Anda di halaman 1dari 41

makalah Kampung Naga (Laporan Kuliah Lapangan)

BAB I

PENDAHULUAN

A. DASAR PEMIKIRAN
Kuliah kerja lapangan ini dilakukan untuk melihat secara langsung budaya masyarakat kampung
naga, sehingga mahasiswa dapat meningkatkan wawasan tidak hanya di bangku kuliahnya
dengan teori dan konsep, tetapi dapat melihat realitas secara langsung di lapangan, juga
diharapkan mampu memilih unsur-unsur kebudayaan dan perilaku masyarakat. Selain itu,
mahasiswa Pasca Sarjana mendapat wawasan tentang kondisi fisik,sosial,ekonomi dan penataan
lingkungan Kampung Naga.
Seperti diketahui bahwa Indonesia memiliki banyak bentuk masyarakat y a n g
antara satu daerah dengan daerah lainnya memiliki perbedaan
m a s i h memegang teguh adat istiadat dan kebudayaannya dengan sangat baik,
salah satunya masyarakat kampung Naga di Tasikmalaya. Namun demikian masyarakat
kampung Naga ini tidak menutup diri dari d u n i a l u a r w a l a u p u n m u n g k i n
b e r b e d a d e n g a n m a s y a r a k a t I n d o n e s i a p a d a umumnya. Melihat phenomena ini
adalah wajar apabila terdapat keinginan untuk mengenal lebih dekat tentang masyarakat
kampung Naga ini, dibidang penataan lingkungan perkampungan Sehingga dengan
fakta tersebut mahasiswa Pasca Sarjana perlu mengetahui keadaan yang ada di
masyarakat kampung Naga tersebut.

B. MAKSUD DAN TUJUAN


Maksud dan tujuan dibuatnya Makalah ini adalah :
1. Mengetahui kehidupan masyarakat Kampung Naga
2. Mengali dan mengkaji aspek fisik, sosial budaya, ekonomi dan penataan lingkungan Kampung
Naga

C. M A N F A A T P E N E L I T I A N
Dari segi akademis, hasil penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi salah satu sumber
informasi dan bahan acuan untuk melakukan penelitian-penelitian terkait yang akan
dilaksanakan.
1. Mengkaji aspek fisik, sosial budaya, ekonomi dan penataan lingkungan Kampung Naga
2. Dari segi praktis, hasil pengamatan ini dapat dijadikan bahan pertimbangan untuk menentukan
suatu kebijakan yang tepat bagi masyarakat Kampung Naga

D. METODE
1. Waktu dan lokasi Observasi
Observasi dilakukan di Kampung Naga, Desa Neglasari, Kecamatan Salawu Kabupaten Tasikmalaya, Propinsi
Jawa Barat. Waktu observasi lapangan ini dilaksanakan pada tanggal 12 Januari 2013 mulai pukul 09.00 sampai
dengan pukul 14.00.

2. Jenis dan Teknik Pengumpulan Data


Adapun teknik yang digunakan dalam pengumpulan data adalah:
1. Observasi : Pengamatan langsung dalam memperoleh data
2. Wawancara responden dan informan
3. FGD (focus group discusion) , diskusi dengan beberapa informan yang membicarakan hal
tertentu selaras dengan tujuan observasi.
Kami melakukan pengumpulan data primer dan data sekunder. Data primer didapatkan
melalui pengamatan langsung dan wawacara mendalam dengan para informan dan
responden. Para informan dan responden tersebut terdiri atas warga desa penelitian, tokoh
masyarakat. Sementara itu,untuk data sekunder diperoleh melalui berbagai
literatur serta catatan-catatan i n s t a n s i t e r k a i t y a n g t e r d a p a t p a d a w e b s i t e
d a n p i h a k - p i h a k l a i n n y a y a n g d a p a t m e n d u k u n g k e l e n g k a p a n informasi yang
dibutuhkan.

3.Sasaran informan
a)W arga mas yar akat dilokasi kampong naga
b)Informan kunci :lebe, punduh adat,
c)Informan : warga masyarakat

BAB II
KAJIAN PUSTAKA

A. PERKAMPUNGAN
Perkampungan adalah kelompok rumah yg merupakan kampung ; kumpulan gubuk yang tampak
, atau kumpulan kampung
Kelompok rumah yg merupakan bagian kota (biasanya dihuni orang berpenghasilan rendah); 2 n
desa; dusun; 3 n kesatuan administrasi terkecil yg menempati wilayah tertentu, terletak di bawah
kecamatan; 4 a terbelakang (belum modern); berkaitan dng kebiasaan di kampung; kolot;
( http://www.artikata.com/images/logo.jpg )

B. PERMUKIMAN
Pengertian permukiman, perumahan dan rumah
Beberapa pengertian permukiman, antara lain:
A. Menurut Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1992, permukiman adalah lingkungan hidup di luar
kawasan lindung, baik kawasan perkotaan maupun perkotaan sebagai lingkungan hunian dan
tempat kegiatan yang mendukung perikehidupan dan penghidupan;
B. Menurut Sinulingga (1999: 187), permukiman adalah gabungan 4 elemen pembentuknya (lahan,
prasarana, rumah dan fasilitas umum) dimana lahan adalah lokasi untuk permukiman. Kondisi
tanah mempengaruhi harga rumah, didukung prasarana permukiman berupa jalan lokal, drainase,
air kotor, air bersih, listrik dan telepon, serta fasilitas umum yang mendukung rumah; dan
C. Menurut Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1992, perumahan adalah kelompok rumah yang
berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian yang dilengkapi dengan
prasarana dan sarana lingkungan, sedangkan rumah adalah bangunan yang berfungsi sebagai
tempat tinggal atau hunian dan sarana pembinaan keluarga.
Terbentuknya sebuah permukiman dipengaruhi oleh beberapa faktor yang secara keseluruhan
dapat dilihat unsur-unsur ekistiknya.
Adapun unsur-unsur ekistik pada sebuah pola permukiman sebagai berikut (Doxiadis, 1968):
1. Natural (Fisik Alami):
a) Geological resources (tanah/geologi);
b) Topographical resources (kelerengan/ketinggian);
c) Water (hidrologi/sumber daya air);
d) Plant life (tanam-tanaman/vegetasi);
e) Animal (hewan); dan
f) Climate (iklim).
2. Man (Manusia):
a) Biological needs (space, air, temperature);
b) Sensation and perception (the five senses);
c) Emotional needs (human relations, beauty); dan
d) Moral values (nilai-nilai moral).
3. Society:
a) Population composition and density (komposisi dan kepadatan penduduk);
b) Social stratifications (stratifikasi masyarakat);
c) Culture pattern (bentuk-bentuk kebudayaan masyarakat);
d) Economic development (pertumbuhan ekonomi);
e) Education (tingkat pendidikan);
f) Health and welfare (tingkat kesehatan dan kesejahteraan); dan
g) Law and administration (hukum dan administrasi).
4. Shell:
a) Housing (rumah);
b) Community services (pelayanan masyarakat);
c) Shopping centres and markets (pusat perdagangan dan pasar);
d) Recreational facilities (threate, museum, stadium, etc);
e) Civic and business centres (town hall, law-courts, etc);
f) Industry (sektor industri); dan g. Transportation centres (pusat pergerakan).
5. Network:
a) Water supply systems (sistem jaringan air);
b) Power supply systems (sistem jaringan listrik);
c) Transportation systems (sistem transportasi);
d) Communication systems (sistem komunikasi);
e) Sewerage and drainage (sistem pembuangan dan drainase);
f) Physical lay out (bentuk fisik).

Secara kronologis kelima elemen ekistik tersebut membentuk lingkungan permukiman. Nature
(unsur alami) merupakan wadah manusia sebagai individu (man) ada di dalamnya dan
membentuk kelompok-kelompok sosial yang berfungsi sebagai suatu masyarakat (society).
Kelompok sosial tersebut membutuhkan perlindungan sebagai tempat untuk dapat melaksanakan
kehidupannya, maka mereka menciptakan shell. Shell berkembang menjadi besar dan semakin
kompleks, sehingga membutuhkan network untuk menunjang berfungsinya lingkungan
permukiman tersebut. Berdasarkan pengertian tersebut, maka pada dasarnya suatu permukiman
terdiri dari isi (content), yaitu manusia baik secara individual maupun dalam masyarakat dan
wadah (container), yaitu lingkungan fisik permukiman (Doxiadis, 1968).
KEBIJAKSANAAN PEMERINTAH DESA

Dalam meningkatkan ketahanan pangan, ada beberapa kebijakan di Kampung Naga:

1. Masih memberlakukan panen 1 tahun dua kali sesuai para leluhur mereka.

Karena menurut mereka kita tidak boleh memperkosa alam dengan cara tekhnik intensifikasi

yang terlalu memaksa.

2. Tidak boleh menggunakan pestisida dalam pemberantasan hama.

Menurut mereka, hama juga merupakan ciptaan Tuhan YME yang perlu dijaga. Menggunakan

pestisida sama halnya kita meracuni hama tersebut. Sedangkan makhluk yang diciptakan oleh

Tuhan perlu kita jaga. Karena telah ada fasenya masing-masing. Penggunaan pestisida hanya

akan menambah hama yang ada.

C. TINJAUAN KARAKTERISTIK POLA TATA RUANG

Pengertian tata ruang


Menurut Rapoport (1989), pengertian tata ruang merupakan lingkungan fisik tempat terdapat
hubungan organisatoris antara berbagai macam objek dan manusia yang terpisah dalam ruang-
ruang tertentu.
Ketataruangan secara konsepsual menekankan pada proses yang saling bergantung antara lain :
a) Proses yang mengkhususkan aktivitas pada suatu kawasan sesuai dengan hubungan fungsional
tersebut;
b) Proses pengadaan ketersediaan fisik yang menjawab kebutuhan akan ruang basi aktivitas seperti
bentuk tempat kerja, tempat tinggal, transportasi dan komunikasi; dan
c) Proses pengadaan dan penggabungan tatanan ruang ini antara berbagai bagian-bagian
permukaan bumi di atas, yang mana ditempatkan berbagai aktivitas dengan bagian atas ruang
angkasa, serta kebagian dalam yang mengandung berbagai sumber daya sehingga perlu dilihat
dalam wawasan yang integratik.

D. TINJAUAN KARAKTERISTIK PERMUKIMAN TRADISIONAL


Permukiman tradisional

Permukiman tradisional sering direpresentasikan sebagai tempat yang masih memegang nilai-
nilai adat dan budaya yang berhubungan dengan nilai kepercayaan atau agama yang bersifat
khusus atau unik pada suatu masyarakat tertentu yang berakar dari tempat tertentu pula di luar
determinasi sejarah (Sasongko 2005).
Menurut Sasongko (2005), bahwa struktur ruang permukiman digambarkan melalui
pengidentifikasian tempat, lintasan, batas sebagai komponen utama, selanjutnya diorientasikan
melalui hirarki dan jaringan atau lintasan, yang muncul dalam suatu lingkungan binaan mungkin
secara fisik ataupun non fisik yang tidak hanya mementingkan orientasi saja tetapi juga objek
nyata dari identifikasi.
Dalam masyarakat kampung Naga,bangunan tradisional mempunyai fungsi tersendiri. Jenis
konstruksi dan atap yang digunakan sangat genial dalam memecahkan masalah iklim setempat.
Struktur tiang dan umpak membuat bangunan adaptif terhadap gempa dan kontur tanah. Umpak
juga mencegah tiang kayu lapuk terkena kelembaban tanah dan serangan serangga tanah.

Ventilasi diatur agar rumah tetap kering dan sejuk, mengimbangi kondisi iklim tropis. Bentuk
atap pelana rumah adat Kampung Naga disebut suhunan panjang atau suhunan julang ngapak
( bila sisi rumah ditambah sosompang ) dan terbuat dari ijuk. Selain kedap air, atap juga
menjaga kehangatan rumah saat malam, karena teritis antar rumah yang nyaris bersentuhan itu
membentuk lorong yang mengurangi masuknya angin. Berdasar kepercayaan bahwa manusia tak
boleh menentang kodrat alam, maka pada ujung timur dan barat atap, sesuai arah edar matahari,
diletakkan dekorasi cagak gunting atau capit hurang untuk menghindari mala petaka.

Bahkan menurut Habraken dalam Fauzia (2006:32), ditegaskan bahwa sebagai suatu produk
komunitas, bentuk lingkungan permukiman merupakan hasil kesepakatan sosial, bukan
merupakan produk orang per orang. Artinya komunitas yang berbeda tentunya memiliki ciri
permukiman yang berbeda pula. Perbedaan inilah yang memberikan keunikan tersendiri pada
bangunan tradisional, yang antara lain dapat dilihat dari orientasi, bentuk, dan bahan bangunan
serta konsep religi yang melatarbelakanginya. Keunikan tersebut sekaligus menjadi salah satu
daya tarik bagi wisatawan. Oleh karena itu Koentjaraningrat (1987) menjelaskan bahwa benda–
benda hasil karya manusia merupakan wujud kebudayaan fisik, termasuk di dalamnya adalah
permukiman dan bangunan tradisional.

Pola permukiman

Menurut Prasetyanti (2005:16), yang Pertama (sempit), yaitu memperhatikan susunan dan
penyebaran bangunan (rumah, gedung, sekolah, kantor dan pasar). Kedua (luas) adalah
memperhatikan bangunan, jaringan jalan dan pekarangan menjadi sumber penghasilan
penduduk.
Dijelaskan oleh Jayadinata (1992: 46-51), bahwa pola permukiman terbagi menjadi:
a) Permukiman memusat, yakni yang rumahnya mengelompok (agglomerated rural settlement),
dan merupakan dukuh atau Dusun (hamlet) yang terdiri atas kurang dari 40 rumah, dan kampung
(village) yang terdiri dari 40 rumah atau lebih bahkan ratusan rumah. Di sekitar kampung dan
Dusun terdapat tanah bagi pertanian, perikanan, perternakan, pertambangan, kehutanan, tempat
penduduk bekerja sehari-hari untuk mencari nafkahnya. Dalam perkembangannya suatu
kampung dapat mencapai berbagai bentuk, tergantung kepada keadaan fisik dan sosial.
Perkampungan pertanian umumnya mendekati bentuk bujur sangkar; dan
b) Permukiman terpencar, yang rumahnya terpencar menyendiri (disseminated rural settlement)
terdapat di negara Eropa Barat, Amerika Serikat, Canada, Australia, dan sebagainya.
Perkampungan terpencar di negara itu hanya terdiri atas farmstead, yaitu sebuah rumah petani
yang terpencil tetapi lengkap dengan gudang alat mesin, penggilingan gandum, lumbung,
kandang ternak. Kadang-kadang terdapat homestead, yaitu rumah terpencil.

Bentuk pola permukiman yang lain dijelaskan oleh Sri Narni dalam Mulyati (1995) antara lain:
1) Pola permukiman memanjang (linier satu sisi) di sepanjang jalan baik di sisi kiri maupun sisi
kanan saja;
2) Pola permukiman sejajar (linier dua sisi) merupakan permukiman yang memanjang di sepanjang
jalan;
3) Pola permukiman cul de sac merupakan permukiman yang tumbuh di tengah-tengah jalur
melingkar;
4) Pola permukiman mengantong merupakan permukiman yang tumbuh di daerah seperti kantong
yang dibentuk oleh jalan yang memagarnya;
5) Pola permukiman curvalinier merupakan permukiman yang tumbu di daerah sebelah kiri dan
kanan jalan yang membentuk kurva; dan
6) Pola permukiman melingkar merupakan permukiman yang tumbuh mengelilingi ruang terbuka
kota.

Permukiman tradisional merupakan manifestasi dari nilai sosial budaya masyarakat yang erat
kaitannya dengan nilai sosial budaya penghuninya, yang dalam proses penyusunannya
menggunakan dasar norma-norma tradisi (Rapoport dalam Dewi (2008: 31). Permukiman
tradisional sering direpresentasikan sebagai tempat yang masih memegang nilai-nilai adat dan
budaya yang berhubungan dengan nilai kepercayaan atau agama yang bersifat khusus atau unik
pada suatu masyarakat tertentu yang berakar dari tempat tertentu pula di luar determinasi sejarah
(Crysler dalam Sasongko 2005:1).
Menurut Norberg-Schulz dalam Sasongko (2005), bahwa struktur ruang permukiman
digambarkan melalui pengidentifikasian tempat, lintasan, batas sebagai komponen utama,
selanjutnya diorientasikan melalui hirarki dan jaringan atau lintasan, yang muncul dalam suatu
lingkungan binaan mungkin secara fisik ataupun non fisik yang tidak hanya mementingkan
orientasi saja tetapi juga objek nyata dari identifikasi.
Wikantiyoso dalam Krisna et al. (2005:17) menambahkan, bahwa permukiman tradisional adalah
aset kawasan yang dapat memberikan ciri ataupun identitas lingkungan. Identitas kawasan
tersebut terbentuk dari pola lingkungan, tatanan lingkungan binaan, ciri aktifitas sosial budaya
dan aktifitas ekonomi yang khas.
Pola tata ruang permukiman mengandug tiga elemen, yaitu ruang dengan elemen penyusunnya
(bangunan dan ruang disekitarnya), tatanan (formation) yang mempunyai makna komposisi sera
pattern atau model dari suatu komposisi.
Pada bagian lain Dwi Ari & Antariksa (2005:79) menyatakan bahwa permukiman tradisional
memiliki pola-pola yang membicarakan sifat dari persebaran permukiman sebagai suatu susunan
dari sifat yang berbeda dalam hubungan antara faktor-faktor yang menentukan persebaran
permukiman.

Terdapat kategori pola permukiman tradisional berdasarkan bentuknya yang terbagi menjadi
beberapa bagian, yaitu
1) Pola permukiman bentuk memanjang terdiri dari memanjang sungai, jalan, dan garis pantai;
2) Pola permukiman bentuk melingkar;
3) Pola permukiman bentuk persegi panjang; dan
4) Pola permukiman bentuk kubus.

Pola permukiman tradisional berdasarkan pada pola persebarannya juga dibagi menjadi dua,
yaitu pola menyebar dan pola mengelompok.
Menurut Wiriatmadja (1981:23-25) pola spasial permukiman sebagai berikut:
1) Pola permukiman dengan cara tersebar berjauhan satu sama lain, terutama terjadi dalam daerah
yang baru dibuka. Hal tersebut disebabkan karena belum adanya jalan besar, sedangkan orang-
orang mempunyai sebidang tanah yang selama suatu masa tertentu harus diusahakan secara terus
menerus;
2) Pola permukiman dengan cara berkumpul dalam sebuah kampung/desa, memanjang mengikuti
jalan lalu lintas (jalan darat/sungai), sedangkan tanah garapan berada di belakangnya;
3) Pola permukiman dengan cara terkumpul dalam sebuah kampung/desa, sedangkan tanah garapan
berada di luar kampung; dan
4) Berkumpul dan tersusun melingkar mengikuti jalan. Pola permukiman dengan cara berkumpul
dalam sebuah kampung/desa, mengikuti jalan yang melingkar, sedangkan tanah garapan berada
di belakangnya.
Menurut Widayati (2002) dijelaskan bahwa rumah merupakan bagian dari suatu permukiman.
Rumah saling berkelompok membentuk permukiman dengan pola tertentu.
Pengelompokan permukiman dapat didasari atas dasar :
 Kesamaan golongan dalam masyarakat, misalnya terjadi dalam kelompok sosial tertentu antara
lain komplek kraton, komplek perumahan pegawai;
 Kesamaan profesi tertentu, antara lain desa pengrajin, perumahan dosen, perumahan bank; dan
 Kesamaan atas dasar suku bangsa tertentu, antara lain Kampung Bali, Kampung Makasar.

Untuk menciptakan permukiman atau kampung pada suatu wilayah dapat dilakukan dengan dua
tindakan, yaitu
Pertama dengan membuka hutan disebut mbabat.
Kedua, dengan menampilkan tokoh yang membentuk tatanan dari suatu kekacauan (Aliyah
2004:35).

Menurut Aliyah (2004:35) elemen-elemen pembentuk karakter kampung/permukiman tradisional


di Jawa, yaitu sebagai berikut:
1) Riwayat terbentuknya (legenda/sejarah kampung) yang secara fisik dapat dikenali dengan
keberadaan situs;
2) Tokoh yang membentuk tatanan dari suatu kekacauan. Seseorang yang dianggap memiliki
kesaktian dan mampu menaklukkan lahan yang akan dijadikan permukiman dari kekuasaan
makhluk halus penguasa hutan;
3) Kelompok masyarakat dalam kesatuan tatanan bermukim;
4) Susunan tata masa atau komposisi bangunan hunian, karena tata masa bangunan Jawa memiliki
aturan atau patokan tersendiri, sehingga berpengaruh pada komposisi bangunan dalam kampung;
5) Batas teritori wilayah kekuasaan pribadi (lahan). Perbedaan ruang publik dan ruang privat
sangat kuat, sehingga ada tuntunan pembatas teritori, dan memiliki aturan dalam penempatan
pintu sebagai penghubung;
6) Besaran lahan atau ukuran luas tapak. Ukuran ditentukan oleh tingkat status sosial dan derajat
sang penghuni;
7) Bentuk dan ukuran pagar yang ditentukan oleh status sosial masyarakat yang menghuni; dan
8) Bentuk dan ukuran bangunan rumah tinggal.
Hal ini ditentukan oleh status sosial sang penghuni.

Bangunan tradisional

Selain permukiman tradisional, kebudayaan fisik lainnya terlihat dari bentuk bangunan
tradisional yang biasanya diterapkan pembangunannya melalui rumah tradisional. Menurut
Machmud (2006:180), rumah tradisional dapat diartikan sebuah rumah yang dibangun dengan
cara yang sama oleh beberapa generasi. Istilah lain untuk rumah tradisional adalah rumah adat
atau rumah rakyat. Kriteria dalam menilai keaslian rumah–rumah tradisional antara lain
kebiasaan–kebiasaan yang menjadi suatu peraturan yang tidak tertulis saat rumah didirikan
ataupun mulai digunakan. Ada ritual–ritual tertentu misalnya upacara pemancangan tiang
pertama, selamatan/kenduri dan penentuan waktu yang tepat. Selain hal tersebut, masih banyak
tata cara atau aturan yang dipakai, misalnya arah hadap rumah, bentuk, warna, motif hiasan,
bahan bangunan yang digunakan, sesajen, doa atau mantera yang harus dibaca dan sebagainya
sangat erat terkait pada rumah tradisional.
Bangunan arsitektur tradisional mempunyai beberapa ciri yang dapat dilihat secara visual. Ciri-
ciri ini hampir semuanya terdapat di beberapa daerah di Indonesia, namun adakalanya beberapa
lokasi sedikit mempunyai perbedaan.

Beberapa ciri arsitektur tradisional antara lain (Utomo 2000 dalam Dewi et al. 2008:33-35):
1. Berlatar belakang religi: Keberadaan bangunan arsitektur tradisional tidak lepas dari faktor
religi, baik secara konsep, pelaksanaan pembangunannya maupun wujud bangunannya. Hal ini
disebabkan oleh cara pandang dan konsep masyarakat tradisional dalam menempatkan bagian
integral dari alam (bagian dari tata sistem kosmologi), yaitu alam raya, besar (makroskopis) dan
alam kecil (mikroskopis), yang diupayakan oleh masyarakat tradisional adalah bagaimana agar
kestabilan dan keseimbangan alam tetap terjaga.
Bentuk perujukan dengan alam tersebut dilakukan dengan berbagai cara, yaitu sebagai berikut:
 Menganggap arah-arah tertentu memiliki kekuatan magis:
 Menganggap arah-arah tertentu mempunyai kekuatan magis bukanlah satu hal yang asing di
dunia arsitektur tradisional (juga di Indonesia).
Mereka mengenal arah mana yang dianggap baik dan arah mana yang dianggap buruk atau jelek.
Adapula yang menghubungkan arah ini dengan simbolisme dunia (baik dan suci), tengah
(sedang) dan bawah (jelek, buruk, kotor). Arah-arah baik ini mempengaruhi pola tata letak
bangunan dalam satu tapak. Bangunan-bangunan harus dihadapkan pada arah baik dan
membelakangi arah buruk; dan
 Menganggap ruang-ruang tertentu memiliki kekuatan magis: Adakalanya bangunan-bangunan
tertentu di dalam bangunan dianggap mempunyai nilai sakral. Kesakralan ini diwujudkan dengan
memberikan nilai lebih dalam suatu ruangan. Ruangan ini dianggap sakral, suci seperti yang
terjadi dalam arsitektur tradisional Jawa. Senthong tengah pada bangunan rumah tinggal di Jawa
dianggap sebagai ruang suci dan sakral dibandingkan dengan ruang lainnya;
2. Pengaruh hubungan kekeluargaan/ kemasyarakatan:
Hubungan kekeluargaan dalam struktur masyarakat tradisional dapat dibedakan menjadi
beberapa kriteria. Berdasarkan pertalian darah (genealogi) kelompok masyarakat tradisional
dibedakan menjadi:
 Sistem bilateral atau parental: Kesatuan keluarga dalam sistem ini terdiri dari bapak, ibu dan
anak-anak. Di dalam perkembangannya jumlah anggota keluarga pada sistem ini semakin lama
semakin banyak, sehingga anggota keluarga yang tinggal bersama akan semakin besar, bahkan
sampai rumah tinggal mereka tidak memuatnya lagi; dan
 Sistem unilateral: Susunan keluarga dalam sistem ini ditarik dari garis keturunan hanya dari
pihak ayah saja (patrilineal/ patrilokal) atau dari pihak ibu (matrilokal); dan
3. Pengaruh iklim tropis lembab: Karena posisi Indonesia berada pada zona yang beriklim tropis
lembab, maka mau tidak mau keberadaan arsitektur tradisional harus merujuk kepada iklim
tropis lembab. Konsep adaptasinya terhadap iklim setempat yang diterapkan pada bangunan
rumah tinggalnya, diyakini sebagai salah satu contoh yang baik. Susunan massa, arah hadap
(orientasi), pemilihan bentuk atap, pemilihan bahan bangunan, teknik komposisi, semuanya
benar-benar diperhitungkan terhadap aspek iklim tropis sedemikian sehingga dapat memberikan
kenyamanan bagi penghuni rumah
LETAK GEOGRAFIS KAMPUNG NAGA
Kampung Naga merupakan suatu perkampungan yang dihuni oleh
sekelompok masyarakat yang sangat kuat memegang adat istiadat peninggalan
leluhurnya. Secara administratif, Kampung Naga berada di wilayah Desa
Neglasari, Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya, Propinsi Jawa Barat.
Lokasi Kampung Naga tidak jauh dari jalan raya yang menghubungkan kota Garut
dengan Kota Tasikmalaya, yang berada di lembah yang subur. Adapun batas
wilayahnya :
- Di sebelah Barat adalah hutan keramat (yang didalamnya terdapat makam leluhur
masyarakat Kampung Naga).
- Di sebelah Selatan sawah-sawah penduduk
- Di sebelah Utara dan Timur dibatasi oleh sungai Ciwulan yang sumber airnya
berasal dari Gn.Cikuray di daerah Garut.
Jarak tempuh dari Kota Tasikmalaya ke Kampung Naga sekitar 30 Km,sedangkan
dari Kota Garut jaraknya + 26 KM. Untuk mencapai perkampungan ini tidaklah terlalu sulit.
Untuk menuju Kampung Naga dari arah jalan ra ya Garut - Tasikmala ya
h a r u s menuruni tangga yang sudah di tembok (Sunda sengked) sampai ketepi
sungai Ciwulan dengan kemiringan sekitar 45 derajat dengan jarak kira -kira 500
meter. Kemudian melalui jalan setapak menyusuri sungai Ciwulan sampai kedalam
Kampung Naga

B. KONDISI FISIK
Menurut data dari Desa Neglasari, Struktur tanah pada area kawasan Kampung Naga
berbukit-bukit sehingga perkampungan atau pemukiman masyarakatnya dibangun diatas tanah
yang tidak r a p i d a n u n t u k m e n c e g a h k e l o n g s o r a n d i b e n t u k s e n g k e d a n y a n g
t e r b u a t d a r i bata/batu. Pemukiman pada masyarakat Kampung Naga berbentuk
mengelompok biasanya bentuk pemukimannya dibatasi oleh pagar dari bambu yang
memisahkan daerah pemukiman dengan daerah yang dianggap kotor. Baik dari segi
bangunan, bahan dan arahnya, pemukiman pada masyarakat Kampung Naga
menunjukkan adanya keseragaman. Bentuk permukaan tanah di Kampung Naga
berupa perbukitan dengan produktivitas tanah bisa dikatakan subur.Luas tanah
Kampung Naga yang ada seluas 1,5 ha,sebagian besar digunakan untuk
perumahan,pekarangan, koam, dan selebihnya digunakan untuk pertanian sawah
yang dipanen satu tahun dua kali.

C. SOSIAL, EKONOMI DAN BUDAYA


1. Jumlah Penduduk
Penduduk yang menghuni kampung ini sekarang berjumlah 314 orang yang terbagi dalam
109 Kepala Keluarga (KK).

2. Pendidikan
Tingkat Pendidikan masyarakat Kampung Naga mayoritas hanya mencapai jenjang pendidikan
sekolah dasar,karena keterbatasan biaya tapi adapula yang melanjutkan pendidikan ke jenjang
yang lebih tinggi itupun hanya minoritas. Kebanyakan pola pikirnya masih pendek sehingga
mereka pikir bahwa buat apa sekolah tinggi-tinggi kalau akhirnya pulang kampung juga. Dari
anggapan tersebut orang tua menganggap lebih baik belajar dari pengalaman dan dari alam atau
kumpulan-kumpulan yang biasa dilakukan di mesjid atau aula.
3. Sistem Kemasyarakatan
Kemasyarakatan di Kampung Naga masih sangat lekat dengan budaya gotong royong, hormat
menghormati, dan mengutamakan kepentingan golongan diatas kepentingan pribadi.
Lebih jauh menilik pola hidup dan kepemimpinan Kampung Naga, kita akan mendapatkan dua
pemimpin dengan tugasnya masing –masing yaitu pemerintahan desa dan pemimpin adat atau
yang oleh masyarakat Kampung Naga disebut Kuncen. Peran keduanya saling bersinergi satu
sama lain untuk tujuan keharmonisan warga Sanaga. Sang Kuncen yang meski begitu berkuasa
dalam hal adapt istiadat jika berhubungan dengan system pemerintahan desa maka harus taat dan
patuh pada RT atau RW, begitupun sebaliknya RT atau RW haruslah taat pada sang Kuncen
apabila berurusan dengan adat istiadat dan kehidupan rohani penduduk Kampung Naga.

4. Sitem Perekonomian Masyarakat Kampung Naga


Pekerjaan pokok masyarakat Kampung Naga adalah sebagai petani, baik
sebagai petani pemilik, petani penggarap, maupun buruh tani. Masyarakat
Kampung Naga ini mempunyai mata pencaharian sampingan, yakni membuat kerajinan
tangan atau barang anyaman dari bambu. Dengan semakin seringnya wisatawan berkunjung ke
kampung ini, penduduk juga mulai berjualan makanan ringan dan minuman di depan rumah
mereka.

5. Sistem Kepercayaan ( Religi )


Penduduk Kampung Naga Mengaku mayoritas adalah pemeluk agama islam, akan tetapi
sebagaimana masyarakat adat lainnya mereka juga sangat taat memegang adat-istiadat dan
kepercayaan nenek moyangnya.
Menurut kepercayaan masyarakat Kampung Naga, dengan menjalankan adat-istiadat warisan
nenek moyang berarti menghormati para leluhur atau karuhun. Segala sesuatu yang datangnya
bukan dari ajaran karuhun Kampung Naga, dan sesuatu yang tidak dilakukan karuhunnya
dianggap sesuatu yang tabu. Apabila hal-hal tersebut dilakukan oleh masyarakat Kampung Naga
berarti melanggar adat, tidak menghormati karuhun, hal ini pasti akan menimbulkan malapetaka.

Masyarakat Sanaga pun masih mempercayai akan takhayul mengenai adannya makhluk gaib
yang mengisi tempat – tempat tertentu yang dianggap angker.
Kepercayaan masyarakat Kampung Naga kepada mahluk halus masih dipegang kuat. Percaya
adanya jurig cai, yaitu mahluk halus yang menempati air atau sungai terutama bagian sungai
yang dalam (“leuwi”). Kemudian “ririwa” yaitu mahluk halus yang senang mengganggu atau
menakut-nakuti manusia pada malam hari, ada pula yang disebut “kunti anak” yaitu mahluk
halus yang berasal dari perempuan hamil yang meninggal dunia, ia suka mengganggu wanita
yang sedang atau akan melahirkan. Sedangkan tempat-tempat yang dijadikan tempat tinggal
mahluk halus tersebut oleh masyarakat Kampung Naga disebut sebagai tempat yang angker atau
sanget. Demikian juga tempat-tempat seperti makam Sembah Eyang Singaparna, Bumi ageung
dan masjid merupakan tempat yang dipandang suci bagi masyarakat Kampung Naga

1. Sistem Hukum
Seperti kebanyakan kampung adat lainnya, masyarakat Sanaga juga memiliki aturan hukum
sendiri yang tak tertulis namun masyarakat sangat patuh akan keberadaan aturan tersebut.
Kampung Naga memang memiliki Larangan namun tidak memiliki banyak aturan. Prinsip yang
mereka anut adalah Larangan, Wasiat dan Akibat.

Sistem hukum di kampung Naga hanya berlandaskan kepada kata pamali, yakni sesuatu
ketentuan yang telah di tentukan oleh nenek moyang Kampung Naga yang tidak boleh di
langgar. Sanksi untuk pelanggaran yang dilakukan tidaklah jelas, mungkin hanyalah berupa
teguran, karena masyarakat Sanaga memegang prinsip bahwa siapa yang melakukan pelanggaran
maka dia sendiri yang akan menerima akibatnya.

Tabu, pantangan atau pamali bagi masyarakat Kampung Naga masih dilaksanakan dengan patuh
khususnya dalam kehidupan sehari-hari, terutama yang berkenaan dengan aktivitas
kehidupannya.pantangan atau pamali merupakan ketentuan hukum yang tidak tertulis yang
mereka junjung tinggi dan dipatuhi oleh setiap orang. Misalnya tata cara membangun dan bentuk
rumah, letak, arah rumah,pakaian upacara, kesenian, dan sebagainya.

2. Peralatan Hidup Masyarakat Kampung Naga


Masyarakat Kampung Naga merupakan masyarakat yang masih menggunakan peralatan ataupun
perlengkapan hidup yang sederhana, non teknologi yang kesemua bahannya tersedia di alam.
Seperti untuk memasak, masyarakat Sanaga menggunakan tungku dengan bahan bakar
menggunakan kayu bakar dan untuk membajak sawah mereka tidak menggunkan traktor
melainkan menggunakan cangkul. Dan masih banyak hal lainnya, yang pasti masayarakat
Sanaga tidak menggunakan peralatan canggih berteknologi tinggi, dan kampung mereka pun
tidak ada listrik.

A. PENATAAN LINGKUNGAN KAMPUNG NAGA


Di dalam Kampung Naga yang luasnya sekitar 1,5 hektar ini, terdapat 112 bangunan ( awalnya
11 kemudian ditambah 1 bangunan lagi karena ada warga yang tadinya tinggal di luar, kembali
lagi dan menetap di kampung ini ), dengan rincian 4 bangunan khusus dan 110 bangunan
permukiman.
Pola pemukiman
Kampung Naga merupakan pola mengelompok yang disesuaikan dengan keadaan tanah yang ada
dengan sebuah lahan kosong (lapang) di tengah-tengah kampung. Pola perkampungan seperti
Kampung Naga bisa jadi merupakan prototype dari pola perkampungan masyarakat Sunda,
walaupun di sana sini terjadi perubahan. Adanya kolam, leuit, pancuran, saung lisung, rumah
kuncen, bale, rumah suci, dan sebagainya, menunjukkan ciri-ciri pola perkampungan Sunda.
Demikian juga bentuk rumahnya.

Jika dicermati dengan seksama, masyarakat Kampung Naga membagi


peruntukan lahan ke dalam tiga kawasan, yaitu:

1. Kawasan Suci
Kawasan suci adalah sebuah bukit kecil di sebelah barat pemukiman yang
disebut Bukit Naga serta areal hutan lindung (leuweung larangan) persis di tikungan tapal kuda
di timur dan barat Sungai Ciwulan. Sebagaimana hutan lindung, Bukit Naga juga sebuah hutan,
berupa semak belukar yang ditumbuhi pohon-pohon kecil dan sedang, dan dianggap hutan
tutupan (leuweung tutupan atau leuweung karamat). Dalam hutan di Bukit
Naga inilah ditempatkan tanah pekuburan masyarakat Kampung Naga, termasuk didalamnya
makam para uyut
2. Kawasan Bersih
Kawasan bersih bisa diartikan sebagai kawasan bebas dari benda-benda yang dapat mengotori
kampung. Baik dari sampah rumah tangga maupun kotoran hewan, seperti kambing,sapi atau
kerbau, terutama anjing. Kawasan ini berada dalam areal pagar kandang jaga. Di dalam kawasan
bersih, selain rumah, juga sebagai kawasan tempat berdirinya bumi ageung, masjid, leuit, dan
patemon

a. Bumi Ageung
Bumi Ageung (rumah besar), mempunyai ukuran yang lebih keci ldibandingkan dengan
perumahan warga, akan tetapi memiliki fungsi dan arti yangsangat besar. Bangunan ini memiliki
sifat sakral, karena dijadikan tempat penyimpanan benda-benda pusaka dan dijadikan tempat
tinggal tokoh yang palingtua usianya diantara warga Kampung Naga lainnya, yang dianggap
keturunan paling dekat leluhur mereka. Rumah sakral ini terletak pada teras kedua dari bawah.
Bangunan ini sangat sunyi dan berpagar tinggi terbuat dari bambu dandirangkap dengan pagar
hidup dari hanjuang.
a. Masjid dan Bale patemon

Masjid dan bale petemon Kampung


Naga terletak di daerah terbuka (openspace). Rincinya kedua bangunan tersebut berada di depan
lapangan milik warga masyarakat Kampung Naga. Masjid dan bale patemon merupakan dua
bangunanyang terletak di kawasan bersih yaitu di sekitar rumah masyarakat.Masjid di Kampung
Naga tidak hanya memiliki fungsi sebagai tempat ibadah atau tempat menuntut ilmu agama.
Lebih dari itu, fungsi Masjid Kampung Naga juga sebagai tempat awal dan akhir dari
pelaksanaan ritual Hajat Sasih. Jadi, selain sebagai fungsi tempat ibadah, masjid juga memiliki
fungsi lain yaitu tempat pelaksanaan ritual adat. Sementara bale patemon mempunyai fungsi
sebagai tempat musyawarah milik masyarakat Kampung Naga.
a. Leuit / lumbung padi
Leuit (lumbung), merupakan bangunan yang terletak di sekitar perumahan milik warga Kampung
Naga. Leuit berfungsi untuk menyimpan padi hasil panenyang disumbangkan warga. Padi-padi
tersebut biasa digunakan manakala ada kegiatan-kegiatan baik itu acara ritual maupun yang
lainnya misalkan pemugaran Masjid, bale patemon dan sebagainya.Bangunan leuit ditempatkan
di sektor perumahan jadi masuk ke dalam kawasan bersih milik masyarakat Kampung Naga.
Sebelum padi dimasukkan ke dalam leuit padi dijemur terlebih dahulu sampai kering dan siap
untuk ditumbuk
. Rumah warga
Rumah yang berada di Kampung Naga jumlahnya tidak boleh lebih ataupun kurang
dari 110 bangunan secara turun temurun, dan sisanya adalah Masjid, le uit(Lumbung
Padi) dan patemon (Balai Pertemuan). Apabila terjadi perkawinan dan ingin memiliki rumah
tangga sendiri, maka telah tersedia areal untuk membangunrumah di luar perkampungan
Kampung Naga Dalam yang biasa disebut Kampung Naga Luar.
Seperti yang sudah dijelaskan diatas, jumlah bangunan rumah tidak boleh lebih dari 112 . dengan
luas rumah rata-rata 7x8 meter, dengan menghadap arah
Kampung ini menolak aliran listrik dari pemerintah, karena
s e m u a bangunan penduduk menggunakan bahan kayu dan injuk yang mudah
terbakar dan mereka khawatir akan terjadi kebakaran. Pemangku adat pun
memandang m a s y a r a k a t K a m p u n g N a g a t i d a k d i l e n g k a p i
d e n g a n m e j a d a n k u r s i . Tepas imah sekaligus berfungsi
s e b a g a i f i l t e r y a n g m e n y a r i n g b e r b a g a i kemungkinan pengaruh buruk yang
akan masuk kedalam rumah. Oleh karena itu, tepas imah juga dilengkapi dengan penolak
bala yang terbuat dari ketupat yang diisi beras dan di doa oleh bapak lebe pada
saat bulan Muharam diganti setahunsekali.Ini dipercaya oleh masyarakat Kampung
Naga sebagai penolak bala yang menjaga seluruh penghuni rumah. Setahun sekali, setiap
bulan Muharram. Letak pintu depan tempat menggantung penolak bala tersebut tidak boleh
sejajar dengan pintu belakan atau pintu dapur. Rumah dengan posisi pintu
yangseperti itu dipercaya masyarakat tidak akan membawa keberuntungan. Selain itu,m e r e k a
j u g a m e m p e r c a y a i b a h w a p o s i s i p i n t u t e m p a t m e n g g a n t u n g t a n g t a n g angin
yang sejajar dengan pintu belakang akan membawa kesulitan ekonomi bagi pemiliknya,
karena rezeki yang datang dari pintu depan akan langsung keluar melalui pintu
belakang tanpa sempat mampir di dalam rumah tersebut.

Gambar Pintu
depan rumah dipasang penolak bala

Tengah Imah
Tengah imah merupakan bagian tengah dari rumah masyarakat Kampung N a g a .
Sebagai ruang tengah, tengah imah berfungsi sebagai ruang
t e m p a t keluarga berkumpul. Bagi mereka yang memiliki anak, ruang tersebut
berfungsisekaligus sebagai ruang belajar bagi mereka. Namun karena rumah masyarakat
Kampung Naga rata-rata berukuran 6x8meter, pada malam hari tengah imah sering
dijadikan tempat tidur untuk anak-anak, atau sanak keluarga yang menginap.
Walau demikian, antara tengah imah d e n g a n t e p a s i m a h t i d a k m e m i l i k i
p e m b a t a s . S e h i n g g a j i k a d i r a s a m a s i h kekurangan tempat, tepas imah biasa
juga dijadikan tempat untuk tidur.

Pangkeng
P angkeng artin ya r uangan tempat tidur. Untuk mereka ya ng memiliki
rumah lebih besar, biasanya memiliki dua pangkeng. Tetapi karena rata -rata
luas bangunannya terbatas, kebanyakan rumah di Kampung Naga hanya memiliki
satu pangkeng.
Dapur dan Goah
Dapur dan goah merupakan kebalikan dari tepas imah karena wilayah ini merupakan
wilayah kekuasaan kaum wanita. Di ruang inilah sebagian besar kaum wanita masyarakat
Kampung Naga menghabiskan waktunya. Dapur berfungsi sebagai tempat memasak
dan menyediakan hidangan. Sedangkan goah merupakan t e m p a t p e n y i m p a n a n b e r a s
atau gabah, dan bahan kebutuhan pokok lainn ya.Untuk meringankan
p e k e r j a a n , l e t a k d a p u r d a n g o a h s e n g a j a d i b u a t s e c a r a berdekatan.

Kolong Imah
Kolong imah berada di antara permukaan tanah dengan bagian bawah
lantai rumah. Tingginya kurang lebih 60 sentimeter. Kolong imah
b i a s a n y a dijadikan sebagai tempat penyimpanan alat -alat pertanian, atau bisa
juga dipakaisebagai tempat memelihara ternak seperti ayam, itik dan sebagainya

3. Kawasan kotor
Yang dimaksud kawasan kotor adalah kawasan yang peruntukkannya sebagai kawasan
kelengkapan hidup lainnya yang tidak perlu dibersihkan setiap saat. Kawasan ini permukaan
tanahnya lebih rendah dari kawasan pemukiman, terletak bersebelahan dengan Sungai Ciwulan.
Di dalam kawasan ini antara lain terdapat pancuran dan sarana MCK, kandang ternak, saung
lisung, dan kolam.

Saung lisung/ tempat menumbuk padi


Saung lisung, merupakan tempat masyarakat Kampung Naga menumbuk padi. Bangunan ini
dibuat terpisah dari perumahan, yaitu dipinggir (atau diatas) balong (kolam ikan). Hal ini
bertujuan agar limbah yang dihasilkan dari saunglisung yaitu berupa huut (dedak) dan beunyeur
(potongan-potongan kecil dari beras) langsung masuk ke kolam dan menjadi makanan ikan.
Dengan demikian, praktis limbah yang dihasilkan tidak mengotori sektor bersih (perumahan)
milik warga. Demikian juga dengan kandang ternak. Kandang tersebut ditempatkan diatas
balong yang langsung bersisian dengan sungai Ciwulan. Limbah yangdihasilkan kandang
tersebut ditampung ke balong, atau langsung dialirkan kesawah-sawah milik warga.
Pancuran, pacilingan atau tampian
Pancuran, pacilingan atau tampian (jamban) merupakan suatu bangunan yang ukurannya
bervariasi antara satu sampai empat meter bujur sangkar. Dinding bangunan tersebut terbuat dari
bilahan-bilahan pohon enau atau bambugelondongan yang dirakitkan. Pancuran ini kadang diberi
atap (ijuk dan daun tepus), atau dibiarkan terbuka. Airnya dialirkan melalui pipa-pipa yang
terbuat dari bambu gelondongan. Ketinggian jatuhnya air ke lantai jamban sekitar 60-100cm.
Aliran air yang demikianlah yang dikenal masyarakat Sunda dengan sebutan pancuran. Air
pancuran langsung disadap dari selokan air atau lebih langsung lagi dari seke atau sumur (mata
air). Pancuran ditempatkan diatas balong-balong dengan ketinggian dari permukaan air balong
sekitar 0,25 sampai 0,50 meter. Dengan demikian, semua kotoran langsung jatuh ke dalam
balong sebagai makanan ikan dan penyubur lumpur balong. Lumpur balong yang subur ini sekali
atau dua kali dalam setahun dialirkan masyarakat ke sawah. Jelasnya balong tersebut memiliki
fungsi yang banyak diantaranya adalah: Pertama, sebagai tempat pemeliharaan ikan; kedua,
digunakan sebagai tempat MCK; ketiga, sebagai tempat penghancur kotoran; keempat, sebagai
penyimpanan pupuk untuk menambah kesuburan sawah-sawah di sekitarnya.

A. SUMBER AIR
Air untuk kebutuhan kampung Naga bersal dari dua sumber yang dialirkan melalui buluh
bamboo, air dari mata air di sebelah Selatan kampung digunakan hanya untuk minum dan
memasak, sedangkan untuk keperluan
mandi, MCK, wudhu, berasal dari sungai Ciwulan dan air permukaan yang melewati sawah
masuk ke bak – bak penyaringan untuk dialirkan ke bak air wudhu dan jamban.
BAB IV
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Kampung Naga adalah suatu perkampungan adat yang masih betahan di Jawa Barat selain
Baduy. Kampung ini masih tetap bertahan dengan segala adat istiadat, kebiasaan, serta aturan-
aturan mereka dan menutup segala aktivitas mereka dari alur modernisasi. Mereka mempercayai
aturan yang turun-menurun dari leluhurnya, dan mereka yakin dengan aturan tersebut. Kampung
Naga tidak mengikuti alur modernisasi karena menjaga kesenjangan sosial di dalam kehidupan
sehari-harinya, karena modernisasi ditakutkan akan mengubah kebudayaan yang telah lama di
anut oleh kampung Naga.
Penataan lingkungan di kampung Naga, mencerminkan suatu pola pikir ke depan atau yang
disebut dengan pembangunan lingkungan berkelanjutan

B. Rekomendasi
1. Kampung Naga sebaiknya dapat di jadikan aset wisata di Jawa Barat yang berhubungan dengan
Budaya.
2. Adat istiadat kampung Naga harus dihargai pemerintah, agar dipandang oleh dunia, karena
jarang kampung-kampung di Indonesia yang masih menjaga keutuhan dari budaya yang di
turunkan oleh leluhurnya.
3. Serta patut dijadikan percontohan dalam penataan lingkungan permukiman.
4. Mengarahkan masyarakat kampung naga agar mau bersekolah.

DAFTAR PUSTAKA
Anonim. Undang-Undang No. 4 Tahun 1992 Tentang Permukiman.
Abu Ahmadi, Ilmu Sosial Dasar,Jakarta: Rineka Cipta, 1997, Cet. 3, hal. 228
Agus Widianto, Keunikan Hidup di Kampung Naga, website: http://www.amanah.or.id/ posting 15
Januari 2013
Anonim. Undang-Undang No. 4 Tahun 1992 Tentang Permukiman.
B r a m a n t yo d a n N a n a n g I n d r a K u r n i a w a n , H u k u m A d a t d a n H A M ,
w e b s i t e : http://www.IRE.com/ posting 15 Januari 2013
H.M.Ahman Sya dan H.Maman Abdurachman, Geografi Perilaku, Bandung,Universitas BSI Bandung
Press, 2012
Koentjaraningrat. 1984. Bunga Rampai Kebudayaan, Mentaltas dan Pembangunan. Jakarta: PT
Gramedia.
M . A h m a n S y a d a n A w a n M u t a k i n , Masyarakat Kampung Naga Tasikmalaya, Op. Cit., hal.
36-37
Mulyati. 1995. Pola Spasial Permukiman Di Kampung Kauman Yogyakarta. Tesis. Tidak Diterbitkan.
Yogyakarta: Program Pascasarjana UGM.
Pakuan Pajajaran, website:http://id.wikipedia.org/ posting 15 Januari 2013
Pascasarjana Fakultas Sastra Universitas Indonesia.
Wiriatmadja, S. 1981. Pokok-Pokok Sosiologi Pedesaan. Jakarta: Yasaguna.
Pengelolaan Sumber Daya Alam, Terjemah Avuva Nababan, Yogyakarta: Elsam, 2006, Cet. I, hal.
Rafael Edy Bosko, Hak-hak Masyarakat Adat Dalam Konteks
Ujif, Masyarakat Kampung Naga, Wawancara, Tasikmalaya, 12 Januari 2013
website:http://id.wikipedia.com, Masyarakat , posting 15 Januari 2013
ngetahuan Lokal (Indegenous Knowledge)
Perubahan sosial yang sangat pesat dalam beberapa dekade terakhir
telah menimbulkan banyak pergeseran nilai budaya masyarakat.
Pergeseran nilai tersebut merupakan dampak dari kemajuan
pembangunan ekonomi, teknologi dan informasi yang sulit dihindarkan.
Pada dasarnya pembangunan masyarakat tidak saja bermaksud
membina hubungan dan kehidupan bermasyarakat, melainkan juga
untuk membangun masyarakat, karena setiap satuan masyarakat
mempunyai kekuatan-kekuatan sendiri yang disebut community power,
misalnya kerukunan, keakraban, solidaritas dan kebersamaan.
Kenyataan menunjukkan bahwa dalam proses pembangunan secara
otomatis diikuti oleh adanya perubahan sosial (social change), yang
dapat diartikan sebagai adanya perubahan lembaga-lembaga
(institutions) masyarakat, yaitu perubahan yang mempengaruhi sistem
sosial termasuk nilai sosial, sikap, dan pola perilaku kelompok.
Bagi sebahagian warga masyarakat, proses pembangunan dianggap
sebagai sesuatu yang wajar dalam meraih kemajuan yang lebih modern.
Perubahan nilai sosial, sikap dan perilaku merupakan konsekuensi yang
harus dijalani serta sulit dihindarkan. Namun bagi masyarakat
Kampung Naga, perubahan nilai sosial, sikap dan pola perilaku
dikhawatirkan akan mengganggu keselarasan hubungan antar sesama
yang telah terbina dan relatif stabil serta lestari secara turun temurun.
Oleh karena itu masyarakat secara kolektif memilih mempertahankan
nilai-nilai tradisional warisan leluhur dalam menata kehidupan sosial
dan kemasyarakatannya. Kepatuhan terhadap warisan leluhur berupa
tradisi-tradisi yang didalamnya terdapat kepercayaan-kepercayaan dan
keyakinan terhadap ajaran agama ditangkap sebagai simbol konstitutif
berupa keyakinan kebenaran mutlak yang tidak dapat diubah dan
digeser.
Dalam memahami warisan leluhur tersebut, masyarakat Kampung Naga
telah belajar banyak dari alam sekitarnya dan sesama anggota
masyarakat, mereka melihat berbagai fenomena alam. Matahari muncul
disebelah timur dan tenggelam disebelah barat, ada siang dan ada
malam, ada waktu hujan datang terus-menerus dan ada pula waktunya
hujan tidak mau turun dan bumi menjadi kering kerontang berbulan-
bulan lamanya dan sebagainya. Mereka telah melihat hal tersebut dan
menyakini bahwa fonomena tersebut sebagai sesuatu yang saling
berhubungan. Kehadiran gunung disekitarnya, pepohonan (hutan) dan
sungai telah diatur oleh kekuatan yang dahsyat.
Terdapat beberapa pengetahuan lokal (indegenous knowledge) atau
sistem norma dan tata nilai yang yang masih diakai dan tetap lestari
dalam kehidupan masyarakat kampung naga antara lain:
Gotong royong
Upacara kematian
Pemasangan tolak bala
Bertani padi dengan menggunakan bibit leluhur
Maksud dan tujuan dari keinginan masyarkat dalam melestrikan
pengetahuan lokal tersebut adalah agar tetap terjaganya hubungan
manusia dengan alam sekitarnya atau manusia dengan lingkungannya
yang kemudian akan berdampak pada kebaikan dan terjaganya
hubungan sesama warga. Selain itu pelestarian terhadap pengetahuan
lokal juga akan menjaga tetap terpeliharanya sistem adat yang apada
ahinya dari kesemua pengetahuan lokal tersebut akan melahirkan
suasana dan rasa yang yaman bagi masyarakat kampung naga sendiri.
Dalam usaha menjaga dan melestarikan pengetahuan lokal tersebut
masayarakat kampung naga berusaha untuk mematuhi segala ketetuan-
ketentuan dan kesepakatan yang telah ditetapkan dalam kesepuhan.
Ketentuan tersebut antara lain adanya hutan larangan yang tidak boleh
dimasuki. Hutan larangan ini terletak di sebelah barat dan sebelah utara
kampung naga. Kawasan hutan larangan ini tidak diperkenan siapapun
memasukinya dikarenakan tujuan-tujuan tertentu yang dimaksud oleh
masyarakat kampung naga antara lain untuk menjaga kelestarian
lingkungan, menjaga kesimbangan alam, dan menjaga keaslian
kehidupan masyarakat kampung naga. Selain itu terdapat beberapa
mitos mengenai kawasan hutan larangan tersebut, dimana apabila ada
seseorang yang melanggar dari ketentuan-ketentuan yang telah buat
maka ada istilah “pamali”, artinya akan ada hukuman alam atau sesuatu
pasti akan terjadi pada seseorang yang melanggar tersebut.
Ketentuan yang lain adalah bersama-sama memelihara kesederhanaan.
Kesederhanaan yang dimaksud adalah menjaga agar tidak terjadi
kecemburuan sosial diantara masayarakat kampung naga. Upaya dalam
menjaga kesederhanaan ini antara lain dengan membangun rumah
dengan bahan bangunan yang bersal dari alam, membangun rumah
dengan arah yang sama yaitu menghadap kiblat, tidak
diperbolehkannya adanya penerangan berupa listrik karena
dikahwatirkan akan terjadi kebakaran karena bahan bangunan berasal
dari alam. Kekhawatiran lain adalah karena listrik merupakan sumber
dari segala kemajuan yang akan berdampak pada bergesernya
kesederhanaan yang ada dan cenderung akan menimbulkan kehipan
bermasyarakat yang individual.
Patuh kepada ketentuan-ketentuan adat juga merupakan sebuah
ketentuan yang harus ditaati. Pada masayarakat kampung naga terdapat
kelembagaan formal yang akan berpengaruh dalam keutusan-keputusan
yang berhubungan dengan ketentuan-ketentuan adat. Yang pertama
adalah pakuncen yang merupakan kepala adat, kedua aalah punduh
yaitu yang dalam istilah masyarakat kampung naga disebut dengan
“ngurus laku meres gawe” yaitu segala bentuk tingkah laku dan sikap
dari masyarakat kampung naga akan diawasi dan di arahkan serta
dibimbing oleh seorang punduh. Selain itu seorang punduhpun akan
berperan dalam mengatur segala bentuk kerja sama dan gotong royong
yang yang ada di masyarakat kampung naga. Pelanggran terhadap
ketentuan seorang punduh akan mendapat teguran dan pengucilan dari
masyarakat kampung naga. Lembaga informal yang ketiga adalah
palebe. Palebe adalah seseorang yang bertugas mengurus keatian
seseorang dari awal sampai ahir proses pemakaman dan tahlilan
dikemudian hari.
Kelembagaa informal yang ada di masyarakat kampung naga tersebut
akan diwariskan secara turun temurun. Baik sebagai pakuncen, punduh,
dan palebe pran dan tugas katiga-tiganya akan diwarisi oleh keturunan-
keturunan mereka. Sehingga seorang keturunan pakuncen, punduh dan
palebe dituntut untuk bisa menjalankan peran dan tugas leluhur
mereka.
Selain ketentuan-ketentuan yang dibuat agar pengetahuan lokal dari
masayarakat kampung naga tetap terpelihara juga terdapat
kesepakatan-kesepakatan berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut.
Kesepakatan yang dibentuk diantaranya adalah dibangunya rumah
dalam bentuk dan bahan bangunan yang sama yaitu terbuat dari bahn
alam. Ini dimaksudkan agar kesederhanaan yang dianut oleh
masayarkat kampung naga tetap terpelihara. Selain bentuk bangunan
rumah rumah yang sama arah rumahpun diarahkan pada arah yang
sama yaitu mengahadap ke kiblat. Ini merupakan adat dan kebiasaan
leluhur yang masih mereka pertahankan. Atp rumah yang berasal dari
alam yaitu dari ijup dirasakan masyarakat kampung naga lebih nyaman
dan sejuk. Kesepakatan lain adalah tidak diperbolehkannya menebang
kayu di hutan adat yaitu hutan larangan. Larangan ini pada dasarnya
adalah untuk menjaga keseimbangan alam dan keseimbangan
lingkungan. Selain dasar itu sebenarnya yang paling dipegang oleh
masyarakat kampung naga adalah pamali bagi siapa saja yang
melanggar larangan tersebut. Adanya keyakinan dari masyarakat
kampung naga bila melanggar larangan tersebut akan mendapatkan
hukuman dari alam.

Pengetahuan Praktis/Introdusir (Inovasi)


Beragam usaha pembangunan perdesaan dewasa ini sedang dilakukan
dan akan terus dilakukan. Ragam usaha pembangunan itu adalah
pemerataan kesempatan kerja dan distribusi pendapatan dalam
berbagai sektor termasuk pertanian. Kesempatan tersebut tidak akan
banyak berarti bila masyarakat tidak memiliki cukup kemampuan
untuk dapat terlibat langsung dalam memanfaatkan kesempatan
tersebut bagi keuntungan dirinya guna memperbaiki kehidupannya.

Kemampuan untuk memanfaatkan kesempatan yang terbuka


dipengaruhi oleh pengetahuan, keterampilan, dan sikap mental.
Sedangkan kesempatan untuk dapat berpartisipasi dalam pembangunan
memiliki bermacam-macam bentuk antara lain adanya sumber daya
alam yang dapat dikembangkan, adanya pasaran yag terbuka (prospek
untuk mengembangkan), tersedianya modal (uang, kredit), tersedianya
sarana dan prasarana, terbukanya lapangan kerja pembangunan dan
lain sebagainya. Kecuali sumber daya alam (dalam pengertian
kuantitas), kesempatan-kesempatan yang lain tentunya harus dapat di
usahakan oleh pengelola pembangunan untuk diadakan, di buka,
disediakan atau dikembangkan agar dapat dimanfaatkan oleh
masyarakat.
Pengetahuan praktis masyarakat kampung naga diperoleh melalui
kegiatan penyuluhan yang diadakan di luar kampung naga. Masyarakat
kampung naga sudah mengikut kegitan penyuluhan yang diadakan di
luar kampung naga atas dasar undangan yang diberikan oleh
pemerintah setempat. Sedangkan kegiatan penyuluhan di kampung
naga sendiri pernah dilaksanakan namun belum begitu diintensifkan.
Kegiatan penyuluhan yang pernah diterima masyarakat kampung naga
cukup beragam baik penyuluhan pertanian, penyuluhan mengenai
kerajinan khususnya dibidang pengelolaannya, juga termasuk
penyuluhan keluarga berencana. Walaupun kegiatan penyuluhan
pernah diikuti oleh masayarakat kampung naga namun segala macam
bentuk inovasi yang dtawarkan oleh pemerintah belum begitu diminati
oleh masyarakat kampung naga sendiri, karena mereka masih percaya
akan pengetahuan-pengetahuan yang diperoleh dari leluhur mereka.
Keberadaan televisi, radio dan hp sebagai bentuk inovasi yang berasal
dari luar sudah mulai bisa diterima oleh masyarakat kampung naga
namun dengan ketentuan-ketentuan yang telah disepakati. Televis yang
dianggap sebagai salah bentuk inovasi dalam informasi sudah diterima
dengan ketentuan hanya menggunakan televisi hitam putih. Hal ini
mungkin dikarenakan ketakutan masyarakat kampung naga akan
dampak dan pengaruh dari televisi itu sendiri terhadap sistem sosial
dan tatakelakuan yang dipelihara oleh masyarakat kampung naga.
Begitu juga dengan keberadaan radio dan hp yang sudah digunakan oleh
sebagian dari masyarakat kampung naga sendiri sebagai media
informasi. Berdasarkan keberadaan ketiga media informasi tersbut ini
menandakan bahwa akses informasi yang diterima oleh masyarakat
kampung naga sudah terbuka terhadap dunia luar.
Pengetahuan praktis yang diperoleh masyarakat kampung naga
tersebut diharapkan dapat membantu masayarakat dalam
meningkatkan produksi panen. Kegiatan penyuluhan pertanian yang
diikuti tidak semata-semata ditolak oleh masayarakat kampung naga,
namun akan diterima dengan ketentuan-ketentuan yang ada. Misalnya
pengenalan bibit padi dimana bibit tersebut dapat meningkatkan
produsi dua kali lipat dari bibit padi yang biasanya mereka gunakan.
Produksi padi pada masayarakat kampung naga masih bersifat
subsisten artinya mereka menanam padi hanya untuk kebutuhan
keluarga mereka dan tidak untuk dijual. Sehingga bibit padi leluhur
mereka masih tetap digunakan karena dirasakan lebih enak dan lebih
terasa bagi lidah mereka yang sudah mengkonsumsi padi tersebut sejak
dari leluhur mereka dahulu. Kegiatan penyuluhan dan transfer ilmu dari
luar juga diharapkan dapat meningkatkan kualitas produk kerajinan
tangan dari masyarakat kampung naga.
Untuk memenuhi harapan tersebut masyarakat kampung naga telah
memiliki ketentuan-ketentuan dan kesepakatan-kesepakatan antara
lain mengikuti kegiatan pelatihan dan penyuluhan yang diadakan di
luar. Selain itu tergabungnya masyarakat ke dalam kelompok kemitraan
dengan maksud terjadinya transfer ilmu baik secara lokal maupun
terhadap dunia luar. Barter produk kerajinan tangan dengan dunia luar
juga diharapkan dapat membantu dalam proses pemasaran produk
kerajinan lokal.

Mekanisme Penyerapan/Penolakan Inovasi


Mekanisme penyerapan atau penolokan terhadap suatu inovasi akan
diterima atau ditolak melalui sebuah proses, yang pada ahirnya sebuah
inovasi akan diterima atau ditolak juga oleh setiap individu. Proses yang
dimaksud disini adalah sebuah proses musyawarah yang dilakukan
dalam kesepuhan. Melalui kesepuhan yang dihadiri oleh pemuka adat
yaitu kuncen, punduh, palebe serta masyarakat yang mewakili maka
akan ditentukan suatu inovasi akan diterima atau ditolak. Suatu inovasi
akan diterima apabila inovasi tersebut sesuai dengan karakteristik lokal
dan budaya lokal. Begitupun sebaliknya apabila inovasi yang
diperkenalkan tidak sesuai dengan karakteristik dan budaya lokal atau
bahkan dapat mengancam kelestarian budaya dan lingkungan alam
maka inovasi tersebut akan ditolak.
Ketentuan dan kesepakatan diterima atau ditolaknya suatu inivasi akan
terlihat pada inovasi itu sendiri, yaitu apakah inovasi tersebut dapat
menjaga kesederhanaan yang ada di masyarakat kampung naga serta
dapat mengatasi tingkat kecemburuan sosial. Inovasi yang diterima
berdasarkan kesepakatan kesepuhan akan sesuai dengan adat istiadat
dan kebiasaan secara turun temurun. Inovasi akan diterima secara
individu berdasarkan pengalaman lalu. Inovasi yang diterima
berdasarkan kesepakatan bersama akan dimaknai oleh masing-masing
individu, yang pada ahirnya individu akan memutuskan secara pribadi
terhadap inovasi yang dilihatnya.

Mekanisme Pelestarian Pengetahuan Lokal


Dalam upaya pelestarian pengetahuan lokal keberadaan lembaga formal
dan nonformal, serta adanya kesepuhan memiliki peran yang sangat
berarti. Tanggung jawab dari masing-masing individu sebagai pewaris
dari tata nilai dan budaya leluhur juga tidak kalah pentingnya. Lembaga
formal dalam hal ini RT dan nonformal dalam hal ini adalah pakuncen,
punduh dan palebe sebagai wadah aspirasi dan menjaga tata nilai serta
norma yang ada diharapkan dapat menampung dan memusyawarahkan
serta memutuskan permasalahan dan segala sesuatu yang berhubungan
dengan kelestarian pengetahuan lokal. Kesepuhan yang merupakan
wadah pertemuan dalam menjaga kelestarian nilai-nilai budaya harus
bisa menjadi wadah utama dimana mekanisme yang dilaksanakan
dengan mengadakan pertemua-pertemuan pada waktu-waktu yang
ditentukan oleh pakuncen atau kepala adat. Individu sebagai inti utama
dalam mewarisi nilai-nilai serta adat istiadat dalam hal ini adalah anak
muda harus siap dalam menerima nilai-nilai dan adat isiadat leluhur
tersebut. Pada kondisi ini orang tua sejak dini sudah menanamkan nilai-
nilai kepada yang muda sehingga pada waktunya nanti mereka selalu
siap kapanpun nilai-nilai serta ada istiadat itu diwariskan.
Good Practice
Meskipun inovasi dari luar sistem sosial relatif terbatas yang diadopsi,
namun dalam memenuhi kebutuhannya masyarakat juga melakukan
inovasi dalam bentuk prakter-praktek yang dinilai baik (good practices)
sebagai hasil belajar sesama petani, dan alam lingkungannya
diantaranya :
 Pembuatan pupuk organik dengan cara menyimpan kotoran ternak
yang dicampur dengan bahan organik lainnya (daun-daunan, sampah,
batang pisang, gabah, abu tungku dll) selama 6 bulan, selanjutnya
dimanfaatkan sebagai pupuk pada tanaman padi atau kebun
Pelestarian benih padi dengan cara melakukan seleksi mulai padi
yang baik untuk dijadikan benih (pengetahuan turun-temurun)
berdasarkan kriteria tertentu. Jenis varietas yang diseleksi adalah lokal
putih (locan, sari kuning dan jaulang) dan lokal merah (gantan dan
cerai);
Pemanfaatan jerami padi sebagai pupuk organik yang dilakukan
dengan cara menebang batang padi setelah panen, kemudian disimpan
dilahan agar terjadi pembusukan (dekomposisi);
Pemanfaatan daun albasia (sengon), daun bambu atau singkong kupas
bakar, sebagai obat pada ternak kambing yang menceret (diare).
Pemanfaatan daun pinang sebagai obat pada ternak kambing yang
menderita penyakit kudis.
Pemanfaatan sari buah pinang sebagai obat pada ternak kambing dan
ayam yang menderita penyakit cacingan.

Lesson Learned
Pada masayarakat kampung naga ada upaya untuk mempertahankan
system norma dan tata nilai local yang selalu dihubungkan dengan
keberadaan kelestarian sumberdaya alam. System nilai yang dianut
akan tetap menjaga kesederhanaan dan tingkat kecemburuan social
pada masyarakat kampung naga. System nilai yang dianut dinilai harus
selaras dengan keadaan alam, dimana keadaan alam yang seimbang
nyaman dan tentram juga harus diikuti oleh nilai-nilai serta tata
kelakuan masyarakatnya. Salah satu system norma yang masih dipegang
oleh masyarakat kampung naga adalah gotong royong. Dalam gotong
royong tersimpan nilai-nilai luhur dimana kederhanaan, kebersamaan,
serta tenggang rasa yang sangat kuat diantara warganya.
Upaya pelestarian terhadap nilai-nilai serta norma-norma yang dianut
telah memiliki kelembagaan tersendiri. Kelembagaan nonformal
memiliki peran yang sangat penting dalam hal pelestarian dan
mempertahankan nilai-nilai yang ada. Kuncen sebagai kepala adat,
punduh sebagai pengatur tata kelakuan serta palebe sebagai pengurus
kematian seseorang, kesemuanya berjalan seiring sejalan bersama sama
dalam suatu kelembagaan yang disebut kesepuhan. Ketiganya memiliki
peran masing-masing dalam memberikan sanksi atas pelanggaran-
pelanggaran terhadap system norma atau tata nilai yang berlaku dalam
masyarakat. Upaya penyaringan terhap segala inovasi juga tidak lepas
dari keberadaan kesepuhan. Dimana diterima atau ditolaknya suatu
inovasi pada dasarnya akan ditentukan berdsarkan keputusan
kesepuhan. Diterimanya suatu inovasi apabila novasi tersebut sesuai
dengan karakteristik local begitupun sebaliknya.
Nilai/norma yang dipegang ini untuk sekarang sangat bermanfaat
karena dengan adanya larangan tersebut maka kelestarian hutan pada
tempat-tempat yang dilarang tetap terjaga. Apalagi yang berada dekat
aliran sungai, dengan adanya larangan tersebut manfaatnya adalah
tidak menyebabkan erosi dan menahan arus aliran sungai tetap pada
alurnya. Karena letak sungai yang sangat dekat dengan perkampungan
maka, sesungguhnya larangan tersebut dimaksudkan agar tanaman
yang ada tidak ditebang yang dapat menyebabkan hutan gundul dan
mempermudah terjadi erosi dan banjir besar yang dapat berakibat pada
kerusakan lingkungan terutama perkampungan mereka.
Pemahaman individu atau masyarakat terhadap penciptaan keselarasan
dalam lingkungan hidupnya merupakan referensi dalam mewujudkan
tingkah laku (perilaku) dalam berinteraksi, baik terhadap alam maupun
hubungan sosial. Pengetahuan terhadap aturan, nilai, dan norma
merupakan suatu kesatuan dalam membentuk suatu tatanan, tentang
cara-cara berbuat baik (etika) dalam berinteraksi terhadap alam
sekitarnya. Orang yang bertindak tidak sesuai dengan kebiasaan umum
berdasarkan aturan, norma dan nilai yang diakui oleh komunitinya
dikatakan sebagai orang tidak baik atau dianggap melanggar etika atau
tidak berbudaya.
Kesadaran akan pentingnya keselarasan sebagai kebutuhan rohani dan
pragmatis, serta pemahaman etika dalam berperilaku membentuk suatu
sinergi dalam membangun peradaban (budaya) yang spesifik.
Pemahaman pemikiran terhadap lingkungan yang terbatas, serta etika
sosial yang harus dipatuhi, mendorong masyarakat untuk membentuk
pola-pola perilaku dengan cara bertindak yang sama dari orang-orang
yang hidup bersama dalam memanfaatkan sumberdaya guna
melangsungkan kehidupannya dan menempatkan diri dalam suatu
eksistensi tertentu.
Tradisi merupakan pewarisan atau penerusan norma-norma, adat
istiadat dan kaidah-kaidah yang dapat dinyatakan sebagai “inti
kebudayaan” (culture core) termasuk sistem nilai yang menunjukkan
tata-tertib hubungan timbal balik yang ada dalam masyarakat. Ketaatan
masyarakat terhadap tradisi membentuk pola perilaku secara mandiri,
demikian juga terhadap etika sosial membentuk cara bertindak yang
relatif sama diantara sesama warga misalnya bangunan rumah (model,
warna dan bahannya), membuat kerajinan tangan (model, motif dan
bahannya), berusahatani padi (bibit dan teknik budidayanya), beternak
kambing (bibit dan teknik pemeliharaannya), memelihara ikan air
tawar (bibit dan cara budidayanya), dan membuat pupuk organik
(bahan baku dan komposisinya). Kesemua aktivitas harian di lakoni
dengan satu pola yaitu pola tradisi untuk menjaga keselarasan agar
tidak tercipta persaingan antara sesama anggota masyarakat,
selanjutnya dibungkus atau dipererat dengan jiwa kegotong-royongan
yang merupakan bentuk saling menolong dan saling berbagi antar
sesame
. E. Sistem Adat Istiadat Masyarakat Kampung Naga

Masyarakat Kampung Naga yang hidup dalam keharmonisasian


dengan alam, menjadikan akidah agama dan adat istiadat sebagai
perisai dalam menjalankan kehidupan sehari-harinya. Kultur budaya
dan istiadat yang kental di Kampung Naga menjadikan koleksi budaya
yang tak ternilai harganya bagi khasanah pariwisata Indonesia.
Beberapa Upacara Adat unik dan menarik digelar setiap tahunnya.
Berikut adalah Upacara Adat yang masyarakat Kampung Naga sering
selenggarakan:

1. Menyepi

Upacara menyepi dilakukan oleh masyarakat Kampung Naga pada


hari selasa, rabu, dan hari sabtu. Upacara ini menurut pandangan
masyarakat Kampung Naga sangat penting dan wajib dilaksanakan,
tanpa kecuali baik laki-laki maupun perempuan. Oleh sebab itu jika ada
upacara tersebut di undurkan atau dipercepat waktu pelaksanaannya.
Pelaksanaan upacara menyepi diserahkan pada masing-masing orang,
karena pada dasarnya merupakan usaha menghindari pembicaraan
tentang segala sesuatu yang berkaitan dengan adat istiadat. Melihat
kepatuhan warga Naga terhadap aturan adat, selain karena
penghormatan kepada leluhurnya juga untuk menjaga amanat dan
wasiat yang bila dilanggar dikuatirkan akan menimbulkan malapetaka.

2. Hajat Sasih
Upacara Hajat Sasih dilaksanakan oleh seluruh warga adat Sa-Naga,
baik yang bertempat tinggal di Kampung Naga maupun di luar Kampung
Naga. Maksud dan tujuan dari upacara ini adalah untuk memohon
berkah dan keselamatan kepada leluhur Kampung Naga, Eyang
Singaparna serta menyatakan rasa syukur kepada Tuhan yang mahaesa
atas segala nikmat yang telah diberikannya kepada warga sebagai umat-
Nya.

Upacara Hajat Sasih diselenggarakan pada bulan-bulan dengan


tanggal-tanggal sebagai berikut:

a. Bulan Muharam (Muharram) pada tanggal 26, 27, 28

b. Bulan Maulud (Rabiul Awal) pada tanggal 12, 13, 14

c. Bulan Rewah (Sya’ban) pada tanggal 16, 17, 18

d. Bulan Syawal (Syawal) pada tanggal 14, 15, 16

e. Bulan Rayagung (Dzulkaidah) pada tanggal 10, 11, 12

3. Perkawinan

Upacara perkawinan bagi masyarakat Kampung Naga adalah


upacara yang dilakukan setelah selesainya akad nikah. adapun tahap-
tahap upacara tersebut adalah sebagai berikut: upacara sawer, nincak
endog (menginjak telur), buka pintu, ngariung (berkumpul), ngampar
(berhamparan), dan diakhiri dengan munjungan.
2.3. SOSIAL, EKONOMI DAN BUDAYA 2.3.1. Jumlah Penduduk Penduduk
yang menghuni kampung ini sekarang berjumlah 314 orang yang terbagi
dalam 109 Kepala Keluarga (KK). 2.3.2. Sistem Pendidikan ( Ilmu
Pengetahuan ) Tingkat Pendidikan masyarakat Kampung Naga
mayoritas hanya mencapai jenjang pendidikan sekolah dasar, tapi
adapula yang melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi
itupun hanya minoritas. Kebanyakan pola pikirnya masih pendek
sehingga mereka pikir bahwa buat apa sekolah tinggi-tinggi kalau
akhirnya pulang kampung juga dan mereka juga terbentur oleh biaya
apabila ingin melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi. Dari anggapan
tersebut orang tua menganggap lebih baik belajar dari pengalaman dan
dari alam atau kumpulan-kumpulan yang biasa dilakukan di mesjid atau
aula. 2.3.3. Sistem Kemasyarakatan Kemasyarakatan di Kampung Naga
masih sangat lekat dengan budaya gotong royong, hormat menghormati,
dan mengutamakan kepentingan golongan diatas kepentingan pribadi.
Lebih jauh menilik pola hidup dan kepemimpinan Kampung Naga, kita
akan mendapatkan dua pemimpin dengan tugasnya masing – masing
yaitu pemerintahan desa dan pemimpin adat atau yang oleh masyarakat
Kampung Naga disebut Kuncen. Peran keduanya saling bersinergi satu
sama lain untuk tujuan keharmonisan warga Sanaga. Sang Kuncen yang
meski begitu berkuasa dalam hal adapt istiadat jika berhubungan
dengan system pemerintahan desa maka harus taat dan patuh pada RT
atau RW, begitupun sebaliknya RT atau RW haruslah taat pada sang
Kuncen apabila berurusan dengan adapt istiadat dan kehidupan rohani
penduduk Kampung Naga. Ø Lembaga Pemerintahan Sistem
kemasyarakatan disini lebih terfokus kepada sistem atau lembaga-
lembaga pemerintahan yang ada di Kampung Naga. Ada dua lembaga
yaitu : § Formal, yang terdiri dari: · RT · RK / RW § Non formal · Kudus (
Kepala Dusun ) Ø Lembaga Adat Biasanya pemegang jabatan di lembaga
adat itu seumur hidup dan apabila pemegang adat tersrbut meninggal
maka jabatan tersebut akan diwariskan kepada keturunanya. Lembaga
adat terdiri dari: · Kuncen dijabat oleh Bapak Ade Suherlin yang
bertugas sebagai pemangku adat dan memimpin upacara adat dalam
berziarah. · Punduh dijabat oleh Bapak Ma’mun · Lebe dijabat oleh
Bapak Ateng yang bertugas mengurusi jenazah dari awal sampai akhir
sesuai dengan syariat Islam. 2.3.4. Sistem Perekonomian Masyarakat
Kampung Naga Dalam sistem perekonomian kami fokuskan kepada
mata pencaharian dimana mata pencaharian warga Kampung Naga
bermacam-macam yaitu: v Bertani, menanam padi umur 6 bulan ( 1
tahun 2 kali panen) untuk awal penanaman dimualai pada bulan janli
(januari dan juli). Saat penanaman para petani menggunakan 2 pupuk,
yaitu pupuk organik dan pupuk kimia. v Membuat kerajianan tangan
untuk penambahan hasil produksi. v Ternak ayam, ikan, biri-biri,
kambing. v Jualan makanan ringan. Namun untuk sekarang karena
sudah tersentuh arus modernisasi sebagian masyarakat Kampung Naga
ada yang merantau ke Jakarta dan Bali menjadi karyawan dan pedagang.
Kadang mereka kembali setelah beberapa tahun dirantau atau pada saat
idul fitri. 2.3.5. Kesenian Di bidang kesenian masyarakat Kampung Naga
mempunyai pantangan atau tabu mengadakan pertunjukan jenis
kesenian dari luar Kampung Naga seperti: wayang golek, dangdut,
pencak silat, dan kesenian yang lain yang mempergunakan waditra
goong. Sedangkan kesenian yang merupakan warisan leluhur
masyarakat Kampung Naga adalah terbangan, angklung, beluk, dan
rengkong. Kesenian beluk kini sudah jarang dilakukan, sedangkan
kesenian rengkong sudah tidak dikenal lagi terutama oleh kalangan
generasi muda. Namun bagi masyarakat Kampung Naga yang hendak
menonton kesenian wayang, pencak silat, dan sebagainya
diperbolehkan kesenian tersebut dipertunjukan di luar wilayah
Kampung Naga. Terdapat tiga pasangan kesenian di Kampung Naga
diantaranya : Terebang Gembrung yang dimainkan oleh dua orang
sampai tidak terbatas biasanya ini dilaksanakan pada waktu Takbiran
Idul Fitri dan Idul Adha serta kemerdekaan RI. Alat ini terbuat dari kayu.
Terebang Sejat, dimainkan oleh 6 orang dan dilaksanakan pada waktu
upacara pernikahan atau khitanan massal. Angklung, dimainkan oleh 15
orang dan dilaksanakan pada waktu khitanan massal

Copy and WIN : http://ow.ly/KNICZKATA PENGANTAR Dengan menyebut


nama Allah SWT yang maha pengasih lagi maha penyayang. Segala puji
dan syukur bagi Allah SWT yang dengan ridho-Nya kami dapat
menyelesaikan makalah tentang “Kebudayaan Masyarakat Kampung
Naga” ini dengan lancar. Sholawat serta salam kami haturkan kepada
junjungan kita Nabi Besar Muhammad saw dan untuk para keluarga,
sahabat dan pengikut - pengikutnya yang setia mendampingi Beliau.
Kami menyadari bahwa untuk mencapai hasil yang memuaskan tidaklah
mudah, karena keterbatasan kemampuan penulis baik dari segi ilmu
maupun literatur, sehingga makalah ini masih terdapat banyak
kekurangan. Oleh karena itu saran dan kritik yang bersifat membangun,
kami sangat harapkan untuk menuju ke arah penyempurnaan makalah
ini. Makalah ini dapat terselesaikan berkat bantuan dari berbagai pihak,
maka sepatutnya kami menghaturkan terima kasih dan penghargaan
yang setinggi-tingginya, kepada: 1. Ibu Ari selaku dosen Mata Kuliah
Sosiologi 2. Kedua orang tua dan keluarga saya yang memberi motivasi,
dorongan, semangat dan do’a yang tidak henti-hentinya. 3. Rekan -
rekan seangkatan atas segala dorongan, saran dan komentar yang
diberikan selama pencarian referensi makalah ini hingga penyelesaian
makalah ini. Bantuan dan pengorbanan semua pihak semoga mendapat
pahala yang setimpal dari Allah SWT. Semoga makalah ini bisa
bermanfaat dalam mengembangkan menambah wawasan dan
pengetahuan kami. Tidak gading yang tak retak, demikian pula laporan
makalah ini. Oleh karena itu saran dan kritik yang membangun tetap
kami nantikan dan kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini.
Serang, Desember 2013 Penulis

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR……………………………………………………. Ii
DAFTAR ISI………………………………………………………………… iv
BAB I. PENDAHULUAN 1.1.
Latar Belakang………...…………………………………………...…….... 1 1.2.
Perumusan Masalah…………………….…………………………………. 1 1.3.
Tujuan Penulisan………………………………………………………….. 1 1.4.
Manfaat Penulisan…………………………………………………..……. 2
BAB II. ISI 2.1. Sejarah Kampung Naga……………………………………..……………. 3
2.2. Penataan Lingkungan Kampung Naga…………………………………… 4 2.3.
Sosial, Ekonomi Dan Budaya…..………………………………………… 9
BAB III. KESIMPULAN 3.1.
Kesimpulan………………………………………………………………. 14 3.2.
Saran……………………………………………………………………... 14
LAMPIRAN.................................................................................................. 15

Copy and WIN : http://ow.ly/KNICZ

Anda mungkin juga menyukai