Anda di halaman 1dari 8

1.

Desa Wae Rebo NTT

Wae Rebo di Flores yang terletak pada ketinggian 1.200 meter di atas permukaan laut ini
layaknya sebuah surga yang berada di atas awan. Perlu perjuangan untuk bisa mencapainya,
namun apa yang didapat ketika sampai ke lokasi sebanding dengan perjalanan yang dilalui.
Pemandangan alam berupa gunung-gunung berpadu dengan 7 rumah adat berbentuk kerucut
akan memberi kesan tersendiri bagi setiap pengunjung ynag pernah datang ke Desa Wae Rebo.

Desa Wae Rebo berada di barat daya kota Ruteng, Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur.
Untuk bisa sampai ke lokasi memang tidak mudah karena letaknya yang di atas gunung. Perlu
tenaga ekstra untuk melakukan perjalanan kaki selama kurang lebih 3 sampai dengan 4 jam.
Tergantung kondisi fisik karena trekking menuju desa Wae Rebo mendaki sejauh 7 km.

Desa Wae Rebo saya sebut sebagai desa terindah di Indonesia, dan desa ini sama sekali tidak ada
signal hp. Desa Wae Rebo dari sisi pariwisata sangat dikelola dengan baik, karena desa ini
didampingi dan diberikan bimbingan tentang Pariwisata oleh Indonesia Ecotourism Network.
Tujuannya memajukan desa-desa yang tadinya kurang diperhatikan menjadi sebuah desa wisata
yang banyak orang ingin kunjungi. Pengunjung yang ingin ke Desa Wae Rebo di Flores harus
mulai dari Ruteng. Jika dari Denpasar (Bali), bisa langsung menuju Ruteng lewat jalur udara.
Apabila tidak ada penerbangan menuju Ruteng, anda dapat menggunakan bus atau travel dari
Labuan Bajo, ibu kota Kabupaten Manggarai Barat yang memakan waktu sekitar 6 jam. Setelah
tiba di Ruteng, perjalanan dilanjutkan menuju Desa Denge atau Dintor selama kurang lebih 2
jam yang merupakan desa terakhir yang dapat diakses dengan kendaraan.

Untuk ke Denge dapat menggunakan ojek atau truk kayu, biasanya dapat ditemukan di Terminal
Mena yang beroperasi dari jam 09.00 sampai 10.00. Jika ingin lebih hemat, gunakan truk kayu.
Hanya saja angkutan ini tidak setiap hari beroperasi. Selanjutnya perjalanan ditempuh dengan
berjalan kaki menuju Desa Wae Rebo selama 4-5 jam. Apabila harus menggunakan ojek dari
Ruteng untuk bisa sampai ke Desa Denge, maka biaya yang dikeluarkan lebih mahal, bisa
mencapai Rp 150.000-200.000 sekali antar.

Lebih hemat jika menggunakan truk kayu yang hanya dikenakan tarif Rp 30.000 per orang.
Untuk fasilitas, di Desa Denge ada sebuah home stay yang bisa digunakan untuk menginap.
Tidak jauh dari home stay ada pusat informasi dan perpustakaan. Saat tiba di Desa Wae Rebo,
anda bisa menumpang di rumah adat milik masyarakat setempat jika ingin menginap. Di sini
tidak ada home stay atau penginapan khusus karena hanya terdiri dari 7 rumah adat.

Selain pemandangannya yang indah, kita akan disambut dengan keramahan penduduknya saat
tiba di Desa Wae Rebo. Di sini dapat kita jumpai rumah adat yang hanya terdiri dari 7 buah di
mana telah bertahan selama 19 generasi. Hal ini pula yang menjadi daya tarik para wisatawan
khususnya dari mancanegara. Mereka umumnya penasaran ingin melihat langsung rumah adat
yang disebut dengan Mbaru Niang ini.
2. Desa Bena Ngada NTT

Kampung Bena memiliki 45 rumah adat dengan arsitektur yang unik dan indah. Di tengah
perkampungan, batu megalitikum masih kokoh. Bahkan, di seluruh lokasi perkampungan ada
batu dari masa megalitikum.
Agustinus Nggose, seorang warga yang berkunjung menjelaskan bahwa salah satu wisata
unggulan di Kabupaten Ngada adalah Kampung Adat Bena. Kampung ini berada di bawah kaki
Gunung Inerie, sisi selatan Kabupaten Ngada. Selain arsitektur rumah adat yang beratap alang-
alang, daya tarik lain adalah Gunung Inerie.

Adapun sembilan Kabupaten di Pulau Flores memiliki perkampungan adat yang unik sesuai
dengan kearifan lokal dalam membangun rumah adat dengan arsitektur lokal sesuai keadaan
alam di Pulau tersebut. Mulai dari wilayah Flores Barat ada kampung Waerebo, Kampung
Ruteng Puu, Kampung Todo di Kabupaten Manggarai. Bahkan arsitektur gedung perkantoran
dibangun dengan model rumah adat.
Kabupaten Ngada terkenal dengan kampung adat Bena, Gurusina, dan lainnya. Kabupaten
Nagekeo, Ende, Sikka, Larantuka dan Lembata juga memiliki perkampungan adat. Pulau Flores
sangat terkenal dengan wisata budaya rumah adat selain tarian-tarian dan ritual adat.

Khusus untuk sisi selatan dari Kabupaten Ngada, spot wisata yang prioritas dikunjungi yakni
Puncak Gunung Wolobobo, Perbukitan Manulalu, perkampungan adat Bena, Gurusina dan
mandi di air panas Nage.
3. Desa Sade Lombok

Sade adalah salah satu dusun di desa Rembitan, Pujut, Lombok Tengah. Dusun ini dikenal
sebagai dusun yang mempertahankan adat suku Sasak. Suku Sasak Sade sudah terkenal di
kalangan wisatawan yang datang ke Lombok.

Dinas Pariwisata setempat menjadikan Sade sebagai desa wisata karena keunikan Desa Sade dan
suku Sasak yang menjadi penghuninya. Meski terletak persis di samping jalan raya aspal nan
mulus, penduduk Desa Sade di Rembitan, Lombok Tengah masih berpegang teguh menjaga
keaslian desa. Dapat dikatakan, Sade adalah cerminan suku asli Sasak Lombok walaupun listrik
dan program Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) dari pemerintah sudah
masuk ke sana, Desa Sade masih menampilkan suasana perkampungan asli pribumi Lombok.

Hal itu dapat dilihat dari bangunan rumah yang terkesan sangat tradisional. Atapnya dari ijuk,
kuda-kuda atapnya memakai bambu tanpa paku, tembok dari anyaman bambu, dan langsung
beralaskan tanah. Orang Sasak Sade menamakan bangunan itu bale. Terdapat delapan bale yaitu
Bale Tani, Jajar Sekenam, Bonter, Beleq, Berugag, Tajuk dan Bencingah. Bale-bale itu
dibedakan berdasarkan fungsinya. Ada 150 Kepala Keluarga di Sade. Dulu, penduduknya
banyak yang menganut Islam Wektu Telu (hanya tiga kali sholat dalam sehari). Tapi sekarang,
banyak penduduk Sade sudah meninggalkan Wektu Telu dan memeluk Islam sepenuhnya.

Uniknya, warga desa punya kebiasaan khas yaitu mengepel lantai menggunakan kotoran kerbau.
Jaman dahulu ketika belum ada plester semen, orang Sasak Sade mengoleskan kotoran kerbau di
alas rumah. Sekarang sebagian dari kami sudah bikin plester semen dulu, baru kemudian diolesi
kotoran kerbau. Konon, dengan cara begitu lantai rumah dipercaya lebih hangat dan dijauhi
nyamuk. Bayangkan saja, kotoran itu tidak dicampur apa pun kecuali sedikit air.

erletak di antara jalan raya Praya ke Kuta, sekitar 30 km dari Kota Mataram. Jarak tempuh dari
Bandara Internasional Zainuddin Abdul Madjid sekitar 15 menit dan lima menit dari kawasan
The Mandalika, lokasi Pertamina Mandalika International Street Circuit.
4. Kampung Naga Jawa Barat

Kampung Naga, satu dari sekian kampung-kampung adat yang ada di Jawa Barat. Kampung
Naga terletak tidak jauh dari jalasn raya yang menghubungkan daerah Garut dengan
Tasikmalaya. Kampung ini berada pada suatu lembah yang subur, dilalui oleh sebuah sungai
bernama sungai Ciwulan yang bermata air di Gunung Cikuray di daerah Garut. Seacra
administratif, Kampung Naga berada di wilayah Desa Neglasari Kecamatan Salawu Kabupaten
Tasikmalaya. Dari Tasikmalaya ke Kampung Naga sekira berjarak lebih lagi mendirikan rumah
baru kurang 30 kilometer.

Untuk mencapai Kampung tersebut dari arah jalan raya Garut – Tasikmalaya, harus menuruni
anak tangga sekira 335 anak tangga hingga sungai Ciwulan dengan kemiringan 45 derajat.
Penduduk Kampung Naga adalah penganut agama Islam, di samping masih memegang teguh
adat istiadat yang secara turun temurun berasal dari nenek moyang mereka. Karena areal
Kampung Naga terbatas, sehingga tidak memungkinkan lagi mendirikan rumah baru, maka
banyak penduduk yang termasuk adat sa-Naga bertempat tinggal di di luar Kampung Naga
maupun di luar Desa Neglasari. Bahkan ada diantara mereka yang bertempat tinggal di Kota
Garut. Tasikmalaya, Bandung dan Cirebon.

Mereka ini pun masih taat menjalankan adat istiadat warisan nenek moyang mereka yang
berpusat di dalam Kampung Naga. Semisal, pada saat diselenggarakan adat dan upacara adat Sa-
Naga yang dipusatkan di Kampung Naga, mereka memerlukan datang ke Kampung Naga untuk
melaksanakannya bersama-sama. Nenek moyang orang Kampung Naga (Sa-Naga) yang
menurunkan keturunan dan adat istiadat Naga adalah Embah Dalem Eyang Singaparna.
Makamnya diwilayah Hutan sebelah barat Kampung Naga.

Makam Embah Dalem Singaparna dianggap makam keramat yang selalu diziarahi pada saat akan
diadakan atau dilakukan penyelenggaraan upacara-upacara adat atau yang lainnya, baik oleh
warga masayarakat Kampung Naga yang berada di sana maupun orang-orang keturunan yang
termasuk ke dalam adat Sa-Naga. Kekhasan dari Kampung Adat Naga selain yang disebutkan di
atas ialah arsitektur bangunannya yang membedakan arsitektur bangunan pada umumnya. Mulai
letak, bentuk, arah rumah, bahan-bahan pembuat rumah, pola perkampungan, sampai kepada
perilaku kehidupan sehari-hari ditaati sebagai ketentuan yang digariskan leluhur, pelanggaran
terhadap ketentuan tersebut dianggap sebagai pelanggaran adat yang dapat membahayakan
bukan saja bagi si pelanggar, tetapi juga bagi seluruh isi Kampung Naga dan bagi orang-orang
Sa-Naga. Merebaknya tatanan nilai budaya global membawa pengaruh cukup sinifikan terhadap
tatanan budaya lokal. Dengan tidak didasari, Jawa Barat memiliki peluang, dimana aset atau
warisan budaya itu dapat dipelihara, diperkenalkan, dan dimanfaatakan untuk untuk dan oleh
masyarakat pada umumnya.
5. Desa Truyan Bali

Asal-usul Desa Trunyan

Pada mulanya, hidup seorang Raja Surakarta. Ia mempunyai empat orang anak yang terdiri dari
tiga lelaki dan satu perempuan. Suatu kali, keempat anaknya mengendus bau harum entah dari
mana. Si anak bungsu, perempuan mengatakan bahwa bau harum berasal dari timur.

Mereka memohon izin kepada Raja Surakarta untuk mencari bau itu. Sang Raja mengizinkannya.
Lalu, mereka berangkat menuju arah timur. Setelah berhari-hari melakukan perjalanan, mereka
tiba di Bali. Semakin semerbak baunya, mereka semakin penasaran.

Perjalanan dilanjutkan hingga terhenti di Gunung Batur. Si bungsu memohon izin kepada ketiga
kakaknya untuk menetap di situ. Ia merasa aman dan nyaman. Ketiga kakaknya memberikan
izin. Si bungsu, yang kemudian menetap di sana, mendapat gelar Ratu Ayu Mas Maketeg.

Singkat cerita, ketiga lelaki itu melanjutkan perjalanan. Namun, dalam perjalanan pertikaian
terjadi di antara anak pertama dan anak ketiga. Anak pertama menendang anak ketiga karena
kesal melihat tingkah laku anak ketiga yang terlampaui girang. Hal ini disebabkan anak ketiga
mendengar suara burung yang sungguh merdu.

Peristiwa itu mengakibatkan anak ketiga jatuh yang kemudian menjadi duduk bersila. Pose
tersebut bisa Sobat Pesona lihat ketika melangkah ke Desa Kedisan, Pura Dalem Pingit. Anak
ketiga diberi gelar Ratu Sakti Sang Hyang Jero. Perjalanan berlanjut yang menyisakan anak
pertama dan kedua. Di tengah perjalanan, dan sampai di Danau Batur, mereka melihat dua
perempuan cantik. Anak kedua ingin menyapanya namun dicegah oleh anak pertama. Alhasil,
terjadi adu mulut yang menyebabkan anak pertama melakukan tindakan seperti sebelumnya. Ia
menendang anak kedua hingga jatuh tertelungkup. Kelak, di tempat tersebut dinamakan Desa
Abang Dukuh.

Anak pertama tinggal sendirian. Ia kembali melangkah untuk menuju bau harum itu hingga
akhirnya mencapai Pohon Taru Menyan. Di sana ada seorang perempuan yang cantik dan
menawan. Anak pertama terpesona hingga memiliki hasrat untuk memilikinya.

Si perempuan setuju dan mereka pun menikah. Kemudian, untuk menjadi seorang pemimpin di
situ, anak pertama diberi gelar Ratu Sakti Pancering Jagat. Kelak, ia menjadi dewa tertinggi di
Desa Trunyan. Sedangkan si istri mendapatkan gelar Ratu Ayu Pingit Dalam Dasar. Kelak, ia
menjadi pelindung Danau Batur.

Ratu Sakti Pancering Jagat ingin mengamankan daerahnya dari ancaman pihak luar. Oleh karena
itu, ketika ada yang wafat, jenazahnya tidak dikubur melainkan ditaruh di dekat Pohon Taru
Menyan. Pohon itulah yang mengaburkan bau jenazah dan mengeluarkan bau harum. Taru
berarti pohon dan Menyan berarti harum.

 
6. Desa Pariangan Sumut

Desa Nagari Pariangan terletak di Lereng Gunung Marapi, tepatnya di Kecamatan Pariangan,
Kabupaten Tanah Datar, Provinsi Sumatra Barat. Lokasinya sekitar 95 kilometer dari utara Kota
Padang, dan 35 kilometer dari Kota Bukittinggi. Nagari Pariangan juga berada di antara Kota
Batusangkar dan Padang Panjang. Nagari Pariangan memiliki luas 17,97 kilometer persegi.

Tak hanya juara karena keindahannya, berada di ketinggian sekitar 500-700 meter di atas
permukaan laut membuat udara di Nagari Pariangan begitu sejuk. Secara geografis, Gunung
Marapi masih aktif hingga saat ini. Gunung tersebut terakhir meletus pada 2014. Berada di
wilayah pegunungan membuat panorama alam di Nagari Pariangan begitu luar biasa.

Di jalan utama menuju desa wisata ini, para pengunjung akan ditemani oleh jalan yang berkelok
dengan pemandangan hijau yang begitu asri, yakni hamparan sawah yang sangat subur dan
pepohonan rimbun. Rumah-rumah Gadang khas Sumatra Barat yang berada di wilayah
perkampungan Nagari Pariangan juga tidak biasa. Meski padat, rumah penduduk yang dibangun
bertingkat-tingkat mengikuti kontur atau pola dari lereng gunung, terlihat rapi dan sedap
dipandang mata.

Setiap jengkal mata memandang, selalu terlihat atap gonjong yang runcing (sebutan atap rumah
gadang). Meskipun terlihat tua, rumah-rumah tersebut masih terlihat apik dan khas karena motif-
motif minang. Uniknya, masyarakat desa membangun rumah-rumah tersebut secara tradisional
dan tanpa menggunakan paku.

Tak hanya rumah-rumah yang menjadi daya tarik desa Nagari Pariangan. Masjid Ishlah yang
dibangun pada abad ke-19 pun turut menarik pengunjung. Bangunan tertua yang dibangun Syekh
Burhanuddin-- seorang ulama terkemuka di Minang --tidak mengadopsi rumah gadang sebagai
arsitektur atapnya, melainkan arsitekturnya menyerupai kuil-kuil di Tibet. Masjid tua ini telah
mengalami renovasi sebanyak dua kali, yaitu pada 1920 dan 1994. Yang semakin membuat
masjid ini unik adalah terdapat pancuran air panas langsung dari Gunung Merapi. Air tersebut
dapat digunakan untuk umat Muslim mensucikan diri. Pancuran ini dianggap sebagai sebuah
keberkahan bagi masyarakat Nagari Pariangan.

Nagari Pariangan juga menjadi desa pertanian pertama di Minang, kesuburan tanahnya tidak
perlu diragukan lagi. Pertanian menjadi sumber pangan masyarakat Nagari Pariangan. Karena
begitu menghormati para leluhur dan menjunjung tinggi peninggalan sejarah, sepetak sawah di
sana dijadikan situs peninggalan. Ya, Sawah Gadang Satampang Baniah yang merupakan sawah
pertama yang dibuka oleh Datuk Tantajo Garhano (leluhur masyarakat Minang) telah dijadikan
cagar budaya oleh masyarakat setempat. Hal tersebut sebagai bukti bahwa masyarakat Nagari
Pariangan begitu menghormati situs-situs bersejarah warisan dari para leluhur. Sawah pertama
tersebut berada di ujung jalan utama desa.

Ada lagi yang menarik di Nagari Pariangan, yakni makam Datuk Tantajo Garhano yang juga
merupakan situs sejarah di wilayah desa. Uniknya, tidak seperti makam lain, makam tokoh adat
ini selalu berubah panjang dan lebarnya setiap diukur. Apiknya masyarakat dalam menjaga
tempat peristirahatan terakhir tokoh adat tersebut, membuat area makam lebih pantas disebut
taman.
7. Desa Osing Kamiren Banyuwangi

Desa Wisata Adat Osing Kemiren terletak di Kecamatan Glagah, Kabupaten Banyuwangi,
memiliki luas 177.052 Ha dengan penduduk 2.569 jiwa. Desa Adat Osing Kemiren berasal dari
nama kemirian, atau banyak pohon kemiri. dan mayoritas masyarakat adalah suku osing yang
merupakan suku asli kabupaten Banyuwangi. Desa Kemiren juga menjadi bagian dari kawasan
Ijen Geopark sebagai culture site.

Kemiren memiliki budaya yang beraneka ragam. mulai dari adat istiadat, bahasa, manuskrip,
kesenian, tradisi lisan, ritus, pengetahuan, teknologi dan permainan Tradisional.

Wisatawan tak perlu hawatir ketika berkunjung ke kemiren. Karena Ada homestay yang siap
sebagai tempat singgah. Homestay dengan arsitektur osing dan keramahan warganya membuat
nyaman terasa di kampung sendiri.

Masa Pandemi ini, mendorong Desa Wisata Adat Osing Kemiren untuk  beradaptasi dengan
kebiasaan baru menjalankan kegiatan kepariwisataan. Pengunjung tak perlu khawatir karena
usaha jasa pariwisata di Kemiren sudah terverifikasi standard protokol kesehatan dari Pemerintah
Kabupaten Banyuwangi maupun Kemenparekraf.

Amenitas pendukung Desa Wisata seperti toilet yang tersebar di beberapa titik wisata menjadi
hal yang penting untuk menjadikan wisatawan merasa nyaman. Kebersihan dan standarisasi
toilet wujud pelayanan prima yang diberikan kepada wisatawan. Tak tanggung-tanggung,
Pemerintah Kabupaten Banyuwangi tiap tahunnya mengadakan Festival Toilet Bersih sebagai
wujud kampanye untuk menjadikan hidup bersih sebagai budaya yang tertanam dalam
masyarakat.

Dalam era globalisasi kini juga, Desa Wisata Adat Osing Kemiren juga dituntut untuk terus
mengikuti perkembangan zaman. Digitalisasi manajemen Desa Wisata menjadi bagian yang tak
terpisahkan dan menjadi tantangan yang harus dihadapi bersama. Desa Wisata Adat Osing
Kemiren juga sudah mampu menerapkan sistem digital di desa wisata. Seperti pengisian data
kunjungan secara online dan penayangan video promosi.  Seiring dengan itu, Desa Wisata Adat
Osing Kemiren sudah menjalan Program Smart Kampung dari Pemerintah Kab. Banyuwangi.
Hal ini terlihat adanya kemudahan Pelayanan Publik yang terkoneksi secara online dan Ruang
Publik yang memiliki akses internet untuk mendukung kegiatan wisata di Desa Wisata Adat
Osing Kemiren. Tak hanya itu, Pemerintah Kabupaten Banyuwangi juga membuatkan aplikasi
terintegrasi yakni Banyuwangi Tourism yang tersedia di Playstore. Dengan adanya aplikasi ini
memudahkan wisatawan untuk mencari destinasi wisata, hotel, homestay, vila, resort, paket
wisata, angkutan wisata sampai dengan jadwal festival yang diselenggarakan Pemerintah Daerah
Kabupaten Banyuwangi.
8. Desa Gantung Belintung Timur

Dahulunya Gantung lebih di kenal dengan nama Lenggang. Lenggang merupakan sebuah distrik
yang di bangun oleh perusahan timah swasta pada masa pedudukan Hindia-Belanda yang
bernama BHP pada tahun 1868. Nama lenggang berasal dari nama sungai linggang yang
membentang di sepanjang desa tersebut, hingga belanda menyebut daerah ini Lenggang. Namun
seiring berjalannya waktu nama lenggang tergantikan dengan nama "Gantong" dalam bahasa
setempat dan "Gantung" dalam bahasa Indonesia. Nama gantong/gantung sendiri didapat dari
nama sebuah pulau kecil yang berada di bibir sungai linggang yang terlihat menggantung karena
menurut sebagian orang pulau tersebut menggantung dan berdiri sebuah pohon "kayu are"
raksasa di atasnya dan masih bisa kita temui hingga saat ini.

Gantong/gantung merupakan daerah penghasil timah terbesar di pulau Belitung dan membentang
sungai terpanjang dan terbesar di pulau Belitung yaitu sungai lenggang. Serta didominasi oleh
hutan keranggas, padang rumput, dan hutan gelam. Gantung juga memiliki kawasan hutan
mangrove yang sangat luas disepanjang muara sungai lenggang dan merupakan tempat tinggal
dari ribuan buaya muara. Di utara sungai lenggang juga dapat kita temui satu-satunya bendungan
yang ada di pulau Belitung peninggalan zaman Belanda yang diberi nama bendungan Pice.
Gantung juga memiliki beberapa daya tarik wisata seperti:

1. Replika SD Muhammadiyah/SD Laskar Pelangi


2. Museum Kata Andrea Hirata
3. Pantai Gusong Cine
4. Vihara Dewi Khwan Im
5. Kampung Ahok
6. Bendungan Pice
7. Gunong Lumut
8. Cagar Budaya Batu Penyu
9. Gunong Tiong
10. Dermaga Kirana

Anda mungkin juga menyukai