PERANCANGAN KOTA
Di Susun Oleh :
KELOMPOK
BAB I PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
Sarana jalur pejalan kaki atau pedestarian bagi pejalan kaki semakin
dibutuhkan untuk mengatisipasi pergerakan manusia dalam menjalankan aktifitasnya
jalan dan jalur pejalan kaki dimana seharusnya jalur pejalan kaki dapat menampung
aktifitas masyarakat disekitarnya, disamping mempunyai fungsi utama sebagai
penampung arus lalu–lintas jalur pejalan kaki atau pedestrian juga mempunyai fungsi
lain yaitu sebagai wadah yang mempu mewadahi aktifitas yang ada perkotaan itu
sendiri yaitu ruang terbuka untuk melakukan kontak sosial, rekreasi bahkan
perdagangan di ruang terbuka (Budiharjo,1997) Pedestrian yang nyaman menyangkut
diantaranya keamanan dimana keamanan pejalan kaki dari kerawanan lalu lintas
dimana pejalan kaki dapat menggunakan pedestrian tanpa khawatir kecelakan lalu –
lintas, disamping keamanan dari kecelakaan tapi juga aman dari kejahatan baik
langsung maupun tidak langsung,Variabel lingkungan yaitu berupa suara menggangu,
polusi kesesakan dan kerusakan material dari pedestarian itu sendiri juga
mempengaruhi kenyamanan pejalan kaki,Layanan yang dimaksud disini adalah
ketersedian kafe, restoran, temapt duduk hal ini untuk mendukung relaksasi dari
aktifitas berjalan kaki,Vegetasi dimana ketersediaan pohon peneduh yang diatur
sedemikian rupa juga merupakan salah satu salah satu aspek kenyamanan.
1.2 Tujuan
1.3 Sasaran
KAJIAN LITERATUR
Analisis kebutuhan ruang terdiri dari analisis pengguna dan aktivitas, sirkulasi
pengguna, organisasi ruang, dan besaran ruang. Masing-masing analisis ini
merupakan sebuah proses yang sistematis dan berurutan.
2. Analisis Topografi
3. Analisis Lingkungan
4. Analisis Aksesibilitas
5. Analisis Kebisingan
7. Analisis View
9. Analisis Drainase
Kriteria tak terukur adalah kriteria yang tidak dapat diukur secara kuantitatif,
tetapi dapat memberi persepsi yang sama bagi pengamat yang melihatnya. Oleh
karena itu, kriteria tak terukur lebih menekankan pada aspek kualitatif di lapangan.
Kriteria tak terukur terdiri atas enam konsep, antara lain:
1. Pencapaian (Access)
Merupakan pemberian keamanan, kenyamanan, kemudahan bagi para
pengguna untuk mencapai tujuan dengan sarana dan prasarana transportasi
yang mendukung kemudahan aksesbilitas yang direncanakan dan dirancang
sesuai kebutuhan pengguna. Menurut Lynch, 1976 fasilitas yntuk aksesbilitas
hendaknya dalam perencanaan dan perancangannya memperhatikan tatanan,
letak, dimensi, dan sirkulasi.
2. Kecocokan (Compatible)
Aspek-aspek yang berkaitan dengan kepadatan, lokasi, skala maupun
bentuk masa bangunan.
3. Pemandangan (view)
Merupakan aspek yang berkaitan dengan suatu kejelasan bentuk yang
terkait dengan orientasi manusia terhadap bangunan. Nilai visual yang
ditimbulkan pada view dapat diperoleh dari skala dan pola, besaran tinggi, dan
tekstur. Selain itu, view tersebut juga dapat berupa landamark.
4. Identitas (Identitiy)
Merupakan nilai yang dibuat atau dimunculkan oleh objek
(bangunan/manusia) sehingga dapat ditangkap dan dikenali oleh indera manusia
(Darmawan, 2003).
5. Rasa (Sense)
Merupakan pemberian kesan atau suasana yang ditimbulkan. Sense
terkadang merupakan simbol karakter dan berhubungan dengan aspek ragam
gaya yang disampaikan oleh individu/kelompok bangunan atau kawasan
(Lynch.K, 1976;Steele.F, 1981).
6. Kenyamanan (Inability)
Merupakan rasa nyaman untuk tinggal atau beraktivitas pada suatu
kawasan atau obyek.
Kriteria terukur adalah kriteria dasar perancangan kota yang dapat diukur
secara kuantitatif, yang diperoleh dari pertimbangan-pertimbangan faktor fisik
dasar, faktor ekonomi maupun faktor budaya. Kriteria terukur ini dapat dibagi
menjadi: kriteria lingkungan alami dan kriteria bentuk, massa dan intensitas bangunan
(Hamid Shirvani, 1986, hal.133).
Pengukuran ini terutama bentuk fisiknya meliputi; tinggi, panjang, lebar dan
ditujukan untuk mendapat ukuran tinggi bangunan, jarak bangunan, ruang terbuka
dan sebagainya. Pertimbangan terhadap Floor Area Ratio (FAR) atau Floor Space
Index (FSI) FAR model Amerika (De Chiara and Koppleman, 1982, hal.594) maupun FSI
model Inggris (Keeble, 1952, hal.8-3) mempunyai prinsip yang sama yakni:
“Perbandingan Total Luas Lantai dengan Total Luas Lahan atau Total Luas Lantai
dibagi Total Luas Lahan”.
Keterangan:
Land Use Intensity (LUI), adalah sistem dengan skala angka dirancang untuk
mengukur intensitas penggunaan lahan dengan mengin-terpretasikan Luas Lantai
dengan Luas Area. (Hanke, 1969, hal.8) Prinsip LUI merupakan perluasan FAR/FSI,
karena didalamnya terdapat perbandingan ruang parkir, open-space, ruang
rekreasi, ruang simpan mobil terhadap Luas Lantai seluruhnya, diperoleh melalui
rumus:
Lebar GSB biasanya dihitung seperempat dari lebar Daerah Milik Jalan (DMJ)
dan ditarik dari batas garis Sempadan pagar (GSP). Selubung bangunan (building
envelope) merupakan sempadan bangunan tiga dimensi yang membarasi
pemunduran bangunan dibagian depan, samping, belakang dan atas. Wujud selubung
bangunan adalah ruang imajiner yang di bentuk oleh kemiringan bidang terbuka
langit (Sky Exposure Plane/SEP) yang diukur dari titik tertentu pada permukaan jalan
yang mengelilinginya.
a. Dimensi Tapak
Semakin besar dimensi tapak, maka selubung bangunan pun semakin
tinggi. Ada beberapa umus yang dapat digunakan, dan di setiap kota
penggunaan rumus-rumus ini berbeda-beda. Tinggi bangunan diklasifikasikan
menjadi tiga kategori:
Bangunan rendah : tinggi bangunan hingga 4 lantai
Bangunan tinggi I : tinggi bangunan 5-8 lantai
Bangunan tinggi II : tinggi bangunan lebih dari 8 lantai
b. Dimensi Jalan
Sudut kemiringan SEP dihitung terhadap titik tertentu pada
permukaan jalan. Semakin lebar ruang milik jalan, puncak selubung bangunan
juga semakin tinggi.
Pada Rumija yang memiliki lebar hingga 20 meter, titik sudut SEP
ditetapkan setengah lebar Rumija.
Pada Rumija yang memiliki lebar lebih dari 20 meter, titik sudut SEP
ditetapkan setengah dari Rumija yang lebarnya sama dengan 20
meter.
c. Garis Sempadan Bangunan (GSB)
Posisi GSB menentukan tinggi podium bangunan. Jika GSB semakin
besar, podium akan semakin tinggi. Tinggi minimum podium terdapat pada
bangunan yang memiliki arcade atau overdek trotoar dan bangunan salah
satunya dengan menggunakan rumus.
Peraturan
Perda ( Peraturan Daerah ), Peraturan Walikota, arahan rencana
tata ruang ( Purwadio : 2006 ), digunakan sebagai acuan untuk
membatasi ketinggian bangunan gedung yang boleh dibangun.
Peraturan dan rencana tata ruang merupakan pembatasan
pembangunan ke arah vertical, bersifat formal yang
implementasinya dituangkan dalam Surat Keterangan Rencana
Kota ( SKRK ) dan IMB ( Izin Mendirikan Bangunan ). Hal-hal yang
diatur adalah : KLB, tinggi bangunan dan jenis penggunaan lahan.
Ketersediaan Lahan
Ketersediaan lahan menentukan ketinggian bangunan.
Metode untuk menenetukan tinggi bangunan adalah menggunakan
ALO ( De Chiara dan Koppleman : 1975 ) dan SEP ( Shirvani : 1985 ).
Lintasan Terbang Pesawat
Lintasan terbang pesawat merupakan salah satu factor yang
membatasi ketinggian bangunan pada kota-kota yang memiliki
bandara.
Lintasan terbang pesawat membatasi ketinggian bangunan yang
mempunyai jarak sampai 50.000 feet ( 15,20 km ) dari runway
berdasarkan klasifikasi :
Bangunan yang berada pada zona inner horizontal surface dibatasi
dengan ketinggian 150 feet ( 45,50 meter ).
Bangunan yang terletak pada outer horizontal surface dibatasi
dengan ketinggian 500 feet ( 151,50 meter ).
Semakin dekat dengan runway ketinggian bangunan semakin
rendah.
Bangkitan dan tarikan lalu-lintas
Intensitas pemanfaatn ruang dimana salah satu unsurnya adalah
koefisien lantai bangunan ( KLB ) memounyai hubungan dengan
bangkitan dan tarika lalu lintas.
Bangunan yang memounyai KLB tinggi atau bangunan tinggi
menimbulkan bangkitan dan tarikan lalu lintas lebih besar
dibandingkan dengan bangunan rendah yang mempunyai KDB
sama, karena bangunan yang lebih tinggi mempunyai luas lantai
bangunan yang lebih besar dibandingkan dengan bangunan
rendah.
Besar kecilnya bangkitan dan tarikan lalu lintas oleh bangunan
ditentukan oleh jenis kegiatan dan luas total bangunan.
Teori mengenai citra place sering disebut sebagai mileston atau suatu teori
penting dalam perancangan kota Zahnd (1999: 154). Sejak tahun 1960-an, teori citra
kota mengarahkan pandangan perancangan kota kearah yang memperhatikan
pikiran terhadap kota dari orang yang hidup di dalamnya. Teori-teori berikutnya
sangat dipengaruhi oleh teori tokoh yang diformulasikan oleh Kevin Lynch, seorang
tokoh peneliti kota. Risetnya didasarkan pada citra mental jumlah penduduk dari kota
tersebut. Dalam risetnya, ia menemukan betapa pentingnya citra mental itu karena
citra yang jelas akan memberikan banyak hal yang sangat penting bagi
masyarakatnya, seperti kemampuan untuk berorientasi dengan mudah dan cepat
disertai perasaan nyaman karena tidak tersesat, identitas yang kuat terhadap suatu
tempat, dan keselarasan hubungan dengan tempat-tempat yang lain. Citra kota dapat
didefinisikan sebagai sebuah citra kota atau gambaran mental dari sebuah kota sesuai
dengan rata-rata pandangan masyarakat. Menurut (Zahnd, 1999: 157) Citra kota
terdiri dari lima elemen, yaitu:
a. Path
c. District (kawasan)
Sebuah kawasan (district) memiliki ciri khas yang mirip (bentuk, pola, dan
wujudnya) dan khas dalam batasnya, dimana orang harus mengakhiri atau
memulainya. District dalam kota dapat dapat dilihat sebagai referensi interior
maupun eksterior. District mempunyai identitas yang lebih baik jika batasnya
dibentuk dengan jelas tampilannya dan dapat dilihat homogen, serta sifat dan
posisinya jelas (introver/ekstrover atau berdiri sendiri atau dikaitkan dengan yang
lain).
d. Node
Node merupakan simpul atau lingkaran daerah strategis dimana arah atau
aktivitasnya saling bertemu dan dapat diubah kearah atau aktivitas lain, misalnya
persimpangan lalu lintas, stasiun, lapangan terbang, jembatan, kota secara
keseluruhan dalam skala makro besar, pasar, taman, square, dan
sebagaainya. Node adalah satu tempat dimana orang mempunyai perasaan “masuk”
dan “keluar” dalam tempat yang sama. Node mempunyai identitas yang lebih baik
jika tempatnya memiliki bentuk yang jelas (lebih mudah diganti), serta tampilan
berbeda dari lingkungan fungsi atau bentuk.
e. Landmark
Landmark merupakan titik referensi seperti elemen node, tetapi orang tidak
masuk ke dalamnya karena bisa dilihat dari luar letaknya. Landmark adalah elemen
eksternal dan merupakan bentuk visual yang menonjol dari kota, misalnya gunung
atau bukit, gedung tinggi, menara, tanda tinggi, tempat ibadah, pohon tingi, dan
sebagainya. Beberapa landmark letaknya dekat, sedangkan yang lain jauh sampai di
luar kota. Landmark juga mempunyai arti di daerah kecil dan dapat dilihat hanya di
daerah itu, sedangkan landmark lain mempunyai arti untuk keseluruhan kota dan bisa
dilihat dari mana-mana. Landmark adalah elemen penting dari bentuk kota karena
membantu orang untuk mengorientasikan diri di dalam kota dan membantu orang
mengenali suatu daerah landmark juga mempunyai identitas yang lebih baik jika
bentunya jelas dan unik dalam lingkungannya, dan ada sekuens dari
beberapa landmark (merasa nyaman dalam orientasi), serta ada perbedaan skala
masing-masing.
1) Ketinggian bangunan
2) Kepejalan bangunan
6) Langgam
7) Skala
8) Material
9) Tekstur
10) Warna
2) Pengaruh visual yang penting pada bentuk fisik dan susunan kota.
4) Punya nilai estetika dan daya tarik, dengan penyediaan sarana dan
prasarana jalan seperti: taman, bangku, tempat sampah, dan lainnya.
f. Aktivitas pendukung (Activity support)
g. Penanda (Signage)
2) Jarak dan ukuran harus memadahi dan diatur sedemikian rupa agar
menjaminjarak penglihatan dan menghindari kepadatan.
h. Preservasi
Urban Design Guidelines (UDGL) adalah panduan rancang kota yang disusun
dengan tujuan menjembatani hasil rancangan kedalam suatu panduan rancang yang
spesifik untuk menjamin kualitas pada tingkat yang mikro. UDGL adalah penghubung
antara kebijakan pemerintah dan perancangan fisik kawasan tertentu. UDGL
memberikan pengertian operasional yang jelas dan spesifik mengenai prinsip-prinsip
bentukan fisik pada kawasan tertentu yang dapat dibuat.
Sifat-sifat Panduan Rancang Kota (PRK) dapat dilihat di bawah ini (Shirvani,
1985:147):
Ruang lingkup panduan Rancang Kota juga menyangkut suatu tinjauan atas
Wilayah Tertentu Kota yaitu suatu bagian wilayah kota, kawasan atau lingkungan
yang ditetapkan sebagai bagian wilayah, kawasan dan/atau lingkungan yang
mempunyai nilai strategis yang diprioritaskan atau memerlukan kekhususan didalam
penataannya (overlay zone). Panduan Rancang Kota Umum yang menyangkut kaitan
wawasan kawasan perencanaan dengan Rencana Kota. Pada bagian ini dikemukakan
keterangan mengenai hubungan fungsi kegiatan yang direncanakan sebagaimana
yang ditetapkan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Kota (RUTR) dan Rencana Tata
Ruang Kawasan yang bersangkutan dengan kawasan perencanaan. Pada dasarnya
bagian ini mengandung diskripsi tentang latar belakang pembangunan kegiatan
fungsional tersebut serta kesesuaiannya dengan kebijaksanaan pembangunan kota di
dalam RTRWK serta peruntukannya dalam rencana kawasan. Diskripsi khusus tentang
kawasan fungsional yang direncanakan yang menyangkut :
1. Hubungan fungsional dan perwujudan antara ruang dan massa bangunan dan
bangun-bangunan kota, antar massa bangunan, antara massa bangunan dan
jaringan pergerakan serta antara massa bangunan dan kawasan sekitar.
2. Penataan keserasian antara pola kehidupan masyarakat dengan lingkungan
fisik serta kegiatan usahanya.
3. Fungsi dan tampilan unsur-unsur penunjang kawasan fungsional seperti
kelengkapan jalan, rambu-rambu dan petunjuk, papan reklame dan nama di
kawasan pusat kota, berbagai unsur tipikal kota, perletakan unsur-unsur dan
struktur bernilai sejarah dan seni, monumen dan tengeran, ornamen dan
pewarnaan kota (city colouring).
4. Penataan keserasian fungsi dengan unsur-unsur jaringan pergerakan yaitu
antara kepentingn pergerakan pejalan kaki, kendaraan bermotor dan
kendaraan tidak bermotor.
5. Penataan keserasian jaringan utilitas kota, jalur-jalur pemeliharaan dan
pengamanan.
6. Penataan keserasian penghijauan kota sebagai pengindah kota, sebagai unsur
preservasi atau unsur konservasi lingkungan.
7. Penciptaan unsur-unsur baik alami atau binaan yang akan menjadi identitas
kota.