Kampung Naga merupakan sebuah perkampungan adat yang berlokasi di di wilayah Desa
Neglasari, Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya, Provinsi Jawa Barat. . Lokasi
Kampung Naga tidak jauh dari jalan raya yang menghubungkan kota Garut dengan kota
Tasikmalaya. Kampung ini berada di lembah yang subur, dengan batas wilayah, di sebelah
Barat Kampung Naga dibatasi oleh hutan keramat karena di dalam hutan tersebut terdapat
makam leluhur masyarakat Kampung Naga. Di sebelah selatan dibatasi oleh sawah-sawah
penduduk, dan di sebelah utara dan timur dibatasi oleh Ci Wulan (Kali Wulan) yang sumber
airnya berasal dari Gunung Cikuray di daerah Garut. Jarak tempuh dari kota Tasikmalaya ke
Kampung Naga kurang lebih 30 kilometer, sedangkan dari kota Garut jaraknya 26 kilometer.
Untuk menuju Kampung Naga dari arah jalan raya Garut-Tasikmalaya harus menuruni tangga
yang sudah di tembok (Sunda : sengked) sampai ke tepi sungai Ciwulan dengan kemiringan
sekitar 45 derajat dengan jarak kira-kira 500 meter. Kemudian melalui jalan setapak
menyusuri sungai Ciwulan sampai kedalam Kampung Naga . Jika kita ingin berkunjung ke
kampung adat hal pertama yang harus kita lakukan meniti sebuah anak tangga yang
berjumlah 439anak tangga. Wow.... memang sangat melelahkan jika kita ingin beerkunjung
kekampung adat tersebut, namun hal tersebut akan terbayangkan ketika kita telah sampai di
perkampungan adat tersebut. Suasana asri indah dan menyejukkan akan langsung terasa
ketika kita pertama kali melihat keindahan alam di kampung naga. Sambutan yang hangat
dari para warga akan membuat kita betah berlama lama untuk melihat dan menelusuri
setiap jengkal keindahan dari perkampungan tersebut.
Sejarah
Dalam perkembangannya kampung naga sudah ada ketika agama islam masih belum
berkembang di nusantara. Yang artinya kampung naga sudah ada pada jaman kerajaan hindu
budha ang menguasai nusantara. Karena memiliki masyarakat yang masih memegang teguh
tradisi nenek moyang membuat mereka menolak segala interfensi dari pihak luar jika hal
tersebut mencampuri atau merusak kelestarian dari kampung tersebut. Secara detail sejarah
dari kampung naga tidak ada yang mengetahui, berdirinya kapan ? siapa pendirinya ?, tidak
ada sumber pasti mengenai hal tersebut. Beberapa masyarakat ada yang bercerita bahwa hal
ini disebabkan oleh terbakarnya arsip sejarah merek pada saat itu. Ada pun versi sejarah yang
lain menyebutkan bahwa pada masa kewalian sunan gunung jati seorag abdinya yang
bernama singapara ditugasi untuk menyebarkan agama islam kewilayah barat, kemudian
sampailah di wilayang negalasari dan tiba di kampung naga di sana Singaparana di panggil
sembah dalem Singaparana oleh masyarakat kampung naga. Dan masyarakat kampung naga
mulai menerima masuknya islam di wilayah mereka.
Tabu, pantangan atau pamali bagi masyarakat Kampung Naga masih dilaksanakan dengan
patuh khususnya dalam kehidupan sehari-hari, terutama yang berkenaan dengan aktivitas
kehidupannya. Pantangan atau pamali merupakan ketentuan hukum yang tidak tertulis yang
mereka junjung tinggi dan dipatuhi oleh setiap orang. Misalnya tata cara membangun dan
bentuk rumah, letak, arah rumah,pakaian upacara, kesenian, dan sebagainya. Adapu
pantangan atau tabu yang lainnya yaitu pada hari Selasa, Rabu, dan Sabtu. Masyarakat
kampung Naga dilarang membicarakan soal adat-istiadat dan asal usul kampung Naga.
Masyarakat Kampung Naga sangat menghormati Eyang Sembah Singaparna yang merupakan
cikal bakal masyarakat Kampung Naga. Sementara itu, di Tasikmalaya ada sebuah tempat
yang bernama Singaparna, Masyarakat Kampung Naga menyebutnya nama tersebut
Galunggung, karena kata Singaparna berdekatan dengan Singaparna nama leluhur masyarakat
Kampung Naga.
mereka sudah menikah, karena di kampung naga tidak boleh menambah rumah maupun
bangunan lainya. Maka jika ada keluarga yang ingin membuat rumah lagi maka harus pindah
dan membuat rumah diluar kampung naga. Biasanya mereka pindah tidak jauh dari kampung
naga hal itu dikarenakan jika ada upacara upacara ada mereka dapat mengetahui dan
berkunjung untuk menghadiri upacara adat tersebut.
sudah tidak dikenal lagi terutama oleh kalangan generasi muda. Namun bagi masyarakat
Kampung Naga yang hendak menonton kesenian wayang, pencak silat, dan sebagainya
diperbolehkan kesenian tersebut dipertunjukan di luar wilayah Kampung Naga. Menurut
kepercayaan masyarakat Kampung Naga, dengan menjalankan adat-istiadat warisan nenek
moyang berarti menghormati para leluhur atau karuhun. Segala sesuatu yang datangnya
bukan dari ajaran karuhun Kampung Naga, dan sesuatu yang tidak dilakukan karuhunnya
dianggap sesuatu yang tabu. Apabila hal-hal tersebut dilakukan oleh masyarakat Kampung
Naga berarti melanggar adat, tidak menghormati karuhun, hal ini pasti akan menimbulkan
malapetaka.
ITB, yang kami kagum adalah fasilitas ruangan studio yang tersedia sangat nyaman dan luas,
para mahasiswa diberi kebebasan untuk bergerak dan berkreasi sekreatif mungkin, di ruangan
tersebut kami juga berkesempatab untuk bercengkrama dengan beberapa mahasiswa yang
sedaang menyelesaikan tugasnya. Untuk ruangan studio yang lain kami melihat yang lagi
lagi nyaman digunakan untuk di gunakan mengerjakan tugas tugas kuliah. Setelah
mengitari beberapa ruangan yang digunaakan untuk aktifitas mahasiswa, kami selanjutnya di
ajak untuk ke besement gedung tersebut untuk melihat beberapa peralatan dan mesin
pencetak bahan untuk pembuatan maket para mahasiswa. Setelah dari ruangan tersebut kami
kembali ke lantai utama untuk melihat pameran yang sedang berlangsung, kebetulaan
beberapa waktu sebelumnya mahasiswa arsitektur ITB baru selesai melaksanakan studi
ekskrusi ke pulau Bali, dan untuk hasil study tersebut di pamerkan diruang pameran, dan
kami sangat beruntung dapat melihat pameran hasil study tersebut. Karena waktu semakin
siang dan jadwal kunjungan di ITB pun sudah berakhir maka kami serombongan beretikat
utuk pamit, sebelum kami pamit kami berkesempatan untuk berfoto bersama di depan gedung
arsitektur ITB bersama dengan kaprodi arsitektur ITB, bersamaan dengan hal itu juga
diserahkan sebuah kenang kenangan dari jurusan arsitektur UNSIQ ke kaprodi arsitektur
ITB.
mampu menghasilkan
sebuah hasil yang memuaskan, itu semua mungkin sama dengan apa yang telah kami
rencanakan sejak lama untuk bisa melakukan study ekskrusi ke kota yang memang memiliki
daya tarik tinggi dan tersendiri. Beberapa pilihan ditawarkan kepada kami namun sesuai
dengan persetujuan semua pihak kami memilih kota yang memiliki sejuta makna dan sejarah
kota yang mampu menarik banyak pasang mata utuk berkunjung, kota yang memiliki julukan
paris van java yaitu kota Bandung. Sesuai dengan agenda yang telah dicanangkan bahwa
perjalanan ke Bandung, karena sesuai dengan tujuan kami adalah untuk melakukan study
ekskrusi maka kami awali perjalanan ke Bandung tersebut untuk berkunjung ke salah satu
kampong adat yang ada di kabupaten Tasikmalaya, yaitu kampong naga disana kami mampu
mendapatkan sebuah pesan tata adat istiadat yang masih dijunjung tinggi oleh para warga
masyarakat kampong naga tersebut, setelah bercengkrama lama di kampong naga yang
dipandu oleh pemandu kampong adat tersebut, maka kami memutuskan utuk pamit dari
perkampungan adat tersebut untuk melanjutkan perjalanan.
Dalam perjalanan menuju Bandung kami singgah di beberapa tempat untuk melaksanakan
Ishoma, karena perjalanan kami di tuntut tepat waktu untuk sampai dilokasi tujuan utama
kami yaitu kampus ITB maka pada waktu dini hari kami sudah sampai di kota Bandung.
Persinggahan pertama kami yaitu disebuah rumah makan untuk ishoma, setelah bebagai
kegiatan ishoma dan kegiatan lainya telah selesai, maka kami mulai menjelajahi berbagai
sudut dari kota paris van java. Tujuan pertama kami adalah kampus ITB, untuk study banding
bagaimana tentang tata cara pola pendidikan dan kurikulum yang di gunakan oleh prodi
arsitektur ITB, serta kami diberi wawasan tentang bagaimana cara membangun sebuah tata
klola perkuliahan yang setara dengan perguruan tinggi diluar negeri. Di ITB kami juga
berkesempatan untuk melihat bagaimana aktifitas mahasiswa arditektur dalam melaksanakan
tugas tugas dan kami juga ditunjukan hasil maket dari mahasiswa arsitektur ITB. Setelah
lama kami berada di kampus ITB kami kemudian berniat pamit dari kampus ITB untu
melanjutkan perjalanan kami.
Tujuan selanjutnya dari perjalanan kami yaitu gedung bersejarah yang ada dikota Bandung,
gedung yang menjadi saksi bisu dari perjuangan para negara negara di kawasan asia afrika
untuk mendapatkan kemerdekaan mereka masing masing, yaitu gedung merdeka yang ada
di Jl.Asia Afrika kota Bandung. Ketika pertama kali kami sampai dan menginjakan kaki di
pelataran gedung dan mulai memasuki gedung tersebut kami serasa dibawa ke masa lalu dan
merasakan apa yang telah terjadi pada masa itu, apalagi pemandu yang membawa kami
menelusuri setiap sudut dari gedung tersebut sangat menggebu gebu menceritakan sejarah
apa dan bagaimana yang terjadi pada masa itu. Di situ kami sangat terkesan dengan bagunan
dan gaya asitektur jaman dulu yang masih terjaga dengan baik. Setelah lami kami mengitari
gedung tersebut, kami berkesempatan untuk jalan jalan mengunjungi alun alun kota
Bandung dan masjid raya Bandung untuk solat dan bersantai sebentar. Dikawasan alun alun
sangat dipenuhi oleh warga kota Bandung ya ng sedang santai dan bermain main di sekitar
kawasan alun alun yang memang terjaga dengan rapi dan indah. Setelah selesai dengan
segala kegitan kunjungan ke ITB dan gedung KAA, selanjutnya kami diarahkan untuk
mengunjungi lokasi pusat kerajinan dan belanja di cibaduyut, disitu kami berkempatan untu
membeli berbagai macam pernak pernik khas kota Bandung, setelah lama di cibaduyut kami
lau melanjutkan perjalan untuk makan malam, dan perjalan untuk kebali menuju Wonosobo.
terdiri kalangan elit Eropa yang bermukim di kota Bandung dan sekitarnya, terutama
pengusaha perkebunan dan perwira-perwira militer. Di gedung ini terdapat ruang besar (ruang
utama) tempat pertunjukan kesenian atau pertemuan, rumah makan, rumah bola (tempat
bermain bilyard) dan lain-lain. Kadang-kadang ruang utamanya disewakan bagi pertemuan
umum dan pertunjukan kesenian.
Persatuan Sandiwara Braga sering menyewa ruang utama ini. Pada masa pendudukan militer
Jepang (1942-1945) digunakan sebagai Pusat Kebudayaan dengan sebutan Dai Toa Kaikan.
Namun pada kenyataannya hanya dipakai untuk kesenian, pertemuan dan kegiatan rekreasi
lainnya. Pada masa revolusi (1946-1950) pernah dijadikan markas oleh para pejuang
Republik Indonesia, tempat kegiatan pemerintahan Kota Bandung setelah Kota Bandung di
bagi dua: bagian Utara dibawah kekuasaan Tentara Sekutu dan bagian Selatan dibawah
kekuasaan RI dengan batas jalan kereta api (Desember 1945 - Maret 1946) selain itu juga
berfungsi sebagai gedung tempat rekreasi yang dikelola oleh Sociteit Concordia pada masa
pendudukan tentara Belanda dan pemerintah Haminte Bandung.
Menjelang Konferensi Asia Afrika, gedung ini diambil oleh pemerintah dan dipersiapkan
untuk dijadikan tempat konferensi (1954). Presiden Soekarno mengganti nama ini dari
Sociteit Concordia menjadi Gedung Merdeka, takala meninjau kesiapan gedung ini sebagai
tempat konferensi (17 April 1955). Sejak 24 April 1980 Gedung Merdeka ini juga dijadikan
Museum Konferensi Asia Afrika sebagai acara puncak peringatan ke-25 tahun Konferensi
Asia Afrika. Saat ini dipakai pula sebagai Sekretariat Pusat Penelitian serta Pengkajian
Masalah Asia Afrika dan Negara-negara berkembang yang berada dibawah Departemen Luar
Negeri RI. Kegiatannya antara lain mengadakan ceramah, diskusi serta perpustakaan.
Pemeliharaan fisik gedung sendiri dilaksanakan oleh Pengelola Gedung Merdeka yang berada
dibawah Pemerintahan Daerah Propinsi Jawa Barat.