Anda di halaman 1dari 3

Arsitektur Kampung Naga : sederhana, adat, selaras 

lingkungan
leave a comment »

Keserasian antara bangunan dan alam di Kampung Naga. Mengundang rasa ingin tahu
pengunjung.

Kampung Naga, salah satu permukiman tradisional rakyat Parahyangan. Berarsitektur adaptif,
menyelarasi lingkungannya. Terletak di lembah subur, di kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat.
Dusun ini dibatasi hutan, sawah, dan aliran sungai Ciwulan. Di capai setelah menuruni 300
anak tangga yang berkelok menuju lembah. Kampung Naga yang sekarang adalah permukiman
baru yang dibangun, setelah kampung lama dibumihanguskan oleh gerombolan DI/TII
Kartosuwiryo tahun 1956.
Benda sakral, senjata adat, buku sejarah Naga, semuanya berbahasa Sansekerta. Akibatnya,
penduduk tak tahu lagi asal usul nenek moyang mereka menamai desa mereka Kampung Naga.
Namun demikian, mereka tetap kuat memegang dan memelihara tradisi adat Naga. Saat
kampung dibangun kembali, desain rumah sedikit berubah ; jendela ditambah pada setiap
hunian. Dusun ini prototipe kampung Sunda dengan pola perkampungan khas masyarakat yang
sudah maju.
Kuncen = kepala adat. Manusia pusat dunia tengah ?
Rumah dan bangunan di Kampung Naga berjumlah 105 buah, tertata rapi dalam pola
mengelompok dan tanah lapang di tengah. Tanah lapang merupakan pusat aktivitas sosial dan
ritual masyarakat, sekaligus tempat orientasi. Di sekitarnya ada masjid, balai pertemuan dan
beberapa rumah penduduk. Di tempat yang lebih tinggi, sebelah barat kampung, terdapat Bumi
Ageung dan rumah kuncen ( kepala adat ). Semua bangunan diletakkan memanjang ke arah
barat timur, sehingga kampung seakan terlihat menghadap ke sungai Ciwulan yang berfungsi
sebagai area servis penduduk. Dekat sungai, dalam kampung, terdapat kolam2 ( balong ) dan
beberapa pancuran air.
Hunian masyarakat Naga berbentuk rumah panggung dengan kolong setinggi 40-60 cm dari
tanah. Selain untuk pengatur suhu dan kelembaban, kolong difungsikan sebagai tempat
penyimpanan alat pertanian, kayu bakar serta kandang ternak. Rumah2 persegi panjang ini
ditata secara teratur di atas tanah berkontur berbentuk teras2 yang diperkuat dengan sengked/
turap batu. Bentuk rumah panggung terkait kepercayaan warga Naga bahwa dunia terbagi
menjadi dunia bawah, tengah dan atas. Dunia tengah melambangkan pusat alam semesta
dengan manusia sebagai pusatnya. Tempat tinggal manusia di tengah, dengan tiang sebagai
penopang yang tak boleh menyentuh tanah, sehingga diletakkan di atas tatapakan/ umpak
batu.
Ukuran rumah tergantung besar kecilnya keluarga dan kemampuan penghuni. Jika perlu
tambahan ruang, dibuatlah sosompang di bagian kiri atau kanan rumah. Memberi warna pada
rumah adalah tabu, kecuali dikapur atau dimeni. Pintu harus menghadap utara atau selatan,
semua pada satu sisi rumah, sesuai ketentuan adat.
Menghindari petaka dengan cagak gunting ?

Masjid di Kampung Naga. Di atas umpak batu, dari bahan kayu, bentuk simetris, tahan gempa.
Kearifan leluhur. Inspiring, isn't it ?

Jenis konstruksi dan atap yang digunakan sangat genial dalam memecahkan masalah iklim
setempat. Struktur tiang dan umpak membuat bangunan adaptif terhadap gempa dan kontur
tanah. Umpak juga mencegah tiang kayu lapuk terkena kelembaban tanah dan serangan
serangga tanah.
Ventilasi diatur agar rumah tetap kering dan sejuk, mengimbangi kondisi iklim tropis. Bentuk
atap pelana rumah adat Kampung Naga disebut suhunan panjang atau suhunan julang ngapak (
bila sisi rumah ditambah sosompang ) dan terbuat dari ijuk. Selain kedap air, atap juga menjaga
kehangatan rumah saat malam, karena teritis antar rumah yang nyaris bersentuhan itu
membentuk lorong yang mengurangi masuknya angin. Berdasar kepercayaan bahwa manusia
tak boleh menentang kodrat alam, maka pada ujung timur dan barat atap, sesuai arah edar
matahari, diletakkan dekorasi cagak gunting atau capit hurang untuk menghindari mala petaka.
Dinding anyaman bambu, menyekat muka tengah belakang rumah.
Dinding rumah terbuat dari bambu yang dianyam ( bilik ). Jenis anyaman sasag paling banyak
digunakan karena kuat dan tahan lama. Anyaman bercelah tsb, terutama dipakai untuk dinding
dan pintu dapur, sesuai ketentuan adat. Untuk keperluan bahan baku bilik, penduduk yang
hampir seluruhnya perajin bambu, menanam bambu di sekitar kampung dan hutan.
Pada dasarnya rumah di Kampung Naga terdiri 3 bagian ; muka ( hareup ), tengah ( tengah
imah ) dan belakang. Bagian depan berupa teras/ emper, tempat menerima tamu yang dicapai
dengan menaiki gelodog ( tangga ). Bagian tengah adalah ruangan besar tempat keluarga serta
tamu berkumpul ketika acara selamatan. Di sebelahnya, pangkeng/ enggon ( kamar tidur ),
yang kadang hanya berupa area kosong, tanpa penyekat atau pintu, di sudut ruang tengah.
Dapur dan padaringan/ goah ( tempat penyimpanan beras ) terletak di bagian belakang, tempat
yang diperuntukkan khusus untuk kegiatan kaum perempuan.
Arsitektur tradisional Kampung Naga, walau dibuat dengan pengetahuan teknis sederhana yang
banyak terkait dengan kepercayaan, ternyata secara logis, efektif mencapai keselarasan dengan
lingkungan yang telah lama dipelihara dan dilestarikannya. ( Supie Yolodi, Andre Kusprianto ).

Anda mungkin juga menyukai