Anda di halaman 1dari 6

ARSITEKTUR EKOLOGI

DESA PAKRAMAN PEDAWA, BULELENG

Bali Aga adalah sebuah suku yang merupakan penduduk Bali asli atau yang dikenal
dengan istilah Bali Mula. Beberapa Desa di Bali masih dihuni oleh masyarakat Bali aga, salah
satunya adalah Desa Pedawa. Desa Pedawa merupakan desa pakraman yang berada di
Kecamatan Banjar, Kabupaten Buleleng, Provinsi Bali. Perjalanan yang dilakukan ke Desa
Pedawa ini membutuhkan waktu 3,5 jam dan melewati jalan-jalan kecil dan cukup ekstrim
mengingat letaknya yang berada di daerah dataran tinggi. Masyarakat desa Pedawa yang
merupakan penduduk Bali Aga ini bermata pencaharian sebagai petani gula dan tuak
mengingat, gula dan tuak pedawa merupakan produk yang kini dikenal di seluruh Bali. Tak
hanya itu, tanaman-tanaman bambu yang banyak tumbuh di desa ini juga dimanfaatkan sebagi
mata pencaharian masyarakat. Yakni dengan cara mengolahnya menjadi produk-produk seperti
kandang ayam, keranjang, beberapa sarana penunjang aktivitas sehari-hari, bahkan dijadikan
sebagai bahan dasar pembuatan elemen-elemen pada rumah adat pedawa.

Pola desa pada Desa Pedawa ini menggunakan Pola linier atau memanjang, dimana
rumah-rumah dan bangunan-bangunan publik berada di pinggir jalan dengan penataan masa
yang berjejer. Desa Pedawa memiliki bangunan-bangunan publik yang pada umumnya sama
dengan desa lainnya, yakni Bale Banjar, Kantor Perbekel Desa, Pura, Plaza, dan lainnya. Setiap
pemukiman pada desa ini, memiliki jalan kecil atau yang biasa kita kenal sebagai gang atau
jalan perumahan, bedanya jalan kecil ini hanya dapat diakses dengan kendaraan motor dan
menghubungkan jalan utama dengan rumah-rumah warga yang posisinya berjejer. Setiap
rumah rata-rata dihuni oleh 2-6 orang dalam satu pekarangan, dimana 2-6 orang tersebut
merupakan orang tua dan anak-anaknya baik yang belum dan sudah menikah. Setiap KK akan
tinggal pada masa rumah yang berbeda dalam satu pekarangan.

Ketika datang ke Desa Pedawa ini, kami mengunjungi 3 tipe rumah yang berbeda.
Rumah pertama yang kami kunjungi telah mengalami modifikasi pada bagian atapnya yang
diganti menggunakan genteng. Sedangkan rumah kedua yang kami datangi sebagian besar
telah direnovasi namun masih menyisakan unsur-unsur tradisionalnya. Dan rumah terakhir
yang kami kunjungi merupakan rumah adat yang memang sengaja digunaka untuk objek
parwisata sehingga diperbaharuhi tanpa menghilangkan unsur-unsur tradisionalnya. Rata-rata
rumah yang kami kunjungi memiliki 3-4 massa dalam satu pekarangan yang terdiri dari rumah
utama, kamar mandi luar, dan bale. Dimana massa bangunan dibuat menjorok kedalam
sehingga antara bangunan dan jalan memiliki jarak yang cukup berupa natah, bahkan kini
beberapa bangunan membangun pagar dari bambu ataupun beton. Berbeda dengan masyarakat
Hindu pada umumnya, masyarakat Desa Pedawa memiliki 3 sanggah yakni sanggah kawitan,
jajaran dan sanggah nganten. Sanggah nganten ini ditempatkan di bagian natah depan sebelum
rumah, dimana setiap ada masyarakat yang menikah akan selalu membuat sanggah nganten.
Dari segi bentuk sanggah ini berbeda dengan sangah pada umumnya mengingat bentuknya
tersusun dari bambu-bambu yang diikat menggunaka ijuk, dengan jumlah dan jenis yang
berbeda setiap pasangannya.

Pada rumah adat yang kami kunjung pertama merupakan hunian milik Bapak Ketut
Sedana yang tinggal bersama istri, anak, dan menantunya dalam satu pekarangan. Rumah
Tinggal yang ditempati Ketut Sedana dan istrinya masih dapat dikatakan sebagai rumah adat.
Hal ini dapat dilihat dari sistem perletakan ruang pada bangunan hingga material yang
digunakan. Sama halnya dengan rumah ketiga yang kita kunjungi, dalam satu bangunan terdiri
dari 2 pemedeman yang berfungsi sebagai tempat tidur yakni bale gede dan bale cenik. Bale
gede yang diperuntukkan pada orang tua berorientasi kearah danau dan terdapat tulus gantung
ulem pegulinga (pelangkiran) diatas bale sebagai tempat untuk memuja leluhurnya. Pada bale
ini aktivitas dari proses pembuahan, melahirkan, hingga memandikan jenazah terjadi, namun
dibedakan arah orientasi ketika melakukannya. Terdapat 2 jenis perletakan bale yakni sri serod
dan sri dandan, dimana pada sri dandan kedua bale bersebelahan, sedangkan pada sri serod
kedua bale bersebrangan secara diagonal.

Di rumah adat bandung rangki dan rumah milik pak Ketut Sedana menggunakan jenis
sri serod, dan dilengkapi dengan paon yang bersebrangan dengan bale gede. Hingga saat ini
paon masih digunakan untuk tempat memasak gula dan lainnya. Di bagian atas paon terdapat
tingkatan menyerupai rak yang disebut dengan lancad yakni tempat untuk menyimpan alat-alat
untuk memasak, dan penapin untuk meletakkan bahan-bahan memasak seperti meletakan
garam dalam bambu pada penapin dan lainnya. Ada juga rak menyerupai plafond yang
menutupi setengah bagian pada atap ruangan. Plafond yang disebut pengukub ini juga
dipergunakan sebagai tempat penyimpanan atau gudang. Di seberang bale cenik terdapat
tempat untuk menyimpan perabotan keperluan bertani, tempat air, alat untuk memandikan bayi,
peralatan kecantikan, jas hujan pedawa, perkakas, senjata dan lainnya. Tempat perabotan ini
terletak dekat dengan pintu masuk untuk memudahkan penghuni ketika akan bertani, dan
memudahkan penghuni untuk mengambil senjata ketika datang ancaman.
Uniknya aktivitas masak-memasak dilakukan di dalam ruangan sehingga kayu-kayu
yang digunakan sebagai bahan dasar bangunan menjadi hitam karena terkena asap. Namun
pengasapan yang terjadi karena aktivitas memasak ini yang membuat kayu menjadi awet.
Kepulan asap ini terjadi ketika memasak dikarenakan sedikitinya bukaan pada bangunan rumah
tinggal ini, hanya terdapat satu jendela kecil yang dibiarkan terbuka dan lubang-lubang kecil
dari sela-sela dinding bedeg dan atap expose turut membantuk kelancaran sirkulasi udara.
Karena ketika didalam ruangan berukuran 4x5 ini kami tidak merasa panas meski hanya
terdapat satu jendela didalamnya. Pada bagian lantai di rumah adat ini masih menggunakan
tanah polpolan, sehingga diusianya kini yang lebih dari 100 tahun, tanah polpolan mengalami
retak-retak. Atap pada Rumah adat bandung rangki masih menggunakan atap sirap bambu yang
ditumpuk sebanyak 3 lapisan. Sedangkan atap rumah tinggal milik pak Ketut Sedana, kini
menggunakan atap genteng karena sempat mengalami kerusakan.

Mengingat jaman dahulu masyarakat pergi melaksanakan aktivitas MCK ke sungai,


namun seiring perkembangan waktu, di setiap pekarangan kini dibangun kamar mandi yang
berisi kakus dan bak mandi dengan dinding bedeg. Bahkan pada objek wisata rumah adat
bandung rangki kamar mandi yang digunakan menggunakan closet duduk dengan pintu bedeg
yang digeser. Pada dinding bedeg rumah tinggal memiliki jenis-jenis anyaman yang berbeda
yang diaplikasikan pada sisi dinding tertentu dengan alasan privasi. Pada dinding sisi belakang,
kiri dan kanan rumah, bedeg menggunakan anyaman bambu khas Desa Pedawa, dimana
potongan bambu yang digunakan agak besar, sehingga lubang-lubang sela pada bedeg agak
besar. Sedangkan pada dinding bedeg bagian depan rumah, bedeg menggunakan potongan
bambu yang berukuran lebih kecil, dan dianyam dengan rapat sehingga sela-sela pada bedeg
sangat kecil.

Selain rumah adat yang sebagian besar berbahan dasar kayu dan bambu ini, terdapat
pula objek wisata yang menonjol di Desa Pedawa ini, yaitu Bale dandan. Bale dandan ini
memiliki tinggi hampir setara dengan pohon aren dan menggunakan sistem panggung. Bale ini
disebut bale dandan karena memiliki bale yang letaknya berjajar dan berfungsi sebagai
“ranggon” atau tempat untuk mengawasi kebun dari atas dan tempat beristirahat setelah
berkebun. Hampir keseluruhan dari Bale dandan ini berbahan dasar bambu dengan ukuran-
ukuran yang berbeda, dari bagian atap sampai pondasi, bahkan bagian penutup lantai pun juga
terbuat dari bambu yang dibuat menyerupai tikar. Setiap bambu yang dirangkai, disambungkan
menggunakan bambu dan hanya diikat menggunakan ijuk. Meskipun begitu, bangunan ini
masih berdiri kokoh walau hanya memanfaatkan bambu.
Analisis Arsitektur Ekologi

Desa Pedawa merupakan salah satu desa yang masih berusaha untuk mempertahankan
rumah adat setempat. Jika dilihat dari segi struktur, Rumah Adat Desa Pedawa sudah
dipengaruhi oleh perubahan struktur inti seiring perkembangan waktu. Pada awalnya semua
struktur pada rumah adat menggunakan bahan alami dan ramah lingkungan serta dibuat dengan
cara yang sangat tradisional. Struktur-struktur yang telah digunakan dari dulu berupa kuda kuda
kayu pada bagian atas bangunan, yang ditutup dengan atap sirap bambu. Pemilihan kuda-kuda
kayu dan atap sirap bambu disebabkan oleh ringannya material agar tidak menambah beban
yang harus ditopang oleh pondasi. Kemudian struktur bagian atas dapat dilihat secara langsung
karena merupakan atap ekspos, sehingga struktur dapat dilihat dengan jelas.

Badan bangunan menggunakan struktur berbahan anyaman bambu khas Desa Pedawa
pada dinding bagian atas dan tanah popolan pada dinding bagian bawah. Kayu juga berperan
sebagai penyangga pada bagian badan rumah adat Desa Pedawa. Pondasi sebagai struktur
bagian bawah bangunan yang mengguanakan jenis pondasi yang tidak ditancapkan langsung
ke dalam tanah. Tepatnya pondasi tersebut terletak diatas lantai, terdapat juga pondasi yang
berdiri diatas batu. Diantara pondasi yang berdiri diatas batu, terdapat ijuk yang menopang
pertemuan antara kayu dan batu sehingga tidak licin. Struktur – struktur terdahulu dapat
digunakan secara berkelanjutan pada aspek keamanan, ramah lingkungan dan mudah didapat
pada Desa Pedawa.

Bergesernya perkembangan jaman mengakibatkan lunturnya rumah adat asli Desa


Pedawa, terdapat beberapa penduduk yang masih berusaha mempertahankan, namun ada
penduduk yang muali merubah pengguanaan struktur dan material menjadi yang lebih modern.
Salah satu contohnya adalah satu rumah yang sempat kami kunjungi terdapat perubahan
signifikan dari tampilan fasad bangunan. Perubahan struktur yang sangat terlihat yaitu
pengguanan genteng serta plafond untuk menutupi bagian atas struktur, pengguanaan kolom
(saka) cor beton serta dinding bata, dan yang terakhir struktur bagian bawah mengguanakn
sendi serta lantai keramik. Menurut wawancara yang kami lakukan, struktur dengan bahan
alami lebih awet dalam berbagai cuaca maupun keadaan, didukung dengan adanya dapur
(paon) di bagian dalam ruangan memicu kayu-kayu tersebut menjadi lebih awet untuk jangka
waktu yang lama. Karena Desa Pedawa terletak di daerah bertransis, maka terdapat upaya yang
dilakukan untuk menahan tanah dengan cara menggunakan retaining wall. Retaining wall
dengan material batu alam yang disusun ke atas dengan celah atau tidak rapat tanpa
menggunakan campuran semen, sehingga aliran drainase berjalan lancar tanpa terhalangi oleh
retaining wall.

Rumah Adat ini menggunakan prinsip desain dengan alam, dimana perancangan
arsitektur setempat memperatikan dan memanfaat potensi-potensi alam dalam mendesain
bangunan. Dengan penggunaan material alami yang ramah lingkungan dapat menunjukan
hubungan yang berkelanjutan antara bangunan dengan lingkungan sekitar. Penerapan active
landscape menjadikan resapan air yang baik bagi lingkungan Desa Pedawa.

Dalam perhitungan ekologi terdapat pertimbangan dalam biaya pembangunan, rumah


adat ini menggunakan biaya pembangunan yang cukup tinggi jika dibangun pada era sekarang.
Namun material alami ini mudah didapat di lingkungan sekitar Desa Pedawa. Perhitungan
biaya dapat diminimalisir dengan cara memanfaatkan material alami di lingkungan sekitar,
namun prosesnya yang lebih sulit. Tingkat kebutuhan listrik tergolong rendah, hal ini terjadi
karena penghawaan alami dan pencahayaan alami dipergunakan dengan maksimal. Kebutuhan
listrik hanya digunakan untuk lampu pada malam hari. Hanya dengan 1 lampu dapat menerangi
seisi ruangan, karena bangunan tergolong kecil dan membutuhkan sedikit cahaya.

Penghawaan alami pada bangunan rumah adat ini berasal dari 1 jendela kecil dan
bukaan berupa pintu. Selain jendela dan pintu, penghawaan alami di dapat dari sela-sela lubang
dinding anyaman bambu. Anyaman bambu pada khas Desa Pedawa berukuran lebih besar
dibandingkan anyaman bambu pada umumnya, kemudian celah yang dihasilkan juga lebih
besar sehingga menghasilkan penghawaan yang baik, dan terasa sejuk. Jika pada malam hari
penghawaan pada ruangan terasa hangat. Kemudian untuk pencahayaan alami pada siang hari
yang terdapat pada bangunan juga berasal dari jendela dan pintu serta celah anyaman bamboo
pada dinding. Pencahayaan pada malam hari menggunakan lampu neon yang terletak di bagian
tengah ruangan.

Rumah Adat Desa Pedawa ini memberi kenyamanan termal bagi pengguna di
dalamnya. Kenyamanan termal dpat di peroleh dari berbagai aspek mulai dari suhu udara yang
tercipta, kelembapan udara, aliran angin yang bersirkulasi, perancangan bukaan maupun
ventilasi, hingga pemilihan material yang tepat, serta adanya vegetasi di sekitar bangunan. Hal
tersebut dapat memicu kenyamanan bagi penggunanya.
ARSITEKTUR EKOLOGI

ANALISA ARSITEKTUR EKOLOGI

PADA DESA PAKRAMAN PEDAWA, BULELENG

OLEH :

DEWA AYU EGA DENISA PUTRI (1705521058)

A.A.A. ALYA KUSUMA W (1705521059)

SANG AYU PUTU CANTIKA A (1705521071)

GUSTI AYU AGUNG STITA P (170552073)

FAKULTAS TEKNIK

PROGRAM STUDI ARSITEKTUR

UNIVERSITAS UDAYANA

2018/2019

Anda mungkin juga menyukai