Anda di halaman 1dari 4

LOKASI

Rumah adat Balla Jambu terletak pada Butta Toa, Kelurahan Bulutana, Kecamatan tinggi moncong,
Kabupaten Gowa denga titik astronomis S5 16 27.8 E119 50 31.7 dan dengan ketinggian 853 meter dari
permukaan laut (mdpl).
SEJARAH
Terbentuknya kampung Bulutana berawal dari keberadaan salah seorang keturunan Sombaya ri Gowa,
yaitu karaeng Data yang memisahkan diri dari Kabupaten Gowa
Dahulu di kampung Butta Toa, bulutana terdapat 7 rumah yang sama dan setiap rumah menghadap ke
arah Timur (78° Timur, LS 5° 16’ 28”, BT 119° 50’ 32”),tokoh adat mempercayai bahwa arah timur adalah
awal mula kehidupan karena arah Timur merupakan tempat matahari terbit. Pada saat ini diketahui bahwa hanya
ada 2 rumah yang tersisa dikarenakan 5 yang lainnya terbakar diketahui bahwa penyebab kebakaran terjadi
karena pada saat itu belum ada listrik yang masuk di wilayah ini sehingga orang-orang menggunakan lampu
minyak tanah atau pelita untuk penerangan, terjadinya kebakaran pada saat itu bermula dengan lampu pelita
yang membakar Kasur di salah satu rumah pada saat itu dan menyebabkan api membesar sehingga terjadi
kebakaran. Rumah yang tersisa pada saat ini yaitu Balla Lompoa yang berfungsi sebagai tempat acara adat dan
Balla Jambu yang merupakan tempat tinggal dari kareaeng.
Nama Balla Jambu berasal dari dua kata yaitu “Balla” yang berarti rumah dan “Jambu” yang berarti
Nangka. Pemilahan nama ini karena material yang digunakan untuk membuat tangga adalah pohon Nangka.
Tidak diketahui jelas kapan Balla Jambu didirikan namun menurut pemangku adat rumah tersebut telah
baerdiri sejak 300 tahun yang lalu dan ada juga yang mengatakan bahwa rumah adat ini didirikan sekitar tahun
1118 dengan demikian rumah adat tersebut berusia 902 tahun. Dahulu Balla Jambu merupakan tempat tinggal
dari “Karaeng” di wilayah Bulutana namun fungsi rumah adat Balla Jambu bukan lagi sebagai tempat tinggal
Karaeng melainkan sebagai tempat tinggal keturunan karaeng.
Dari awal didirikannya Balla Jambu hingga sekarang diketahui sudah ada 13 keturunan raja di Bulutana.
Pergantian raja dilakukan apabila raja yang menjabat pada saat itu telah meninggal. Adapun nama-nama raja
yang menjabat dari raja ke-9 hingga raja ke-13 yaitu
1. Karaeng Toa Pangge (tinggal Pallangga)
2. Karaeng Toa Solle (tinggal di Balla Jambu)
3. Karaeng Numpa (Pallangga)
4. Karaeng Ganyu (Lumbasang Bulutana)
5. Karaeng Lawa (Sunggumina)
Alasan mengapa karaeng yang menjabat tidak tinggal di Balla Jambu karena memilih untuk tinggal di
tempat istri mereka berasal.

STRUKTUR & MATERIAL


 Denah /pembagian ruang :
RUMAH BERDENAH DASAR PERSEGI DENGAN UKURAN 12,40 M × 10,20 M.
bangunan ini merupakan desain rumah panggung, sehingga bagian bawah rumah digunakan
sebagai kendang di belakangnya bagian dalam rumah terbagi menjadi enam ruang, 3 kamar dan
dibagian atapnya terbagi menjadi dua tingkat , memiliki 13 buah jendela, dengan 1 buah pintu
utama dan 4 pintu ruang.
 Lantai
Lantai rumah dibuat dengan Menyusun papan yang terbuat dari jenis kayu terasaka terdapat 3
elevasi lantai pada rumah ini
 Kolom
Pengikat kolom dan ringbalk adalah besi , karena pada saat itu belum ada paku
 Jenis kayu yang digunakan pada kolom dan ringbalk yauitu kayu kurese
 Pemilihan kayu kurese karena kayu kurese merupakan jenis kayu yang tahan terhadap
rayap
 Dinding material yang digunakan pada dinding yaitu kayu terasaka
 Pada bagian langit-langit plafon rumah menggunakan material kayu Maha bagian ini disebut
rakkeang yang berfungsi untuk menyimpan padi dan semacam benda pusaka
- Tangga yang digunakan untuk naik ke rakkeang terbuat dari 1 batang pohon
- Tangga bertumpu pada lantai dan tidak ditopang oleh tiang lagi dibawahnya
- Letak tangga sudah berubah

 Atap
Material menggunakan bambu yang dipotong pendek lalu dibelah lagi menjadi beberapa bagian
kemudian bagian luar bambu akan dan dibelah kemudian di “Cuppe” (pada bagian amboo akan
dibelah sedikit) kemudian bagian yang sudah di “Cuppe” akan di “pasappi” (dikaitkan) pada
kaso atap rumah sehingga dapat disusun membentuk atap .
- Bambu yang dipakai membuat atap berasal dari wilayah sekitar Balla Jambu yang sengaja
ditanam untuk kebutuhan atap balla jambu
- Biasanya atap diganti setelah 7 tahun atau apabila pada bagian atap telah rusak
 Tangga
 Pintu
 Jendela

SOSIAL BUDAYA
 ATURAN-ATURAN YANG BERLAKU DIDALAM RUMAH ADAT BALLA JAMBU

 Di balla jambu masing-masing keluarga harus memiliki dapur khusus sendiri walaupun mereka tinggal
dalam satu atap yang sama, missal terdapat 3 keluarga dalam satu rumah maka dalam 1 rumah tersebut
harus memiliki 3 dapur
 Di balla jambu tidak boleh menaruh kursi diatas rumah dari dulu hingga pada saat ini semua orang harus
duduk melantai atau biasa disebut dengan “Mempo Ada’” (duduk adat)
 Pada Lantai rumah adat Balla Jambu terdapat balok pembatas karena dahulu ada aturan adat yang
memberi batas pada tamu yang datang pada rumah tersebut pembatas tersebut berfungsi untuk
memisahkan tamu dan keluarga, pada sisi dalam yang boleh duduk hanya anggota keluarga saja
sedangkan di sisi luar yang menempati adalah tamu. Dahulu aturan ini tetap berlaku walaupun pada saat
melaksanakan acara besar seperti pernikahan

 Kolom utama disebut dengan “soko guru”,pada tiang ini terdapat ukiran dan ukiran tulisan Lontara “slm
mns aiyenmia bln krea bl tntoa” (salama manassang iyannemia ballana Karaeng Bulu Tana Toa) yang
berarti bahwa ‘ selamat bahwa betul inilah rumah Karaeng Bulu Tanatoa’.
 Acara adat dilakukan 2 kali dalam setahun yaitu pada saat sebelum menanam dan setelah panen
Acara adat yang dilakukan sebelum menanam bertujuan untuk berdo’a memohon agar apa yang mereka
tanam tidak akan memiliki kendala dan diberi kelancaran dalam pelaksanaannya serta memiliki hasil
panen baik
Acara adat yang dilakukan setelah panen bertuan untuk menunjukkan rasa syukur kepada Allah atas apa
yang mereka dapatkan setelah panen, pada acara warga akan membawa makanan pada 2 rumah adat
yang ada pada wilayah tersebut yaitu balla lompoa dan balla jambu, makanan yang biasanya mereka
bawa adalah beras, songkolo, ayam, pisang dan hasil panen lainnya.
 Sebagian besar warga berprofesi sebagai petani
 Kebutuhan pangan warga sekitar berasal dari sawah dan kebun mereka sendiri
 Kebutuhan ekonomi bersumber dari penjualan kopi dan cengkeh
 Dahulu orang-orang akan mengambil air dari sumber air dan kemudian membanya ke rumah dengan
menggunakan wadah bamboo dengan cara dipikul dan yang membawanya biasanya adalah seorang
wanita

Pada bagian ini akan dibuat lubang yang beruna


sebagai tempat untuk memasukkan air

Pada bagian ini akan dibuat lubang kecil menggunakan alat khusus Untuk memberi
lubang pada tulangan bambu kemudian lubang bagian luar bambu akan ditutup lagi
menggunakan bambu hingga rapat
 Vegetasi lingkungan pada Balla Jambua yakni sekitar rumah banyak ditumbuhi tanaman perdu dataran
tinggi, terdapat pula pohon pinus, pohon kelapa, pohon nangka, pohon bambu, pepaya dan pohon
cengkeh.
KOMUNITAS ADAT DI BULUTANA
Adak Sampulonrua
Masyarakat muslim Bulutana Kecamatan Tinggimoncong Kabupaten Gowa memiliki adat
istiadat yang khas yang mengakar dalam kehidupan komunitas adat. Mereka sebagai muslim meyakini
kebenaran ajaran Islam sebagai pedoman hidup beragama. Di samping itu, mereka memiliki
kepercayaan tentang adanya kebiasaan yang dapat mendatangkan kemaslahatan bila diindahkan, tetapi
bila diabaikan menjadi latar bencana
Balla Lompoa dan Balla Jambu adalah rumah yang menjadi pusat pelaksanaan ritual Adak
Sampulonrua sekaligus menjadi simbol yang mengikat, dan menjadi pemersatu komunitas adat
Buluttana. Dalam terminologi orang Buluttana, peristiwa migrasi lokal dimasa lampau disebut dalam
sejarah mereka dengan istilah assulukang sisang. Proses migrasi lokal tersebut didorong oleh faktor
penduduk atau anggota komunitas Adak Sampulonrua yang semakin berkembang. Sementara, ada
aturan adat yang melarang untuk membuat bangunan rumah diluar tujuh rumah yang telah ada di Butta
Toa Buluttana pada masa itu Akhirnya, sebagai solusi sebahagian kecil penduduk Butta Toa Buluttana
memilih untuk pindah atau bermigrasi ke luar dari kawasan Butta Toa Buluttana untuk membuka
pemukiman baru.

Empat pokok landasan nilai adat bagi komunitas Adak Sampulonrua adalah sebagai berikut:
1. PatumbuTau
Patumbu Tau merupakan salah satu nilai dasar (ajaran utama) AdakSampulonrua yang dapat
dimaknai sebagai upaya adat untuk menjaga, melestarikan dan mengembangkan sumber daya
manusia demi keberlangsungan generasi anggota komunitas Adak Sampulonrua sejak kecil
hingga membentuk keluarga baru.Penggolongan beberapa praktik adat kedalam kategori
PatumbuTau dibawah ini berdasarkan olahan dari berbagai sumber dan analisis penulis.
Berikut praktik atau wujud adat dalam falsafah Patumbu tau:
a. Attompolo
Budaya Attompolo, adalah prosesi budaya akikah bagi keluarga terhormat dalam
memberikan nama pada anak dan proses pasca-aqiqah. Budaya ini telah berlangsung
cukup lama, yang ramainya dapat seperti pesta pernikahan.10Acara aqiqah, merupakan
budaya ritual bagi bayi yang baru lahir.Pada acara ini, sebelumnya diadakan
penyembelihan kambing bagi bayi yang baru lahir, satu ekor kambing untuk bayi
perempuan dan dua ekor kambing untuk bayi laki-laki
b. Pa’buntingang
Pabbuntinganmerupakan budaya dalam sistem perkawinan bagi masyarakat muslim
Buluttana. Pabbuntingan dianggap sebagai suatu yang sakral dan abadi sehingga harus
dilaksanakan melalui upacara-upacara tertentu dengan berbagai adat istiadatnya. Bagi
masyarakat muslim Buluttana, menikahkan anak secepat mungkin merupakan budaya
yang baik, mereka menyindir orang yang belum melaksanakan perkawinan dengan
kalimat (Tenapa na ganna se’rea tau punna tenapa na situtu ulunna salangganna);
maksudnya seseorang belum menjadi manusia sempurna apabila kepalanya belum
menyatu antara kepala dengan bahunya. Makna dari ungkapan dalam bahasa mereka
disebut “tau” bila ia sudah menikah atau sudah berkeluarga.
c. Ammole
Ammole merupakan salah satu ritual yang dilaksanakan oleh pemangku adat ketika
seseorang tamu datang untuk menunaikan janjinya (nazar) yang pernah
dihajatkan.Misalnya, seseorang itu pernah hidupnya susah lantas lambat laun
kehidupannya berubah menjadi kaya raya; ataukah orang itu pernah sakit parah kemudian
dia mendapatkan kesembuhan. Orang-orang yang pernah bernazar inilah yang kemudian
datang ke pemangku adat agar diselenggarakan acara adat tersebut.Biasanya mereka
menyembelih binatang (berkorban) berupa sapi, kambing, ayam, ataukah paling
sederhana membawa pisang sebagai jamuannya.Umumnya, mereka yang datang Ammole
memiliki kaitan geneologis dengan Buluttana.Nenek moyang mereka adalah orang
Buluttana yang pergi meninggalkan kampungnya dalam waktu yang lama. Ritual ini
memiliki tahapan pelaksanaan sebagai berikut: pemangku adat akan menggelar
pertemuan untuk menentukan waktu penyelenggaraan ritual tersebut.
2. Patumbu Katallassang
Nilai filosofi yang terkandung dalam AdakSampulonrua tentang patumbu katallassang
terletak pada upaya masyarakat adat atau komunitas adat mengelola dan melestarikan
sumber-sumber daya alam atau potensi alam untuk meningkatkan kesejahteraan bersama
seluruh anggota komunitas adat.Di samping itu, patumbu katallassang juga berperan sebagai
landasan utama dalam menata dan mengatur sumber layanan alam yang melimpah untuk
dikelola dan dimanfaatkan oleh seluruh masyarakat adat di Buluttana. Di bawah ini akan
diuraikan beberapa wujud dari segmen patumbu katallassang yang sampai saat ini masih
terus dilestarikan dalam kehidupan sehari-hari oleh komunitas AdakSampulonrua tersebut.
a. Appalili
Ritual tahunan yang dilaksanakan oleh komunitas adat masyarakat muslim Buluttana
sebagai tanda memulai pekerjaan sawah untuk menanam padi. Appalili merupakan
salah satu bentuk ritual dalam patumbu katallassang. Appalili bermakna doa dan
upaya adat untuk merawat, memelihara dan meningkatkan hasil sawah dalam rangka
mensejahterakan masyarakat. Appalili merupakan salah satu rangkaian dari proses
pertanian dalam penentuan waktu tanam, penaburan benih, pengwilayahan benih,
hingga waktu panen. Sebelum ritual awal mula di sawah ini dilakukan, para
pemangku adat melakukan musyawarah adat yang bertujuan untuk menetapkan waktu
appalili, menetukan jenis benih yang akan ditanam, hari untuk membajak sawah,
menanam benih dan waktu panen. Setelah pemangku adat menyepakati jadwal tanam
padi; selanjutnya, pemangku adat mensosialisasikan kepada masyarakat luas dan
pemerintah setempat.
b. Assaukang
Assaukang adalah salah satu acara adat Buluttana yang namanya diambil dari istilah
makassar yaitu “assau-sau” yang berarti melepaskan rasa letih setelah beberapa bulan
melakukan pekerjaan di sawah seperti membajak sawah, menanam hingga
memanen.Dari hasil panen itulah kemudian dikumpulkan oleh masyarakat Buluttana
di rumah adat lalu kemudian membuat sebuah acara sebagai tanda syukur atas hasil
panen yang telah didapatkan.Acara ini dilakukan secara besar-besaran dan dilakukan
rutin sekali dalam setahun, dimana berkumpul para pemangku adat, tokoh
masyarakat, aparat pemerintahan dan seluruh masyarakat Buluttana. Secara khusus,
hasil panen tersebut didapatkan dari sawah adat yang dikumpul sebagian pada lantai
dua rumah adat, kemudian secara umum masyarakat yang mengikuti acara tersebut
juga membawa beberapa hasil panen mereka, dan sebagai tanda syukur mereka
membuat acara lalu makan bersama sebagai suatu wujud kebahagiaan dalam hasil
bumi yang didapatkan.
3. Pa’bangungang Balla
Salah satu bentuk dari pelestarian adat di Buluttana terlihat dari kolektifisme warganya, baik
yang bersifat publik maupun yang individual.Seperti pembangunan jalan, bersih-bersih
lingkungan hingga gotong royong ketika ada seorang warga yang ingin membangun rumah
(pa’baungang balla).Namun kerja kolektif warga ini bukan sekedar kerja fisik saja tetapi juga
saling tolong menolong dalam urusan pemenuhan kebutuhan logistik suatu penyelenggaraan
pesta
4. Tummoterang riPamasena
Tummoterangri Pammasena artinya orang yang berpulang kerahmatullah, Prosesi
penyelenggaraan tummoterangripammasena bagi masyarakat Buluttana dapat dikaji dari dua
aspek, baik dari aspek budaya maupun dari aspek agama.

Anda mungkin juga menyukai