Anda di halaman 1dari 23

OLEH :

OKTAVIANUS BALANG NDJURUMAY


LOKASI WISATA DI SUMBA TIMUR

Gambaran umum lokasi wisata yang dikunjungi selama latihan pemandu wisata :

 Pantai Laiwotung

Pantai Laiwotung adalah salah satu pantai yang teletak didesa Kadahang
Kecamatan Haharu Kabupaten Sumba Timur.Jarak tempuh dari Waingapu± 52 km menuju
pantai Laiwotung dengan waktu tempuh ± 1 jam.Pantai ini dipercaya sebagai tempat
berlabuhnya nenek moyang/leluhur orang Sumba yang menghuni kampung Wunga pada
zaman dahulu.Pantai ini berpasir putih dan diselingi dengan pohon Bakau disebelah timur
dan barat.Disaat musim panas kadang kala dijumpai juga burung-burung yang berimigrasi
dari Syberia.

Pantai Laiwotung juga merupakan salah satu tempat penghasil ikan di kecamatan
Haharu. Banyak nelayan yang datang mencari hasil laut di Laiwotung, baik dari Desa
Kadahang maupun desa-desa lainnya. Adapun jenis ikan yang sering didapat antara lain
:Ikan tuna, cakalang, jere dan ikan lainnya. Hasil tangkap dari Nelayandi pantaiini biasanya
untuk dijual ke tengkulak dan untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga. Selain wisata
pantai, tidak jauh dari bibir pantai terdapat sebuah danau yang sangat indah yaitu Danau
Wai Mulung atau dalam bahasa indonesia Danau Air Kiamat. Danau itu memiliki
pemandangan yang masih asri, dimana Danau ini dikelilingi oleh tebing dan pepohonan
yang sangat rimbun, dan dihuni oleh burung-burung yang elok dan beberapa jenis kera. Air
danau ini sangat jernih dan permukaannya seperti hamparan permadani hijau.
Danau Wai Mulung dan pantai Laiwotung adalah salah satu kesatuan yang tidak
dapat dipisahkan jika dijadikan tujuan wisata. Namun pantai dan Danau ini belum ditata dan
dikelola dengan baik oleh masyarakat serta pemerintah Desa setempat.

 Kampung Adat Wunga

Beranjak dari Pantai Laiwotung ke Kampung Wunga membutuhkan waktu ± 20


menit dengan jarak 9,8 km.Di kampung Wunga kita dapat menjumpai pemandangan yang
sangat indah dari puluhan anak tangga naik kekampung. Untuk masuk kampung, kita harus
melalui sebuah pintu gerbang batu yang diapit 2 pohon besar. Kampung Wunga adalah
tempat menempatnya beberapa marga atau kabihu yang tiba petama kali di Tanjung Sasar.
{Haharu Malai Kataka Lindiwatu} pada awal mulanya, nenek moyang orang sumba
dipercaya berasal dari Mekah/Mekkah. Mereka mengarungi beberapa samudera dan
menyinggahi beberapa negara untuk mencari tempat yang aman untuk ditempati.

Menurut beberapa sumber diyakini bahwa nenek moyang pertama kali terdampar
di pantai Laiwotung dan pantai Larawali.Setelah itu mencari tempat yang aman dan bisa
bercocok tanam. Nenek moyang orang sumba pertama kali mendapatkan tempat yang
pertama di kambata Mborumbaku yang ada di Kadahang. Hal ini sangat benar adanya,
karena di Mborumbaku ditemukan beberapa fosil nenek moyang. Kampung ini diserang
musuh dan sering terjadi perampokan, maka nenek moyang pindah ke tempat yang lebih
tinggi di kampung Wunga.

Kampung Wunga merupakan kampung Adat tertua di Sumba Timur. Ada


24marga atau kabihu yang menghuni kampung Wunga pada masa lampau, namun banyak
marga/kabihu yang meninggalkan kampung dan menyebar ke seluruh pelosok pulau Sumba.
Beberapa marga yang masih menetap di kampung ini antara lain : kabihu Pahoka, Tula
Parengu, Kawau Harikondu, Anamaeri dan Waimoru. Setiap marga atau kabihu
membangun rumahnya masing-masing di dalam kampung ini.

Adapun beberapa rumah yang dibangun pertama kali yaitu rumah yang berbentuk
joglo dengan menara yang cukup tinggi yang menjadi cikal bakal rumah-rumah adat di
Sumba sekarang ini. Rumah-rumah yang pernah dibangun antara lain :

1. Uma Hanganji / Rumah Sang Aji


2. Uma Ahu / Rumah tempat memberi makan untuk anjing peliharaan
3. Uma Anamaeri
4. Uma Rumbu Wulang
5. Uma Bohu / Rumah tempat menyimpan dayung perahu
6. Uma Watu Patunggul
7. Uma Matolang
8. Uma Makatajiang
9. Uma Harikondu
10. Uma Pahoka
11. Uma Analingu

Setiap rumah dan penghuninya mempunyai fungsi, peran dan tanggung jawab
yang berbeda dalam proses ritual adat di Kampung Wunga. Menurut Bapak Lodu Wulang
sebagai sesepuh yang menjaga kampung ini, seiring berjalannya waktu banyak rumah adat
yang terbakar dan rusak karena usianya yang sudah tua. Sekarang tinggal 3 unit rumah adat
yang masih tersisa.
Rumah adat di kampung Wunga dibangun berdasarkan filosofi orang Sumba
bahwa sebuah rumah harus mempunyai tiga
tingkatan yaitu bagian bawah untuk binatang
peliharaan, bagian tengah untuk manusia, dan
bagian atas yaitu menaranya untuk tempat
bersemayamnya Marapu atau roh leluhur yang
perannya sebagai perantara/penghubung
kepada yang Maha Kuasa.

Sistem kepercayaan masyarakat adat kampung Wunga yaitu kepercayaan kepada


Marapu. Sedangkan mata pencahariannya yaitu sebagai petani dan peternak, beberapa
diantaranya bekerja sebagai nelayan.
Asal mula pemberian nama pulau Sumba berawal dari nama seorang nenek yakni
Rambu Kahi Kamba Humbadan Umbu Mbongi Mbaku yang pertama kali menginjakkan
kaki di Tanjung Sasar ( Haharu Malai Kataka Lindiwatu ). Rambu Kahi Kamba Humba
membawa bibit kapas (Kamba Humba). Bibit kapas dalam bahasa Sumba disebut kamba
humba. Fungsi dari kapas adalah sebagai bahan dasar untuk memintal benang kemudian
benang yang sudah jadi ditenun dan menghasilkan kain dan sarung. Dilatarbelakangi oleh
nama nenek inilah maka pulau ini dinamai Pulau Sumba atau Tana Humba. Selain bibit
kapas, Rambu Kahi Kamba Humba juga membawa beberapa bibit lain yakni hilli (keladi),
kuta (sirih), uhu (padi), winnu (pinang), karobu (labu), dan kaninggu (anakan Pohon Kayu
Manis) serta kuta kalara (sirih hutan). Beberapa bibit diatas disebarluaskan ke Sumba
bagian selatan, timur dan barat.

 Pantai Larawali
Pantai Larawali merupakan salah satu obyek wisata pantai berpasir putih yang
terletak di sebelah utara Desa Napu Kecamatan Haharu. Pantai ini belum ditata dan dikelola
dengan baik oleh masyarakat dan pemerintah desa setempat. Menurut sejarah bahwa di
pantai ini merupakan salah satu tempat mendaratnya nenek moyang atau leluhur orang
Sumba. Beberapa kelompok menetap di sekitar pantai dan kelompok lainnya menetap di
kampung Wunga.

 Kampung Prainatang
Kampung Adat Prainatang merupakan kampung adat tua kedua setelah kampung
Wunga. Kampung Adat ini terletak di atas sebuah bukit di Desa Mondu Kecamatan
Kanatang. Kampung Prainatang berjarak ± 36 KM dari Kota Waingapu dengan waktu
tempuh ± 50 Menit menggunakan kendaraan roda dua dan roda empat. Kampung Prainatang
adalah satu-satunya kampung adat di Sumba Timur yang masih terpelihara keasliannya
sampai sekarang. Sekeliling kampung terdapat pagar batu setinggi 2 meter berumur ratusan
tahun yang dibuat oleh leluhur. Sebelum memasuki kampung, pengunjung harus mematuhi
larangan-larangan yang ada. Untuk memasuki kampung ini, pengunjung harus melewati
pintu gerbang batu di sebelah timur kampung. Di dalam kampung ini kita akan menjumpai
beberapa bangunan rumah adat khas Sumba Timur yang semuanya berbahan alam yakni
beratap alang-alang dan berdinding bambu/gedek. Di sekitar pelataran rumah adat terdapat
deretan kubur batu yang berumur ratusan tahun. Hal ini menandakan bahwa leluhur
masyarakat setempat mempunyai peradaban masa silam. Terdapat kubur batu yang berasal
dari zaman megalitik dan zaman batu muda.

Sistem kepercayaan asli masyarakat adat Kampung Prainatang yaitu Marapu,


artinya bahwa mereka mempercayai dan meyakini adanya Tuhan pencipta langit dan bumi.
Mereka menyebut-Nya dalam bahasa Sumba “nama bakulu wua mata, nama mbalaru rau
kahiluna” artinya yang besar matanya, dan lebar telinganya. Baitan di atas berarti bahwa
Tuhan pencipta langit dan bumi adalah Tuhan yang maha melihat kehidupan ini dan maha
mendengar doa dan permohonan umatnya.
Pada zaman dahulu di pulau Sumba/Tana Humba sering terjadi perang
suku/marga. Untuk terhindar dari serangan musuh maka mereka mendirikan pemukiman di
atas bukit. Alasan utama leluhur membangun kampung di atas bukit, agar mereka bisa
melihat kedatangan musuh yang ingin menyerang. Pada awal berdirinya, kampung ini
dihuni oleh 6 marga/kabihu dengan jumlah rumah sebanyak 24 unit. Beberapa marga/kabihu
yang mendiami kampung adalah sebagai berikut :
1) Marga/kabihu Kombul
2) Marga/kabihu Ngeur
3) Marga/kabihu Karungguwatu
4) Marga/kabihu Katinah
5) Marga/kabihu Lukutana
6) Marga/kabihu Wua Raba

Setiap marga/kabihu mendiami rumah adatnya masing-masing. Seiring berkembangnya


zaman, beberapa marga mulai meninggalkan kampung ini untuk membangun rumah di
sekitar kebunnya. Pada tahun 1990-an masih terdapat 10 unit rumah adat yakni :

1) Uma Bakul / Rumah Besar


2) Uma Mbawa / Rumah Singga
3) Uma Rau Kokur
4) Uma Andung ( Penji )
5) Uma Ahu
6) Uma Kumbur
7) Uma Ana Uma
8) Uma Bara
9) Uma Ngeur
10) Uma Harnanga

Pada tahun 2014, 2 rumah dibongkar karena tidak layak lagi untuk dihuni, sedang tahun
2016 Uma Ahu dibongkar karena tidak layak dihuni. Untuk saat ini, marga yang menghuni
kampung adat ini adalah marga/kabihu Kombul.

Beberapa rumah yang masih ada mempunyai fungsi sebagai berikut :

1. Uma Bakul
Uma Bakul atau rumah besar adalah pusat prosesi / ritual, dihuni oleh Hanganji atau
sang Aji yang berperan sebagai pemimpin dan mengawasi seluruh aktivitas penghuni
kampung. Rumah ini memiliki 4 tiang utama yaitu tiang mayela ana ratu (tiang
Marapu/tiang sakral), tiang Wawur Marapu (tiang Komunikasi), tiang Nyaru Ana
Konda, dan Tiang Konjilu Kanawa. Tiang-tiang ini melambangkan bahwa roh leluhur
dapat berkomunikasi dengan Penciptanya. Artinya bahwa leluhur sebagai perantara atau
penghubung.
2. Uma Mbawa
Rumah ini digunakan sebagai rumah singgah oleh penghuni rumah besar. Jika rumah
besar direhabilitasi, maka penghuni akan memindahkan barang-barangnya atau tanggu
Marapu ke rumah ini.
3. Uma Rau Kokur
Rumah ini berfungsi sebagai tempat ritual meminta pengampunan jika seseorang
melanggar larangan dan ketentuan di rumah besar/uma bakul. Ritual ini dipimpin oleh
Makatemba.
4. Uma Andung
Uma Andung berfungsi sebagai tempat penyimpanan Andung atau patung kayu yang
diturunkan dari atap menara rumah besar. Ritual ini dilakukan 5 tahun sekali.
5. Uma Bara
Uma Bara berfungsi sebagai tempat menyiapkan makanan untuk penghuni rumah besar
yang pindah ke rumah singgah.
6. Uma Ana Uma
Fungsi utama dari rumah ini sebagai tempat musyawarah warga kampung bila ada ritual
adat dari masing rumah di kampung adat Prainatang. Fungsi lainnya sebagai tempat
menerima tamu yang datang ke kampung prainatang.
7. Uma Kumbur
Berfungsi ritual meminta air hujan dan sebagai tempat penyimpanan alat-alat masak dari
tanah liat.

Kadang kala beberapa rumah di atas sering ditinggalkan penghuninya di pagi hari karena
mereka pergi berladang/berkebun. Pada saat menjelang sore baru pulang ke rumah.
Pada bulan Desember-Maret dianggap sebagai bulan pahit atau wula paita, beberapa
larangan harus dipatuhi yakni tidak diperbolehkan menabuh gong dan tambur, menggoreng
jagung, serta menumbuk padi. Bulan Pebruari seluruh penghuni kampung harus
mengadakan ritual untuk mengakui seluruh salah dan dosa yang pernah dilakukan.
Sedangkan waktu untuk menikmati hasil panen mereka diadakan pada bulan Juli dengan
mengadakan ritual yang sangat besar atau dalam bahasa Sumba disebut Mangejing (Pesta
Ucapan Syukur). Mereka akan memberikan sesaji kepada roh leluhur di katoda atau tugu
tempat persembahan kepada Marapu.

 Air Terjun Tanggedu


Desa persiapan Tanggedu adalah salah desa yang dimekarkan dari Desa Mondu,
terletak di sebelah selatan Desa Mondu. Di desa Tanggedu terdapat salah satu objek wisata
alam yaitu Air terjun Tanggedu. Obyek wisata alam ini berjarak 19 KM dari Desa Mondu.
Lokasi wisata ini sangat indah pemandangannya dan relief bebatuan yang sangat menarik.
Obyek wisata alam ini mulai dikenal oleh umum sejak tahun 2016.

 Kampung Raja Prailiu


Kampung Raja adalah satu-satunya kampung adat yang berada di kota
Waingapu. Kampung adat ini pada masa pemerintahan Belanda, merupakan salah satu
Swapraja terbesar yakni Kerajaan Lewa Kambera. Pusat Pemerintahan Raja Lewa Kambera
berada di Prailiu. Cakupan wilayah kekuasaan mulai dari Lewa sampai Pandawai. Kerajaan
Lewa Kambera diperintah oleh Raja-raja yang berasal dari generasi ke generasi. Raja yang
terkenal adalah Raja Tamu Umbu Nggaba Hungu Rihi Eti alias Tamu Umbu Nai Hawurung.
Setelah raja ini meninggal, ia digantikan oleh raja dari generasi bangsawan Praikamaru yang
masih berhubungan darah. Pewaris terakhir taktha kerajaan ini adalah Raja Tamu Umbu
Njaka.

Raja Tamu Umbu Njaka adalah


seorang Raja yang awalnya menetap di
Praikamaru. Praikamaru adalah satu tempat di
ujung Kampung Prailiu yang pernah ditinggalkan
oleh Raja Tamu Umbu Njaka karena pada masa
pemerintahan Belanda terjadi pembakaran rumah
di Prailiu bagian Kambata danKiku. Hal ini
mendorong Raja Tamu Umbu Njaka untuk
membangun kembali rumah-rumah di Kambata dan Kiku. Alasan lain sehingga Raja Tamu
Umbu Njaka pindah dari Praikamaru adalah karena di tempat ini masih sakral atau keramat,
Raja tidak memperoleh keturunan laki-laki. Setelah kelahiran anak perempuannya yang
kedua, Raja menamai anaknya dengan nama Kampung yaitu Tamu Rambu Praikamaru.
Setelah pindah ke arah Kambata, Raja Tamu Umbu Njaka memperoleh keturunan laki-laki.
Putera-puterinya berjumlah 6 orang. Raja Tamu Umbu Njaka memerintah di kampung ini
sampai tahun 2008 dan akhirnya meninggal karena sakit.

Di Kampung
Raja Prailiu
terdapat
beberapa
rumah adat
antara lain
uma bakul
atau rumah
besar. Rumah besar ini mempunyai 36 tiang rumah, dengan berbagai macam ukiran. Di
bagian dalam rumah, terdapat 4 tiang utama yaitu tiang mayela ana ratu (tiang Marapu/tiang
sakral), tiang Wawur Marapu (tiang Komunikasi), tiang Nyaru Ana Konda, dan Tiang
Konjilu Kanawa. Tiang-tiang ini melambangkan bahwa roh leluhur dapat berkomunikasi
dengan Penciptanya.

Artinya
bahwa
leluhur
sebagai
perantara
atau
penghubung. Keempat tiang ini mempunyai ukuran yang besar dengan ukiran-ukiran
gambar yang memiliki makna religius. Di antara empat tiang ini terdapat sebuah tungku
yang di atasnya terdapat 2 para-para tempat menyimpan bahan-bahan makanan hasil panen
dan barang-barang Marapu di loteng bagian atas menara atau lebih dikenal dengan sebutan
hindi Marapu. Rumah ini dibangun pada waktu subuh dan tidak bisa dibangun pada siang
hari.
Di tengah perkampungan terdapat beberapa barisan Kuburan batu besar yang
mempunyai berat 1-5 ton, dengan tiang kubur yang terbuat dari potongan batu besar yang
diukir. Kuburan raja dan bangsawan lainnya tersusun berdasarkan generasinya. Di atas batu
kubur terdapat beberapa ukiran seperti buaya, kura-kura, ayam jantan, bebek atau rendi dan
rusa. Selain itu ada juga patung kuda yang ditunggangi manusia, penji atau lempengan batu
yang diukir berdasarkan asal mula dari seorang raja dan barang-barang yang pernah dimiliki
oleh raja yang bersangkutan. Lambang atau simbol yang terdapat di atas batu kubur
mempunyai makna dan nilai magis religius menurut kepercayaan leluhur.
Menurut kepercayaan orang Marapu, orang yang telah meninggal dilipat dengan
posisi seperti bayi dalam rahim ibu, dan dibungkus dengan kain khas Sumba lalu diikat
dengan kata lain “karandi”. Jika yang meninggal seorang raja atau keturunan bangsawan
maka kain yang digunakan untuk menyelubungi mayat adalah kain-kain kelas atau asli yang
berjumlah sampai ratusan lembar. Semakin banyak kain yang digunakan maka semakin
tingi derajat dan martabatnya. Mayat seorang raja atau bangsawan harus disemayamkan
dalam uma bakul, dan dijaga oleh hamba sahaya atau dayang bawaan sambil menunggu
persiapan penguburan. Pada saat penguburan banyak hewan kurban yang dipotong sebagai
tanda penghormatan kepada arwah sang raja.

Selain sebagai pusat pemerintahan Swapraja, Kampung Adat Raja Praliu juga
adalah salah satu sentra tenun ikat. Pengrajin tenun ikat membuat kain dan sarung dalam
berbagai bentuk dan ukuran dengan menggunakan pewarna alami dan pewarna kimia.
Pewarna yang biasa digunakan adalah akar mengkudu/kombu untuk menghasilkan warna
merah, daun nila/wora dalam bentuk pasta untuk warna biru, kulit dedap atau kayu duri
untuk warna coklat dan kayu kuning untuk warna kuning. Proses pembuatan kain tenun ikat
melalui 42 tahapan proses yang sangat panjang. Hal inilah yang mempengaruhi harga kain
dan sarung asli Sumba sangat mahal, karena proses pembuatannya yang sangat rumit. Harga
kain ditentukan dari motif, warna dan teknik pembuatannya. Penuangan motif dalam
selembar kain atau sarung berdasarkan motif asli dan motif pengembangan.

Motif asli adalah gambar atau motif binatang yang benar-benar ada dan hidup di
Sumba, antara lain : kuda, kerbau, ayam, rusa, ular, kura-kura, penyu, bebek, kakatua, ular
dan buaya dan motif geometris atau motif tumbuh-tumbuhan. Motif-motif ini memiliki
makna mendalam dan religius dalam baitan bahasa Adat Sumba Timur. Sedangkan motif
pengembangan adalah motif atau gambar yang muncul karena adanya hubungan
perdagangan pada masa yang silam dan masuknya pengaruh India, China, Singapura, dan
Belanda. Yang termasuk dalam motif pengembangan antara lain : gambar Naga, singa atau
mahang, dan gambar Ratu Belanda.
Kampung Prailiu juga memiliki beberapa fasilitas seperti homestay untuk
menginap bagi para wisatawan. Fasilitas ini bisa dijumpai di bekas kampung Praikamaru.

 Pantai Laipori
Beranjak dari Kampung Prailiu menuju Pantai Laipori dengan jarak ± 26 KM dapat
ditempuh dengan kendaraan roda dua dan roda empat. Di pantai ini kita akan disuguhi
dengan pemandangan hamparan pohon cemara yang sangat rindang. Di area ini juga
terdapat danau yang pernah digunakan untuk syuting sebuah Film laga yaitu Pendekar
Tongkat Emas.
 Pantai Walakiri
Pantai Walakiri adalah salah satu pantai berpasir putih dengan hamparan pasir yang sangat
panjang. Selain itu, pantai ini menyuguhkan pemandangan kumpulan pohon bakau yang
kerdil yang tidak didapati di pantai lainnya di Sumba Timur. Hal ini menjadi daya tarik
tersendiri dari pantai Walakiri. Keberlangsungan pertumbuhan dan perkembangan pohon
bakau ini bergantung pada pengawasan kita sebagai masyarakat untuk menjaga dan
melestarikan alam ini.

 Sanggar Tenun Ikat Paluanda Lama Hamu Lambanapu


Sanggar Tenun ikat Paluanda Lama Hamu adalah sentra tenun ikat yang berada
di Kelurahan Lambanapu. Sanggar ini dipimpin oleh Bapak Kornelis Ndapa Kamang.
Menurut bapak Kornelis, selain Lambanapu ada beberapa sentra tenun yang ada yaitu di
arah utara Kanatang, Kambera, Pau, Rende dan Kaliuda.
Beberapa tempat memiliki teknik dan caranya tersendiri dalam proses
pembuatan tenun ikat. Daerah Kanatang menggunakan teknik ikat langsung tanpa
menggambar pola terlebih dahulu, begitu juga dengan daerah Kambera.
Pengrajin tenun ikat membuat kain dan sarung dalam berbagai bentuk dan
ukuran dengan menggunakan pewarna alami dan pewarna kimia. Pewarna yang biasa
digunakan adalah akar mengkudu/kombu untuk menghasilkan warna merah, daun nila/wora
dalam bentuk pasta untuk warna biru, kulit dedap atau kayu duri dan kulit Bakau untuk
warna coklat dan kayu kuning untuk warna kuning. Proses pembuatan kain tenun ikat
melalui 42 tahapan proses yang sangat panjang. Hal inilah yang mempengaruhi harga kain
dan sarung asli Sumba sangat mahal, karena proses pembuatannya yang sangat rumit. Harga
kain ditentukan dari motif, warna dan teknik pembuatannya. Tidak semua anggota
kelompok menguasai cara mengikat atau paing, cara mewarna dan lain sebagainya. Hanya
beberapa orang yang menguasai 42 tahap tersebut. Lama proses pembuatan kain dihitung
pada saat penenun beraktivitas dengan pekerjaannya saja. Penuangan motif dalam selembar
kain atau sarung berdasarkan motif asli dan motif pengembangan.
Motif asli adalah gambar atau motif binatang yang benar-benar ada dan hidup di
Sumba, antara lain : kuda, kerbau, ayam, rusa, ular, kura-kura, penyu, bebek, kakatua, ular
dan buaya dan motif geometris atau motif tumbuh-tumbuhan. Motif-motif ini memiliki
makna mendalam dan religius dalam baitan bahasa Adat Sumba Timur. Sedangkan motif
pengembangan adalah motif atau gambar yang muncul karena adanya hubungan
perdagangan pada masa yang silam dan masuknya pengaruh India, China, Singapura, dan
Belanda. Yang termasuk dalam motif pengembangan antara lain : gambar Naga, singa atau
mahang, dan gambar Ratu Welhelmina. Salah satu kain yang bermotif geometris berasal
dari India, kain ini disebut kain Patolaratu atau sutra dewangga.
Sistem pewarnaan yang dilakukan oleh kelompok tenun ini yaitu menggunakan
sistem panas dan sitem dingin. Sistem dingin adalah cara pewarnaan langsung tanpa
perebusan pewarna contohnya warna biru dan merah. Sedangkan sistem panas yaitu melalui
perebusan bahan pewarna, setelah dingin maka dilakukanlah proses pencelupan benang
yang ingin diwarnai contohnya warna kuning, dan coklat. Sistem panas kelebihannya adalah
perolehan warnanya cepat tetapi kelamahannya adalah warna cepat pudar. Sedangkan
sistem dingin pewarnaannya lambat karena harus melakukan pencelupan berulang-ulang
dan warna yang dihasilkan tidak cepat pudar/luntur.
Pengambilan bahan pewarna yang baik adalah dengan cara mengambil akar
pohon mengkudu, kulit dedap, kulit pohon bakau dengan perbandingan yang seimbang agar
tidak mengakibatkan matinya pohon tersebut.
Lamanya proses pembuatan kain tenun tergantung dari ukuran, motif dan
pewarnaan yang dikehendaki konsumen dan pasar. Untuk keaslian kain dari segi
pewarnaan, maka benang yang terdapat pada ujung kain dibakar. Jika meninggalkan warna
pada wadah pembakaran maka kain tersebut asli, jika tidak berarti pewarnaannya
menggunakan pewarna kimia.
Dalam menjalankan suatu bisnis tenun ikat, yang perlu diperhatikan dan harus
dimiliki oleh anggota kelompok yaitu kejujuran dan niat untuk bekerja. Adapun sejarah
pendirian kelompok ini berawal dari sebuah kelompok kecil yang bernama “Nduma Luri”
atau Untuk hidup yang di prakarsai oleh Ibu Agustina Kahi Atanau pada tahun 1992.
Seiring berjalannya waktu kelompok ini berubah nama menjadi “Paluanda Lama Hamu”
atau Bergandeng Tangan menuju kabaikan.
Ketua Kelompok ini mengatakan bahwa kerajinan tenun ikat kedepannya sangat
menjanjikan dalam peningkatan taraf ekonomi anggota kelompok tenun ikat khususnya di
Lambanapu dan Sumba Timur pada umumnya. Kain tenun hasil karya Bapak Kornelis
pernah dibeli oleh kolektor dengan harga yang lumayan mahal yaitu sebesar Rp.
18.000.000,-. Sedangkan hasil produksi selama 1 tahun sebanyak 80-an lembar kain.

 Kincir Angin dan Microhidro Desa Kamanggih ( Wisata Pendidikan )


Kincir angin dan mikrohidro sebagai sumber energi terbarukan merupakan salah
satu obyek wisata yang terdapat di Desa Kamanggih Kecamatan Kahaungu Eti. Tempat ini
sering dikunjungi oleh wisatawan domestik dan mancanegara. Obyek wisata ini seringkali
dikunjungi oleh anak-anak sekolahan sebagai tempat wisata pendidikan. Hal ini sangat
penting bagi dunia pendidikan bahwa untuk menambah pengetahuan dan untuk memperluas
wawasan IPTEK tidak hanya di dalam kelas tetapi harus belajar dari lingkungan sebagai
media pembelajaran.
Kincir angin dibangun pada tahun 1999, yaitu dengan mengubah energi angin
menjadi energi listrik untuk kebutuhan penerangan dan lain sebagainya oleh sebuah yayasan
yang bernama Inisiatif Bisnis Ekonomi Kerakyatan (IBK). Yayasan ini bergerak di bidang
Sarana Air Bersih (SAB). Pada Tahun 2014 yayasan ini sukses membangun 100 turbin
angin di Sumba Timur, yang terbagi di beberapa tempat antara lain di Kamanggih, Melolo
dan Mauramba. Aliran listrik yang dihasilkan telah dipakai sejak tahun 2013 dan
pengelolaannya oleh Koperasi bekerjasama dengan PLN dan Pertamina. Hasilnya
digunakan untuk memenuhi program-program yang dilaksanakan di Desa yaitu Program
Pembangunan. Adapun program energi terbarukan yang ada di Desa Kamanggih antara lain
Turbin Angin dan Microhidro serta Biogas. Sumber energi listrik dibeli oleh PLN sebesar
1.300/kwh dan uangnya di kelola oleh KSU, dalam hal ini SDM dan PLN mempunyai
regulasi yang sama artinya bahwa aset yang menghasilkan energi listrik merupakan milik
warga setempat. Ada beberapa pusat turbin angin di Desa Kamanggih, di Kalihi terdapat 20
Unit turbin yang arusnya dapat dipakai oleh 23 rumah sedangkan daerah Palindi sejumlah
27 unit dapat menerangi 20 rumah. Untuk daerah Palindi memiliki 24 baterai bermuatan 10
kwh. Sebuah baterai dapat menampung sekitar 800 Ampere/ 2 volt dengan berat baterai 80
kg. Proses perputaran (AC) dirubah ke controler menjadi DC dan kembali ke masyarakat
menjadi AC. Sampai sekarang kondisi alat-alatnya masih dalam keadaan baik dan terawat.
Di tempat ini terdapat 24 controler.

 Kampung Adat Praiyawang


Kampung Adat Praiyawang dahulu kala adalah sebuah hutan lebat, oleh raja
pertama Umbu Hina Marumata hutan ini dirambah dan dibersihkan untuk mendirikan
perkampungan. Kampung adat praiyawang berdiri di atas sebuah bukit dan dihuni oleh
beberapa marga atau kabihu. Memasuki kampung adat ini kita akan mendapati beberapa
deretan rumah adat dan 8 rumah induk yang tersusun rapi dan saling berhadapan
mengelilingi kampung adat. Di tengah-tengah perkampungan terdapat kuburan-kuburan
batu yang ukurannya besar-besar dengan berat 1-5 ton. Di atas kuburan tersebut terdapat
menara batu dan arca/penji. Bahkan ada kuburan batu yang bagian depannya terdapat arca
kepala kerbau. Itu merupakan kuburan bangsawan pertama yang menghuni kampung ini.

Kampung Adat Praiyawang pada masa pemerintahan Belanda adalah salah satu
dari 7 Swapraja yang ada di Sumba Timur. Kerajaan Rindi dengan Ibukota Praiyawang
dengan cakupan wilayah kekuasaan Rindi-Mangili yang dikukuhkan dengan korte
Verklaring terakhir tanggal 25 Pebruari 1918. Adapun Raja pertama Rindi-Mangili adalah
Umbu Hina Marumata yang pernah menerima tongkat berkepala emas dari Pemerintah
Belanda. Beliau wafat tahun 1919, ia digantikan oleh puteranya, Umbu Nggala Lili Kani
Praingu alias Umbu Rara Lunggi. Setelah Umbu Rara Lunggi telah tua dan tuli maka pada
tahun 1925 diwakili oleh puteranya Umbu Hapu Hambandima. Pada tahun 1932, Umbu
Hapu Hambandima dilantik menjadi raja Rindi-Mangili sampai tahun 1960.
Pada tahun 1962, sistem pemerintahan swapraja berubah menjadi kecamatan
dan kampung-kampung menjadi desa. Kecamatan dipimpin oleh Camat dan harus Pegawai
Negeri. Oleh karena itu, ditunjuklah Umbu Tunggu Mbili sebagai camat hingga tahun 1969.
Adapun tongkat berkepala emas (Tongkat Kerajaan) Rindi-Praiyawang sekarang berada di
tangan Umbu Kanabu Ndaungu sebagai pewaris tahta kerajaan terakhir.
Kaum bangsawan kampung adat Praiyawang mengenal sistem kekerabatan dan
perkawinan menurut garis keturunan ibu/Sistem kekerabatan Matrilineal dimana anak laki-
laki dari bangsawan Praiyawang hanya boleh mengambil isteri dari Kerajaan Pau,
sedangkan anak perempuannya hanya boleh diperisteri oleh Bangsawan kerajaan Lewa-
Kambera ( Prailiu ) dan Bangsawan kerajaan Kapunduk-Kanatang.
Di Kampung Adat Praiyawang terdapat beberapa rumah adat antara lain uma
bakul atau rumah besar dan Uma Ndiawa atau rumah Roh. Uma Bakul/Rumah besar ini
mempunyai 36 tiang rumah, dengan berbagai macam ukiran. Di bagian dalam rumah,
terdapat 4 tiang utama yaitu tiang mayela ana ratu (tiang Marapu/tiang sakral), tiang Wawur
Marapu (tiang Komunikasi), tiang Nyaru Ana Konda, dan Tiang Konjilu Kanawa. Tiang-
tiang ini melambangkan bahwa roh leluhur dapat berkomunikasi dengan Penciptanya.
Artinya bahwa leluhur sebagai perantara atau penghubung. Keempat tiang ini mempunyai
ukuran yang besar dengan ukiran-ukiran gambar yang memiliki makna religius. Di antara
empat tiang ini terdapat sebuah tungku yang di atasnya terdapat para-para/hindi Marapu.
Menurut kepercayaan Marapu, orang yang telah meninggal dilipat dengan posisi
seperti bayi dalam rahim ibu, dan dibungkus dengan kain khas Sumba lalu diikat dengan
kata lain “karandi”. Jika yang meninggal seorang raja atau keturunan bangsawan, mayat
mereka didudukkan dan kain yang digunakan untuk menyelubungi mayat adalah kain-kain
kelas atau asli yang berjumlah sampai ratusan lembar. Semakin banyak kain yang
digunakan maka semakin tingi derajat dan martabatnya. Mayat seorang raja atau bangsawan
harus disemayamkan dalam uma bakul, dan dijaga oleh hamba sahaya atau dayang bawaan
sambil menunggu persiapan penguburan. Pada saat penguburan banyak hewan kurban yang
dipotong sebagai tanda penghormatan kepada arwah sang raja dan disertai dengan acara
papanggang yaitu mengusung jenasah sambil diiringi oleh papanggang menuju liang kubur.
Selain wisata budaya, di kampung adat Praiyawang juga merupakan sentra
tenun ikat khas Rende Praiyawang. Pengrajin tenun ikat kebanyakan adalah kaum
bangsawan perempuan. Mereka menenun kain dan sarung dalam berbagai bentuk dan
ukuran dengan menggunakan pewarna alami. Pewarna yang biasa digunakan adalah akar
mengkudu/kombu untuk menghasilkan warna merah, daun nila/wora dalam bentuk pasta
untuk warna biru, kulit dedap atau kayu duri dan kayu kuning untuk warna kuning. Proses
pembuatan kain tenun ikat beberapa tahapan proses yang sangat panjang. Hal inilah yang
mempengaruhi harga kain dan sarung asli Sumba sangat mahal, karena proses
pembuatannya yang sangat rumit. Harga kain ditentukan dari motif, warna dan teknik
pembuatannya. Tidak semua menguasai cara mengikat atau paing, cara mewarna dan lain
sebagainya. Hanya beberapa orang yang menguasai beberapa tahap tersebut. Lama proses
pembuatan kain dihitung pada saat penenun beraktivitas dengan pekerjaannya saja.
Penuangan motif dalam selembar kain atau sarung berdasarkan motif asli dan motif
pengembangan.
Motif asli adalah gambar atau
motif binatang yang benar-benar ada dan hidup
di Sumba, antara lain : Manusia, papanggang,
kuda, kerbau, ayam, rusa, ular, kura-kura,
penyu, bebek, kakatua, ular dan buaya dan
motif geometris atau motif tumbuh-tumbuhan.
Motif-motif ini memiliki makna mendalam dan
religius dalam baitan bahasa Adat Sumba
Timur. Sedangkan motif pengembangan adalah
motif atau gambar yang muncul karena adanya
hubungan perdagangan pada masa yang silam dan masuknya pengaruh India, China,
Singapura, dan Belanda. Yang termasuk dalam motif pengembangan antara lain : gambar
Naga, singa atau mahang, dan gambar pohon. Salah satu kain yang bermotif geometris
berasal dari India, kain ini disebut kain Patolaratu atau sutra dewangga. Salah satu kain
patula hundarangga atau sutra dewangga masih ada dan terpelihara di kampung Praiyawang
ini. Untuk mengikat motif ini, dilakukan di tempat tertentu agar tidak diketahui oleh publik.
Sistem pewarnaan yang dilakukan pengrajin tenun ini yaitu menggunakan
sistem panas dan sitem dingin. Sistem dingin adalah cara pewarnaan langsung tanpa
perebusan pewarna contohnya warna biru dan merah. Sedangkan sistem panas yaitu melalui
perebusan bahan pewarna, setelah dingin maka dilakukanlah proses pencelupan benang
yang ingin diwarnai contohnya warna kuning, dan coklat. Sistem panas kelebihannya adalah
perolehan warnanya cepat tetapi kelamahannya adalah warna cepat pudar. Sedangkan
sistem dingin pewarnaannya lambat karena harus melakukan pencelupan berulang-ulang
dan warna yang dihasilkan tidak cepat pudar/luntur.
Pengambilan bahan pewarna yang baik adalah dengan cara mengambil akar
pohon mengkudu, kulit dedap, kulit pohon bakau dengan perbandingan yang seimbang agar
tidak mengakibatkan matinya pohon tersebut. Untuk mengambil pewarna alam selain akar
mengkudu, mereka mengambilnya di hutan terdekat. Lamanya proses pembuatan kain tenun
tergantung dari ukuran, motif dan pewarnaan yang dikehendaki konsumen dan pasar.

 Kampung Kaliuda
Kampung Kaliuda merupakan pusat tenun ikat yang sangat terkenal di Sumba
Timur. Kampung Kaliuda terletak di Desa Kaliuda Kecamatan Pahunga Lodu. Kain Tenun
dan Sarung yang dihasilkan oleh pengrajin di desa ini memiliki corak dan warna merah
yang khas yang tidak dimiliki oleh sentra tenun lainnya.

Mereka menenun kain dan sarung dalam berbagai bentuk dan ukuran dengan
menggunakan pewarna alami. Pewarna yang biasa digunakan adalah akar mengkudu/kombu
untuk menghasilkan warna merah, daun nila/wora dalam bentuk pasta untuk warna biru,
kulit dedap atau kayu duri dan kayu kuning untuk warna kuning. Proses pembuatan kain
tenun ikat melalui beberapa tahapan proses yang panjang. Hal inilah yang mempengaruhi
harga kain dan sarung Kaliuda sangat mahal, karena proses pembuatannya yang sangat
rumit. Harga kain ditentukan dari motif, warna dan teknik pembuatannya. Tidak semua
menguasai cara mengikat atau paing, cara mewarna dan lain sebagainya. Hanya beberapa
orang yang menguasai semua tahap tersebut.
Motif yang paling dominan dalam kain dan sarung Kaliuda adalah motif kuda,
manusia dan ayam serta pahapanggangu atau pengiring jenasah. Motif asli adalah gambar
atau motif binatang yang benar-benar ada dan hidup di Sumba, antara lain : Manusia,
papanggang, kuda, kerbau, ayam, rusa, ular, kura-kura, penyu, bebek, kakatua, ular dan
buaya dan motif geometris atau motif tumbuh-tumbuhan. Motif-motif ini memiliki makna
mendalam dan religius dalam baitan bahasa Adat Sumba Timur. Sedangkan motif
pengembangan adalah motif atau gambar yang muncul karena adanya hubungan
perdagangan pada masa yang silam dan masuknya pengaruh India, China, Singapura, dan
Belanda.
Sistem pewarnaan yang dilakukan pengrajin tenun ini yaitu menggunakan
sistem panas dan sitem dingin. Sistem dingin adalah cara pewarnaan langsung tanpa
perebusan pewarna contohnya warna biru dan merah. Sedangkan sistem panas yaitu melalui
perebusan bahan pewarna, setelah dingin maka dilakukanlah proses pencelupan benang
yang ingin diwarnai contohnya warna kuning, dan coklat. Sistem panas kelebihannya adalah
perolehan warnanya cepat tetapi kelamahannya adalah warna cepat pudar. Sedangkan
sistem dingin pewarnaannya lambat karena harus melakukan pencelupan berulang-ulang
dan warna yang dihasilkan tidak cepat pudar/luntur.
Pengambilan bahan pewarna yang baik adalah dengan cara mengambil akar
pohon mengkudu, kulit dedap atau kulit pohon duri dan loba. Untuk proses perminyakan
mereka menggunakan kemiri atau kawilu. Untuk mengambil pewarna alam selain akar
mengkudu, mereka mengambilnya di hutan terdekat. Lamanya proses pembuatan kain tenun
tergantung dari ukuran, motif dan pewarnaan yang dikehendaki konsumen dan pasar.

 Kampung Pau / Kampung Uma Bara


Kampung Adat Pau atau lebih dikenal dengan Kampung Uma Bara dahulu pada
masa Pemerintahan Belanda adalah salah satu swapraja yang dipimpin oleh Raja Oemboe
Hia Hamataki. Raja ini juga mendapatkan sebatang tongkat berkepala emas dari pemerintah
Belanda. Wilayah kekuasaan swapraja ini mencakup wilayah Pau-Umalulu. Kampung Pau
dikelilingi oleh beberapa rumah induk dan rumah adat serta barisan kubur batu dan kuburan
dari bahan dasar semen.
Selain wisata budaya, kampung Pau juga adalah sebagai pusat kerajinan songket
atau tenun pahikung. Teknik pembuatan tenun ini menggunakan gambar atau pola dari lidi.
Mereka menenun dengan benang jadi atau benang toko dengan segala macam warna. Merk
benang yang sering dugunakan adalah benang klos. Teknik pembuatan ini tidak
menggunakan bahan pewarna sebagaimana tenun ikat lungsin. Namun beberapa tahapan
menenunnya hampir sama dengan teknik tenun ikat. Hasil kerajinannya songket ini lumayan
murah harganya, sekitar Rp. 300.000 / lembar lengkap dengan selendangnya. Kerajinan
songket ini biasa dikerjakan oleh perempuan dan laki-laki, mulai dari usia 10-50-an.
Pembuatan tenun songket ini tidak membutuhkan waktu yang lama.
Sekian dan Terima Kasih

Anda mungkin juga menyukai