Anda di halaman 1dari 6

Etnis Krowe

Orang Krowe atau disebut sebagai Ata Krowe adalah sekelompok masyarakat lokal yang hidup di Kampung
Romanduru, Kabupaten Sikka, Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur. Julukan sebagai Ata Krowe merujuk pada
makna kata “Krowe” yang berarti gunung dan "Ata" yang berarti orang. Dengan demikian, Orang Krowe sering
diidentikan sebagai orang gunung karena wilayah dan tempat tinggalnya. Mereka juga menggunakan Bahasa
Sikka sebagai penutur kesehariannya. Orang Krowe memiliki cara dan sistem sendiri dalam hal
pengaturan lahan. Berbeda dengan masyarakat Nias yang menggunakan batas alam sebagai penanda batas
antarkomunitas, Orang Krowe justru menggunakan kesepakatan-kesepakatan yang dilakukan secara turun-
temurun kemudian disimbolkan dalam bentuk budaya materi. Mereka tidak mengacu pada bentang alam
seperti bukit dan jurang layaknya masyarakat Nias,[1] tetapi mengacu pada simbol-simbol berupa budaya
materi. Penelitian dari Utama (2014) menyebutkan bahwa beberapa simbol materi atau bendawi yang
digunakan Orang Krowe untuk menandai suatu wilayah adalah watu mahang yang berarti batu sudut; wisung
wangar yang berarti lokasi di mana terdapat rumah utama tiap-tiap klan; wu’a mahe yang diartikan pula sebagai
batu mahe; ai tali yang juga diartikan sebagai tempat bersemayamnya roh leluhur yang berlokasi di kebun adat
setiap klan. Seluruh simbol-simbol bendawi tersebut berlokasi pusat permukiman

Kondisi Permukiman

Sebagaimana yang telah dijelaskan di muka, Orang Krowe bermukim di Kabupaten Sikka, Pulau Flores, Nusa
Tenggara Timur. Secara geografis, wilayah Sikka merupakan daerah landai dan perbukitan yang memiliki luas
wilayah 1.713,91 km2. Kabupaten Sikka juga berbatasan dengan daerah-daerah lain, seperti:

 Utara: Laut Flores
 Selatan: Laut Sawu
 Barat: Kabupaten Ende
 Timur: Kabupaten Flores Timurr.
Di dalam Kabupaten Sikka terdapat 18 pulau, baik pulau yang didiami maupun yang sudah tidak didiami. Orang
Krowe yang tinggal di Sikka amat akrab dengan keberadaan pegunungan, sebab daerah tersebut didominasi
oleh pegunungan dan dataran rendah. Mereka tidak hanya bermukim di gunung, melainkan juga memberikan
makna khusus terhadap gunung. Gunung mereka anggap sebagai “mama” yang memberikan mereka makanan
dan menjamin seluruh kehidupan mereka. Mereka meyakini bahwa nenek moyang menitipkan gunung-gunung
itu untuk mereka jaga, sehingga tidak sepatutnya dijarah atas dasar kekuasaan perorangan. Dalam beberapa
cerita lisan yang berkembang, Orang Krowe juga sangat memberikan keistimewaan pada keberadaan Gunung
Mapitara yang berada di sebelah Gunung Egon, gunung vulkanik yang masih aktif hingga saat ini. Di dalam
permukiman itu, juga masih banyak dijumpai perkampungan tradisional yang ditandai dengan pohon bambu
setinggi dua meter yang mengeliling permukiman dan masih adanya lokasi untuk berperang. Sebagai misal,
sebuah desa Watublai pada tahun 1890-an masih dijadikan sebagai lokasi untuk berperang suku-suku yang
tinggal di wilayah tersebut. Secara khusus, Orang Krowe bermukim di kampung-kampung tua di wilayah
pegunungan Sikka Tengah. Ada beberapa kampung di wilayah tersebut, di antaranya adalah Kampung Bola,
Kampung Eha, Kampung Hewokloang, Kampung kewagahar, dan lain-lain. Kampung Romandaru adalah
perkampungan yang menjadi tempat tinggal Orang Krowe. Secara khusus, kampung tersebut merupakan
bagian dari Desa Rubit, Kecamatan Hewokloang, Kabupaten Sikka. Nama Romandaru berasal dari kata “roma”
yang berarti cabut dan “duru” yang berarti tanaman. Romanduru diartikan sebagai mencabut tanaman duru.
Nama itu dipakai karena pada saat membuka lahan Kampung Romanduru, banyak terdapat semak belukar dan
tanaman duru. Untuk mengingat asal-usul tersebut, mereka menggunakan kata Romanduru. Kampung
Romandaru adalah perkampungan yang menjadi tempat tinggal Orang Krowe. Secara khusus, kampung
tersebut merupakan bagian dari Desa rubit, Kecamatan Hewokloang, Kabupaten Sikka. Nama Romandaru
berasal dari kata “roma” yang berarti cabut dan “duru” yang berarti tanaman. Romanduru diartikan sebagai
mencabut tanaman duru. Nama itu dipakai karena pada saat membuka lahan Kampung Romanduru, banyak
terdapat semak belukar dan tanaman duru. Untuk mengingat asal-usul tersebut, mereka menggunakan kata
Romanduru. Kampung Romanduru memiliki cerita-cerita lokal tertentu terutama yang berkaitan dengan asal-
usul mereka. Di dalam Kampung Romanduru, terdapat struktur kekuasaan tradisional. Struktur tersebut
bermula ketika Suku Buang Baling yang merupakan suku pertama menemukan mata air dan mengajak suku
Mana untuk membuka kampung baru yang disepakati sebagai Tana Pu’an. Suku kedua yang datang yaitu Suku
Mana kemudian ditetapkan sebagai wakil Suku Buang. Terdapat suku lain yaitu Suku Keytimu Lamen yang
ditunjuk oleh Tana Pu’ang untuk memimpin ritual penghormatan kepada awrah leluhur. Dalam hal itu, setiap
suku memiliki perannya masing-masing sesuai dengan waktu kedatangan mereka ke Kampung Romanduru.
Seluruh ritual penghormatan kepada arwah leluhur itu disebut dengan istilah tong piok. Dalam ritual yang
diselenggarakan di Kampung Romanduru itu, seluruh suku harus mengundang Tana Pu’ang. Apabila Tana
Pu’ang tidak bisa hadir, maka harus diwakili oleh saudara laki-laki dari Suku Buang.Tidak hanya sampai di situ,
Kampung Romanduru juga dihuni oleh puluhan suku-suku lain, selain ketiga suku yang datang terlebih dahulu
tersebut. Baik Suku Buang Baling, Mana, dan Keytimu dianggap sebagai “wakil” dari suku-suku lain apabila
terdapat berbagai persoalan adat. Sebagai misal, ketiga suku tersebut memiliki wewenang untuk menunjukan
batas-batas tanah adat di Kampung Romanduru, sekaligus memutuskan berbagai keputusan penting terkait
tanah adat mereka.

Tradisi Ngen

Tradisi Ngen dalam perspektif Orang Krowe diartikan sebagai cara hidup yang berpindah-pindah tempat atau
migrasi. Tradisi tersebut telah diterapkan oleh Orang Krowe sejak masa silam bahkan sejak
zaman bahari masih menyelimuti kehidupan suku-suku lain di sana. Tradisi Ngen tersebut juga ditujukan
dengan penggunaan bendawi materi sebagai simbol yang masih dipertahankan di tempat tinggal barunya
sebagai keberlanjutan dari budaya di tempat sebelumnya. Selain dapat ditelusuri melalui materi bendawi,
tradisi ngen juga dapat dilacak melalui mitos-mitos yang diturunkan kepada keturunan mereka. Mitos-mitos
yang ada mampu menjelaskan bentuk persebaran Orang Krowe di permukiman itu. Selain itu, Orang Krowe juga
memiliki cerita tentang kedatangan sekelompok orang ke kampung tua dengan menggunakan perahu. Mitos
itu diwariskan secara turun temurun sebagai asal usul penghuni kampung tua di permukiman Orang Krowe. Hal
itu dibuktikan dengan keberadaan miniatur perahu yang terbuat dari logam, yang disebut sebagai Jong Dobo.
"Jong" dalam Bahasa Sikka diartikan sebagai perahu, sedangkan "Dobo" diartikan sebagai tempat keberadaan
perahu tersebut saat ini, yaitu berada di Desa Dobo. Menurut cerita yang ada, perjalanan orang-orang dari
kampung lain itu dimulai dari India, Thailand, Selat Malaka dan berlanjut
ke Indonesia melalui Sumatra, Jawa, Irian Jaya, Bima, LLabuan Bajo. Kelompok pendatang itu berlayar ke
pesisir pantai utara Pulau Flores dan mampir ke Koli Dobo hingga kemudian melanjutkan perjalanan ke Ende.
Dari Ende, kelompok tersebut melanjutkan perjalanan mereka ke Waipare yang kemudian menyebabkan
jangkar kapal mereka terputus sehingga mengharuskan mereka untuk melanjutkan perjalanan pada keesokan
harinya. Setelah melalui perjalanan panjang ke beberapa wilayah, kelompok tersebut kemudian melabuhkan
kapalnya ke Wolon Gele dan bekas tarikan kapal mereka dimanfaatkan masyarakat setempat sebagai jalan
kampung. Mereka kemudian melanjutkan perjalanan ke Kampung Dobo karena keberadaan mereka tidak
diterima di wilayah yang sebelumnya. Di Kampung Dobo mereka tinggal sejenak karena diterima oleh Moat
Wogo Pigang. Setelah menetap di Kampung Dobo, Jong Dobo berubah menjadi perahu kecil yang terbuat
dari logam. Menurut beberapa peneliti dari Belanda dan Australia, perahu logam tersebut dinilai berasal
dari Sumeria pada abad ke-3 SM. Di dalam kapal tersebut terdapat 20 figur manusia, lonceng, dan
ayam. Ayam tersbut mereka gunakan sebagai penanda waktu, sebagaimana penanda waktu yang ada saat
ini.Tradisi Ngen hampir dikenal baik oleh seluruh Orang Krowe yang tinggal di Romanduru. Meskipun begitu,
jumlah Orang Krowe yang tinggal di setiap kampung jumlahnya tidak sama. Di Romanduru misalnya, terdapat
sepuluh suku yang terdiri dari Ili Lewa, Wodon, Buang Baling, Mana, Keytimu, Waen, Weweniur, Lio Watu bao, Lio
Lepo Gai, Keytimu Lamen, dan Kluku Mude Lau. Masing-masing suku tersebut memiliki seorang Tana Pu’an,
yaitu seseorang yang tokoh adat yang bertanggung jawab untuk memimpin ritual serta mengatur urusan
pertanahan, pertanian, peternakan, dan perburuan. Dengan demikian, kedudukan Tana Puan hanya berada di
level kampung.

Kepercayaan Lokal

Orang Krowe di Romanduru memercayai kekuatan gaib sebagai “hakikat mutlak”. Kekuatan gaib itu mereka


sebut dengan “Nian Tana Lero Wulan” yang merupakan perpaduan dari Nian Tana (bumi) dan Lero-Wulan
(matahari-bulan). Dengan demikian, mereka percaya dan menyembah pada unsur mutlak sebagai Tuhan, yaitu
Tuhan Bumi dan Tuhan Matahari dan Bulan. Wujud penghambaan kepada dua unsur mutlak itu dipandang
sebagai ekspresi masyarakat Krowe atas “wujud tertinggi”, bukan bermaksud untuk mengatakan bahwa
mereka menyembah lebih dari satu Tuhan. Selain pada “unsur mutlak” tersebut, Orang Krowe juga percaya
pada roh-roh halus. Bagi mereka, roh halus mampu memengaruhi kehidupan manusia di bumi. Oleh sebab itu,
bagi Orang Krowe, sangat penting untuk menjaga hubungan dengan roh-roh halus tersebut. Setidaknya, ada
tiga jenis roh halus yang mereka kenal. Pertama disebut dengan Nitu Noan yang mana “Nitu” diyakini sebagai
penguasa dunia bawah atau bumi dan “Noan” yang diyakini sebagai pengiasa dunia atas atau langit. Kedua
adalah Ata Ube yang mewujudkan dirinya sebagaimana manusia biasa namun memiliki kekuatan ghaib seperti
roh-roh jahat lainnya. Ata Ube diyakini sebagai makhluk pemakan manusia. Ketiga adalah Ata haling yang
diyakini sebagai kelompok roh halus yang berasal dari roh-roh jahat. Terlepas dari ketiga roh tersebut, Orang
Krowe juga percaya bahwa arwah nenek moyang memiliki peranan penting dalam kehidupan Ata Krowe.
Mereka meyakini bahwa kematian adalah proses dimana orang yang meninggal bersatu kembali dengan
para leluhur. Kepercayaan-kepercayaan lokal tersebut dinilai menjadi upaya bagi Orang Krowe untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya. Sebagai misal, upacara pernikahan di kalangan mereka yang dilakukan agar hubungan
antarkeluarga menjaid makin baik setelah melakukan pernikahan. Selain itu, Orang Krowe juga percaya tiga
unsur kehidupan yang memiliki abilitas untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Ketiga unsur itu
adalah alam, arwah, dan Allah. Bagi mereka, alam seperti pohon, batu, gunung memiliki kekuatan yang berguna
bagi kehidupan manusia sehingga harus dihormati. Sementara itu, hubungan antar Orang Krowe tidak akan
terputus oleh kematian, termasuk arwah leluhur yang akan selalu memberikan pengaruh pada kehidupan
kerabat yang ditinggalkan.[4] Bagi mereka, sangat penting untuk menjaga hubungan dengan arwah para leluhur
melalui berbagai upacara adat dengan harapan kehidupan duniawi mereka tidak terganggu. Selain itu, Allah
juga merupakan unsur penting dalam kehidupan Orang Krawe. Ciri-ciri kehidupan Kristiani kini telah mewarnai
sebagain besar kehidupan Orang Krowe, meskipun beberapa catatan sejarah menunjukan bahwa
agama Kristen baru masuk ke daerah itu bersamaan dengan kedatangan orang Portugal. Sebagaimana yang
telah dijelaskan di awal, penghormatan kepada leluhur melalui praktik-praktik kepercayaan adalah hal yang
sangat penting bagi Orang Krowe. Mereka kemudian membedakan leluhur ke dalam tiga kelompok, yaitu
arwah leluhur yang masih menjalani proses penyucian atau disebut dengan ina nitu pitu wali higun, ama noan
walu wali hulu; para leluhur yang telah menjalani proses penyucian atau dikenal dengan ina nian tana wawa,
ama lero wulan reta (ibu yang berada di bumi, bapak yang berada di atas angkasa); dan leluhur yang menguasai
alam atau ina du’a ei mula pu’an, ama mo’an ei ongen unen. Bentuk penghormatan yang mereka lakukan
terhadap arwah-arwah tersebut adalah dengan melakukan ritual di tempat-tempat yang dianggap sakral. Tiga
tempat sakral yang digunakan oleh Orang Krowe untuk menghormati arwah nenek moyang adalah  watu
mahang yang disebut sebagai sebuah piringan batu di salah satu ruangan rumah; wu’a mahe yang merupakan
perkampungan arwah leluhur yang telah mengalami proses penyucian; ai taliya yang berarti altar persembahan
kepada leluhur yang berada di bawah pohon tertentu di dalam hutan.

Pola Perkampungan Tua

Pola perkampungan di Kampung Romanduru, tempat tinggal Orang Krowe, terbilang khas. Menurut cerita lokal
yang berkembang, para penduduk mendiami Kampung Romanduru karena di sana terdapat sumber mata
air yang merupakan kebutuhan vital manusia, termasuk untuk minum, mandi, mencuci, dan lain sebagainya.
Setelah menemukan sumber mata air, mereka kemudian menggarap ladang, lalu mendirikan mahe.
Pendirian mahe tersebut mereka sebut sebagai wisung wangar yang berbentuk sebidang tanah di mana di
dalamnya terdapat rumah induk milik satu suku. Apabila masih ada sisa lahan, mereka diperkenankan untuk
mendirikan satu rumah lagi, tetapi tidak dijadikan rumah induk. Rumah induk itu dikenal sebagai Lepo Gete
ditinggali oleh anak laki-laki tertua dari setiap suku. Meskipun demkian, kondisi itu tidak berlaku ketat. Rumah
induk tersebut tidak harus ditinggali oleh satu anak laki-laki tertua saja, anak kedua pun diperkenankan tinggal
di rumah induk.[7]
Di dalam Lepo Gete tersebut juga terdapat sebuah batu bernama watu mahang yang letaknya ada di dalam
kamar paling depan tepatnya di sudut sebelah kanan. Di atas batu tersebut diletakkan beberapa benda
seperti gading, emas, biji-bijian, batu-batu kecil, dan kayu-kayu kecil. Di dalamnya juga terdapat batang bambu
yang berisi benda-benda pusaka atau dinamakan dengan mokung. Mokung tersebut menjadi penanda bahwa
mereka memiliki hak atas Tanah Howakhewer, sementara mereka yang tidak memiliki hak atas tanah itu hanya
memiliki lempengan batu mendatar saja. Watu mahang tersebut biasa digunakan Orang Krowe untuk ritual-
ritual Domestik dalam lingkup keluarga inti. Pola perkampungan Orang Krowe seluruhnya hampir serupa, yaitu
memiliki wisung wangar, mahe, watu mahang, dan ai tali. Seluruh kampung juga dikelilingi oleh tempat yang
digunakan untuk buang air kecil dna buang air besar yang disebut dengan Siok Linok Ogor Wokor. Tempat itu
dahulu dipergunakan oleh Orang Krowe untuk melakukan aktivitas ekskresi bersama-sama, sebelum mereka
memiliki Kamar mandi pribadi seperti saat ini. Tempat itu biasanya terletak di bawah pohon, utamanya
adalah pohon beringin yang juga mengelilingi kampung mereka sekaligus dijadikan sebagai batas antara
permukiman dan hutan serta tanah garapan. Meskipun digunakan secara bersama-sama, Orang Krowe
menggunakan pohon yang tumbuh di dekat rumahnya masing-masing. Perlu diketahui, pohon beringin tersebut
jumlahnya sangat banyak, sehingga mereka tidak perlu memakai pohon beringin “milik” orang lain. Dalam
bahasa sederhana, antar-keluarga tidak saling bergantian tempat ekskresi. Selain itu, pohon-
pohon beringin tersebut juga dikelilingi oleh semak-semak belukar yang cukup tinggi sehingga dapat menjadi
penutup bagi mereka ketika melakukan aktivitas ekskresi. Kotoran-kotoran yang mereka hasilkan juga
kemudian menjadi fases dan dimakan oleh binatang-binatang peliharaan seperti babi dan anjing yang hidup
secara bebas di sana. Perlu diketahui pula, Orang Krowe tidak mengandangkan binatang-binatang tersebut,
sehingga keberadaan binatang itu mampu mempermudah mereka mengurai kotorannya. Setelah batas Siok
Linok Ogor Wokor, terdapat sebuah hutan dan tanah garapan yang dapat dimanfaatkan warga untuk melakukan
aktivitas pertanian dan mengumpulkan kayu.

Penguasaan Tanah

Pada dasarnya, Orang Krowe menguasai tanahnya secara tradisional. Sama halnya dengan masyarakat lokal
lainnya, keberadaan sumber daya alam menjadi sangat penting bagi Orang Krowe. Sumber kehidupan mereka
sepenuhnya digantungkan dari sumber daya alam. Sumber daya alam tersebut berada di wilayah-wilayah
tertentu yang kemudian menjadi daya tarik bagi Orang Krowe untuk datang dan tinggal di sana. Menurut
penuturan lokal yang ada, hak terhadap sumber daya alam itu dilihat dari nenek moyang siapa yang pertama
kali datang ke tempat tersebut. Nenek moyang yang mendatangi tempat itu untuk pertama kali akan dianggap
sebagai pemegang hak milik. Ia juga berhak untuk mewariskan hak kepemilikan tanahnya kepada
keturunannya. Hak atas tanah yang diperoleh sebagai penghuni awal itu mereka kenal dengan istilah dua hekor
nian kokanmuhan, moang bira tana bliner peka. Sementara subjek atau orang yang pertama kali memperoleh
hak milik itu disebut sebagai “Tuan tanah”. Masyarakat setempat menyebutnya dengan istilah Tana
Pu’ang yang berarti menguasai wilayah dengan luas tertentu yang berbatasan dengan territorial  Tana
Pu’ang lainnya. Untuk menandai batas wilayah kepemilikan tanah antar Tana Pu’ang, mereka mempergunakan
batu di ke-empat sudut mata angin yang dinamakan dengan watu kekor.
Penguasaan tanah oleh Tana Pu’ang tidak hanya mencakup wilayah permukiman yang sedia untuk dijadikan
tempat tinggal, melainkan juga mencakup tanah pertanian dan perkebunan yang akan digarap menjadi
komoditas tertentu. Warga biasa atau Orang Krowe yang tidak memiliki hak penguasaan tanah, dapat
mengajukan permohonan terlebih dahulu kepada Tana Pu’ang. Tana Pu’ang kemudian akan menyelenggarakan
ritual pada lokasi di hutan yang akan dijadikan lahan pertanian dengan maksud untuk meminta izin kepada
arwah-arwah yang menghuni lokasi tersebut. Sebagai bentuk persetujuan, keluarga Orang Krowe yang akan
mengelola tanah tersebut akan menghadiahi Tana Pu’ang dengan sebuah sesaji yang berisi ayam, nasi, kepala
dan hati babi, daging anjing, dan moke (sejenis minuman keras produksi lokal yang dibuat dari fermentasi
sadapan air nira). Hadiah sesaji itu disebut mereka dengan istilah wawi peping ora piong. Maksud dari
pemberian sesaji itu juga untuk menandakan bahwa keluarga Orang Krowe yang mengelola tanah pertanian
tersebut hanya memiliki hak pakai, buka hak milik.Sementara itu, wilayah tradisional yang menjadi area
kekuasaan Tana Pu’an telah tersebar di seluruh wilayah Sikka Tengah, termasuk di Kampung Romanduru.
Wilayah-wilayah tradisional itu mencakup wilayah administrasi di Kabupaten Sikka,

ETNIS LIO
Suku Lio adalah suku tertua dan suku terbesar yang ada di Pulau Flores. Suku ini juga masih sangat sakral
memegang teguh tradisi dan budaya warisan para leluhur. Masyarakat suku Lio pada umumnya menempati
Kecamatan Wolowaru, Kecamatan Ndona, Kecamatan Ndona Timur, Kecamatan Detusoko, Kecamatan Lio
Timur, kecamatan Maurole, Kecamatan Detukeli, Kecamatan Ndori, Kecamatan Kelimutu, beberapa wilayah di
Kecamatan Maukaro , Kecamatan Lepembusu Kelisoke, Kecamatan Kotabaru, Kecamatan Wolojita dan
Kecamatan Wewaria. Populasi masyarakat Lio mendominasi hampir 85 % wilayah kabupaten Ende. Suku Lio
juga menempati bagian barat wilayah Kabupaten Sikka yakni: Kecamatan Paga, Kecamatan Mego, Kecamatan
Tanawawo, dan Kecamatan Magepanda.

ASAL - USUL ORANG LIO


Ada beberapa versi tentang asal-usul orang Lio ini. Dahulu diceritakan suku Lio adalah manusia pertama di
wilayah Ende Lio turun dari gunung tertinggi yaitu gunung Lepembusu yang berada di kawasan pemukiman
desa Wolotolo. Suku Lio di desa Wolotolo dipimpin oleh empat Mosa Laki (kepala suku) dan tujuh Kopo Kasa
(wakil kepala suku). Kepala suku dan Kopo Kasa memegang peranannya masing-masing sesuai dengan tugas
yang diamanatkan turun temurun dari nenek moyang sebelumnya. Keempat kepala suku bertempat tinggal di
sao ria (rumah besar) masing-masing. Suku Lio di Desa Wolotolo memiliki berbagai macam elemen
permukiman adat bangunan mulai dari sao ria (rumah besar), sao keda (tempat musyawarah), kanga (arena
lingkaran), tubu musu (tugu batu), rate (kuburan) dan kebo ria (lumbung). Bangunan-bangunan adat suku Lio ini
memiliki berbagai macam bentuk sesuai dengan fungsinya masing-masing. Kemudian ada versi lain
mengatakan orang Lio awalnya datang dari Malaka wilayah Malaysia, ada juga yang berpendapat datang dari
Kabupaten Malaka di Pulau Timor , NTT. Nama orang tersebut adalah Lio Laka yang turun di Kecamatan
Wewaria (Pantai Utara Flores Kab. Ende). Hal ini menunjukan bahwa versi yang mengatakan bahwa orang Lio
merupakan keturunan orang Malaka yang berada pada provinsi NTT tidak relevan karena Malaka NTT berada
pada Pulau Timor yang berada pada selatan pulau Flores. Sangat tidak mungkin ketika melihat daratan, pelaut
malah putar arah dari pantai selatan ke pantai utara.
Agama dan kepercayan
Suku Lio dikenal sangat memegang teguh keyakinan dan kepercayaan mereka terhadap wujud tertinggi yang
disebut Du'a Ngga'e (Tuhan /Allah), Nitupa'i (roh halus yang paling ditakuti dan harus dihormati) atamata atau
babo mamo (leluhur) yang wajib dihormati. Dalam konteks ini, Du'a Ngga'e berada pada titik puncak yang wajib
disujud. Sementara Nitupa'i atamata wajib dihormati. Masyarakat suku Lio percaya adanya kekuatan adikodrati
serta percaya bahwa roh-roh para leluhur dan roh-roh alam sangat berpengaruh dalam kehidupan mereka.
Walaupun sebagaian kecil masih mempraktikkan agama tradisional (agama leluhur) tetapi saat ini hampir
seluruh ata Lio (orang Lio) baik yang berada di Kabupaten Ende maupun yang berada di Kabupaten Sikka
sebagian besar sudah beralih ke agama agama Abrahamik, yakni: Katolik dan Islam. Saat ini mayoritas suku
Lio beragama Katolik dan sisanya beragama Islam.

Budaya
Bangunan tradisional suku Lio antara lain adalah Sao Keda bangunan pertama sebagai cikal bakal terbentuk
pemukiman, Sao Ria (rumah besar), Tupu Mbusu (batu lonjong), Sao Bhaku (rumah penyimpanan tulang
belulang), Kuwu lewa (dapur umum), Rate (kuburan besar), Kebo ria (lumbung) dan Kanga adalah area ritual
dalam menjalani seremonial adat suku Lio yaitu untuk melakukan persembahan terhadap Dua Ngae (Tuhan)
dalam kepercayaan suku Lio. Bangunan Sao keda awalnya dahulu tempat peristirahatan masyarakat suku Lio
saat pulang dari berburu dan bertani yang biasanya berada di dekat daerah pertanian tempat suku Lio bekerja
sehari-hari. Kelompok sosial yang sangat penting dalam suku Ende lio mewujudkan struktur piramidal, yang
dipuncaknya duduk kepala suku yang secara turun temurun dijabat oleh anak laki-laki sulung. Ia berstatus dan
bertindak sebagai orang tua (Ine Ame) dan disebut pula sebagai ahli waris (Teke Ria Fai Nggae). Warga suku
Lio yang masih seketurunan dengan Laki Ine Ame dinamakan Aji Ana, artinya sama dengan adik dan anak.
Selanjutnya warga yang tinggal dalam kampung itu, tetapi tidak ada hubungan kerabat dengan kepala suku tadi
disebut Fai Walu. Warga semacam ini tidak mendapat warisan yang berasal dari nenek moyang suku, akan
tetapi bila ia berjasa terhadap suku akan diberi imbalan tertentu.
Upacara Adat
Ritual adat Ka po'o dilaksanakan oleh suku Lio yang bermatapencarian sebagai petani dan berladang,
merupakan ritual adat dalam tata berladang yang dilaksanakan setiap tahun oleh para masyarakat yang
berladang (fai walu ana halo) bersama-sama dengan pemangku adat (mosalaki) yang ditandai dengan upacara
memasak nasi dalam bambu yang disebut Are po’o oleh para ibu hal ini diyakini bahwa keterlibatan para ibu
memiliki makna bahwa perempuan adalah rahim kehidupan (bumi) sehingga diyakini mendatangkan
kesuburan, kelimpahan panen serta rejeki dalam keluarga. Sedangkan laki-laki disimbolkan sebagai langit yang
merawat, menjaga dan melindungi. Prinsip laki-laki dan perempuan dalam suku Lio diibaratkan seperti langit-
bumi yang saling melengkapi satu sama lain. Ini juga bentuk kesetaraan gender dalam tatanan adat, Upacara
Ka po’odiakhiri dengan makan bersama seluruh mosalaki dan penggarap ladang. Tujuan dilaksanakannya ritual
adat untuk memberi makan kepada para leluhur, menolak hama penyakit (tola bala) sehingga lahan yang
dibuka untuk berladang diberi kesuburan, keamanan dan hasil yang baik. Tak hanya sekadar ritual, tetapi
upacara adat yang terus dilakukan secara turun temurun ini menjadi ajang kebersamaan dan pertemuan
keluarga masyarakat adat. Pantangan adat (pire). Setelah upacara Ka po'o, dilanjutkan dengan larangan adat
(pire) selama dua hari. Pantangan bertujuan agar para penggarap mentaati wejangan mosalaki sebagai bentuk
penghargaan terhadap warisan tradisi para leluhur juga saat untuk menyiapkan segala peralatan berladang.
Sanksi adat (poi) dari para mosalaki akan diberikan bagi yang melanggar pantangan. Pantangan yang harus
dilaksanakan adalah tidak boleh menyentuh dan memetik daun, tidak boleh beraktivitas di kebun, tidak
diperkenankan menjemur pakaian di luar rumah, tidak boleh menyapu halaman rumah serta tidak boleh
memasak atau membakar di luar rumah.
Perkawinan Adat
Perkawinan adat suku Lio diawali dengan pemberian mahar (maskawin) atau dalam bahasa Ende disebut
sebagai Belis, dalam suku Lio belis menentukan strata kehidupan dan gengsi tersendiri dalam kehidupan
sehari-hari. Belis yang biasa diberikan adalah berupa hewan ternak seperti kerbau, sapi dan kuda.  Sedangkan
babi, kambing dan ayam dianggap hanya sebagai bahan lauk yang disajikan saat makan bersama dalam
upacara adat.

Suku Lio menganut faham patrilinial. Ada 4 jenisl pernikahan di suku Lio yaitu:
1. Perkawinan Ana Ale yaitu perkawinan yang didasari atas persetujuan orang tua dan juga sanak yang
bersangkutan.
2. Perkawinan Lari yaitu wanita minggat dari rumah secara diam-diam menuju rumah laki-laki dan
biasanya terjadi pada malam hari. Tentunya hanya si wanita dan laki-laki yang mengetahui hal ini
karena sebelumnya mereka telah membuat janji.
3. Perkawinan Masuk yaitu laki-laki tinggal di rumah keluarga perempuan dan disana dia diangkat
menjadi anak angkat sama dengan saudara. Di Lio bila ada perkawinan seperti itu, artinya laki-laki
tidak punya apa-apa, sehingga dia disini dalam bahasa setempat dikatakan Koo Tebo, boleh juga
dikatakan Koo No Tebo, Jongo Noo Lo. Dia dengan tau dan mau menjadi penghuni didalam keluarga
perempuan.
4. Perkawinan Paatua yaitu perkawinan yang terjadi sejak anak masih dalam kandungan ibunya. Orang
tua dari kedua calon mempelai telah sepakat untuk menjodohkan biasanya karena hubungan
pertemanan baik
Kain Tenun
Kain tenun suku Lio atau disebut Lawo dalam bahasa Lio. tenun ikat Patola, yaitu kain tenun yang biasanya
khusus dibuat untuk kalangan kepala suku dan kerabat kerajaan. Ciri khas motif kain patola biasanya berupa
daun, dahan, ranting, biawak dan manusia, ukurannya kecil dengan bentuk geometris yang disusun membentuk
jalur-jalur kecil berwarna merah atau biru di atas dasar kain berwarna gelap.  Biasanya dan ada tambahan
hiasan berupa manik-manik dan kulit kerang ditepian bagian kain tenun hal ini khusus untuk kaum wanita
kalangan bangsawan saja
Kain patola di pengaruhi oleh budaya India dan Portugis zaman abad 16 ketika maraknya perdagangan
rempah-rempah masuk ke pulau Flores.  Kain patola dianggap sangat istimewa hingga sering dikuburkan
bersama jenazah, karena kain patola dijadikan penutup jenazah seorang bangsawan atau raja raja. Selain itu
masih terdapat banyak lagi motif kain tenun ikat (Lawo).
Tarian
Tari Gawi adalah tarian tradisional yang sakral, dilakukan secara hikmat karena tarian ini merupakan ungkapan
rasa syukur atas segala berkat dan rahmat yang diberikan oleh Tuhan kepada mereka. Biasanya dilakukan
secara massal oleh suku Lio oleh kaum laki-laki dan perempuan. Para penari membentuk formasi melingkar
dengan mengelilingi Tubu Busu. Dalam formasi tersebut para penari laki-laki berada di depan atau bagian
dalam, sedangkan penari perempuan di belakang atau bagian luar. Gerakan tariannya dilakukan dengan saling
bepegangan tangan, gerakan lebih didominasi gerakan kaki maju, mundur, ke kiri dan ke kanan secara
bersamaan. Sedangkan gerakan tangan hanya diayun-ayunkan. Tari Gawi biasanya tidak menggunakan musik
pengiring, tetapi hanya diiringi oleh syair yang dibawakan oleh Ata Sodha. Dalam pertunjukannya Tari Gawi
dilakukan secara masal dengan saling berpegangan tangan dan membentuk formasi seperti lingkaran yang
menjadi ciri khas tarian ini. Tari Gawi sering ditampilkan dalam upacara seperti saat selesai panen,
pembangunan rumah adat, pengangkatan kepala suku dan acara adat lainnya.
Makanan
Bagi masyarakat Ende lio, Makanan uwikaju/uwiai (singkong) merupakan panganan lokal yang menjadi
makanan pokok dan sudah ada sejak masa nenek moyang. Salah satunya adalah uwiKaju/uwi ai ga’u.
Meskipun sama-sama berbahan dasar ubi namun uwi kaju ga’u belum sepopuler uwi ai ndota atau uwi ai
punga. Ga’u dalam bahasa setempat artinya aduk. Sehingga masakan tersebut merupakan campuran ubi yang
diaduk-aduk. Selain itu nasi dan jagung juga merupakan jenis makanan pokok yang biasa di konsumsi oleh
masyarakat suku Lio.

Anda mungkin juga menyukai