Menurut versi sejarah, pada masa silam kota ini hanya berupa dusun kecil yang
dikenal dengan sebutan Dusun Senapelan, yang dikepalai oleh seorang Batin (kepala
dusun). Dalam perkembangannya, Dusun Senapelan berpindah ke tempat pemukiman
baru yang kemudian disebut Dusun Payung Sekaki, yang terletak di tepi Muara Sungai
Siak. Perkembangan Dusun Senapelan ini erat kaitannya dengan perkembangan
Kerajaan Siak Sri Indrapura. Pada masa itu, raja Siak Sri Indrapura yang keempat,
Sultan Abdul Jalil Alamuddin Syah, bergelar Tengku Alam (1766-1780 M.), menetap di
Senapelan, yang kemudian membangun istananya di Kampung Bukit berdekatan
dengan Dusun Senapelan (di sekitar Mesjid Raya Pekanbaru sekarang). Tidak berapa
lama menetap di sana, Sultan Abdul Jalil Alamudin Syah kemudian membangun
sebuah pekan (pasar) di Senapelan, tetapi pekan itu tidak berkembang. Usaha yang
telah dirintisnya tersebut kemudian dilanjutkan oleh putranya, Raja Muda Muhammad
Ali di tempat baru yaitu di sekitar pelabuhan sekarang.
Selanjutnya, pada hari Selasa tanggal 21 Rajab 1204 H atau tanggal 23 Juni 1784 M.,
berdasarkan musyawarah datuk-datuk empat suku (Pesisir, Lima Puluh, Tanah Datar
dan Kampar), negeri Senapelan diganti namanya menjadi Pekan Baharu. Sejak saat
itu, setiap tanggal 23 Juni ditetapkan sebagai hari jadi Kota Pekanbaru. Mulai saat itu
pula, sebutan Senapelan sudah ditinggalkan dan mulai populer dengan sebutan Pekan
Baharu. Sejalan dengan perkembangannya, kini Pekan Baharu lebih populer disebut
dengan sebutan Kota Pekanbaru, dan oleh pemerintah daerah ditetapkan sebagai
ibukota Provinsi Riau.
Jauh sebelum Sultan Abdul Djalil Alamuddin Syah, putra Sultan Abdul Djalil Rahmat
Syah memindahkan pusat pemerintahan Kerajaan Siak dari Sungai Mempura ke
Senapelan pada 1763 Masehi, Petapahan dan Teratak Buluh juga menjadi pusat
perdagangan yang cukup ramai pada saat itu. Kedua daerah ini tempat berkumpulnya
para pedagang dari pedalaman Sumatera membawa hasil pertanian, hasil hutan, dan
hasil tambang.
Oleh para pedagang, hasil pertanian, hasil hutan dan hasil tambang tersebut mereka
bawa ke Singapura dan Malaka mengunakan perahu. Untuk jalur perdagangan Sungai
Kampar, pusat perdagangannya terletak di Teratak Buluh. Sedangkan pusat
perdagangan jalur Sungai Siak terletak di Petapahan. Perdagangan jalur Sungai
Kampar kondisinya kurang aman, perahu pedagang sering hancur dan karam dihantam
gelombang (Bono) di Kuala Kampar dan sering juga terjadi perampokan yang dilakukan
oleh para lanun. Sedangkan Sungai Siak termasuk jalur perdagangan yang cukup
aman.
Senapelan ketika itu hanya sebuah dusun kecil yang letaknya di kuala Sungai Pelan,
hanya dihuni oleh dua atau tiga buah rumah saja (sekarang tepatnya di bawah
Jembatan Siak I). Pada saat itu di sepanjang Sungai Siak, mulai dari Kuala Tapung
sampai ke Kuala Sungai Siak (Sungai Apit) sudah ada kehidupan, hanya pada saat itu
rumah-rumah penduduk jaraknya sangat berjauhan dari satu rumah ke rumah lainnya.
Ketika itu belum ada tradisi dan kebudayaan, yang ada hanya bahasa, sebagai alat
komunikasi bagi orang-orang yang tinggal di pinggir Sungai Siak.
Bahasa sehari-hari yang mereka pakai adalah bahasa Siak, bahasa Gasib, bahasa
Perawang dan bahasa Tapung, karena orang-orang inilah yang lalu-lalang melintasi
Sungai Siak. Pada saat itu pengaruh bahasa Minang, bahasa Pangkalan Kota Baru dan
bahasa Kampar belum masuk ke dalam bahasa orang-orang yang hidup di sepanjang
Sungai Siak.
Jauh sebelum Sultan Abdul Djalil Alamuddin Syah, putra Sultan Abdul Djalil Rahmat Syah
memindahkan pusat pemerintahan Kerajaan Siak dari Sungai Mempura ke Senapelan pada 1763
Masehi, Petapahan dan Teratak Buluh juga menjadi pusat perdagangan yang cukup ramai pada
saat itu. Kedua daerah ini tempat berkumpulnya para pedagang dari pedalaman Sumatera
membawa hasil pertanian, hasil hutan, dan hasil tambang.
Oleh para pedagang, hasil pertanian, hasil hutan dan hasil tambang tersebut mereka bawa ke
Singapura dan Malaka mengunakan perahu. Untuk jalur perdagangan Sungai Kampar, pusat
perdagangannya terletak di Teratak Buluh. Sedangkan pusat perdagangan jalur Sungai Siak
terletak di Petapahan. Perdagangan jalur Sungai Kampar kondisinya kurang aman, perahu
pedagang sering hancur dan karam dihantam gelombang (Bono) di Kuala Kampar dan sering juga
terjadi perampokan yang dilakukan oleh para lanun. Sedangkan Sungai Siak termasuk jalur
perdagangan yang cukup aman.
Senapelan ketika itu hanya sebuah dusun kecil yang letaknya di kuala Sungai Pelan, hanya dihuni
oleh dua atau tiga buah rumah saja (sekarang tepatnya di bawah Jembatan Siak I). Pada saat itu di
sepanjang Sungai Siak, mulai dari Kuala Tapung sampai ke Kuala Sungai Siak (Sungai Apit) sudah
ada kehidupan, hanya pada saat itu rumah-rumah penduduk jaraknya sangat berjauhan dari satu
rumah ke rumah lainnya. Ketika itu belum ada tradisi dan kebudayaan, yang ada hanya bahasa,
sebagai alat komunikasi bagi orang-orang yang tinggal di pinggir Sungai Siak.
Setelah Sultan Abdul Djalil Alamuddin Syah memindahkan pusat pemerintahan Kerajaan Siak dari
Sungai Mempura ke Senapelan, pembesar-pembesar kerajaan serta orang-orang dalam kerajaan
serta keluarganya ikut pindah ke Senapelan. Dan pada saat itulah tradisi serta budaya, bahasa
sehari-hari terbawa pindah ke Senapelan.
Di Senapelan, sultan membangun istana (istana tersebut tidak terlihat lagi
karena terbuat dari kayu). Sultan juga membangun masjid, masjid tersebut berukuran kecil,
terbuat dari kayu, makanya masjid tersebut tidak bisa kita lihat lagi sekarang ini. Dari dasar
masjid inilah menjadi cikal bakal Masjid Raya Pekanbaru di Pasar Bawah sekarang ini.
Sultan juga membangun jalan raya tembus dari Senapelan ke Teratak Buluh. Sultan Abdul Djalil
Alamuddin Syah membangun pasar, yang aktivitasnya hanya sepekan sekali. Belum sempat
Senapelan berkembang, Sultan Abdul Djalil Alamuddin Syah wafat pada 1765 masehi dan
dimakamkan di samping Masjid Raya Pekanbaru, sekarang dengan gelar Marhum Bukit.
Setelah Pekanbaru menjadi ramai maka muncullah para pendatang dari pelosok negeri mulai dari
Minang Kabau, Pangkalan Kota baru, Kampar, Taluk Kuantan, Pasir Pengaraian, dan lain-lain.
Awalnya mereka berdagang, lama kelamaan mereka menetap. Dengan menetapnya para pedagang
tersebut di Pekanbaru lalu mereka melahirkan generasi (anak, cucu, cicit). Anak, cucu, dan cicit
tersebut menjadi orang Pekanbaru. Masing-masing pedagang yang datang dan menetap di
Pekanbaru membawa bahasa serta tradisi dari asal daerah mereka masing-masing. Lalu mereka
wariskan kepada anak cucu dan cicit mereka. Dari situlah mulai kaburnya bahasa, tradisi asli
Pekanbaru yang berasal dari Kerajaan Siak.
Kalau ingin tahu lebih jelas lagi mengenai sejarah, bahasa serta tradisi asli Pekanbaru, tanyakan
kepada orang-orang Pekanbaru yang nenek moyang mereka berasal dari Siak, atau nenek moyang
mereka orang-orang yang hidup di dalam lingkungan Kerajaan Siak. Mustahil para pedagang yang
datang dan menetap di Pekanbaru menceritakan kepada anak cucu mereka tentang sejarah dan
tradisi Pekanbaru.
Yang pasti mereka tanamkan ke dalam pikiran anak cucu mereka bagaimana cara berdagang yang
baik dan sukses. Dalam hal ini peran Lembaga Adat Kota Pekanbaru sangat penting sekali, untuk
meluruskan dan menjelaskan sejarah dan tradisi asli Pekanbaru. Maka dari itu pengurus Lembaga
Adat Kota Pekanbaru mau tak mau harus tahu sejarah serta adat istiadat asli Pekanbaru. Karena
Lembaga Adat tempat orang minta petunjuk, minta pendapat dan minta petuah.
Etimologi[sunting | sunting sumber]
Melayu (Aksara Tionghoa Tradisional: 末羅瑜國; Pinyin: Mòluóyú Guó), berasal dari kata Malaya
dvipa dari kitab Hindu Purana yang berarti tanah yang dikelilingi air yang merujuk pada
sebuah Kerajaan Melayu Kuno di Jambi pada abad ke-7.[1][2]
Pantai timur Sumatera khususnya Riau termasuk dalam kawasan swapraja atau berkepemerintahan sendiri.
Nama riau sendiri ada tiga pendapat. Pertama, dari kata Portugis, rio berarti sungai.[3][4] Pada tahun
1514, terdapat sebuah ekspedisi militer Portugis yang menelusuri Sungai Siak, dengan tujuan
mencari lokasi sebuah kerajaan yang diyakini mereka ada pada kawasan tersebut, sekaligus
mengejar pengikut Sultan Mahmud Syah yang mengundurkan diri menuju Kampar setelah
kejatuhan Kesultanan Malaka.[5][6] Pendapat kedua riau berasal dari kata riahiyang berarti air laut,
yang diduga berasal dari kitab Seribu Satu Malam.[4]
Pendapat ketiga diangkat dari kata rioh atau riuh berasal dari penamaan rakyat setempat yang
berarti ramai, Hiruk pikuk orang bekerja, yang mulai dikenal sejak Raja kecik memindahkan pusat
kerajaan melayu dari johor ke ulu Riau pada tahun 1719.[4] Nama ini di pakai sebagai salah satu dari
empat negeri utama yang membentuk kerajaan Riau, Lingga, Johor dan pahang. Namun, akibat
dari Perjanjian London tahun 1824 antara Belanda dengan Inggrisberdampak pada terbelahnya
kerajaan ini menjadi dua. Belahan Johor-Pahang berada di bawah pengaruh Inggris, Sedangkan
belahan Riau-Lingga berada di bawah pengaruh Belanda.[7][8]
Candi Muara Takus di Riau, diduga pernah menjadi pusat kerajaan Sriwijaya.
Riau diduga telah dihuni sejak 1.000.000-4.000.000 SM. Kesimpulan ini diambil setelah penemuan
alat-alat dari zaman Pleistosen di daerah aliran sungai Sungai Sengingi di Kabupaten Kuantan
Singingi pada bulan Agustus 2009. Alat batu yang ditemukan antara lain kapak penetak, perimbas,
serut, serpih dan batu inti yang merupakan bahan dasar pembuatan alat serut dan serpih. Tim
peneliti juga menemukan beberapa fosil kayu yang diprakirakan berusia lebih tua dari alat-alat batu
itu. Diduga manusia pengguna alat-alat yang ditemukan di Riau adalah pithecanthropus erectus
seperti yang pernah ditemukan di Jawa Tengah.[9][10]
Imperium Melayu Riau juga merupakan penyambung warisan Kedatuan Sriwijaya yang berbasis
agama Buddha. Ini bukti ditemukannya Candi Muara Takus yang diduga merupakan pusat
pemerintahan Sriwijaya, yang berasitektur menyerupai candi-candi yang ada di India. Selain
itu, George Cœdès juga menemukan persamaan struktur pemerintahan Sriwijaya dengan
kesultanan-kesultanan melayu abad ke-15.[11] Kerajaan Melayu dimulai dari Kerajaan Bintan-
Tumasik abad ke-12, disususul dengan periode Kesultanan-kesultanan melayu Islam.
Teks terawal yang membahas mengenai dunia melayu adalah Sulalatus Salatin atau yang dikenal
sebagai Sejarah Melayu karya Tun Sri Lanang, pada tahun 1612[12]. Menurut kitab tersebut, Bukit
Seguntang adalah tempat dimana datangnya Sang Sapurba yang dimana keturunannya tersebar di
alam melayu. Sang Mutiara menjadi raja di Tanjungpura dan Sang Nila Utama menjadi raja
di Bintan sebelum akhirnya pindah ke Singapura.[13]
Daerah kekuasaan kesultanan Malaka.
Masyarakat melayu pada umumya identik dengan Islam yang menjadi fondasi dari sumber adat
istiadatnya. Oleh karena itu, adat istiadat orang Melayu
Riau bersendikan syarak dan syarakbersendikan Kitabullah.[15][16]
Sebelum kedatangan Islam ke nusantara, banyak bagian wilayah berada di bawah Kerajaan
Sriwijaya antara abad ke-7 sampai abad ke-14 yang sangat dipengaruhi oleh tradisi Hindu-
Buddha.[17] Pada masa itu Islam sudah diperkenalkan ketika Maharaja Sriwijaya mengirimkan surat
kepada Khalifah Umar bin Abdul Aziz, yang berisi permintaan untuk mengirimkan utusan untuk
menjelaskan hukum Islam kepadanya.[18]
Pada abad ke-12, masuknya Islam ke nusantara dibawa melalui Samudera Pasai yang telah terlebih
dahulu dan diakui sebagai perintis kerajaan Islam di nusantara pada zamannya.[19]
Proses ekspansi Islam terjadi melalui perdagangan, pernikahan dan kegiatan misionaris ulama
Muslim. Faktor-faktor ini menyebabkan penyebaran damai dan pertumbuhan pengaruh Islam di
seluruh alam melayu. Faktor kuat diterimanya Islam oleh masyarakat melayu adalah aspek
kesetaraan manusia, yang menurut ideologi masyarakat kala itu menganut sistem kasta dalam
Hindu, dimana masyarakat kasta kelas bawah lebih rendah dari anggota kasta yang lebih tinggi.[20]
Masa keemasan ketika Malaka menjadi sebuah kesultanan Islam. Banyak elemen dari hukum Islam,
termasuk ilmu politik dan administrasi dimasukkan ke dalam hukum Malaka, terutama Hukum
Qanun Malaka. Penguasa Melaka mendapat gelar 'Sultan' dan bertanggung jawab terhadap agama
Islam. Pada abad-15 Islam menyebar dan berkembang ke seluruh wilayah Melaka termasuk
seluruh Semenanjung Malaya, Kepulauan Riau, Bintan, Lingga dan beberapa wilayah di pesisir
timur Sumatera, yaitu Jambi, Bengkalis, Siak, Rokan, Indragiri, Kampar, dan Kuantan. Malaka
dianggap sebagai katalisator dalam ekspansi Islam ke daerah lainnya
seperti Palembang, Sumatera, Patanidi Thailand selatan, Utara
Kalimantan, Brunei dan Mindanao.[21]
Disisi lain, orang Sakai dan Talang Mamak masih menganut animisme. Seiring dengan
perkembangan zaman, banyak penduduk Sakai dan Talang Mamak yang sudah memeluk agama
Islam. Meski begitu, peralihan kepercayaan itu tak memupus kebiasaan mereka mempraktikkan
ajaran nenek moyang mereka.
Bahasa Melayu Riau mempunyai sejarah yang cukup panjang, karena Sejarah tersebut di mulai
pada jaman Kerajaan Sriwijaya, saat itu Bahasa Melayu sudah menjadi bahasa perdagangan di
Kepulauan Nusantara. Awalnya pusat kerajaan berada di Malaka kemudian pindah ke Johor,
dan akhirnya pindah ke Riau. Sejak itulah Riau mendapat predikat sebagai pusat kerajaan
Melayu tersebut. Karena itu bahasa Melayu jaman Malaka terkenal dengan Melayu Malaka,
bahasa Melayu jaman Johor terkenal dengan Melayu Johor dan bahasa Melayu jaman Riau
terkenal dengan bahasa Melayu Riau.
Bahasa Melayu Riau sudah dibina sedemikian rupa oleh Raja Ali Haji, sehingga bahasa ini
sudah memiliki standar pada zamannya dan juga sudah banyak dipublikasikan, berupa; buku-
buku sastra, buku-buku sejarah dan agama pada era sastra Melayu klasik pada abad-19.
Jenis rumah Melayu meliputi rumah kediaman, rumah balai, rumah ibadah dan rumah
penyimpanan. Penamaan itu disesuikan dengan fungsi dari setiap bangunan. Secara umum
ada lima jenis rumah adat Melayu Riau yaitu:
Baju Melayu Cekak Musang dan kain samping serta Baju Kurungdengan selendang dan sarung.
Baju Melayu adalah pakaian umum bagi lelaki yang digunakan secara umum oleh orang
Melayu dan rumpunnya di nusantara, khususnya Riau. Ada dua jenis yang pertama
adalah baju kemeja lengan panjang yang memiliki kerah kaku mengangkat dikenal
sebagai kerah Cekak Musang. Sepasang baju dan celana biasanya yang terbuat dari
jenis yang kain yang sama yakni sutra, katun, atau campuran polyester dan katun. Kain
samping merupakan kain pelengkap yang sering digunakan untuk dipadu padankan
dengan Baju Melayu, baik terbuat dari kain songket atau kain sarung. Sebuah tutup
kepala berwarna hitam yang biasa dikenal sebagai songkok atau peci dipakai untuk
menyempurnakan pakaian tersebut.
Sedangkan bagi perempuan adalah baju Kurung berbentuk gaun panjang longgar, yang
terdiri dari rok dan blus. Biasanya bagian rok terbuat dari kain panjang
berbahan songket, sarung atau batikdengan lipatan di satu sisi.