Anda di halaman 1dari 8

KONEKTIVITAS BUDAYA JALUR REMPAH

KALIMANTAN SELATAN

Mansyur, M.Hum.

Kelas Saudagar dan Perubahan Lanskap Kota Pelabuhan


Pada abad ke-15 hingga 17 kawasan Asia Tenggara memasuki era niaga (the
age of commerce) dimana aktivitas perdagangan meningkat signifikan. Terutama
perdagangan rempah. Pada era ini menurut Ahyat (2001), Pelabuhan Banjarmasin yang
pada awalnya berada dalam sumbu perdagangan antar pulau, meningkat menjadi
sumbu perdagangan intra Asia serta sumbu perdagangan internasional dalam jalur
perdagangan maritim Asia Tenggara.
Masuknya Pelabuhan Banjar dalam rute tersebut disebabkan Kesultanan Banjar
mulai dikenal sebagai produsen lada yang ditanam di daerah hulu oleh penduduk.
Rempah-rempah, terutama lada, menjadi komoditas dagang yang sangat penting kala
itu. Kapal kapal dagang yang berkunjung ke Pelabuhan Banjarmasin berasal dari kota-
kota di Nusantara seperti misalnya Makassar, Sumbawa, Jawa, selain dari daratan Asia
dan Eropa termasuk Cina, Persia, Siam, Belanda, Inggris, Portugis, Perancis, hingga
Spanyol.
Perdagangan rempah ini tidak hanya berdampak persebaran dan difusi budaya,
teknologi, dan ideologi dari daratan Benua Asia ke kawasan kepulauan Asia Tenggara.
Namun juga mendorong munculnya kelas sosial baru dalam masyarakat di wilayah
Banjarmasin maupun Kalimantan bagian selatan umumnya. Keberadaan perdagangan
lada (sahang) di Kesultanan Banjarmasin secara tidak langsung berpengaruh pada
keberadaan kelas saudagar Banjar. Orang Banjar adalah pedagang. Sejak masa
Kesultanan Banjarmasin, orang-orang Banjar terkenal sebagai pedagang sahang yang
ulet dan rajin sampai ke luar daerah. Menurut Bondan; ada tiga golongan pedagang di
Banjarmasin yaitu Sultan dan keluarganya yang mempunyai hak dan kekuasaan
memungut pajak dari barang perdagangan, golongan mantri (bawahan sultan), dan
bubuhan saudagar (Bondan, 1925).
Bubuhan saudagar inilah yang membawa barang-barang dagangan keluar
masuk Banjarmasin. Barang yang dibawa keluar, kalau sebelumnya membawa lada
(sahang), dalam beberapa abad kekemudian berganti komoditas lain seperti kayu besi,
minyak dan kayu gaharu, intan, rotan, sarang burung dan lain sebagainya. Ketika
kembali ke Banjarmasin, mereka membawa barang seperti berbagai macam kain, gula,
bawang, garam, barang pecah belah (piring, mangkuk, gelas), dan barang yang terbuat
dari tembaga (baki, tempat menginang, alat-alat musik gamelan).
Komoditas perdagangan yang dibawa bubuhan saudagar didistribusikan di
pasar-pasar setempat, dengan menggunakan sarana transportasi sungai (Subiyakto,
1997). Alat tranportasi sungai itu didominasi perahu-perahu (jukung) khas Banjar.
Perahu-perahu tersebut mengangkut berbagai barang dari pedalaman maupun dari
luar daerah seperti kayu, lilin lebah, minyak kayu gaharu, kain, gerabah, intan, dan
lada/sahang. Komoditas ini dihasilkan orang Dayak dan orang Banjar yang tinggal di
pedalaman. Barang-barang itu diperdagangkan di pasar lokal. Sebagai gambaran

1
keadaan di dalam pasar maupun di pinggir sungai penuh dengan orang bertransaksi
jual beli (Fong, 1969).
Letak Banjarmasin seperti diungkapkan Paulus (1917) sangat menguntungkan
bagi perdagangan para saudagar karena mudahnya akses menuju kota ini melalui
Sungai Barito maupun Sungai Martapura. Kedua sungai ini dapat dilayari kapal besar,
dan tempat itu menjadi tempat menimbun komoditas perdagangan di seluruh daerah
aliran Sungai Barito. Pada wilayah ini terdapat pedagang besar dan kecil yang transit
maupun menetap bertransaksi. Para pedagang intan yang berasal dari Martapura juga
transit di Banjarmasin untuk melakukan aktivitas jual beli.
Selain itu, perdagangan rempah terutama lada juga berdampak munculnya
kota-kota pelabuhan dagang di mana kapal-kapal pedagang merapat untuk singgah
dan bertransaksi, termasuk di antaranya Kota Pelabuhan Banjarmasin. Lebih lanjut,
kota-kota pelabuhan ini membentuk jalur perdagangan maritim terutama dipengaruhi
adanya aktivitas para pedagang Cina dan Timur Tengah (Damayanti, 2019; Reid, 1993).
Warisan jalur rempah terlihat dari perubahan Lanskap Kota Banjarmasin
berhubungan dengan keberadaan Kota Banjarmasin sebagai kota dagang dan transito.
Terdapat empat tahap perubahan ini. Tahap pertama, Banjarmasin sebagai Kota
Pelabuhan-Pusat Politik (Port-Polity) tahun 1526-1612. Kemudian tahap kedua, Kota
Pelabuhan Sekunder (Secondary Port-City) tahun 1612-1663. Selanjutnya tahap ketiga
Kota Pelabuhan Utama Kesultanan (1663-1787) serta tahap keempat Kota Pelabuhan
Utama Belanda di Kalimantan bagian Tenggara (1787-1860).
Maraknya perdagangan dan masuknya Eropa membuat berbagai intervensi
lanskap yang berdampak pada perubahan lanskap. Pemanfaatan rawa tak hanya
memunculkan penggunaan baru berupa lahan pertanian ekstensif, namun juga
perlahan-lahan mempengaruhi menurunnya populasi vegetasi rawa serta
mengindikasikan penggunaan ruang yang tidak lagi terfokus di bantaran sungai.
Meskipun demikian, kegiatan berbasis sungai tetap mendominasi karena konstruksi
jalan masih terbatas. Pengembangan memunculkan elemen-elemen lanskap baru,
terutama benteng, jalan, kanal, jembatan, dan sawah. Pada era ini Benteng Tatas
muncul menjadi pusat kota yang secara semantik menyimbolkan kekuasaan Belanda di
Kalimantan bagian tenggara yang awalnya merupakan wilayah Kesultanan Banjar.
Kondisi ini berlangsung hingga tahun 1860 manakala Belanda menghapus kesultanan
karena pemerintahan kesultanan dianggap tidak berfungsi akibat konflik politik internal
kesultanan yang diintervensi Belanda. Berakhirnya masa kesultanan menandai
dimulainya periode kolonial yang kemudian merubah lanskap kota Banjarmasin
menjadi kota kolonial (Damayanti, 2019).

Konektivitas Budaya
Dari Jalur rempah Banjarmasin didukung keberadaan lokasi yang berpotensi
Cagar Budaya (CB) yakni Pelabuhan Tatas yang pada era pemerintahan Hindia Belanda
dipindahkan lokasinya menjadi Pelabuhan Martapura, Banjarmasin. Setelah kekuasaan
Sultan Banjar Dipati Anom berakhir diperkirakan terjadi perpindahan pemerintahan ke
Martapura sementara pelabuhan beralih dari Banjar menuju Tatas. Tatas berada di
sebelah selatan Banjar Lama yang dibatasi oleh Sungai Kuin di sebelah utara, Sungai

2
Martapura di sebelah timur dan selatan, dan Sungai Barito di sebelah barat; sehingga
Tatas menyerupai sebuah pulau dan dikenal sebagai Pulau Tatas.
Kesultanan Banjarmasin yang dipimpin Sultan Inayatullah (1637-1642)
mengadakan perdagangan bebas dengan pedagang Cina, Bugis, Jawa, Belanda dan
Inggris (Vlekke, 2008). Pelabuhan Tatas berkembang menjadi pelabuhan pembongkar
dan pemuat barang dagang dari dan ke Banjarmasin. Para pedagang dari luar
membawa porselin, beras, garam, teh dan budak. Sebaliknya Banjarmasin menyediakan
hasil hutan, emas, intan dan lada (Cense, 1928). Sejak tahun 1635, pada area Tatas
terdapat loji dan kantor dagang VOC dipimpin Wollebrandt Gelenysen de Jonge.
Kurun waktu 1700-1800 setidaknya memunculkan Tatas sebagai pelabuhan
dagang ramai sebagai akibat dari Kuin yang dibakar. Kondisi lanskap ‘Negeri Tatas’
diperkirakan tidak berbeda jauh dengan ibukota Kayu Tangi sebagaimana dikemukakan
Johannes Willi Gais. Selain itu, Daniel Beckman, seorang pedagang Inggris yang
berkunjung di tahun 1714 melaporkan bahwa Kayu Tangi memiliki struktur kota linear
di sepanjang Sungai Martapura sepanjang sekitar 4 mil atau 7,41 km. Bantaran sungai
kebanyakan dihuni elit kesultanan, sementara penduduk tinggal di rumah lanting
(Beckman, 1718; Gais, 1922).
Pada surat perjanjian 26 Oktober 1733, pasal 7 menyebutkan bahwa utusan
VOC memanggil syahbandar di Tatas untuk mendapatkan lada dari kapal. Hal ini
mengindikasikan Tatas merupakan bandar dagang yang ramai. Pada tahun 1736
dengan izin Sultan Hamidullah (1700-1734), orang-orang Cina mendirikan
perkampungan di area dekat pelabuhan Tatas. Perkampungan orang-orang Cina ini
dipimpin Kapiten Cina yang setiap bulan harus membayar sewa kepada Sultan
(Milburn, 1813).
Disamping itu dalam keadaan mendesak misalnya terjadi perang, kapiten wajib
membantu Sultan dengan meminjamkan perahu kepada sultan bila diperlukan.
Hubungan yang cukup erat dengan Sultan merupakan salah satu mengapa Sultan pada
belahan pertama Abad ke-18 mengangkat seorang Cina yang bernama Lin Bien Ko
sebagai Syahbandar berkedudukan di pelabuhan Tatas.
Strategisnya posisi Tatas sebagai bandar dagang dipertegas kontrak dagang
VOC dengan Kerajaan Banjar tahun 1747 dan Perjanjian 1787. Kontrak tersebut
mengatakan bahwa VOC mendapatkan tanah untuk pendirian loji di Tatas. Hingga
tahun 1826 telah diperbaharui kontrak dagang dengan Sultan Adam tentang
penyerahan Tatas, Kuin Selatan, Pulau Burung, Pulau Bakumpai dan lain-lain kepada
Belanda. Wilayah ini berkembang lagi ketika tampuk pemerintahan kerajaan diduduki
oleh Susuhunan Nata Alam. Berdasarkan perjanjian dengan VOC, Tatas dibangun
sebagai pusat kota yang di dalamnya terdapat loji, barak, kantor, dan rumah. Hingga di
sekitar Tatas berkembang pula pemukiman Belanda, Arab, Cina, dan Madura. Pada era
itu, Tatas makin berkembang dan merupakan pelabuhan terbesar di Banjarmasin,
Kotawaringin, Tabanio, Tanah Laut juga terletak di tepi pantai yang merupakan pintu
gerbang pedagang luar yang ingin berdagang ke Banjarmasin.
Pelabuhan Tatas di Banjarmasin didukung keberadaan wilayah yakng kini
menjadi Cagar Budaya yakni Benteng Tabanio. Benteng Tabanio merupakan benteng
Belanda, yang dibangun di sekitar muara Sungai Tabanio, Kabupaten Tanah Laut
sekarang. Sebuah benteng yang berbentuk segi empat tidak beraturan di sekitar Muara

3
Sungai Tabanio. Masing-masing sudut benteng diperlengkapi dengan bastion
berbangun bundar (Cahyono, 2020). Kemudian benteng di Tabanio digunakan sebagai
pusat pemerintahan sipil wilayah hingga tahun 1854.
Area Tabanio juga dikenal sebagai wilayah yang menjadi markas bajak laut.
Dalam perebutan tahta pada abad ke-18, Pangeran Muhammad mengerahkan
pengikutnya ke daerah Tabanio yang merupakan tempat strategis dari mana pelabuhan
Banjarmasin dapat diawasi. Keberadaan Tabanio juga mengemuka pada periode
selanjutnya ketika Pangeran Amir ingin mengambil haknya atas tahta kerajaan Banjar
pada tahun 1785. Pada tahun 1787, Sultan Nata memberikan kedaulatannya kepada
VOC dan menjadikan Banjarmasin vassal saja. Hal ini ditandai perjanjian/kontrak tahun
1787. Sultan menyerahkan daerah Pasir, Laut, Pulo Tabanio, Mendawai, Sampit,
Pambuang, Kotawaringin pada VOC. Pada bulan Mei 1859 pemberontakan melawan
Belanda meletus, yang kemudian disebut Perang Banjar (1859-1863). Sekelompok
pejuang di bawah Kiai Demang Lehman, Kiaij Langlang (Kiai Langlang) dan Hadji
Boeijasin (Haji Buyasin) menduduki benteng di Tabanio dan menghabisi pemegang pos
di benteng tersebut (Rees, 1867).
Keberadaan jalur rempah lada atau sahang berpengaruh terhadap sendi sendi
kehidupan masyarakat Banjar maupun konektivitas budaya yang terbentuk di wilayah
Kalimantan Selatan. Ekspresinya muncul dalam warisan budaya tak benda (WBTB) di
Kalimantan Selatan seperti kain sasirangan. Terwujud dalam motif kain sasirangan atau
yang dikenal sebagai “batik”-nya orang Banjar. Dalam sasirangan dikenal salah satu
motif yakni ramak sahang. Sahang adalah salah satu jenis rempah rempah yang biasa
dikenal merica.
Sementara ramak (Bahasa Banjar) artinya hancur, jadi ramak sahang artinya
merica hancur. Pada versi lain, ramak sahang adalah istilah suku Banjar yang artinya
merica yang dihancurkan atau dihaluskan dengan cobek. Hancurnya merica tersebutlah
yang menjadi inspirasi terciptanya motif ramak sahang. Motif ini hampir mirip dengan
motif hiris pudak yang berganda dua, tapi gambarnya terputus-putus, tidak senyawa.
Diperkirakan motif ini sudah muncul sejak beberapa abad lalu. Kain sasirangan
merupakan kain adat Suku Banjar di Kalimantan Selatan yang diwariskan secara turun-
temurun sejak Abad ke-12, saat Lambung Mangkurat menjadi Patih di Kerajaan Hindu
Negara Dipa. Cerita yang berkembang di masyarakat Kalimantan Selatan adalah bahwa
kain sasirangan pertama kali dibuat Patih Lambung Mangkurat setelah bertapa 40 hari
40 malam di atas rakit balarut banyu. Motif adalah pola, corak hiasan yang berfungsi
untuk menghias.
Aroma Lada juga hadir dalam dalam kuliner maupuan obat tradisional banjar.
Setiap daerah memiliki kuliner khas yang wajib dicari jika sedang mengunjungi daerah
tersebut. Seperti Kalimantan Selatan yang mayoritas dihuni oleh penduduk Suku Banjar
memiliki kuliner khas yang patut dicoba. Terdapat beberapa jenis masakan Banjar yang
menggunakan lada (sahang) sebagai bahan dasar dan bahan tambahan. Pada
masyarakat Banjar, lada adalah salah satu bumbu dapur dalam masakan dan termasuk
dalam kelompok biji-bijian. Lada yang berbentuk bulat kecil ini memiliki rasa pedas,
pahit, sekaligus hangat, dimanfaatkan sebagai bumbu dapur agar masakan memiliki
rasa sedikit lebih pedas dan memberikan efek hangat pada tubuh.

4
Seperti masakan sambal sahang (lada) biasanya dibuat sebagai sambal ikan asin
yang dimasak berbarengan dengan memasak nasi. Biasanya digunakan juga untuk
menambah selera saat sedang sakit atau tidak ada selera makan. Biasanya juga
dijadikan lauk ketika berada di ladang. Kemudian masakan cacapan sahang atau
biasanya dinamakan garih becacapan sahang. Menu khas Banjar ini adalah makanan
untuk ibu ketika habis melahirkan. Fungsinya membuat perut terasa hangat. Kemudian
terdapat masakan lain yakni labu masak sahang.
Variasi lainnya adalah gangan basahang atau kuah lada hitam adalah sejenis
masakan Banjar yang biasanya disediakan untuk ibu-ibu yang sedang berpantang
selepas bersalin di kalangan orang Banjar. Dalam pembuatan masakan ini biasanya
dengan merebus air asam jawa, lada hitam yang telah ditumbuk kasar, bawang putih
dan sedikit garam. Bawang putih tidak dihiris sebaliknya hanya dibuang kulitnya.
Kebiasan masyarakat Banjar memasukkan ikan haruan kering ke dalam gangan
basahang. Variasi lainnya memasukkan sayur daun ‘kusisap’ atau daun kermak ke
dalam kuah lada hitam.
Lada juga dicampurkan ke dalam masakan sebagai bumbu penyedap rasa.
Misalnya soto banjar, masakan dengan kuah putih kental yang terbuat dari campuran
kaldu ayam, susu, kentang dan telur matang yang dihaluskan serta bumbu-bumbu
pembentuk rasa seperti pala, sahang (merica), bunga sisir, kas-kas dan lain-lain. Sahang
juga menjadi bumbu dalam pembuatan acan terasi kandangan, bumbu/kuah sahang
katupat kandangan serta penyedap masakan kuah laksa.
Selain itu warisan budaya tak benda (WBTB) lainnya berupa Nasi Astakona. Nasi
Astakona merupakan salah satu kuliner khas masyarakat Banjar yang berasal dari tradisi
Kesultanan Banjar. Nasi astakona dapat disajikan dalam prosesi pernikahan adat Banjar.
Biasanya disantap pada acara badadapatan (santap bersama setelah pengantin
bersanding di pelaminan). Astakona merupakan sebuah kata yang terdapat dalam
istilah sastra Indonesia lama yang berarti segi banyak.
Nasi astakona mengandung nilai filosofis bagi orang Banjar. Makanan terdiri
dari komponen pokok, yaitu nasi dari padi yang tumbuh di tanah, ikan yang hidup
dalam air dan buah yang menggantung di udara. Pengambilan nasi pertama oleh
orang tua merupakan simbol penghormatan terhadap orang yang memiliki kelebihan
dalam hal usia, pengalaman, kewibawaan dan keutamaan. Makan bersama merupakan
lambang penghormataan, kesatuan, persahabatan dan keakraban masyarakat Banjar.
Selain itu ekspresi budaya dalam warisan budaya tak benda (WBTB) berbentuk
seni sastra yakni Sastra lisan lamut yang berkembang di Hulu Sungai Utara, menyebar
ke seluruh Banua Lima. Kesenian ini merupakan pengaruh kebudayaan Tionghoa.
Kesenian bercerita dari Tionghoa ini datang bersamaan dengan para
pedagang Tionghoa yang sekitar tahun 1816 datang ke Banjar hingga ke Amuntai.
Alkisah, di Amuntai, Raden Ngabe bertemu pedagang China yang mengalunkan cerita
China. Dalam pertemuan enam bulan kemudian, Raden Ngabe mendapatkan salinan
syair China tersebut. Sejak itulah Raden Ngabe mempelajari dan melantunkannya,
tanpa iringan tarbang. Demikian halnya dengan seni madihin yang berkembang di
daerah Tabalong, dan menyebar ke seluruh Banua Lima, dan di Hulu Sungai Selatan.
Penetrasi seni budaya asing juga muncul ketika era pemerintahan kolonial
Hindia Belanda Abad ke-20. Pengaruh budaya asing terhadap seni budaya tidak

5
terlepas dari langkah-langkah yang dilakukan oleh pemerintah Hindia Belanda di
daerah ini dalam berbagai segi kehidupan seperti sistem pemerintahan, sistem
perkotaan, sistem pendidikan, sistem teknologi transportasi dan komunikasi, sistem
ekonomi keuangan dan lain-lain. Secara tidak langsung kondisi demikian turut
mempengaruhi munculnya seni budaya yang dipengaruhi oleh budaya Barat, di
samping kesenian tradisi yang tetap kuat berakar di masyarakat.
Pada tahun 1930, kesenian bercorak budaya asing yakni Group Dardanella
datang ke Banjarmasin. Dardanella ini adalah perkembangan dari Komedi Stambul
tahun 1891 di Surabaya oleh Agust Meheiu dengan nama samaran Pedro. Konon
Komedi Stambul muncul karena pertunjukan “Abdul Muluk” yang datang dari
kebudayaan Melayu dari Malaka dan Johor kurang diminati oleh kaum elite. Dardanella
tetap menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa lingua franca, seperti Komedi
Stambul. Dari sinilah kemudian berkembang penyebutan istilah Mamanda
Mangkubumi, maka masyarakat menyebut Badalmuluk dengan Mamanda. Demikianlah
mamanda lahir dengan proses dipengaruhi oleh seni budaya asing yang positif.
Posisi geografis wilayah Banjarmasin yang terbuka memungkinkan pengaruh
besar budaya luar. Apalagi didukung keberadaan sungai besar dan kecil yang mewarnai
perkembangan Kota Banjarmasin. Tradisi “budaya sungai” sudah ada dan terbentuk
sejak kedatangan imigran Melayu pada abad 3-4 Masehi. Bahkan sejarah berdirinya
Kerajaan Banjar dibawah Sultan Suriansyah pada tahun 1526 M tidak terlepas dari
peranan sungai. Bahkan terbentuk pemukiman hingga arsitektur rumah bertipe rumah
lanting. Idwar Saleh (1982) memaparkannya terdapat sumber Cina masa Dinasti Ming
tahun 1618, menyebutkan terdapat rumah-rumah di atas air yang dikenal sebagai
rumah Lanting (rumah rakit). Sayangnya Idwar saleh tidak mengemukakan sumber
dimaksud. Dalam penelusuran, sumber ini berasal dari catatan ini dirangkum zang xie,
dalam tulisannya dong xi yang kao yang dibuat tahun 1618.
Terdapat juga warisan budaya berupa lampit rotan amuntai adalah Kerajinan
tangan khas masyarakat Kalimantan Selatan khususnya di Kabupaten Hulu Sungai Utara
yang dibuat dengan cara mengolah jalinan batang-batang rotan menjadi sebuah tikar.
Awal kata lampit berasal dari sebuah nama desa pelampitan yang dimana penduduk
nya membuat tikar rotan, maka dari itu sekarang tikar rotan itu dinamakan lampit.
Lampit digunakan sebagai alas untuk tidur, namun seiring berkembang nya jaman,
lampit digunakan sebagai alas untuk duduk, seperti istilah orang banjar “tamu
bedatang, tikar dihampar” yang artinya ketika ada tamu, lampit pun dihamparkan untuk
alas duduk.
Pada wilayah pesisir Tanah Bumbu di Kalimantan Selatan terdapat warisan
budaya lain berupa Sarung Tenun Pagatan. Berupa kain tradisional masyarakat Bugis
Pagatan, Kalimantan Selatan. Sarung Tenun Pagatan muncul bersamaan dengan
kedatangan para perantau Bugis pada pertengahan abad ke-18. Sarung Tenun Pagatan
ini hanya digeluti oleh masyarakat suku bugis pagatan secara turun temurun dengan
ciri khas dan motif yang unik karena dibuat dengan cara yang sangat tradisional
menggunakan alat penenun dari kayu dan hanya bisa diolah menggunakan benang
sutera.
Pengaruh budaya lainnya terekspresi dalam kesenian wayang gung. Merupakan
seni pertunjukan sejenis wayang orang. Pertunjukan ini mengangkat cerita dari pakem

6
Ramayana versi Banjar yang mendapat pengaruh Jawa. Wayang ini dimainkan dengan
pengolahan vokal pemain dan ditambah gerak tari. Kesenian Wayang Gung dalam
pementasannya diiringi oleh musik gamelan yang ditambah bunyi ketopong. Dahulu
Wayang Gung dimainkan secara adat dan seni pertunjukan sosial kemasyarakatan
seperti Maulid Nabi SAW, saprah amal, hajatan hingga nazar pasca panen padi.
Permainan Wayang Gung biasanya dimainkan semalam suntuk.
Secara sekilas kesenian wayang gung sangat mirip dengan wayang orang dari
Jawa, sebab lahirnya kesenian wayang gung ini tidak lepas dari kesenian Wayang Orang
yang mendapatkan adaptasi dari masyarakat Banjar. Ada perbedaan yang khas yang
dapat dilihat, diantaranya adalah, gamelan dan tetabuhan, pakaian dan perlengkapan
yang digunakan, gerak tari, bahasa pengantar, dan struktur pagelaran. Fungsi dari
kesenian wayang gung bagi masyarakat Banjar berfungsi sebagai hiburan, pendidikan,
dan yang berhubungan dengan ritual.

Referensi
Amir Hasan kiai Bondan. 1925. Suluh Sedjarah Kalimantan. (Bandjarmasin: Fadjar).
Anthony Reid. 1980. “The Structure of Cities in Southeast Asia, Fifteenth to Seventeenth
Centuries”, Journal of Southeast Asian Studies Vol. 11 (2), 1980.
Anthony Reid. 1993. Southeast Asia in the Age of Commerce, 1450-1680, Vol. 2,
Expansion and Crisis. (Yale Univ. Press, New Haven, 1993).
Anton A.Cense. 1928. De Kroniek van Banjarmasin (Santpoort: Uitgeverij C.A. Mees,
1928).
Bambang Subiyakto. 1997. Pelayaran Sungai di Kalimantan Tenggara: Tinjauan Historis
Tentang Transportasi Air Abad ke- XIX. Tesis Fak. Sastra Universitas Gadjah
Mada.
Bernard H.M. Vlekke. 2008. Nusantara (Jakarta: KPG).
D. Beckman. 1718. A Voyage to the Island of Borneo in the East-Indies (London : T
Warner)
Dwi Cahyono, “Benteng Tabanio di Tanah Laut Kalsel dalam Perbandingan Lintas
Masa”, dalam: patembayan citralekha.wordpress, 2016, diakses 20 November
2020.
Goh Yoon Fong. 1969. Trade and Politics in Bandjermasin 1700-1747, Thesis University
of London.
H. Knapen. 2001. Forests of Fortune? The environmental History of Southeast Borneo,
1600-1880 (Leiden: KITLV Press, Leiden).
Ita S. Ahyat. 2012. Kesultanan Banjarmasin pada Abad ke-19: Ekspansi pemerintah
Hindia-Belanda di Kalimantan (Tangerang Selatan: Serat Alam Media).
J. Paulus. 1917. Encyclopaedie van Nederlandsch Indie, eerste deel. ’s Gravenhage:
Martinus Nijhoff.
J. Willi Gais. 1922. The Early Relations of England With Borneo to 1805 (H. Beyer,
Langensalza, 1922).
Milburn. 1813. Oriental Commerce: Containing a Geographical Description of the
principal Places in The East Indies, China, and Japan, with their Produce,
Manifacture, and Trade (London).

7
Singgih Tri Sulistiyono. 2016. “Jawa dan Jaringan Perdagangan Maritim di Nusantara
Pada Periode Awal Modern”, makalah dalam Konferensi Nasional Sejarah X,
Hotel Grand Sahid Jaya Jakarta, 7 - 10 November 2016.
Suriansyah Ideham, et.al.. 2003. Sejarah Banjar (Banjarmasin: Badan Penelitian dan
Pengembangan Daerah Provinsi Kalimantan Selatan).
Vera D. Damayanti. 2019. Identifikasi struktur dan perubahan lanskap Kota Banjarmasin
di Masa Kesultanan (1526-1860). Jurnal Arsitektur Lansekap Vol. 5, No. 2,
Oktober.
Willem Adriaan van Rees. 1867. De Bandjermasinsche Krijg van 1859-1863: Nader
Toegelicht (Arnhem: D.A. Thieme).

Anda mungkin juga menyukai