Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH

ALAT TRANSPORTASI SUNGAI KALIMANTAN SELATAN


DARI MASA KE MASA
Diajukan Untuk Memenuhi Mata Kuliah Sejarah Pelayaran Sungai
Dosen Pengampu :
Mansyur, S.Pd., M.Hum.
Daud Yahya, M.Pd.

Disusun Oleh :
M. Taufik Ridhani 2010111210017
Galuh Nur Syifa 2010111320002
Ahmad Parhani 2010111210010

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH


JURUSAN PRNDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT
2022
BAB I
PENDAHULUAN
Kesultanan Banjar merupakan kerajaan bercorak islam yang memiliki bandar
perdagangan yang paling ramai di Kalimantan. Lokasi Kesultana banjar yang terletak
ditengah-tengah pelabuhan besar di sulawesi, jawa, sumatera, semenanjung malaka dan
kepulauan Sulu ( Filipina ), serta melimpahnya komoditi lada sebagai primadona di pasaran
internasional yang telah membuat pelabuhannya ramai didatangi oleh pedagang asing.

Banjarmasin dengan julukannya sebagai “Kota Seribu Sungai” memiliki identitas


sebagai kota dagang nomor satu di Kalimantan karena komoditi ladanya yang sangat
melimpah. Letaknya di Muara Sungai Kuin, perbatasan Sungai Barito yang merupakan pintu
masuk ke Pulau Kalimantan. Suatu bandar perdagangan tidaklah mungkin berdiri sendiri,
dalam artian tidak terikat pada pemerintahan manapun karena sangat menguntungkan jika
dimiliki dan dipelihara, apalagi pelabuhan Banjarmasin ini sangatlah ramai.

Kerajaan yang waktu itu memiliki dan mengembangkan Banjarmasin sebagai kota
dagang ialah Kesultanan Banjar. Kesultanan Banjar adalah kerajaan yang awalnya bercorak
Hindu-Buddha dan kemudian di-Islamkan dibawah pengaruh Demak pada 1590. Sejak masuk
Islam, aktivitas perdagangannya menjadi lebih terpercaya dan ramai. Keramaian tersebut
bukan hanya karena pedagang-pedagangnya lebih mementingkan asas Islam dalam setiap
transaksinya, namun juga karena keberhasilan penaklukan Negara Daha yang menyebabkan
berpindahnya kuasa perdagangan dari Amuntai ke Banjarmasin. Perpindahan pelabuhan yang
semakin dekat dengan Laut ini semakin memudahkan aktivitas perdagangan. Pedagang asing
tidak perlu lagi berlayar jauh memasuki Pulau Kalimantan ketika si penyedia lada, sang
primadona di pasar Eropa, adalah sultan dan para bangsawan di Banjarmasin.

Selain lada, para pedagang Banjar juga memperdagangkan hasil hutan mereka yang
berupa rotan, damar, lilin, madu, dan kayu, serta hasil laut yang sudah diolah menjadi ikan
asin. Mereka juga menjual logam dan batu mulia, yakni emas dan intan. Sayangnya, untuk
kebutuhan pokok masyarakat Banjar, seperti beras dan garam masih mengandalkan impor
dari luar, dikarenakan tanah-tanah subur milik bangsawan lebih diprioritaskan untuk ditanami
lada yang selalu menjadi bahan buruan nomor satu oleh para pedagang asing. Lagipula,
kondisi tanah Kalimantan sangat sulit untuk dijadikan areal persawahan kecuali dengan
teknik-teknik khusus.

2
Pada paruh pertama abad ke-19, aktivitas perdagangan tersebut masih dikuasai oleh
para pedagang lokal meskipun bangsa kolonial pernah berusaha merebut dan menguasai
perdagangan Banjar. Sepeninggal pasukan belanda dari kesultanan pada 1809, perdagangan
menjadi sepi. Hilangnya penjagaan laut oleh pemerintah Hindia Belanda telah membuat laut
timur dan tenggara Kalimantan menjadi tidak aman akibat teror dari para bajak laut Sulu.
Keberadaan orang-orang Bugis tersebut tidak serta merta menghentikan pembajakan laut oleh
para pembajak laut Sulu. Maka dari itu, sultan secara sengaja mengundang Inggris datang ke
Banjarmasin. Pada 1812, permintaan sultan itu akhirnya dikabulkan.

Kemudian untuk pertama kalinya Inggris berhasil menempatkan residen untuk


Banjarmasin. Saat itu yang diangkat menjadi residen bagi Banjarmasin ialah Alexander Hare.
Ia membentuk sebuah pengadilan untuk menangani masalah-masalah yang timbul akibat
kurangnya keterampilan sultan dalam memerintah dan mengatur rakyatnya. Untuk urusan
perdagangan, minat Hare yang paling besar ialah pada perdagangan budak, terutama wanita.
Ia sangat tertarik untuk mengoleksi wanitawanita Indonesia yang beragam etniknya untuk
dijadikan selir. Selama ia menjabat di Banjarmasin, setidaknya ada 200 orang budak yang ia
terima dari kesultanan sebagai dalih membantu pembukaan lahan karesidenan Banjarmasin.
Masa karesidenan Hare berakhir saat diserahkannya Indonesia kembali pada Pemerintah
Hindia Belanda.

3
BAB II
PEMBAHASAN
A. Masa Kesultanan Banjar
Pada peta administratif Pulau Kalimantan yang dibuat pada masa kolonial, dapat
diketahui batasan-batasan wilayah Kesultanan Banjar, yaitu Laut Jawa disebelah selatannya,
dan Selat Makasar disebelah timurnya. Disebelah utaranya berbatasan dengan Kerajaan
Serawak, yang pada waktu itu merupakan wilayah jajahan Inggris, sehingga wilayahnya tak
dimasukkan kedalam peta kolonial tersebut. Di baratnya berbatasan dengan Kalimantan Barat
yang secara teritorial politik merupakan wilayah kekuasaan Kerajaan Sukadana.

Dikatakan bahwa kebesaran Kesultanan Banjar tersebut adalah faktor dari


perdagangan internasional yang dikuasainya, meski sebenarnya kerajaan-kerajaan lain di
sebelah barat dan utara Banjar memiliki keuntungan lebih dalam hal perdagangan
internasional, karena letaknya berada dalam rute Perdagangan Laut Cina Selatan. Kesultanan
Banjar memang tidak dilalui rute perdagangan internasional, namun pelabuhannya selalu
ramai karena memiliki rute strategisnya sendiri. Pulau Kalimantan terjepit diantara
pelabuhan-pelabuhan besar di Semenanjung Malaka, Sumatera, Jawa, Sulawesi, dan Kep.
Sulu (Filipina), yang menyebabkan pelabuhan di selatan Kalimantan (Banjarmasin) pasti
akan dikunjungi oleh orang-orang yang akan bepergian ke Barat atau Timur Indonesia.

Dulunya Pulau Kalimantan ini merupakan wilayah kekuasaan Kerajaan Majapahit


yang terkenal. Jadi tidak heran kalau Banjarmasin secara sengaja disinggahi oleh para turis
atau pedagang asing. Dengan penyokong ekonomi yang kuat seperti ini, tidak heran jika
kesultanan bisa berkembang menguasai hampir seluruh pulau. Secara astronomis, Pulau
Kalimantan dilewati oleh garis khatulistiwa, yang mengindikasikan bahwa pulau ini beriklim
tropis. Iklim ini menyebabkan hujan selalu turun sepanjang tahunnya, menjadikan hutan-
hutan di pulau ini tumbuh sangat subur, pohon-pohonnya sangat lebat dan besar. Hujan ini
pula lah yang telah membentuk sungai-sungai besar dan panjang di pulau ini. Sungai-sungai
tersebut tersebar rata diseluruh pulau dan menjadi alternatif utama bagi penduduk penghuni
pulau untuk bepergian kesana-kemari, menjangkau daerah-daerah pedalaman yang jalur
daratnya sulit dilalui karena tertutupi oleh hutan hujan yang lebat. (Adrian B. Lapian : 98 )

Tentunya untuk sampai ke tujuan dengan melewati sungai-sungai tersebut tidak hanya
dengan tangan kosong dan berenang saja, karena banyak hewan sungai, seperti buaya dan

4
ular yang keberadaannya mengancam keselamatan penghuni pulau. Agar lebih aman dan
mudah, mereka membuat perahu dari batang pohon dan membekali diri dengan mandau,
sumpit, atau senjata tajam lain yang mereka miliki.

Di Kesultanan Banjar, tak hanya hutan dan sungai yang mendominasi wilayahnya,
melainkan juga danau, rawa, hutan bakau, pegunungan dan bukit. Kondisi alam tersebut
membuat tanahnya tak mudah untuk ditanami kecuali melalui cara-cara persawahan basah,
atau perladangan berpindah. Macam-macam persawahan basah tersebut ialah sawah pasang
surut, sawah tahun, sawah rintak, sawah surung, huma tugal, dan persawahan rawa.
Persawahan rawa tersebut banyak dilakukan oleh orang-orang Melayu yang tinggal di sekitar
Kesultanan, tepatnya di Kabupaten Banjar, dimana tanahnya telah berubah menjadi gambut
dan cocok untuk ditanami.

Perladangan berpindah bisa ditemukan di daerah pegunungan atau bukit. Kegiatan ini
biasa dilakukan oleh orang-orang Dayak. Mereka melakukan cara ini karena lahan subur
yang mereka ciptakan dari membakar hutan sifatnya tak permanen (Adrian B. Lapian : 99).
Setelah lahan yang telah diolah selama beberapa tahun terakhir menjadi tidak subur lagi,
maka orang-orang dayak akan pergi ke lokasi lain dan membabat hutan disana, kemudian
membakarnya agar menjadi subur. Perusakan alam ini merupakan jalan satu-satunya bagi
mereka demi mendapatkan tanah yang subur untuk ditanami, mengingat di tanah Kalimantan
tak terdapat satu pun gunung berapi aktif yang membantu tanahnya tetap subur.

Gunung-gunung tak aktif tersebut menyebar ke seluruh wilayah kesultanan dan


biasanya dijadikan sebagai batas wilayah politik. Seperti Gunung Luang yang dijadikan batas
paling utara, atau Pegunungan Meratus yang menjadi batas paling timur Kesultanan Banjar
menurut perjanjian Sultan dengan kolonial pada 1845. Melalui perjanjian tersebut, dengan
jelas ditetapkan batas-batas wilayah Kesultanan Banjar dalam perjanjian antara Gurbenur
Belanda dengan Sultan bahwa titik awal penarikan garis wilayah Kesultanan berawal dari
Kampung Carucuk, terus ke utara menuju Gunung Luang, kemudian terus turun ke selatan
mengikuti barisan Pegunungan Meratus hingga Lianganggang, dan kembali lagi ke muara
Sungai Kuin. Rakyatnya disebut sebagai “Orang Banjar”. Mereka sebenarnya terdiri dari
suku-suku asli penghuni pulau dan bangsa-bangsa pendatang, termasuk keturunan
pencampuran keduanya yang telah memeluk Islam dan tinggalnya di dalam wilayah politik
Kesultanan Banjar.

5
Orang-orang yang agamanya bukan Islam tetapi tinggalnya masih di wilayah
Kesultanan Banjar akan disebut asal-usulnya saja, seperti orang-orang Dayak, Walanda
(Belanda). Bagi orang-orang Banjar, melakoni usaha dagang seperti ini ialah satu dari hal lain
yang bisa dilakukan dalam mencukupi kebutuhan hidupnya, apalagi karena memang hal
inilah yang paling menguntungkan. Di Hindia Belanda, mereka terkenal sebagai orang yang
akan menjual apa pun yang bisa dijual. Bahkan bagi orang Dayak pedalaman yang terkenal
tak bisa didekati pun akhirnya mau menerima kedatangan para pedagang lokal maupun asing
yang telah membawa barang-barang yang mereka sukai. Hasil hutan yang melimpah, dan
faktor dari penduduk tidak ada yang bisa mengolah hasil hutan secara maksimal. Jika dibeli
barang mentahnya saja, kemudian dijual produk hasil olahannya, maka keuntungan yang
banyaklah yang akan diperoleh oleh para pedagang ( Lombard : 92 ).

Perang tak kunjung berakhir, namun kas Belanda semakin menipis. Masalah
perdagangan tersebut tak langsung teratasi ketika Pemerintah Hindia Belanda mengambil alih
Kesultanan Banjar dan menghapusnya secara sepihak. Hal ini dikarenakan pemerintah lebih
fokus menghadapi perlawanan-perlawanan yang masih terjadi di berbagai daerah Kalimantan
(Zuider en Oosterafdeeling Borneo). Akhirnya pemerintah memutuskan untuk menambah
dukungan pelayaran dari Pulau Laut dan Kutai untuk melayani perdagangan dari Jawa.

Keikutsertaan bangsa kolonial dalam aktivitas perdagangan Kesultanan Banjar telah


membawa kemajuan dalam berbagai hal, yakni bertambahnya macam komoditi yang
diperjualbelikan, kemudahan akses ke pedalaman Kalimantan, keteraturan perdagangan, dan
terjaminnya kegiatan ekspor dan impor. Namun, dibalik kemajuan tersebut, kesultanan malah
semakin terpuruk. Kesultanan harus rela kehilangan tanah-tanah yang berpotensi tinggi
mengisi kas negara, bahkan lebih parah lagi, kesultanan harus rela dihapuskan keberadaannya
dari tanah Kalimantan, menyeret negerinya dalam kekacauan perang ( Ibnu. 2010 ).

Sejak kembalinya Hindia Belanda pada tahun berikutnya ke Banjar, kembali diadakan
perjanjian antara sultan dan Pemerintah Hindia Belanda, yang kemudian terus diperbaharui
hingga 1849. Semua kontrak yang dilakukan itu disebut-sebut hanya merupakan alih-alih
Belanda untuk mendapatkan pengakuan dari Kesultanan Banjar atas nama “Hindia Belanda”
dan mengeksploitasi batubara yang terkandung didalamnya. Pada kegiatan perekonomian,
dibawah pengawasan Belanda, dominasi para pedagang Cina yang pernah hilang mulai
bangkit kembali. Hal ini dirasa sangat menarik untuk diteliti, karena pada masa ini para
pedagang Cina tersebut berhasil merebut kendali perdagangan orang-orang Bugis.

6
Belanda memanfaatkan dominasi tersebut untuk membangun kembali ekonomi
Hindia Belanda di Kesultanan Banjar. Mereka mendirikan kantor cabang NHM di
Banjarmasin pada 1840. Kemudian fokus pemerintah bukanlah hanya kepada lada saja, tetapi
juga tambang batubaranya. Kebutuhan akan bahan bakar membuat Belanda mencari alternatif
ekonomi lain di Indonesia, dan memutuskan untuk mencari di Kalimantan Selatan yang
posisinya dekat dengan Surabaya. Setelah menemukan lokasi penambangan yang dibutuhkan,
Belanda kembali memaksa sultan untuk menyerahkan tanahnya di daerah Riam Kiwa untuk
dijadikan lokasi pertambangan. Mulai dari sini, dimulai lagi monopoli perdagangan oleh
Hindia Belanda. Usaha-usaha yang terlalu menekan itu lah yang telah membuat ekonomi
kesultanan tak berkembang ( Goh Yoon Fong : 189 )

B. Masa VOC-Hindia Belanda


Sungai merupakan suatu wilayah yang menjadi tempat bagi setiap manusia untuk
dapat bertahan hidup. Dengan melalui sungai manusia dapat memanfaatkannya untuk
berbagai macam hal seperti untuk kebutuhan ekonomi, sumber air, dan jalur transportasi.
Kalimantan Selatan sendiri mempunyai banyak sungai yang tersebar di berbagai macam
daerah. Banyaknya sungai yang tersebar di Kalimantan Selatan membuat banyak masyarakat
memilih untuk menggunakan transportasi sungai.

Kerajaan Banjar berhasil diduduki oleh Belanda pada tanggal 11 Juni 1860. Saat itu
terjadi pertikaian antara kelompok dan keluarga kerajaan tentang perebutan hak dalam
memerintah kerajaan. Hal ini dimanfaatkan oleh pihak pemerintah kolonial Belanda untuk
dapat menduduki dan menaklukan kerajaan Banjar. Belanda ingin menguasai kerajaan Banjar
dikarenakan belanda sangat berambisi untuk menguasai tambang batubara. Hal ini membuat
terjadinya konflik antara Belanda dengan masyarakat kalimantan Selatan yang dipimpin oleh
pangeran Antasari (Sugiyanto, 2012).

Setelah perang Banjar berakhir dan perang tersebut berhasil dimenangi oleh pihak
Belanda, membuat Belanda melakukan pembubaran kerajaan Banjar pada tahun 1860. Sejak
saat itu wilayah Banjarmasin dan sekitarnya menjadi wilayah jajahan pemerintah kolonial.
Dengan demikian wilayah Kalimantan Selatan yang merupakan salah satu provinsi di pulau
Kalimantan diberi nama Zuider-en Ooster-afdeling van Borneo oleh pemerintan kolonial
Belanda (Susilowati, 2011).

Provinsi Kalimantan Selatan merupakan wilayah yang memiliki sejumlah besar


sungai yang hampir dapat dijumpai dimanapun mulai dari sungai besar hingga sungai kecil.

7
Hal ini membuat wilayah Kalimantan Selatan menjadi wilayah yang memiliki jaringan-
jaringan yang dapat menghubungkan dari satu wilayah ke wilayah lain melalui perantara
sungai. Selain sebagai sistem penghubun, sungai juga merupakan wilayah tempat bermukim
masyarakat Kalimantan Selatan. Hal ini membuat sungai menjadi penting bagi pemerintah
kolonial Belanda.

Pada masa pemerintahan kolonial Belanda terjadi sebuah perkembangan transportasi


sungai. Hal ini ditandai dengan munculnya kapal-kapal uap yang dipelopori oleh pihak
Belanda. kemunculan kapal-kapal uap di wilayah Kalimantan Selatan ditandai dengan
munculnya Koninklijk Paketvaart Maatschappij (KPM). Armada KPM melakukan pelayaran
melalui rute Banjarmasin-Puruk Cahu setiap dua minggu sekali (Susilowati, 2011). Hal ini
berhasil membuat armada KPM melakukan kontrol dan monopoli secara langsung terhadap
daerah-daerah penghasil komoditas yang berada di Kalimantan Selatan.

Menurut Sulistiyono (dalam Susilowati, 2011) salah satu tujuan didirikannya armada
KPM adalah untuk mencapai keuntungan politik bagi pemerintah kolonial Belanda dan
keuntungan ekonomi bagi para pengusaha Belanda. hal ini dikarenakan jaringan yang
dimiliki oleh KPM dibuka ke seluruh penjuru Nusantara adalah untuk melakukan kontrol
politik maupun ekonomi atas daerah-daerah yang berada jauh dari pusat pemerintahan
Belanda di Batavia (Susilowati, 2011)

Kalimantan Selatan khususnya pada masyarakat Banjar pada zaman dulu sering
menggunakan transportasi air sebagai sarana utama mereka untuk bepergian ketempat lain.
Banjarmasin sendiri sudah sejak lama dikenal dengan kekhasannya sebagai kota seribu
sungai. Hal ini membuat banyak masyarakat banjar menggunakan alat transportasi yang
bernama jukung sebagai alat transportasi sehari-hari. Dengan menggunakan jukung,
masyarakat dapat melakukan hubungan dengan kelompok lain, berdagang, menangkap ikan,
atau kegiatan lain dengan lebih mudah dan cepat (Sugiyanto, 2012).

Jukung merupakan alat tranportasi masyarakat banjar yang sudah ada sejak lama.
Dengan wilayah Kalimantan Selatan yang memiliki sungai-sungai kecil yang sulit untuk
dimasuki oleh kapal-kapal besar, membuat jukung dapat menjadi sarana transportasi
alternatif dalam bepergian kedaerah-daerah lainnya. Selain untuk dijadikan sebagai alat
transportasi, jukung juga dapat digunakan sebagai tempat untuk berdagang. Hal ini bisa
dilihat pada pasar terapung, disana banyak pedagang yang menggunakan jukung untuk dapat
menjual barang-barang mereka.

8
Salah satu jenis jukung yang terkenal pada masa kolonial Belanda ialah jukung
tambangan. Jukung tambangan berasal dari kata “tambang” yang berarti angkutan untuk
membawa barang dan penumpang dengan cara dikayuh (Nasrullah, 2016). Jukung tambangan
merupakan perahu tradisional yang memiliki bentuk melengkung keatas dan memiliki atap
yang menutupi sebagian jukung tersebut. Pada jukung tambangan bagian yang ditutupi oleh
atap adalah pada bagian belakang tempat dimana para penumpang duduk. Keberadaan alat
transportasi seperti jukung tambangan berhasil membuat orang orang eropa saat itu
menganggap banjarmasin sebagai Venesia dari timur.

C. Masa Jepang
Pada masa pemerintahan Jepang, terjadi orientasi perubahan dalam kehidupan di
Kalimantan Selatan. Jepang saat itu sudah memperkenalkan teknologi kepada rakyat Banjar.
Pada masa pemerintahan Jepang terdapat pembangunan infrastruktur, tidak banyak bahkan
bias dikatakan tidak ada sama sekali, sebab pemerintah militer Jepang lebih fokus kepada
perang Asia. Pemuda berusia 17 tahun keatas dididik kemiliteran dan bela negara untuk
menghadapi perang Asia. Sehingga, saat itu rakyat dipaksa untuk membuat kapal-kapal kayu
dan Jepang memperkenalkan teknologi modern, berupa mesin-mesin untuk dipergunakan
(Subroto & Prawitasari, 2021).

Pada tahun 1940 hingga 1950-an pada masa penjajahan Jepang, di Kalimantan Selatan
terdapat puluhan saluran baru dari kedua anjir yang ada pada masa Belanda berupa handil dan
kemudian saka yang dibuat oleh masyarakat itu sendiri. Dengan itu, semakin mendekatkan
hubungan antara masyarakat Kalimantan Tengah, terutama Kapuas, dengan Banjarmasin dan
Marabahan di Kalimantan Selatan. Transportasi sungai yang digunakan saat itu ialah perahu
atau jukung (Sugiyanto, 2012)

Jenis-jenis jukung sendiri tidak terlalu banyak mengalami perubahan di masa


penjajahan jepang. hal ini dikarenakan masa penjajahan jepang yang singkat sehingga tidak
terlalu memberikan dampak yang signifikan pada transportasi sungai. Salah satu jenis jukung
yang ada saat itu ialah jukung rangkan. Dengan bentuk ukuran yang ramping, dan kecil
membuat jukung rangkan menjadi sarana pengangkutan yang sederhana. Jukung rangkan
biasa digunakan untuk berburu, mencari emas, mencari hasil hutan seperti rotan, getah dan
sebagainya (Tjilik Riwut, dalam Subiyakto, 2020)

Jenis jukung lain yang digunakan saat itu ialah jukung tiung. Jukung tiung
mempunyai panjan sekitar 10-15 meter dengan tinggi serta lebar lambung kira kira tiga

9
meter, dan berkapasistas muatan sekitar 20 ton atau sekitar 100 meter kubik barang
(Subiyakto, 2020). Jukung ini biasanya digunakan oleh masyarakat sebagai angkutan untuk
bahan-bahan bangunan. Hal ini dikarenakan jukung tiung memiliki ukuran yang besar
sehingga dapat menampung banyak bahan bangunan seperti tanah, pasir, krikil, bata, papan,
batu, dan lain-lain. untuk menjalankan jukung tiung, pada keadaan kosong setidaknya
diperlukan tiga orang, sedangkan pada keadaan yang penuh muatan harus dijalankan sekitar
limar orang (Subiyakto, 2020)

D. Masa Kemerdekaan
Setelah sekian lamanya Indonesia di jajah oleh bangsa Eropa dan Jepang, Indonesia
berhasil meraih kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945. Secara De facto Indonesia
telah berhasil meraih kemerdekaan, akan tetapi masih banyak negara yang belum mengakui
kemerdekaan bangsa Indonesia khususnya ialah Belanda. Indonesia kemudian melakukan
berbagai perundingan agar dapat diakui secara de jure proklamasi kemerdekaan Indonesia.
Salah satu perundingan yang dilakukan oleh Indonesia adalah perjanjian Linggarjati. Dalam
perjanjian tersebut wilayah yang diakui sebagai milik Indonesia hanya Jawa, Madura, dan
Sumatera.

Akibat isi dari perjanjian Linggarjati yang membuat wilayah bangsa Indonesia
menjadi menyempit. Wilayah Kalimantan Selatan menanggapi hal tersebut dengan
melakukan sebuah proklamasi yang menyatakan bahwa Kalimantan Selatan akan bergabung
kedalam wilayah Indonesia. Proklamasi tersebut diberi nama Sebagai Proklamasi Tentara
ALRI Divisi IV Pertahanan Kalimantan atau yang lebih dikenal dengan Prokalamasi 17 Mei
1949. Melalui proklamasi tersebut dapat diketahui bahwa Kalimantan Selatan selalu
berkomitmen untuk setia menjadi rakyat Indonesia.

Setelah kemerdekaan bangsa Indonesia, transportasi sungai di wilayah kalimantan


selatan tidak serta-merta ditinggalkan begitu saja. Hal ini dikarenakan saat itu jalur darat yang
tersedia di Kalimantan Selatan masih belum banyak. Kemudian ini membuat masyarakat
Kalimantan Selatan memilih untuk menggunakan alat transportasi air dibandingkan alat
transportasi darat, karena jauh lebih mudah untuk pergi ke wilayah lain melalui jalur air
dibandingkan dengan darat pada saat itu.

Dengan banyaknya kawasan sungai di Kalimantan Selatan, membuat masyarakat


mengembangkan berbagai jenis alat transportasi yang digunakan dalam kehidupan sehari-
hari. Menurut Tjilik Riwut (dalam Subiyakto, 2020) perahu-perahu masyarakat didaerah

10
Kalimantan Selatan dimodifikasi karena mulai adanya pemasangan mesin (motor) agar dapat
menjalankan perahu. Masyarakat Kalimantan selatan kemudian mengenal perahu-perahu
tersebut dengan sebutan stempel, kapal, speed, dan klotok (Subiyakto, 2020).

Setelah kemerdekaan, jenis jukung yang digunakan oleh masyarakat Kalimantan


Selatan juga tidak terlalu jauh berbeda dari pada masa-masa sebelumnya. Salah satu jenis
jukung yang masih ada sekitar tahun 1950-an yaitu jukung tambangan. Saat itu jukung
tambangan masih tetap berfungsi sebagai sarana transportasi bagi masyarakat sekitar untuk
pergi ketempat lain. selain jukung tambangan, menurut Tjilik Riwut (dalam Subiyakto, 2020)
di sekitar tahun 1950-an masyarakat menggunakan jukung jenis lain yang mempunyai nama
gondol untuk keperluan berdagang. Jenis jukung gondol memiliki bentuk yang serupa dengan
tambangan tetapi lebih besar, beratap dan berkama yang diisi dengan berbagai barang
dagangan terutama barang kelontong (Subiyakto, 2020).

Beberapa jenis sarana transportasi yang ada diatas, sudah pernah digunakan oleh
masyarakat sejak sebelum kemerdekaaan. Jenis alat transportasi yang baru muncul setelah
kemerdekaan adalah klotok. Klotok diperkirakan muncul pada tahun 1960-an yang
merupakan jenis alat transportasi yang serba guna, hal ini mengakibatkan klotok menjadi
popular bagi masyarakat di kalimantan selatan dan bahkan mengggantikan popularitas
tambangan pada masa sebelumnya (Subiyakto, 2020).

Klotok memiliki banyak fungsi yang dapat digunakan untuk berbagai kegiatan dan
kebutuhan. Fungsi tersebut misalnya sebagai jasa angkutan, berdagang, nelayan, dan lain-
lain. dengan adanya mesin yang dipasang agar dapat berjalan, mempermudahkan untuk pergi
ketempat yang jauh tanpa merasa lelah karena harus terus mengayuh. Hal inilah yang
membuat klotok menjadi lebih populer bahkan masih eksis hingga sekarang.

11
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dikatakan bahwa kebesaran Kesultanan Banjar tersebut adalah faktor dari
perdagangan internasional yang dikuasainya, meski sebenarnya kerajaan-kerajaan lain di
sebelah barat dan utara Banjar memiliki keuntungan lebih dalam hal perdagangan
internasional, karena letaknya berada dalam rute Perdagangan Laut Cina Selatan. Kesultanan
Banjar memang tidak dilalui rute perdagangan internasional, namun pelabuhannya selalu
ramai karena memiliki rute strategisnya sendiri.

Pada masa pemerintahan kolonial Belanda terjadi sebuah perkembangan transportasi


sungai. Hal ini ditandai dengan munculnya kapal-kapal uap yang dipelopori oleh pihak
Belanda. kemunculan kapal-kapal uap di wilayah Kalimantan Selatan ditandai dengan
munculnya Koninklijk Paketvaart Maatschappij (KPM). Armada KPM melakukan pelayaran
melalui rute Banjarmasin-Puruk Cahu setiap dua minggu sekali

Pada tahun 1940 hingga 1950-an pada masa penjajahan Jepang, di Kalimantan Selatan
terdapat puluhan saluran baru dari kedua anjir yang ada pada masa Belanda berupa handil dan
kemudian saka yang dibuat oleh masyarakat itu sendiri. Dengan itu, semakin mendekatkan
hubungan antara masyarakat Kalimantan Tengah, terutama Kapuas, dengan Banjarmasin dan
Marabahan di Kalimantan Selatan. Transportasi sungai yang digunakan saat itu ialah perahu
atau jukung

Setelah kemerdekaan bangsa Indonesia, transportasi sungai di wilayah kalimantan


selatan tidak serta-merta ditinggalkan begitu saja. Hal ini dikarenakan saat itu jalur darat yang
tersedia di Kalimantan Selatan masih belum banyak. Kemudian ini membuat masyarakat
Kalimantan Selatan memilih untuk menggunakan alat transportasi air dibandingkan alat
transportasi darat, karena jauh lebih mudah untuk pergi ke wilayah lain melalui jalur air
dibandingkan dengan darat pada saat itu.

12
DAFTAR PUSTAKA
Adrian B. Lapian, Orang Laut-Bajak Laut-Raja Laut: Sejarah Kawasan Laut Sulawesi Abad
XIX, (Depok: Komunitas Bambu, 2009), hlm. 98-99.
Denys Lombard, Nusa Jawa Silang Budaya Jilid II: Jaringan Asia, (Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama, 1996), hlm. 92.
Goh Yoon Fong, Perdagangan dan Politik: Banjarmasin 1700-1747, (Yogyakarta: Penerbit
Lilin, 2013), hlm. 189
Nasrullah. (2016). Mengenang Kembali Peradaban Sungai (Kajian Terhadap Simbol Harian
Banjarmasin Post). Seminar Nasional Lahan Basah Tahun 2016 Jilid 2, 2, 467–473.
http://eprints.ulm.ac.id/2082/
Subiyakto, B. (2020). Transportasi Perairan Kalimantan Selatan 1950-1970. Program Studi
Pendidikan IPS Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Lambung
Mangkurat.
Subroto, W., & Prawitasari, M. (2021). Perubahan Orientasi Masyarakat Kota Banjarmasin
Dari Sungai Ke Darat Awal Abad XX. Prosiding Seminar Nasional Lingkungan Lahan
Basah, 6(2).
Sugiyanto, B. (2012). Sekilas Tentang Temuan Ribuan Koin Belanda Di Desa. Naditira
Widya, 6(2).
Susilowati, E. (2011). Peranan Jaringan Sungai Sebagai Jalur Perdagangan Di Kalimantan
Selatan Pada Paroh Kedua Abad Xix. Citra Lekha, 0(1), 1–8.
Wicaksono, Ibnu. 2010. “Kesultanan Banjarmasin dalam Lintas Perdagangan Nusantara
Abad ke-XVIII”. Skripsi. Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

13

Anda mungkin juga menyukai