Anda di halaman 1dari 6

Ringkasan buku Metode-metode penelitian

September 8, 2011

RINGKASAN BUKU METODE-METODE PENELITIAN MASYARAKAT

Sumber : Metode-metode Penelitian Masyarakat


(Koentjaraningrat, penyunting)
Penulis : Fuad Hasan, Koentjaraningrat
Bab I : Beberapa Azas Metodologi Ilmiah
Penerbit : Gramedia, cetakan V, 1983

Pembuat Laporan : Johanes Bambang Muljono dan Ita Singkawang


Dosen : Johanis Haba, Ph.D.

1. Pendahuluan
Salah satu sifat dasar manusia adalah dia selalu ingin tahu. Sikap ingin tahu dalam bahasa
Inggris disebut dengan curiosity . Dengan sikap ingin tahu tersebut, manusia terus mencari,
meneliti dan menyelidiki kenyataan-kenyataan yang dilihat tanpa batas. Itu sebabnya penelitian
atau observasi terus bergulir dari zaman ke zaman. Dalam hal ini kenyataan atau realitas alamiah
dilihat manusia dari 2 sudut pandangan. Fuad Hasan dan Koentjaraningrat menyebut 2 sudut
pandangan tersebut dengan istilah dwi rupa, yaitu:
Alam yang diamati sebagai sesuatu yang bersifat statis.
Pada saat yang sama alam yang diamati mengalami perubahan-perubahan, dan perkembangan-
perkembangan.

Dengan 2 kutub tersebut di atas, yaitu aspek alam yang statis dan terus mengalami
perubahan, menjadi daya dorong manusia untuk selalu ingin menyingkapkan rahasia alam.
Karena itu manusia tidak lagi melihat alam dan kenyataan ini sebagai sesuatu yang selesai,
tetapi sebaliknya manusia ingin menembus dan menjangkau kemungkinan-kemungkinan di balik
kenyataan-kenyataan tersebut. Dalam pengertian ini Fuad Hasan dan Koetjaraningrat menyebut
dengan istilah transendensi, yaitu:

Dengan perkataan lain, manusia melakukan transendensi terhadap realitas konkret


dan menuju ke arah kemungkinan-kemungkinan yang terbayang melalui
pengamatan terhadap realitas itu (Hasan, Fuad dan Kontjaranigrat 1983, 9).

Untuk itu Fuad Hasan dan Koetjaraningrat memberi contoh tentang seorang anak yang
mengamati-amati sebuah sendok. Anak tersebut memahami sendok bukan sekedar alat untuk
makan, tetapi juga sendok ketika jatuh akan mengeluarkan suara tertentu. Setelah berulang-ulang
anak tersebut mendengar bunyi saat sendok jatuh, maka dalam pemikiran anak tersebut akan
menyimpulkan bahwa realitas sendok lebih dari pada sekedar alat untuk makan. Karena itu Fuad
Hasan dan Koetjaraningrat menyatakan bahwa transendensi terhadap kenyataan itu sebagai suatu
proses yang dapat disaksikan secara filogenetis dan ontogenetis.

Walaupun demikian tindakan pengamatan dan transendensi tersebut belum memberi


kedudukan khusus secara ilmiah. Pengamatan dan transendensi tersebut disebut dengan kennis.
Arti kennis oleh Fuad Hasan dan Koentjaraningrat dimaknai dengan: knowledge
(pengetahuan). Tetapi pengetahuan tidak sama dengan ilmu. Sebab ilmu menuntut beberapa
ketentuan, misalnya: pengamatan yang dilakukan harus mengikuti sejumlah pengaturan. Melalui
azas pengaturan tersebut memungkinkan manusia menghimpun dan menemukan hubungan-
hubungan yang ada antara realitas yang diamati. Yang mana azas pengaturan tersebut perlu
dilakukan secara konsisten, yaitu sebagai batasan-batasan yang menentukan tempat fakta-fakta
itu dalam suatu bagan. Karena itulah oleh Fuad Hasan dan Koentjaraningrat, batasan-batasan
yang menentukan tempat fakta-fakta dalam suatu bagan disebut dengan istilah: konsistensi
azas pengaturan.

Konsistensi azas pengaturan terlihat dari kemampuan manusia untuk membuat klasifikasi
dari berbagai benda yang ada di sekitarnya. Manusia dapat mengklasifikasi dari sudut fungsi,
jenis, atau bahan dari berbagai benda itu. Namun klasifikasi tersebut harus memperlihatkan
adanya hubungan fungsionil, jenis atau bahan. Konsep pemikiran ini sejalan dengan Aristoteles
yang membagi kehidupan atas 3 tahap, yaitu:

Anima vegetative: suatu kehidupan yang menggejala sekedar tumbuh dan berkembang biak
Anima sensitive: suatu kehidupan yang terjelma dengan kecerdasan tertentu.
Anima intellective: suatu kehidupan yang memiliki potensi untuk menghimpun persepsi-
persepsi dalam konepsi-konsepsi yang abstrak.

Dalam konteks ini manusia memiliki kemampuan untuk mengubah persepsi kepada suatu
konsepsi. Kemampuan untuk membentuk konsepsi tersebut sejalan dengan proses perkembangan
individu. Yang jelas setiap individu dalam proses perkembangannya memiliki kesanggupan
untuk menemukan kesamaan-kesamaan umum melalui rangsangan pengamatan. Oleh Fuad
Hasan dan Koentjaraningrat, kemampuan atau kesanggupan manusia untuk menemukan
kesamaan-kesamaan umum melalui rangsangan pengamatan disebut dengan: stimulus
generalization. Dengan kemampuan melakukan generalisasi tersebut, manusia membentuk
konsepsi-konsepsi melalui kesan-kesan yang diterima melalui pancainderanya. Kemudian
melalui konsepsi-konsepsi yang telah terbentuk itu, manusia menyimpan dalam ingatannya
sebagai pengetahuan yang bersifat tetap. Setelah itu manusia melihat dan menemukan hubungan
antara suatu fakta dengan fakta yang lain. Dengan metode inilah manusia membangun suatu
sistem yaitu: ilmu. Jadi ilmu lahir karena manusia memiliki kemampuan untuk membentuk
dan bekerja dengan konsepsi-konsepsi. Kemampuan untuk membentuk konsepsi tersebut oleh
Fuad Hasan dan Koentjaraningrat disebut dengan: titik Archimedes. Melalui konsepsi-
konsepsi tersebut justru membantu manusia untuk memahami realitas secara lebih efektif dan
efisien.

2. Sistem dan Metode

Suatu upaya ilmiah tidak pernah terlepas dari masalah sistem dan metode. Menurut Fuad
Hasan dan Koentjaraningrat sistem adalah: suatu susunan yang berfungsi dan bergerak (Hasan,
Fuad dan Koetjaraningrat. 1983, 13). Maksud suatu susunan yang berfungsi dan bergerak di sini
adalah suatu susunan dari relasi-relasi yang ada pada suatu realitas. Dalam suatu sistem telah
termuat uraian tentang azas pengaturannya (Hasan, Fuad dan Koetjaraningrat. 1983, 14). Dalam
hal ini suatu cabang ilmu niscaya memiliki obyek, dan obyek yang menjadi sasaran itu umumnya
dibatasi. Karena itu setiap ilmu lazimnya memulai dengan merumuskan suatu batasan (definisi)
perihal apa yang hendak dijadikan obyek studinya. Setelah pembatasan atau definisi, maka obyek
studi tersebut ditempatkan dalam suatu susunan tertentu, sehingga terlihat jelas bagaimana
kedudukannya dengan obyek-obyek atau kenyataan-kenyataan lainnya. Keadaan itulah
memungkinkan kerjasama dengan ilmu-ilmu lain (multi-disipliner). Namun tentunya tidak
berarti segala sesuatu yang berupa himpunan data secara sistematik secara otomatis dapat
dianggap sebagai suatu karya ilmiah. Contohnya adalah buku telepon yang tersusun secara
sistematis berdasarkan abjad berupa nama atau alamat para pelanggan telepon. Tetapi buku
telepon tak pernah disebut sebagai suatu penyusunan karya ilmiah hanya karena sistematisasinya
.

Suatu sistematisasi ilmu memiliki 2 ciri, yaitu: sistematisasi yang dibuat merupakan hasil
dari suatu usaha untuk menemukan azas pengaturan, dan melalui sistematisasi yang telah dibuat
itu mampu menjadi titik-tolak penemuan-penemuan baru. Karena itu sistematisasi dalam dunia
ilmiah dari satu sisi dapat dapat menjadi terminus ad quem (a final limiting point in time), dan
di sisi lain merupakan terminus a quo (starting point). Karena itu dalam upaya ilmiah, setiap
data yang dihimpun dalam suatu sistem tertentu akan menimbulkan tuntutan baru. Sebab
keseluruhan susunan itu akan dinilai kritis dan dipertimbangkan apakah sebagai keseluruhan
telah lengkap, yaitu telah mencakup segala sesuatu yang seharusnya berada di dalamnya. Dengan
demikian jelas bahwa sistematisasi ilmiah merupakan hasil pengorganisasian data yang mampu
membuka perspektif untuk eksplorasi baru (Hasan, Fuad dan Koetjaraningrat. 1983, 16).

Selain sistem, suatu karya ilmiah juga menuntut adanya metode. Maksud metode di sini
menyangkut masalah cara kerja, yaitu cara kerja untuk dapat memahami obyek yang menjadi
sasaran ilmu yang bersangkutan. Suatu sistem dari karya ilmiah ditentukan oleh metodologinya.
Yang mana metode dipilih berdasarkan obyek studi. Tepatnya obyek studi yang seharusnya
menentukan metode, dan bukan sebaliknya. Selain soal metodologi, karya ilmiah juga menuntut
alat kerja (teknik) sebagai perpanjangan metode. Karena itu suatu metode biasanya juga
berkaitan dengan teknik.
3. Fakta dan Teori

Fakta yang diperoleh melalui penelitian ilmiah dapat melalui proses induktif. Maksud
proses induktif adalah hasil pengamatan terhadap kejadian-kejadian dan gejala-gejala yang nyata
di alam konkret ditarik ke generalisasi-generalisasi di alam yang abstrak. Tepatnya proses
induktif merupakan suatu generalisasi abstrak yang diperoleh dari kejadian-kejadian konkret
(Hasan, Fuad dan Koetjaraningrat. 1983, 18). Dalam ilmu-ilmu sosial, obyek pengamatan dan
penelitian adalah gejala-gejala masyarakat yang terjadi dalam kejadian-kejadian yang konkret.
Namun untuk memenuhi ketentuan ilmiah, maka kejadian-kejadian sebagai gejala masyarakat
tersebut harus dijelaskan secara deskriptif oleh peneliti. Deskripsi yang telah diabstraksi itu
disebut dengan fakta sosial (social fact). Dengan demikian arti fakta sosial menunjuk hasil
deskriptif yang telah diabstraksi dari kejadian-kejadian konkret sebagai gejala masyarakat.
Kemudian, apabila suatu fakta yang menjadi penyebab dari fakta, maka fakta tersebut disebut
dengan istilah faktor. Jadi untuk memperoleh fakta sosial seorang peneliti harus melakukan
analisa dan mengklasifikasikan fakta menurut sistem dan metode ilmiah tertentu. Seluruh upaya
analisa dan mengklasifikasikan fakta menurut sistem dan metode tersebut tentunya harus
berdasarkan disiplin ilmiah yang ketat. Selain itu dia akan mencari hubungan dan korelasi
berdasarkan disiplin ilmu yang juga ketat. Setelah itu barulah dia melakukan tafsiran mengenai
pola-pola korelasi tersebut untuk memperoleh pengetahuan yang lebih abstrak lagi. Hasil seluruh
proses tersebut disebut dengan: konsep dan teori.

Jadi dalam ilmu, teori merupakan alat yang terpenting. Tanpa teori hanya ada
pengetahuan belaka, tetapi tidak akan pernah disebut dengan ilmu pengetahuan (Hasan,
Fuad dan Koentjaraningkrat 1983, 19). Melalui teori, seorang ilmuwan akan dapat:
a. Menyimpulkan generalisasi-generalisasi dari fakta-fakta hasil pengamatan
b. Memberi kerangka orientasi untuk analisa dan klasifikasi dari fakta-fakta yang dikumpulkan
dalam penelitian.
c. Memberi ramalan terhadap gejala-gejala baru yang akan terjadi.
d. Mengisi lowongan-lowongan dalam pengetahuan kita tentang gejala-gejala yang telah atau
sedang terjadi.

Uraian di atas merupakan proses berpikir yang induktif. Namun penelitian ilmiah juga
dapat menggunakan proses berpikir yang deduktif. Bagaimanakah proses berpikir yang deduktif?
Proses berpikir deduktif merupakan kebalikan dari proses berpikir induktif. Bila proses berpikir
induktif berpijak pada kejadian-kejadian empiris atau faktual yang kemudian diabstrasikan,
sehingga melahirkan konsep dan teori. Dengan kata lain metode berpikir induktif adalah metode
yang digunakan dalam berpikir dengan bertolak dari hal-hal khusus ke umum. Tetapi tidaklah
demikian proses berpikir deduktif. Karena proses berpikir deduktif memulai dari alam abstrak ke
arah alam yang riel, yaitu fakta-fakta yang konkret. Proses berpikir deduktif mulai dari konsep
yang abstrak dan kemudian dibuktikan menjadi sesuatu yang faktual. Jadi metode berpikir
deduktif adalah metode berpikir yang menerapkan hal-hal yang umum terlebih dahulu untuk
seterusnya dihubungkan dalam bagian-bagiannya yang khusus. Dengan menerapkan teori yang
diperoleh secara induktif dan deduktif, seorang ilmiawan dapat memprediksi kemungkinan-
kemungkinan yang dapat terjadi dalam kehidupan suatu masyarakat.

Tanggapan Kritis:

Dengan mempelajari ulasan yang dikemukakan oleh Fuad Hasan dan Koentjarangningrat,
kami sebagai kelompok memperoleh suatu pencerahan untuk senantiasa mencari kebenaran yang
seharusnya mengubah kehidupan menjadi lebih baik. Walaupun buku tersebut tergolong lama
(tahun 1983), namun tetap mampu memberi suatu penjelasan dan inspirasi yang relevan.
Sebagaimana telah dikatakan oleh Fuad Hasan dan Koentjaraningrat, yaitu bahwa manusia
secara alamiah memiliki dorongan ingin tahu tentang hal-hal yang terjadi di sekelilingnya dan
mampu mengembangkan menjadi ilmu, maka menurut pendapat kami seharusnya teologi tidak
boleh terjebak menjadi suatu doktrin yang sifatnya final. Teologi bukanlah ilmu yang sudah
selesai, tetapi belum selesai. Karena itu teologi harus senantiasa mampu mentransendensikan
realitas kehidupan dan menguji setiap persepsi sehingga menjadi konsepsi teologis yang mampu
dipertanggungjawabkan dan membawa perubahan dalam kehidupan umat/masyarakat. Kita
prihatin, bahwa untuk menyatakan kebenaran beberapa pihak pada masa kini masih sering
menggunakan legitimasi pengalaman supernatural, seperti: penglihatan, suara Roh Kudus, dan
wahyu. Padahal ungkapan atau pernyataan-pernyataan demikian sering lahir dari
ketidakmampuan untuk membuat argumentasi teologis yang siap diuji secara kritis. Menurut
pendapat kami, ilmu teologi seharusnya mampu memberi perspektif dan eksplorasi yang baru.
Sebab selain kita hidup di dunia yang terus berubah dan berkembang, kita juga dipanggil oleh
Kristus untuk senantiasa mencari Kerajaan Allah dan kebenaranNya (Mat. 6:33). Spiritualitas
itulah yang juga dihayati oleh rasul Paulus yang mendorong dia untuk progresif, sehingga dia
berusaha mengejar kebenaran. Di Fil. 3:12, rasul Paulus berkata: Bukan seolah-olah aku telah
memperoleh hal ini atau telah sempurna, melainkan aku mengejarnya, kalau-kalau aku dapat
juga menangkapnya, karena akupun telah ditangkap oleh Kristus Yesus.

Selain itu teologi seharusnya juga dapat menjadi ilmu yang mampu berdialog dengan
ilmu-ilmu yang lain. Karena teologi bukanlah ilmu yang sifatnya eksklusif atau terasing dari
realitas kehidupan. Teologi berbicara tentang penyataan Allah di dalam Kristus yang
menghadirkan keselamatan bagi umat manusia. Teologi terintegrasi dalam kehidupan dan
eksistensi manusia. Dengan demikian, teologi dan ilmu-ilmu yang lain dapat saling melengkapi,
memperkarya dan membawa kesejahteraan dalam kehidupan bersama. Namun agar dapat
berkomunikasi dan bekerja sama secara multi-disipliner, maka teologi juga harus perlu memiliki
konsistensi azas pengaturan (meminjam istilah Fuad Hasan dan Koentjaraningrkat).
Maksudnya teologi sebagai ilmu wajib memiliki prinsip-prinsip logis dan sistematisasi yang
konsisten, sehingga mampu berinteraksi dengan ilmu-ilmu yang lain. Jadi dalam berteologi,
setiap teolog harus memperhatikan sistem dan metode ilmiah yang terbuka untuk diuji. Pada sisi
lain, teologi tidak dapat lepas dari realitas yang diobservasi, yaitu konteks umat dan masyarakat.
Untuk itu teologi dapat menggunakan pola pendekatan induktif dan deduktif.
Pola pendekatan induktif, yaitu apabila teologi didasarkan kepada penelitian riel, yaitu
kehidupan umat. Dengan kata lain, teologi dibangun berdasarkan hasil deskriptif yang telah
diabstraksi dari kejadian-kejadian konkret sebagai gejala kehidupan berjemaat dan
bermasyarakat. Sedang pendekatan deduktif, yaitu apabila teologi didasarkan kepada prinsip-
prinsip umum atau abstrak, lalu dibuktikan menjadi sesuatu yang faktual. Dengan pola
pendekatan deduktif, misalnya teologi dapat memulai premisnya dari sisi pengajaran dan
pengakuan iman gereja, lalu dibuktikan kebenarannya sehingga menjadi sesuatu yang relevan
dalam konteks tertentu. Kedua pendekatan tersebut seharusnya dilakukan secara seimbang,
sehingga mampu menghasilkan teologi yang relevan dan kontekstual.

Anda mungkin juga menyukai