Anda di halaman 1dari 7

RUMAH ADAT JAWA BARAT

Secara tradisional rumah orang Sunda berbentuk panggung dengan ketinggian 0,5 m - 0,8 m atau 1 meter di atas permukaan tanah. Pada rumah-rumah yang sudah tua usianya, tinggi kolong ada yang mencapai 1,8 meter. Kolong ini sendiri umumnya digunakan untuk tempat mengikat binatang-binatang peliharaan seperti sapi, kuda, atau untuk menyimpan alat-alat pertanian seperti cangkul, bajak, garu dan sebagainya. Untuk naik ke rumah disediakan tangga yang disebut Golodog yang terbuat dari kayu atau bambu, yang biasanya terdiri tidak lebih dari tiga anak tangga. Golodog berfungsi juga untuk membersihkan kaki sebelum naik ke dalam rumah. Bahan bangunan yang digunakan untuk membuat rumah adat, baik di Jawa Barat maupun di daerah lainnya, umumnya terdiri atas bahan alami, seperti kayu, bambu, ijuk, daun kepala, sirap, batu maupun tanah. Selain itu, bangunan rumah adat pun biasanya jarang langsung menempel ke tanah (berlantai tanah), kecuali rumah adat di daerah Jawa Tengah, Yogyakarta, maupun Papua. Sedangkan di daerah lainnya di Indonesia, termasuk rumah adat di Jawa Barat, biasanya dibangun berbentuk panggung. Hal ini untuk sirkulasi angin, juga menghindari binatang (binatang buas maupun melata). Bentuk suhunan rumah Sunda sangat disesuaikan dengan keadaan alam serta kebutuhan masyarakat urang Sunda. Di tanah Parahyangan banyak bentuk gaya rumah, yang umumnya diperlihatkan dari bentuk atapnya (suhunan atau hateup). Ada beberapa susuhunan yang dikenal masyarakat Sunda, seperti suhunan jolopong atau regol, suhunan tago/jogog anjing, suhunan badak heuay, suhunan perahu kumureb/nangkub, suhunan capit gunting, suhunan julang ngapak, suhunan buka palayu, dan buka pongpok.

SUHUNAN JOLOPONG (PELANA), merupakan bentuk rumah yang atapnya memanjang. Atap rumah jolopong ini biasa juga disebut suhunan panjang, gagajahan, dan regol. Sedangkan atap rumah jogog atau tagog anjing, bentuknya seperti anjing yang sedang duduk. Bagian depan mirip mulut anjing, menjulur menutupi teras rumah (ngiuhan emper imah).

ATAP RUMAH BENTUK BADAK HEUAY, biasanya bentuk atapnya mirip bentuk atap rumah tagog anjing, tapi di bagian atas suhunan-nya ada tambahan atau atap belakang dan depan yang menyerupaibadak menguap.

ATAP RUMAH PARAHU KUMUREB/NANGKUB, yakni potongan bentuk atap yang mirip perahu terbalik (lihat gunung tangkubanperahu). Di daerah Tomo, Kab. Sumedang, bentuk rumah seperti ini disebut juga jubleg nangkub. SEDANGKAN ATAP RUMAH BENTUK CAPIT GUNTING, yakni atap rumah yang setiap ujungnya dihiasi kayu mirip gunting yang siap nyapit. Bentuk ini sering juga disebut srigunting. SEMENTARA ATAP JULANG NGAPAK, dilihat dari depan, suhunan kiri kanannya mirip sayap burung yang terentang. Sedangkan julang-suhunanna sebanyak empat penjuru menyambung dari sisi turun ke bawah. Sambungan bagian tengah menggunakan tambahan mirip gunting muka di bagian puncaknya. Julang ngapak bentuknya mirip burung yang sedang terbang.

ATAP RUMAH BENTUK BUKA PALAYU, yakni atap rumah yang suhunan-nya mirip suhunan rumah adat Betawi dan di bagian depannya ada teras yang panjang. Sedangkan buka pongpok, bentuknya mirip buka palayu, namun bagian pintunya diubah dan diarahkan langsung ke bagian jalan. Untuk lebih jelasnya lagi:

KETERANGAN

1. Jolopong (sebutan untuk rumah dengan atap pelana yang betuknya memanjang) 2. Perahu Kumureb (sebutan untuk rumah dengan bentuk atap perisai oleh masyarakat sunda, disebud perahu kumureb karena bentuk atap seperti perahu terbalik). 3. Julang Ngapak (dikarenakan bentuk atapnya seperti sayap burung yang sedang terbang). 4. Badak Heuay (dikarenakan bentuk atapnya seperti seekor badak yang sedang membuka mulutnya). 5. Tagog Anjing (dikarenakan bentuk atapnya seperi seekor anjing yang sedang duduk). 6. Capit Gunting (dikarenakan bagian atas atapnya yang saling menyilang berbentuk gunting). Rumah adat Sunda sebenarnya memiliki nama yang berbeda-beda bergantung pada bentuk atap dan pintu rumahnya. Secara tradisional ada atap yang bernama suhunan Jolopong, Tagong Anjing, Badak Heuay, Perahu Kemureb, Jubleg Nangkub, Capit Gunting, dan Buka Pongpok. Dari kesemuanya itu, Jolopong adalah bentuk yang paling sederhana dan banyak dijumpai di daerah-daerah cagar budaya atau di desa-desa. . Ditilik dari segi filosofis, rumah tradisional milik masyarakat Jawa Barat ini memiliki pemahaman yang sangat mengagumkan. Secara umum, nama suhunan rumah adat orang Sunda ditujukan untuk menghormati alam sekelilingnya. Hampir di setiap bangunan rumah adat Sunda sangat jarang ditemukan paku besi maupun alat bangunan modern lainnya. Untuk penguat antar tiang digunakan paseuk (dari bambu) atau tali dari ijuk ataupun sabut kelapa, sedangkan bagian atap sebagai penutup rumah menggunakan ijuk, daun kelapa, atau daun rumia, karena rumah adat Sunda sangat jarang menggunakan genting. Hal menarik lainnya adalah mengenai material yang digunakan oleh rumah itu sendiri. Pemakaian material bilik yang tipis dan lantai panggung dari papan kayu atau palupuh tentu tidak mungkin dipakai untuk tempat perlindungan di komunitas dengan peradaban barbar. Rumah untuk komunitas orang Sunda bukan sebagai benteng perlindungan dari musuh manusia, tapi semata dari alam berupa hujan, angin, terik matahari dan binatang. Contohnya rumah bagi masyarakat Baduy dalam (kejeroan), di Banten, Jawa Barat. Tidak sekedar tempat tinggal. Ada nilai Filosofi yang di yakini sebagai kepercayaan nenek moyang mereka. Itu sebabnya membangun rumah tidak boleh sembarangan.

KAWASAN Baduy Dalam seperti daerah Kenekes, diyakini sebagai pusat alam semesta. Karena itu, tanah di sana pantang di olah dengan cangkul. Malah, jika tanah yang digunakan untuk membangun rumah tidak rata, mereka tidak mau meratakannya. Rumah tetap didirikan disitu. Caranya tiang-tiang rumah disesuiakan dengan kondosi tanah. Hasilna tentu tiang- tiang yang tidak sama tinggi. Rumah panggung merupakan cirri khas masyarakat Baduy Dalam. Ini erat kaitannya dengan kepercayaan, rumah itu memiliki kekuatan netral. Terletak antara dunia bawah dan dunia atas. Rumah yang di bangun tidak boleh langsung menyentuh tanah. Tiangtiang kolong rumah harus di beri alas batu atau umpak. Bentuk rumah disana disebut sulah nyanda. Namun umumnya orang Sunda didaerah Priangan menyebutnya julang ngapak. Atapna terdiri dari dua bagian kiri dan kanan. Atap sebelah kirinya biasana panjangdari atap sebelah kanan. Tujuannya selain untuk mendapatkan kehangatan karena sisi atap menjadi lebih rendah, juga untuk menambah ruangan, lantaran jumlah anggota keluarga dalam rumah itu bertambah. Pada pertemuan bagian pucuk atap kiri dan kanan itu, di buat cabik untuk mengatur air agar tidak masuk kedalam rumah. Pembuatan cabik ini pun, berkaitan dengan kepercayaan mengenai lambang lingkaran hidup. Rumah- rumah masyarakat Baduy Dalam, tidak ada yang menggunakan genteng karena semua rumah beratapkan ijuk atau daun kelapa. Rumah yang beratapkan genteng mereka dianggap menyalahi kepercayaan nenek moyang. Alasannya sederhana saja. Genting itu terbuat dari tanah. Menggunakan atap genteng berarti mengubur diri idup- idup padahal, orang yang harus dikubur itu mereka yang sudah mati, ini menentang kodrat. Sebab rumah sebagai perantara dunia bawah (tanah) dan dunia atas (langit), tidak boleh diletakan di bawah tanah. Tanpa Jendela MASYARAKAT Baduy Dalam tidak mengenal jendela. Bagi mereka jendela itu hany sebagai berfungsi untuk melihat sesuau yang ada diluar. Karenanya, jika memang ada yang ingin dilihat dari dalam cukup melobangi dinding yang terbuat dari bambu. Itu sebabna

rumah dikawasan Baduy Dalam hamper tidak berjendela, kecuali rumah- rumah masyarakat Luar. Bagi orang luar Baduy, jendela merupakn ventilasi untuk menikmati udara segar. Namun untuk orang Baduy Dalam cukup diperoleh dari lobang lantai yang terbuat dari bambu (palupuh). Organisasi rumah masyarakat Baduy terdirri dari bagian depan, tngah dan belakang (dapur). Bagian depan disebut sosoro, digunakan untuk menerima tamu. Bagian tengah untuk tempat tidur sedangkan bagian belakang untuk memasak. Para tamu yang tak dikenal hanya boleh memasuki bagian depan. Dilarang keras untuk memasuki kebagian tengah. Sebab mereka punya kepercayaan, setiap orang luar yang datang kerumah membawa pengaruh buruk, itu sebabnya bagian tangah disebut bagian netral, karena bagian buruk disaring dibagian depan. Tamu yang ingin menginap, menurut adat istiadat Baduy Dalam, harus ditempatkan dirumah jaro (kepala adat). Sebab dirumah ini biasana ada ruang khusus buat tamu yang disebut sesompang. Letaknya berhadapan dengan sosoro namun jika sosompang tak mampu lagi menampung tamu, baru tamu-tamu itu ditampung dirumah- rumah penduduk dengan persyaratan yang berat. Misalnya, selama tamu tersebut tinggal dirumah penduduk mereka wajib mentaati adat yang di junjung tinggi tuan rumah. Bagian rumah itu didasarkan kepada kepercayaan, rumah identik dengan bumi ( alam semesta). Yang terdiri dari 3 bagian atas, tengah, bawah. Dapur pada rumah masyarakat Baduy berlantaikan bambu. Untuk membuat tungku, biasanya bagian lantai dapur itu ditimbunin tanah besekat kayu. Diatas tanah itu dibuat tungku. Cara ini dimaksutkan agar api tidak menjilat lantai bambu tersebut. Pada dapur ini, ada sebuah tempat yang disebut goa. Fungsinya untuk menyimpan padi atau beras. Perkampungan dikawasan Baduy Dalam ditanadai dengan lapangan luas. Letak lapangan itu, ditengah dretan rumah penduduk. Sementara di daerah Baduy Luar, lapangan itu sudah agak kabur karean digunakan untuk jalan orang- orang yang mau masuk kampung. Diujung sebelah barat lapangan, terletak bagunan yang disebut bale(balai). Disebelah kiri balai ini, berdiri tempat orang- orang menumbuk padi ( saung lisu). Sementara disebelah kanan balai ada sekelompok lumbung padi yang disebut leuit. Rumah puun (toko tertinggi orang Baduy Dalam), terletak disebelah timur lapangan. Dibelakang rumah puun ini terdapat kuburan.

APRESIASI BUDAYA RUMAH ADAT

NAMA : HIKMATYAR TANZIL BIKSUGUNA NRP MK : 14-2011-021 : APRESIASI BUDAYA

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PALEMBANG FAKULTAS TEKNIK JURUSAN ARSITEKTUR TAHUN AJARAN 2012/2013

Anda mungkin juga menyukai