 masehi dan dimakamkan di samping Masjid
Raya Pekanbaru, sekarang dengan gelar Marhum Bukit.

Pasar pekan dilanjutkan oleh putranya Raja Muda Muhammad Ali yang dibantu
oleh ponakannya Said Ali (Anak Said Usman). Di masa Raja Muda Muhammad
Ali inilah Senapelan mengalami kemajuan yang sangat pesat. Pasar yang dibangun
yang pelaksanaannya hanya sekali sepekan melahirkan kata Pekanbaru. Pekan
(berarti pasar sekali sepekan). Baru (baru dibangun saat itu). Saat itulah nama
Senapelan lama kelamaan semakin menghilang, orang lebih banyak menyebut
Pekanbaru.

Setelah Pekanbaru menjadi ramai maka muncullah para pendatang dari pelosok
negeri mulai dari Minang Kabau, Pangkalan Kota baru, Kampar, Taluk Kuantan,
Pasir Pengaraian, dan lain-lain. Awalnya mereka berdagang, lama kelamaan
mereka menetap. Dengan menetapnya para pedagang tersebut di Pekanbaru lalu
mereka melahirkan generasi (anak, cucu, cicit). Anak, cucu, dan cicit tersebut
menjadi orang Pekanbaru. Masing-masing pedagang yang datang dan menetap di
Pekanbaru membawa bahasa serta tradisi dari asal daerah mereka masing-masing.
Lalu mereka wariskan kepada anak cucu dan cicit mereka. Dari situlah mulai
kaburnya bahasa, tradisi asli Pekanbaru yang berasal dari Kerajaan Siak.

Kalau ingin tahu lebih jelas lagi mengenai sejarah, bahasa serta tradisi asli
Pekanbaru, tanyakan kepada orang-orang Pekanbaru yang nenek moyang mereka
berasal dari Siak, atau nenek moyang mereka orang-orang yang hidup di dalam
lingkungan Kerajaan Siak. Mustahil para pedagang yang datang dan menetap di
Pekanbaru menceritakan kepada anak cucu mereka tentang sejarah dan tradisi
Pekanbaru.

Yang pasti mereka tanamkan ke dalam pikiran anak cucu mereka bagaimana cara
berdagang yang baik dan sukses. Dalam hal ini peran Lembaga Adat Kota
Pekanbaru sangat penting sekali, untuk meluruskan dan menjelaskan sejarah dan
tradisi asli Pekanbaru. Maka dari itu pengurus Lembaga Adat Kota Pekanbaru mau
tak mau harus tahu sejarah serta adat istiadat asli Pekanbaru. Karena Lembaga
Adat tempat orang minta petunjuk, minta pendapat dan minta petuah.

SEJARAH ASAL USUL SUKU MELAYU RIAU

Kedatangan kedua terjadi pada tahun 1.500 SM dan gelombang kedatangan ketiga
sekitar tahun 300 SM. Suku Melayu Riau adalah salah satu keturunan para migran
dari daratan Asia tersebut.

Dalam sejarah kebudayaannya mereka juga telah mengalami beberapa pengaruh


peradaban, seperti Hindu, Islam, dan juga peradaban Cina dan Barat (Belanda,
Inggris dan Portugis).

Pada abad-abad yang dulu mereka sempat mempunyai beberapa kerajaan, seperti
Kesultanan Bintan atau Tumasik, Kandis atau Kuantan, Gasib atau Siak, Kriteng
atau Inderagin, Lingga, Malaka, Rokan, Siak Sri Inderapura, Kampar, Pelalawan
dan Singingi

Pada masa sekarang Populasi mereka di perkirakan berjumlah sekitar 1 juta jiwa,
tersebar terutama di Provinsi Riau maupun kepulauannya dan disekitar daerah
aliran sungai-sungai besar di daratan Sumatera bagian Timur.

Bahasa Suku Melayu Riau


Bahasa Melayu ini tidak jauh berbeda dengan bahasa Indonesia sekarang, malah
dianggap sebagai salah satu dasar bahasa Indonesia.

Di sebut juga bahasa Melayu Tinggi, karena awalnya digunakan sebagai bahasa
sastra oleh masyarakat Indonesia pada akhir abad yang lalu.

Sebelum mengenal tulisan latin, masyarakat ini menuliskan gagasan mereka dalam
tulisan arab-melayu atau arab gundul.

Mata Pencaharian Suku Melayu Riau


Orang Melayu di Riau ini amat sedikit yang bertanam padi di sawah, karena
keadaan alamnya yang tidak memungkinkan untuk itu, namun sebagian kecil ada
juga yang berladang.

Pada masa dulu mungkin mereka lebih mengandalkan mata pencaharian mengolah
sagu, mengumpulkan hasil hutan, menangkap ikan, berladang dan berdagang.

Tanaman mereka biasanya padi ladang, ubi, sayuran dan buah-buahan. Kemudian
mereka juga menanam tanaman keras yang sempat melambung harganya yaitu
karet.
Sebagai masyarakat yang berdiam di wilayah perairan mereka juga banyak
mengembangkan alat transportasi di laut, seperti lancang (perahu layar dua tiang
dengan sebuah pondok di atasnya), penjajab (kapal kayu penjelajah), jung (perahu
layar kecil), sampan balang (perahu layar kecil untuk menangkap ikan).

Untuk di sungai mereka menggunakan sampan kolek, sampan kotak dan belukang,
ketiganya tergolong perahu lesung yang ramping bentuknya. Kemudian ada pula
yang disebut perahu jalur, yaitu perahu panjang yang digunakan untuk berlomba di
sungai.

Masyarakat Melayu Riau


Setiap keluarga inti berdiam di rumah sendiri, kecuali pasangan baru yang
biasanya lebih suka menumpang di rumah pihak isteri sampai mereka punya anak
pertama. Karena itu pola menetap mereka boleh dikatakan neolokal.

Keluarga inti yang mereka sebut kelamin umumnya mendirikan rumah di


lingkungan tempat tinggal pihak isteri. Prinsip garis keturunan atau kekerabatan
lebih cenderung parental atau bilateral.

Hubungan kekerabatan dilakukan dengan kata sapaan yang khas. Anak pertama
dipanggil long, anak kedua ngah, dibawahnya dipanggil cik, yang bungsu
dipanggil cu atau ucu.

Biasanya panggilan itu ditambah dengan menyebutkan ciri-ciri fisik orang yang
bersangkutan, misalnya cik itam jika cik itu orang hitam, ngah utih jika Ngah itu
orangnya putih, cu andak jika Ucu itu orangnya pendek, cik unggal jika si buyung
itu anak tunggal dan sebagainya.

Pada masa dulu orang Melayu juga hidup mengelompok menurut asal keturunan
yang mereka sebut suku. Kelompok keturunan ini memakai garis hubungan
kekerabatan yang patrilineal sufatnya.

Tetapi orang Melayu Riau yang tinggal di daratan Sumatera dan dekat dengan
Minangkabau sebagian menganut faham suku yang matrilineal.

Ada pula yang menyebut suku dengan hinduk (induk atau cikal bakal). Setiap suku
dipimpin oleh seorang penghulu. Kalau suku itu berdiam di sebuah kampung maka
penghulu langsung pula menjadi Datuk Penghulu Kampung (Kepala Kampung).
Setiap penghulu dibantu pula oleh beberapa tokoh seperti batin, jenang, tua-tua dan
monti. Di bidang keagamaan dikenal pemimpin seperti imam dan khotib.

Pelapisan sosial dalam kehidupan masyarakat Melayu Riau ini tidak lagi tajam
seperti di zaman kesultanan dulu. Walaupun begitu masih ada golongan-golongan
tertentu yang dianggap mempunyai ciri keturunan sendiri.

Misalnya golongan bangsawan yang terdiri dari keturunan sultan dan raja,
golongan datuk-datuk kepala suku, atau penghulu kepala kampung, kemudian ada
lagi golongan pemuka masyarakat yang disebut cerdik pandai, orang tua-tua,
golongan ulama dan orang-orang kaya.

Kesenian dan Budaya Suku Melayu Riau

Kesenian orang Melayu Riau kebanyakan bernafaskan budaya Islam. Disini


berkembang seni sastra keagamaan yang dinyanyikan pula dengan iringan musik
rebana, berdah, kerompang atau kompang dan sebagainya. Tari-tarian Melayu
pernah populer pada awal kemerdekaan Indonesia.

Di lingkungan masyarakat ini pernah pula lahir teater rakyat seperti mak yong, dul
muluk, dan mendu. Musik Melayu dianggap sebagai dasar dari perkembangan
musik dangdut yang populer sekarang.

Agama Suku Melayu Riau


Masyarakat Melayu Riau memeluk agama Islam sejak abad kesebelas Masehi.
Tetapi dalam masyarakat ini juga masih dapat di temui tokoh-tokoh yang
menguasai ilmu gaib dan keyakinan animistis yang di sebut bomo (dukun).

Mereka percaya bahwa ada makhluk-makhluk halus yang bisa berubah wujud
menjadi buaya putih, gajah memo, ular bidai, harimau tengkis dan lain-lain.

Anda mungkin juga menyukai