Gambaran umum lokasi wisata yang dikunjungi selama latihan pemandu wisata :
Pantai Laiwotung
Pantai Laiwotung adalah salah satu pantai yang teletak didesa Kadahang
Kecamatan Haharu Kabupaten Sumba Timur.Jarak tempuh dari Waingapu± 52 km menuju
pantai Laiwotung dengan waktu tempuh ± 1 jam.Pantai ini dipercaya sebagai tempat
berlabuhnya nenek moyang/leluhur orang Sumba yang menghuni kampung Wunga pada
zaman dahulu.Pantai ini berpasir putih dan diselingi dengan pohon Bakau disebelah timur
dan barat.Disaat musim panas kadang kala dijumpai juga burung-burung yang berimigrasi
dari Syberia.
Pantai Laiwotung juga merupakan salah satu tempat penghasil ikan di kecamatan
Haharu. Banyak nelayan yang datang mencari hasil laut di Laiwotung, baik dari Desa
Kadahang maupun desa-desa lainnya. Adapun jenis ikan yang sering didapat antara lain
:Ikan tuna, cakalang, jere dan ikan lainnya. Hasil tangkap dari Nelayandi pantaiini biasanya
untuk dijual ke tengkulak dan untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga. Selain wisata
pantai, tidak jauh dari bibir pantai terdapat sebuah danau yang sangat indah yaitu Danau
Wai Mulung atau dalam bahasa indonesia Danau Air Kiamat. Danau itu memiliki
pemandangan yang masih asri, dimana Danau ini dikelilingi oleh tebing dan pepohonan
yang sangat rimbun, dan dihuni oleh burung-burung yang elok dan beberapa jenis kera. Air
danau ini sangat jernih dan permukaannya seperti hamparan permadani hijau.
Danau Wai Mulung dan pantai Laiwotung adalah salah satu kesatuan yang tidak
dapat dipisahkan jika dijadikan tujuan wisata. Namun pantai dan Danau ini belum ditata dan
dikelola dengan baik oleh masyarakat serta pemerintah Desa setempat.
Menurut beberapa sumber diyakini bahwa nenek moyang pertama kali terdampar
di pantai Laiwotung dan pantai Larawali.Setelah itu mencari tempat yang aman dan bisa
bercocok tanam. Nenek moyang orang sumba pertama kali mendapatkan tempat yang
pertama di kambata Mborumbaku yang ada di Kadahang. Hal ini sangat benar adanya,
karena di Mborumbaku ditemukan beberapa fosil nenek moyang. Kampung ini diserang
musuh dan sering terjadi perampokan, maka nenek moyang pindah ke tempat yang lebih
tinggi di kampung Wunga.
Adapun beberapa rumah yang dibangun pertama kali yaitu rumah yang berbentuk
joglo dengan menara yang cukup tinggi yang menjadi cikal bakal rumah-rumah adat di
Sumba sekarang ini. Rumah-rumah yang pernah dibangun antara lain :
Setiap rumah dan penghuninya mempunyai fungsi, peran dan tanggung jawab
yang berbeda dalam proses ritual adat di Kampung Wunga. Menurut Bapak Lodu Wulang
sebagai sesepuh yang menjaga kampung ini, seiring berjalannya waktu banyak rumah adat
yang terbakar dan rusak karena usianya yang sudah tua. Sekarang tinggal 3 unit rumah adat
yang masih tersisa.
Rumah adat di kampung Wunga dibangun berdasarkan filosofi orang Sumba
bahwa sebuah rumah harus mempunyai tiga
tingkatan yaitu bagian bawah untuk binatang
peliharaan, bagian tengah untuk manusia, dan
bagian atas yaitu menaranya untuk tempat
bersemayamnya Marapu atau roh leluhur yang
perannya sebagai perantara/penghubung
kepada yang Maha Kuasa.
Pantai Larawali
Pantai Larawali merupakan salah satu obyek wisata pantai berpasir putih yang
terletak di sebelah utara Desa Napu Kecamatan Haharu. Pantai ini belum ditata dan dikelola
dengan baik oleh masyarakat dan pemerintah desa setempat. Menurut sejarah bahwa di
pantai ini merupakan salah satu tempat mendaratnya nenek moyang atau leluhur orang
Sumba. Beberapa kelompok menetap di sekitar pantai dan kelompok lainnya menetap di
kampung Wunga.
Kampung Prainatang
Kampung Adat Prainatang merupakan kampung adat tua kedua setelah kampung
Wunga. Kampung Adat ini terletak di atas sebuah bukit di Desa Mondu Kecamatan
Kanatang. Kampung Prainatang berjarak ± 36 KM dari Kota Waingapu dengan waktu
tempuh ± 50 Menit menggunakan kendaraan roda dua dan roda empat. Kampung Prainatang
adalah satu-satunya kampung adat di Sumba Timur yang masih terpelihara keasliannya
sampai sekarang. Sekeliling kampung terdapat pagar batu setinggi 2 meter berumur ratusan
tahun yang dibuat oleh leluhur. Sebelum memasuki kampung, pengunjung harus mematuhi
larangan-larangan yang ada. Untuk memasuki kampung ini, pengunjung harus melewati
pintu gerbang batu di sebelah timur kampung. Di dalam kampung ini kita akan menjumpai
beberapa bangunan rumah adat khas Sumba Timur yang semuanya berbahan alam yakni
beratap alang-alang dan berdinding bambu/gedek. Di sekitar pelataran rumah adat terdapat
deretan kubur batu yang berumur ratusan tahun. Hal ini menandakan bahwa leluhur
masyarakat setempat mempunyai peradaban masa silam. Terdapat kubur batu yang berasal
dari zaman megalitik dan zaman batu muda.
Pada tahun 2014, 2 rumah dibongkar karena tidak layak lagi untuk dihuni, sedang tahun
2016 Uma Ahu dibongkar karena tidak layak dihuni. Untuk saat ini, marga yang menghuni
kampung adat ini adalah marga/kabihu Kombul.
1. Uma Bakul
Uma Bakul atau rumah besar adalah pusat prosesi / ritual, dihuni oleh Hanganji atau
sang Aji yang berperan sebagai pemimpin dan mengawasi seluruh aktivitas penghuni
kampung. Rumah ini memiliki 4 tiang utama yaitu tiang mayela ana ratu (tiang
Marapu/tiang sakral), tiang Wawur Marapu (tiang Komunikasi), tiang Nyaru Ana
Konda, dan Tiang Konjilu Kanawa. Tiang-tiang ini melambangkan bahwa roh leluhur
dapat berkomunikasi dengan Penciptanya. Artinya bahwa leluhur sebagai perantara atau
penghubung.
2. Uma Mbawa
Rumah ini digunakan sebagai rumah singgah oleh penghuni rumah besar. Jika rumah
besar direhabilitasi, maka penghuni akan memindahkan barang-barangnya atau tanggu
Marapu ke rumah ini.
3. Uma Rau Kokur
Rumah ini berfungsi sebagai tempat ritual meminta pengampunan jika seseorang
melanggar larangan dan ketentuan di rumah besar/uma bakul. Ritual ini dipimpin oleh
Makatemba.
4. Uma Andung
Uma Andung berfungsi sebagai tempat penyimpanan Andung atau patung kayu yang
diturunkan dari atap menara rumah besar. Ritual ini dilakukan 5 tahun sekali.
5. Uma Bara
Uma Bara berfungsi sebagai tempat menyiapkan makanan untuk penghuni rumah besar
yang pindah ke rumah singgah.
6. Uma Ana Uma
Fungsi utama dari rumah ini sebagai tempat musyawarah warga kampung bila ada ritual
adat dari masing rumah di kampung adat Prainatang. Fungsi lainnya sebagai tempat
menerima tamu yang datang ke kampung prainatang.
7. Uma Kumbur
Berfungsi ritual meminta air hujan dan sebagai tempat penyimpanan alat-alat masak dari
tanah liat.
Kadang kala beberapa rumah di atas sering ditinggalkan penghuninya di pagi hari karena
mereka pergi berladang/berkebun. Pada saat menjelang sore baru pulang ke rumah.
Pada bulan Desember-Maret dianggap sebagai bulan pahit atau wula paita, beberapa
larangan harus dipatuhi yakni tidak diperbolehkan menabuh gong dan tambur, menggoreng
jagung, serta menumbuk padi. Bulan Pebruari seluruh penghuni kampung harus
mengadakan ritual untuk mengakui seluruh salah dan dosa yang pernah dilakukan.
Sedangkan waktu untuk menikmati hasil panen mereka diadakan pada bulan Juli dengan
mengadakan ritual yang sangat besar atau dalam bahasa Sumba disebut Mangejing (Pesta
Ucapan Syukur). Mereka akan memberikan sesaji kepada roh leluhur di katoda atau tugu
tempat persembahan kepada Marapu.
Di Kampung
Raja Prailiu
terdapat
beberapa
rumah adat
antara lain
uma bakul
atau rumah
besar. Rumah besar ini mempunyai 36 tiang rumah, dengan berbagai macam ukiran. Di
bagian dalam rumah, terdapat 4 tiang utama yaitu tiang mayela ana ratu (tiang Marapu/tiang
sakral), tiang Wawur Marapu (tiang Komunikasi), tiang Nyaru Ana Konda, dan Tiang
Konjilu Kanawa. Tiang-tiang ini melambangkan bahwa roh leluhur dapat berkomunikasi
dengan Penciptanya.
Artinya
bahwa
leluhur
sebagai
perantara
atau
penghubung. Keempat tiang ini mempunyai ukuran yang besar dengan ukiran-ukiran
gambar yang memiliki makna religius. Di antara empat tiang ini terdapat sebuah tungku
yang di atasnya terdapat 2 para-para tempat menyimpan bahan-bahan makanan hasil panen
dan barang-barang Marapu di loteng bagian atas menara atau lebih dikenal dengan sebutan
hindi Marapu. Rumah ini dibangun pada waktu subuh dan tidak bisa dibangun pada siang
hari.
Di tengah perkampungan terdapat beberapa barisan Kuburan batu besar yang
mempunyai berat 1-5 ton, dengan tiang kubur yang terbuat dari potongan batu besar yang
diukir. Kuburan raja dan bangsawan lainnya tersusun berdasarkan generasinya. Di atas batu
kubur terdapat beberapa ukiran seperti buaya, kura-kura, ayam jantan, bebek atau rendi dan
rusa. Selain itu ada juga patung kuda yang ditunggangi manusia, penji atau lempengan batu
yang diukir berdasarkan asal mula dari seorang raja dan barang-barang yang pernah dimiliki
oleh raja yang bersangkutan. Lambang atau simbol yang terdapat di atas batu kubur
mempunyai makna dan nilai magis religius menurut kepercayaan leluhur.
Menurut kepercayaan orang Marapu, orang yang telah meninggal dilipat dengan
posisi seperti bayi dalam rahim ibu, dan dibungkus dengan kain khas Sumba lalu diikat
dengan kata lain “karandi”. Jika yang meninggal seorang raja atau keturunan bangsawan
maka kain yang digunakan untuk menyelubungi mayat adalah kain-kain kelas atau asli yang
berjumlah sampai ratusan lembar. Semakin banyak kain yang digunakan maka semakin
tingi derajat dan martabatnya. Mayat seorang raja atau bangsawan harus disemayamkan
dalam uma bakul, dan dijaga oleh hamba sahaya atau dayang bawaan sambil menunggu
persiapan penguburan. Pada saat penguburan banyak hewan kurban yang dipotong sebagai
tanda penghormatan kepada arwah sang raja.
Selain sebagai pusat pemerintahan Swapraja, Kampung Adat Raja Praliu juga
adalah salah satu sentra tenun ikat. Pengrajin tenun ikat membuat kain dan sarung dalam
berbagai bentuk dan ukuran dengan menggunakan pewarna alami dan pewarna kimia.
Pewarna yang biasa digunakan adalah akar mengkudu/kombu untuk menghasilkan warna
merah, daun nila/wora dalam bentuk pasta untuk warna biru, kulit dedap atau kayu duri
untuk warna coklat dan kayu kuning untuk warna kuning. Proses pembuatan kain tenun ikat
melalui 42 tahapan proses yang sangat panjang. Hal inilah yang mempengaruhi harga kain
dan sarung asli Sumba sangat mahal, karena proses pembuatannya yang sangat rumit. Harga
kain ditentukan dari motif, warna dan teknik pembuatannya. Penuangan motif dalam
selembar kain atau sarung berdasarkan motif asli dan motif pengembangan.
Motif asli adalah gambar atau motif binatang yang benar-benar ada dan hidup di
Sumba, antara lain : kuda, kerbau, ayam, rusa, ular, kura-kura, penyu, bebek, kakatua, ular
dan buaya dan motif geometris atau motif tumbuh-tumbuhan. Motif-motif ini memiliki
makna mendalam dan religius dalam baitan bahasa Adat Sumba Timur. Sedangkan motif
pengembangan adalah motif atau gambar yang muncul karena adanya hubungan
perdagangan pada masa yang silam dan masuknya pengaruh India, China, Singapura, dan
Belanda. Yang termasuk dalam motif pengembangan antara lain : gambar Naga, singa atau
mahang, dan gambar Ratu Belanda.
Kampung Prailiu juga memiliki beberapa fasilitas seperti homestay untuk
menginap bagi para wisatawan. Fasilitas ini bisa dijumpai di bekas kampung Praikamaru.
Pantai Laipori
Beranjak dari Kampung Prailiu menuju Pantai Laipori dengan jarak ± 26 KM dapat
ditempuh dengan kendaraan roda dua dan roda empat. Di pantai ini kita akan disuguhi
dengan pemandangan hamparan pohon cemara yang sangat rindang. Di area ini juga
terdapat danau yang pernah digunakan untuk syuting sebuah Film laga yaitu Pendekar
Tongkat Emas.
Pantai Walakiri
Pantai Walakiri adalah salah satu pantai berpasir putih dengan hamparan pasir yang sangat
panjang. Selain itu, pantai ini menyuguhkan pemandangan kumpulan pohon bakau yang
kerdil yang tidak didapati di pantai lainnya di Sumba Timur. Hal ini menjadi daya tarik
tersendiri dari pantai Walakiri. Keberlangsungan pertumbuhan dan perkembangan pohon
bakau ini bergantung pada pengawasan kita sebagai masyarakat untuk menjaga dan
melestarikan alam ini.
Kampung Adat Praiyawang pada masa pemerintahan Belanda adalah salah satu
dari 7 Swapraja yang ada di Sumba Timur. Kerajaan Rindi dengan Ibukota Praiyawang
dengan cakupan wilayah kekuasaan Rindi-Mangili yang dikukuhkan dengan korte
Verklaring terakhir tanggal 25 Pebruari 1918. Adapun Raja pertama Rindi-Mangili adalah
Umbu Hina Marumata yang pernah menerima tongkat berkepala emas dari Pemerintah
Belanda. Beliau wafat tahun 1919, ia digantikan oleh puteranya, Umbu Nggala Lili Kani
Praingu alias Umbu Rara Lunggi. Setelah Umbu Rara Lunggi telah tua dan tuli maka pada
tahun 1925 diwakili oleh puteranya Umbu Hapu Hambandima. Pada tahun 1932, Umbu
Hapu Hambandima dilantik menjadi raja Rindi-Mangili sampai tahun 1960.
Pada tahun 1962, sistem pemerintahan swapraja berubah menjadi kecamatan
dan kampung-kampung menjadi desa. Kecamatan dipimpin oleh Camat dan harus Pegawai
Negeri. Oleh karena itu, ditunjuklah Umbu Tunggu Mbili sebagai camat hingga tahun 1969.
Adapun tongkat berkepala emas (Tongkat Kerajaan) Rindi-Praiyawang sekarang berada di
tangan Umbu Kanabu Ndaungu sebagai pewaris tahta kerajaan terakhir.
Kaum bangsawan kampung adat Praiyawang mengenal sistem kekerabatan dan
perkawinan menurut garis keturunan ibu/Sistem kekerabatan Matrilineal dimana anak laki-
laki dari bangsawan Praiyawang hanya boleh mengambil isteri dari Kerajaan Pau,
sedangkan anak perempuannya hanya boleh diperisteri oleh Bangsawan kerajaan Lewa-
Kambera ( Prailiu ) dan Bangsawan kerajaan Kapunduk-Kanatang.
Di Kampung Adat Praiyawang terdapat beberapa rumah adat antara lain uma
bakul atau rumah besar dan Uma Ndiawa atau rumah Roh. Uma Bakul/Rumah besar ini
mempunyai 36 tiang rumah, dengan berbagai macam ukiran. Di bagian dalam rumah,
terdapat 4 tiang utama yaitu tiang mayela ana ratu (tiang Marapu/tiang sakral), tiang Wawur
Marapu (tiang Komunikasi), tiang Nyaru Ana Konda, dan Tiang Konjilu Kanawa. Tiang-
tiang ini melambangkan bahwa roh leluhur dapat berkomunikasi dengan Penciptanya.
Artinya bahwa leluhur sebagai perantara atau penghubung. Keempat tiang ini mempunyai
ukuran yang besar dengan ukiran-ukiran gambar yang memiliki makna religius. Di antara
empat tiang ini terdapat sebuah tungku yang di atasnya terdapat para-para/hindi Marapu.
Menurut kepercayaan Marapu, orang yang telah meninggal dilipat dengan posisi
seperti bayi dalam rahim ibu, dan dibungkus dengan kain khas Sumba lalu diikat dengan
kata lain “karandi”. Jika yang meninggal seorang raja atau keturunan bangsawan, mayat
mereka didudukkan dan kain yang digunakan untuk menyelubungi mayat adalah kain-kain
kelas atau asli yang berjumlah sampai ratusan lembar. Semakin banyak kain yang
digunakan maka semakin tingi derajat dan martabatnya. Mayat seorang raja atau bangsawan
harus disemayamkan dalam uma bakul, dan dijaga oleh hamba sahaya atau dayang bawaan
sambil menunggu persiapan penguburan. Pada saat penguburan banyak hewan kurban yang
dipotong sebagai tanda penghormatan kepada arwah sang raja dan disertai dengan acara
papanggang yaitu mengusung jenasah sambil diiringi oleh papanggang menuju liang kubur.
Selain wisata budaya, di kampung adat Praiyawang juga merupakan sentra
tenun ikat khas Rende Praiyawang. Pengrajin tenun ikat kebanyakan adalah kaum
bangsawan perempuan. Mereka menenun kain dan sarung dalam berbagai bentuk dan
ukuran dengan menggunakan pewarna alami. Pewarna yang biasa digunakan adalah akar
mengkudu/kombu untuk menghasilkan warna merah, daun nila/wora dalam bentuk pasta
untuk warna biru, kulit dedap atau kayu duri dan kayu kuning untuk warna kuning. Proses
pembuatan kain tenun ikat beberapa tahapan proses yang sangat panjang. Hal inilah yang
mempengaruhi harga kain dan sarung asli Sumba sangat mahal, karena proses
pembuatannya yang sangat rumit. Harga kain ditentukan dari motif, warna dan teknik
pembuatannya. Tidak semua menguasai cara mengikat atau paing, cara mewarna dan lain
sebagainya. Hanya beberapa orang yang menguasai beberapa tahap tersebut. Lama proses
pembuatan kain dihitung pada saat penenun beraktivitas dengan pekerjaannya saja.
Penuangan motif dalam selembar kain atau sarung berdasarkan motif asli dan motif
pengembangan.
Motif asli adalah gambar atau
motif binatang yang benar-benar ada dan hidup
di Sumba, antara lain : Manusia, papanggang,
kuda, kerbau, ayam, rusa, ular, kura-kura,
penyu, bebek, kakatua, ular dan buaya dan
motif geometris atau motif tumbuh-tumbuhan.
Motif-motif ini memiliki makna mendalam dan
religius dalam baitan bahasa Adat Sumba
Timur. Sedangkan motif pengembangan adalah
motif atau gambar yang muncul karena adanya
hubungan perdagangan pada masa yang silam dan masuknya pengaruh India, China,
Singapura, dan Belanda. Yang termasuk dalam motif pengembangan antara lain : gambar
Naga, singa atau mahang, dan gambar pohon. Salah satu kain yang bermotif geometris
berasal dari India, kain ini disebut kain Patolaratu atau sutra dewangga. Salah satu kain
patula hundarangga atau sutra dewangga masih ada dan terpelihara di kampung Praiyawang
ini. Untuk mengikat motif ini, dilakukan di tempat tertentu agar tidak diketahui oleh publik.
Sistem pewarnaan yang dilakukan pengrajin tenun ini yaitu menggunakan
sistem panas dan sitem dingin. Sistem dingin adalah cara pewarnaan langsung tanpa
perebusan pewarna contohnya warna biru dan merah. Sedangkan sistem panas yaitu melalui
perebusan bahan pewarna, setelah dingin maka dilakukanlah proses pencelupan benang
yang ingin diwarnai contohnya warna kuning, dan coklat. Sistem panas kelebihannya adalah
perolehan warnanya cepat tetapi kelamahannya adalah warna cepat pudar. Sedangkan
sistem dingin pewarnaannya lambat karena harus melakukan pencelupan berulang-ulang
dan warna yang dihasilkan tidak cepat pudar/luntur.
Pengambilan bahan pewarna yang baik adalah dengan cara mengambil akar
pohon mengkudu, kulit dedap, kulit pohon bakau dengan perbandingan yang seimbang agar
tidak mengakibatkan matinya pohon tersebut. Untuk mengambil pewarna alam selain akar
mengkudu, mereka mengambilnya di hutan terdekat. Lamanya proses pembuatan kain tenun
tergantung dari ukuran, motif dan pewarnaan yang dikehendaki konsumen dan pasar.
Kampung Kaliuda
Kampung Kaliuda merupakan pusat tenun ikat yang sangat terkenal di Sumba
Timur. Kampung Kaliuda terletak di Desa Kaliuda Kecamatan Pahunga Lodu. Kain Tenun
dan Sarung yang dihasilkan oleh pengrajin di desa ini memiliki corak dan warna merah
yang khas yang tidak dimiliki oleh sentra tenun lainnya.
Mereka menenun kain dan sarung dalam berbagai bentuk dan ukuran dengan
menggunakan pewarna alami. Pewarna yang biasa digunakan adalah akar mengkudu/kombu
untuk menghasilkan warna merah, daun nila/wora dalam bentuk pasta untuk warna biru,
kulit dedap atau kayu duri dan kayu kuning untuk warna kuning. Proses pembuatan kain
tenun ikat melalui beberapa tahapan proses yang panjang. Hal inilah yang mempengaruhi
harga kain dan sarung Kaliuda sangat mahal, karena proses pembuatannya yang sangat
rumit. Harga kain ditentukan dari motif, warna dan teknik pembuatannya. Tidak semua
menguasai cara mengikat atau paing, cara mewarna dan lain sebagainya. Hanya beberapa
orang yang menguasai semua tahap tersebut.
Motif yang paling dominan dalam kain dan sarung Kaliuda adalah motif kuda,
manusia dan ayam serta pahapanggangu atau pengiring jenasah. Motif asli adalah gambar
atau motif binatang yang benar-benar ada dan hidup di Sumba, antara lain : Manusia,
papanggang, kuda, kerbau, ayam, rusa, ular, kura-kura, penyu, bebek, kakatua, ular dan
buaya dan motif geometris atau motif tumbuh-tumbuhan. Motif-motif ini memiliki makna
mendalam dan religius dalam baitan bahasa Adat Sumba Timur. Sedangkan motif
pengembangan adalah motif atau gambar yang muncul karena adanya hubungan
perdagangan pada masa yang silam dan masuknya pengaruh India, China, Singapura, dan
Belanda.
Sistem pewarnaan yang dilakukan pengrajin tenun ini yaitu menggunakan
sistem panas dan sitem dingin. Sistem dingin adalah cara pewarnaan langsung tanpa
perebusan pewarna contohnya warna biru dan merah. Sedangkan sistem panas yaitu melalui
perebusan bahan pewarna, setelah dingin maka dilakukanlah proses pencelupan benang
yang ingin diwarnai contohnya warna kuning, dan coklat. Sistem panas kelebihannya adalah
perolehan warnanya cepat tetapi kelamahannya adalah warna cepat pudar. Sedangkan
sistem dingin pewarnaannya lambat karena harus melakukan pencelupan berulang-ulang
dan warna yang dihasilkan tidak cepat pudar/luntur.
Pengambilan bahan pewarna yang baik adalah dengan cara mengambil akar
pohon mengkudu, kulit dedap atau kulit pohon duri dan loba. Untuk proses perminyakan
mereka menggunakan kemiri atau kawilu. Untuk mengambil pewarna alam selain akar
mengkudu, mereka mengambilnya di hutan terdekat. Lamanya proses pembuatan kain tenun
tergantung dari ukuran, motif dan pewarnaan yang dikehendaki konsumen dan pasar.