Anda di halaman 1dari 6

Rumah Adat Desa Ratenggaro

Indonesia sebagai negara kepulauan, memiliki setidaknya 16.056 pulau yang terbentang
dari Sabang hingga Merauke (BPS, 2019). Salah satu pulau di Indonesia meraih
nominasi sebagai The Best Beautiful Island in The World (pulau terbaik di dunia) versi
majalah Focus Jerman (2018). Pulau tersebut adalah Pulau Sumba yang menyimpan
tidak hanya keanekaragaman dan keindahan alam, namun juga budayanya. Maka tidak
mengherankan bila 19,03% desa wisata yang ada di Indonesia terpusat di Provinsi NTT
termasuk Pulau Sumba (Statistik Potensi Desa, 2018). Salah satu representasi terbaik
keindahan Pulau Sumba dapat kita jumpai pada Desa Adat Ratenggaro.

Desa Adat Ratenggaro merupakan salah satu desa yang terdapat di Kecamatan Kodi
Bangedo, Kabupaten Sumba Barat Daya. Kata Ratenggaro sendiri berasal dari dua
penggalan yaitu ‘rate’ yang berarti kuburan serta ‘garo’ yang merupakan nama suku
dari desa tersebut. Sejarahnya, dahulu terjadi peperangan antar suku yang menyebabkan
Suku Garo terbunuh oleh suku lain dan akhirnya dikubur pada lokasi tersebut. Kisah
inilah yang menyebabkan desa tersebut dinamai Desa Ratenggaro.
Terlepas dari sejarahnya yang cukup seram, nyatanya Desa Adat Ratenggaro
menyimpan beraneka macam keindahan alam dan keragaman budayanya.
Lokasinya yang berada di ujung selatan Pulau Sumba menyuguhkan pesisir pantai
yang indah. Berada di dekat pantai, dengan didukung rumah-rumah tradisional
Desa Adat Ratenggaro yang luar biasa indahnya. Desain arsitektur tradisional
dapat terlihat dengan jelas bahkan dari jarak yang cukup jauh. Hal ini dipengaruhi
oleh kepercayaan utama masyarakat Desa Adat Ratenggaro
yaitu marapu. Marapu menjadi kepercayaan pemujaan terhadap para leluhur yang
masih sangat dipegang teguh. Rumah penduduk didesain dengan konsep rumah
panggung dan memiliki menara atap yang menjulang tinggi. Bahkan rumah adat
Ratenggaro menjadi rumah adat tertinggi di Pulau Sumba. Menara yang menjulang
tinggi tersebut merepresentasikan status sosial dan bentuk penghormatan terhadap
arwah para leluhur sehingga fungsi rumah selain sebagai tempat tinggal juga
berfungsi sebagai sarana pemujaan.

Budaya unik lainnya yang dapat kita lihat dari pola permukiman adalah adanya
empat rumah khusus yang disakralkan oleh penduduk, yaitu Uma Katode Kataku,
Uma Kalam, Uma Katode Kuri, dan Uma Katode Amahu yang mewakili empat
penjuru mata angin dan saling berhadapan. Posisi dan jumlah rumah di Desa Adat
Ratenggaro tidak pernah berubah sejak dahulu dan seluruh bahan bangunannya
merupakan bahan alami yang didapatkan di sekitar mereka. Desa adat Ratenggaro
juga memiliki banyak situs megalitik berupa kubur batu tua.

Maka tidak heran bila Desa Adat Ratenggaro sangat diminati oleh wisatawan lokal
maupun mancanegara. Fasilitas dan amenitas Desa Adat Ratenggaro juga dinilai
sudah baik. Terdapat wisata naik kuda serta penyewaan baju adat Sumba.
Wisatawan pun dapat berbelanja kain tradisional khas Ratenggaro.

Untuk dapat mencapai Desa Adat Ratenggaro ini, wisatawan dapat menggunakan
jasa travel atau sewa kendaraan. Jaraknya sekitar 56 km dari Tambolaka (Ibukota
Sumba Barat Daya) dapat ditempuh dalam waktu 1-1,5 jam. Jalannya pun sudah
beraspal dan relatif dalam kondisi yang baik. Namun lamanya waktu perjalanan
akan sangat setimpal dengan keindahan alam dan kebudayaan yang disuguhkan
oleh Desa Adat Ratenggaro. (IPF)
Uma Kelada

Rumah adat ini memiliki keunikan pada rumah adatnya (Uma Kelada) yang
memiliki ciri khas menara menjulang tinggi mencapai 15 meter. Atapnya
menggunakan bahan dasar jerami dan tinggi rendahnya atap didasarkan atas
status sosial mereka. Ratenggaro meruapakan desa adat yang masih
memegang teguh dan melestarikan adat dan tradisi peninggalan leluhurnya
terbukti dari masyarakatnya yang masih menganut tradisi Marapu sama
seperti kampung-kampung lain di Kabupaten Sumba Barat Daya pada
umumnya.
yang memiliki Pasola sebagai ikon budayanya, ternyata juga memiliki sebuah desa
adat dengan ciri khas jajaran rumah adatnya yang menarik untuk disambangi.
Terletak di wilayah Desa Umbu Ngedo, Kecamatan Kodi Bangedo berjarak kurang
lebih 40km dari Tambolaka, belum tersedia akomodasi umum yang dapat
digunakan pengunjung untuk mencapai ke desa ini sehingga pengunjung harus
menyewa kendaraan atau jasa travel dari Tambolaka yang berjarak sekitar 56 km
ke lokasi Desa Ratenggaro. Akses jalanan dari Tambolaka menuju Ratenggaro
dapat ditempuh dalam waktu 1,5 hingga 2 jam dengan kondisi jalan beraspal yang
terpelihara baik.

Memasuki kawasan Desa Adat Ratenggaro membuat para pengunjungnya serasa


kembali ke jaman megalithikum sekitar 4.500 tahu yang lalu di mana masih
terdapat kuburan batu tua di sekitar perkampungan. Ratenggaro sendiri memiliki
arti yaitu ‘Rate’ yang berarti kuburan, sedangkan ‘Garo’ yang artinya orang-orang
Garo. Jadi konon katanya dahulu kala ketika masih terjadi perang antar suku, suku
dari orang yang sekarang menjadi penghuni desa ini berhasil merebut wilayah desa
orang-orang Garo. Pada zaman itu, suku yang kalah perang akan dibunuh dan
dikubur di tempat itu juga. Terdapat 304 buah kubur batu dan 3 di antaranya
berbentuk unik dan terletak di pinggiran laut. Ukuran dan pahatan pada tiap kubur
batu semakin menambah kesan magis dan mendalam pada peninggalan leluhur.
Bentuknya yang menyerupai meja datar dan berukuran besar terlihat sangat kokoh
meskipun setiap harinya selalu terkena hantaman angin kencang dari arah laut yang
terletak di belakang kampung. Selain batu kubur leluhur atau raja, terdapat pula
batu kubur warga Rotenggaro lainnya dengan ukuran yang lebih kecil.

Rumah Adat Ratenggaro memiliki bentuk rumah panggung yang terdiri dari 4 buah
tingkat di mana tingkat paling bawah digunakan sebagai tempat hewan peliharaan.
Lalu tingkat kedua adalah tempat pemilik rumahnya tinggal bersama dan setelah
itu di atasnya adalah tempat untuk menyimpan hasil panen. Kemudian di atas
tempat memasak terdapat sebuah kotak yang merupakan tempat menyimpan benda
keramat dan tingkat teratas adalah tempat untuk meletakkan tanduk kerbau sebagai
simbol tanda kemuliaan. Tipikal rumah adat di Desa Ratenggaro hampir sama
seperti orang Flores dan orang Toraja di mana di umahnya terdapat rahang babi
dan tanduk kerbau yang digantung sebagai simbol bahwa orang yang memiliki
rumah tersebut pernah melaksanakan upacara adat.

Jadi, tertarik ingin merasakan kembali ke zaman megalithikum? Kunjungilah Desa


Adat Ratenggaro apabila Anda sedang melakukan perjalanan overland
menjelajahi pulau sumba.
Braille Huruf Khusus Untuk Tunanetra

Braille’iant adalah sebuah komunitas inklusi dg difabel netra yang bertujuan


meningkatkan potensi difabel netra melalui peningkatan berbahasa Inggris dan
pendampingan belajar. Selain itu, Braille’iant juga mempunyai misi untuk
mengkampanyekan hal-hal yg berkaitan dengan difabel netra dan kebudayaannya
melalui aktifitas yg aksesibel bagi difabel netra, seperti Layar Bisik, Audio Book
Massal dan pendampingan minat bakat. Braille’iant Indonesia (2013) adalah komunitas
di Yogyakarta yang bergerak di bidang isu difabel, khususnya difabel netra.
Komunitas Ngaji Braille’iant

Komunitas Ngaji Braille tidak sekadar mendampingi para penyandang disabilitas supaya bisa
mengaji. Tapi, juga memberikan support dan dorongan spiritual. Terlebih soal bagaimana
mensyukuri takdir dan segala kehendak-Nya.

Komunitas Ngaji Braille berdiri sejak sembilan tahun lalu. Tepatnya, 2013. Saat itu
anggotanya memang para tunanetra. Nah, lambat laun anggotanya mulai beraneka macam.
Mulai tunadaksa, tunawicara, hingga tunarungu. Sebab, semua memiliki kesulitan yang
sama.

Menurut Arif, dalam membaca Alquran braille, yang paling susah justru bukan para
tunanetra. Melainkan tunarungu dan tunawicara. Sebab, mereka berkomunikasi melalui gerak
bibir. Namun, hal itu tidak menjadi masalah, asalkan semua didasari niat yang kuat.

Selain belajar membaca Alquran, para anggota komunitas diberi ruang untuk saling curhat.
Rata-rata mereka mengobrol tentang kehidupan. ’’Biasanya saling mencurahkan keluh kesah
mereka,’’ kata Arif.

Anda mungkin juga menyukai