Anda di halaman 1dari 56

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANGGAMUS

NOMOR : 16
TENTANG
RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN TANGGAMUS
TAHUN 2011–2031
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
BUPATI TANGGAMUS,

Menimbang : a. bahwa ruang merupakan komponen lingkungan hidup yang bersifat terbatas
dan tidak terbaharui, sehingga perlu dikelola secara bijaksana dan
dimanfaatkan secara berkelanjutan untuk kepentingan generasi sekarang
dan generasi yang akan datang;
b. bahwa perkembangan pembangunan khususnya pemanfaatan ruang di
wilayah Kabupaten Tanggamus diselenggarakan dalam rangka
meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui pemanfaatan potensi
sumberdaya alam, sumberdaya buatan, dan sumberdaya manusia dengan
tetap memperhatikan daya dukung, daya tampung, dan kelestarian
lingkungan hidup;
c. bahwa dalam rangka pelaksanaan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007
tentang Penataan Ruang, dan adanya pembentukan Kabupaten Pringsewu
yang merupakan pemekaran dari Kabupaten Tanggamus sehingga perlu
penataan ruang wilayah Kabupaten Tanggamus dalam satu kesatuan tata
lingkungan berlandasan kondisi fisk, kondisi sosial budaya, dan kondisi
sosial ekonomi melalui penetapan tata ruang wilayah dari tahun 2011-
2031;
d. bahwa Peraturan Daerah Kabupaten Tanggamus Nomor 04 Tahun 2005
tentang Penataan Ruang Wilayah Kabupaten Tanggamus, sudah tidak sesuai
lagi dengan perkembangan sehingga perlu dilakukan penyempurnaan;
e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana tercantum huruf a, huruf b,
huruf c, dan huruf d, maka perlu ditetapkan Peraturan Daerah tentang
Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Tanggamus Tahun 2011-2031;

Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-


Pokok Agraria (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1960 Nomor
104, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2043);
2. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya
Alam Hayati dan Ekosistemnya (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1990 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3419 );
3. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1997 tentang Pembentukan Kabupaten
Daerah Tingkat II Tulang Bawang dan Kabupaten Daerah Tingkat II
Tanggamus (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 2,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3667);
4. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 154, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3881);
5. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 167, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3888) sebagaimana diubah dengan
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2004 Nomor 86, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor

1
4412);
6. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 32, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4377 );
7. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 84, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4411);
8. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 118, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4433);
9. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844);
10. Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 132, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4444 );
11. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 66, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4723 );
12. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 68, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4725 );
13. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah
Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2007 Nomor 84, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4739);
14. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2007 tentang Energi (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 96, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4746);
15. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi
Publik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 61,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4846);
16. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 64, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4849);
17. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 69, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4851);
18. Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 177, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4925);
19. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan
Batubara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 4,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4959);
20. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwistaan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 11);
21. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan
Jalan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 96,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5025);
22. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 133, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5052);
23. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2009 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia

2
Nomor 5059);
24. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan
Pertanian Pangan Berkelanjutan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2009 Nomor 149, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5068);
25. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan
Permukiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 7,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5188);
26. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundanga-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011
Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234);
27. Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 1991 tentang Sungai (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1991 Nomor 44, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3445);
28. Peraturan Pemerintah Nomor 62 Tahun 1998 tentang Penyerahan Sebagian
Urusan Pemerintahan di Bidang Kehutanan Kepada Daerah (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 106, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3769);
29. Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 2001 tentang Kepelabuhanan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 127, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4145);
30. Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2004 tentang Penatagunaan Tanah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 45, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4385);
31. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 147, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4453);
32. Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2005 tentang Pengembangan Sistem
Penyediaan Air Minum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005
Nomor 33, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4490);
33. Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2006 tentang Irigasi (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 46, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4624);
34. Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2006 tentang Perubahan Kedua
Atas Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1989 Tentang Penyediaan dan
Pemanfaatan Tenaga Listrik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2006 Nomor 56, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4628);
35. Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2006 tentang Jalan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 86, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4655);
36. Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan
Penyusunan Rencana pengelolaan Hutan Serta Pemanfaatan Hutan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 22, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4696) sebagaimana diubah
dengan Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2008 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 16, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4814);
37. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan
Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan
Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4737);
38. Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan
Penanggulangan Bencana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2008 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4828 );
39. Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang
Wilayah Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008

3
Nomor 48, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4833);
40. Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2008 tentang Air Tanah (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 83, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4859);
41. Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sumber
Daya Air (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 82,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4858);
42. Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 2010 tentang Tata Cara Perubahan
Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2010 Nomor 15, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5097);
43. Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan
Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor
20, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5103)
44. Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2010 tentang Wilayah
Pertambangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor
28, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5110);
45. Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan
Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2010 Nomor 29, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5111);
46. Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 2010 tentang Bentuk Dan Tata Cara
Peran Masyarakat Dalam Penataan Ruang (Lembar Negara Republik
Indonesia Tahun 2010 Nomor 118, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5160);
47. Peraturan Presiden Nomor 36 tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi
Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum sebagaimana diubah
dengan Peraturan Presiden Nomor 65 tahun 2006 tentang Perubahan atas
Peraturan Presiden Nomor 36 tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi
Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum;
48. Permendagri Nomor 1 Tahun 2006 Tentang Pedoman Penegasan Batas
Daerah;
49. Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor : 256/Kpts-11/2000
tentang Penunjukan Kawasan Hutan dan Perairan di Wilayah Provinsi
Lampung + 1.004.735 (satu juta empat ribu tujuh ratus tiga puluh lima)
Hektar;
50. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 20/PRT/M/2007 tentang
Pedoman Teknik Analisis Aspek Fisik dan Lingkungan, Ekonomi, serta Sosial
Budaya dalam Penyusunan Rencana Tata Ruang;
51. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 41/PRT/M/2007 tentang
Pedoman Kriteria Teknis Kawasan Budidaya;
52. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 28 Tahun 2008 tentang Tata Cara
Evaluasi Rancangan Peraturan Daerah tentang Rencana Tata Ruang Daerah;
53. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 11 Tahun 2009 tentang
Pedoman Persetujuan Substansi Dalam Penetapan Rancangan Peraturan
Daerah tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabnpaten/Kota beserta
Rencana Rinciannya;
54. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 16 Tahun 2009 tentang
Pedoman Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten;
55. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 17 Tahun 2009 tentang
Pedoman Penentuan Daya Dukung Lingkungan Hidup Dalam Penataan
Ruang Wilayah;
56. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 50 Tahun 2009 tentang Pedoman
Koordianasi Penataan Ruang Daerah;
57. Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2010 tentang Rencana Tata Ruang
Wilayah Provinsi Lampung 2009-2029 (Lembaran Daerah Provinsi
Lampung Tahun 2010 Nomor 1, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten
Tanggamus Nomor 346);

4
Dengan Persetujuan Bersama

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH


KABUPATEN TANGGAMUS

Dan

BUPATI TANGGAMUS

MEMUTUSKAN :

Menetapkan : PERATURAN DAERAH TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH


KABUPATEN TANGGAMUS TAHUN 2011-2031

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan :


1. Pemerintah Pusat adalah Pemerintah.
2. Provinsi adalah Provinsi Lampung.
3. Pemerintah Provinsi adalah Pemerintah Provinsi Lampung.
4. Gubernur adalah Gubernur Provinsi Lampung
5. Kepala Daerah adalah Bupati Tanggamus yang dibantu oleh seorang Wakil Bupati
6. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya disingkat DPRD adalah Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Tanggamus.
7. Kabupaten adalah Kabupaten Tanggamus dalam wilayah Provinsi Lampung.
8. Pemerintah Kabupaten adalah Pemerintah Kabupaten Tanggamus yang berada di
wilayah Provinsi Lampung.
9. Ruang adalah wadah yang meliputi ruang daratan, ruang lautan, dan ruang udara,
sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk hidup Iainnya hidup dan
melakukan kegiatan serta memelihara kelangsungan hidupnya.
10. Tata Ruang adalah wujud struktur dan pola ruang.
11. Penataan ruang adalah proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan
pengendalian pemanfaatan ruang.
12. Rencana Tata Ruang adalah hasil perencanaan tata ruang.
13. Tujuan penataan ruang wilayah kabupaten adalah tujuan yang ditetapkan pemerintah
daerah kabupaten yang merupakan arahan perwujudan visi dan misi pembangunan
jangka panjang kabupaten pada aspek keruangan, yang pada dasarnya mendukung
terwujudnya ruang wilayah nasional yang aman, nyaman, produktif, dan
berkelanjutan berlandaskan Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional
14. Kebijakan penataan ruang wilayah kabupaten adalah arahan pengembangan wilayah
yang ditetapkan oleh pemerintah daerah kabupaten guna mencapai tujuan penataan
ruang wilayah kabupaten dalam kurun waktu 20 (dua puluh) tahun.
15. Strategi penataan ruang wilayah kabupaten adalah penjabaran kebijakan penataan
ruang ke dalam langkah-langkah pencapaian tindakan yang Iebih nyata yang menjadi
dasar dalam penyusunan rencana struktur dan pola ruang wilayah kabupaten.
16. Rencana struktur ruang wilayah kabupaten adalah rencana yang mencakup sistem
perkotaan wilayah kabupaten yang berkaitan dengan kawasan perdesaan dalam
wilayah pelayanannya dan jaringan prasarana wilayah kabupaten yang dikembangkan
untuk mengintegrasikan wilayah kabupaten selain untuk melayani kegiatan skala
kabupaten yang meliputi sistem jaringan transportasi, sistem jaringan energi dan
kelistrikan, sistem jaringan telekomunikasi, sistem jaringan sumber daya air, termasuk
seluruh daerah hulu bendungan atau waduk dari daerah aliran sungai, dan sistem
jaringan prasarana Iainnya.

5
17. Pusat Kegiatan Wilayah yang selanjutnya disebut PKW adalah kawasan perkotaan yang
berfungsi untuk melayani kegiatan skala provinsi atau beberapa kabupaten/kota.
18. Pusat Kegiatan Lokal yang selanjutnya disebut PKL adalah kawasan perkotaan yang
berfungsi untuk melayani kegiatan skala kabupaten atau beberapa kecamatan.
19. Pusat Kegiatan Lokal Promosi yang selanjutnya disebut PKLp adalahpusat kegiatan yang
dipromosikan untuk di kemudian hari ditetapkan sebagai PKL dengan persyaratan
pusat kegiatan tersebut merupakan kota-kota yang telah memenuhi persyaratan Pusat
Pelayanan Kawasan (PPK).
20. Pusat Pelayanan Kawasan yang selanjutnya disebut PPK adalah kawasan perkotaan
yang berfungsi untuk melayani kegiatan skala kecamatan atau beberapa desa.
21. Pusat Pelayanan Lingkungan yang selanjutnya disebut PPL adalah pusat permukiman
yang berfungsi untuk melayani kegiatan skala antar desa.
22. Rencana sistem jaringan prasarana wilayah kabupaten adalah rencana aringan
prasarana wilayah yang dikembangkan untuk mengintegrasikan wilayah kabupaten
dan untuk melayani kegiatan yang memiliki cakupan wilayah layanan prasarana skala
kabupaten.
23. Rencana sistem perkotaan di wilayah kabupaten adalah rencana susunan kawasan
perkotaan sebagai pusat kegiatan di dalam wilayah kabupaten yang menunjukkan
keterkaitan saat ini maupun rencana yang membentuk hirarki pelayanan dengan
cakupan dan dominasi fungsi tertentu dalam wilayah kabupaten.
24. Rencana pola ruang wilayah kabupaten adalah rencana distribusi peruntukan ruang
wilayah kabupaten yang meliputi peruntukan ruang untuk fungsi lindung dan budi
daya yang dituju sampai dengan akhir masa berlakunya RTRW kabupaten yang
memberikan gambaran pemanfaatan ruang wilayah kabupaten hingga 20 (dua puluh)
tahun mendatang.
25. Arahan pemanfaatan ruang wilayah kabupaten adalah arahan pengembangan wilayah
untuk mewujudkan struktur ruang dan pola ruang wilayah kabupaten sesuai dengan
RTRW kabupaten melalui penyusunan dan pelaksanaan program
penataan/pengembangan kabupaten beserta pembiayaannya, dalam suatu indikasi
program utama jangka menengah lima tahunan kabupaten yang berisi rencana
program utama, sumber pendanaan, instansi pelaksana, dan waktu pelaksanaan.
26. Indikasi program utama jangka menengah lima tahunan adalah petunjuk yang
memuat usulan program utama, lokasi, besaran, waktu pelaksanaan, sumber dana, dan
instansi pelaksana dalam rangka mewujudkan ruang kabupaten yang sesuai dengan
rencana tata ruang.
27. Ketentuan pengendalian pemanfaatan ruang wilayah kabupaten adalah - ketentuan
yang dibuat atau disusun dalam upaya mengendalikan pemanfaatan ruang wilayah
kabupaten agar sesuai dengan RTRW kabupaten yang berbentuk ketentuan umum
peraturan zonasi, ketentuan perizinan, ketentuan insentif dan disinsentif, serta arahan
sanksi untuk wilayah kabupaten.
28. Ketentuan umum peraturan zonasi sistem kabupaten adalah ketentuan umum yang
mengatur pemanfaatan ruang/penataan kabupaten dan unsur-unsur pengendalian
pemanfaatan ruang yang disusun untuk setiap kiasifikasi peruntukan/fungsi ruang
sesuai dengan RTRW kabupaten.
29. Ketentuan perizinan adalah ketentuan-ketentuan yang ditetapkan oleh pemerintah
daerah kabupaten sesuai kewenangannya yang harus dipenuhi oleh setiap pihak
sebelum pemanfaatan ruang, yang digunakan sebagai alat dalam melaksanakan
pembangunan keruangan yang tertib sesuai dengan rencana tata ruang yang telah
disusun dan ditetapkan.
30. Ketentuan insentif dan disinsentif adalah perangkat atau upaya untuk memberikan
imbalan terhadap pelaksanaan kegiatan yang sejalan dengan rencana tata ruang dan
jugs perangkat untuk mencegah, membatasi pertumbuhan, atau mengurangi kegiatan
yang tidak sejalan dengan rencana tata ruang.
31. Arahan sanksi adalah arahan untuk memberikan sanksi bagi siapa saja yang
melakukan pelanggaran pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan rencana tata
ruang yang berlaku.
32. Wilayah adalah ruang yang merupakan Pertamaan geografis beserta segenap unsur
terkait padanya yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif
dan atau aspek fungsional.
33. Kawasan adalah wilayah dengan fungsi utama lindung atau budidaya.

6
34. Kawasan Lindung adalah kawasan yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi
kelestarian Lingkungan hidup yang mencakup sumberdaya alam, sumberdaya buatan,
dan nilai sejarah serta budaya bangsa guna kepentingan pembangunan berkelanjutan.
35. Kawasan Hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh
pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap. Kawasan Hutan
Lindung adalah kawasan hutan yang memiliki sifat khas yang mampu memberikan
perlindungan kepada kawasan sekitarnya maupun bawahannya sebagai pengatur tata
air, pencegahan banjir dan erosi serta pemeliharaan kesuburan tanah.
36. Kawasan Budidaya adalah kawasan yang ditetapkan dengan fungsi utama untuk
dibudidayakan atas dasar kondisi dan potensi sumberdaya alam, sumberdaya manusia,
dan sumberdaya buatan.
37. Kawasan permukiman adalah bagian dari Lingkungan hidup di luar kawasan lindung,
baik berupa kawasan perkotaan maupun perdesaan yang berfungsi sebagai
Lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian dan tempat kegiatan yang
mendukung prikehidupan dan penghidupan.
38. Kawasan perdesaan adalah wilayah yang mempunyai kegiatan utama pertanian,
termasuk pengelolaan sumber daya alam dengan susunan fungsi kawasan sebagai
tempat permukiman perdesaan, pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan
kegiatan ekonomi.
39. Kawasan perkotaan adalah wilayah yang mempunyai kegiatan utama bukan pertanian
dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perkotaan, pemusatan
dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi.
40. Ruang terbuka hijau adalah area memanjang/jalur dan/atau mengelompok, yang
penggunaannya lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik yang tumbuh
secara alamiah maupun yang sengaja ditanam.
41. Kawasan Resapan Air adalah kawasan yang mempunyai kemampuan tinggi untuk
meresapkan air hujan sehingga merupakan tempat pengisian air bumi (akifer) yang
berguna sebagai sumber air.
42. Sempadan Pantai adalah kawasan perlindungan setempat sepanjang pantai yang
mempunyai manfaat penting untuk mempertahankan kelestarian dan kesucian pantai,
keselamatan bangunan, dan tersedianya ruang untuk lain lintas umum.
43. Sempadan Sungai adalah kawasan sepanjang kiri-kanan sungai, termasuk sungai
buatan/kanal/saluran irigasi primer yang mempunyai manfaat penting untuk
mempertahankan kelestarian fungsi sungai.
44. Kawasan sekitar Danau/Waduk adalah kawasan sekeliling danau atau waduk yang
mempunyai manfaat penting untuk mempertahankan kelestarian fungsi
danau/waduk.
45. Kawasan Suaka Alam adalah kawasan yang mewakili ekosistem khas yang merupakan
habitat alami yang memberikan perlindungan bagi perkembangan flora dan fauna
yang khas dan beraneka ragam
46. Kawasan Taman Nasional adalah kawasan pelestarian alam yang dikelola dengan
sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan,
pariwisata, rekreasi dan pendidikan
47. Wilayah sungai adalah Pertamaan wilayah pengelolaan sumberdaya air dalam satu
atau lebih daerah aliran sungai dan/atau pulau-pulau kecil yang luasnya kurang dari
atau sama dengan 2.000 km2
48. Daerah Aliran Sungai/Wilayah Sungai yang selanjutnya disingkat WS adalah suatu
wilayah tertentu yang bentuk dan sifat alamnya merupakan satu Pertamaan dengan
sungai dan anakanak sungainya yang berfungsi menampung air yang berasal dari
curah hujan dan sumber air lainnya dan kemudian mengalirkannya melalui sungai
utama ke laut. Satu WS dipisahkan dari wilayah lain di sekitarnya (WS-WS lain) oleh
pemisah alam topografi seperti punggung perbukitan dan pegunungan. Pengelolaan
WS adalah upaya manusia dalam mengendalikan hubungan timbal batik antara
sumberdaya alam dengan manusia di dalam WS dan segala aktifitasnya, dengan tujuan
membina kelestarian dan keserasian ekosistem serta meningkatkan kemanfaatan
sumberdaya alam bagi manusia secara berkelanjutan.
49. Kawasan agropolitan adalah kawasan yang terdiri atas satu atau lebih pusat kegiatan
pada wilayah pedesaan sebagai sistem produksi pertanian dan pengelolaan sumber
daya alam tertentu yang ditujukan oleh adanya keterkaitan fungsional dan hierarkis
keruangan satuan sistem permukiman dan sistem agrobisnis.
50. Kawasan Minapolitan adalah kawasan pengembangan ekonomi berbasis usaha
penangkapan ikan yang dikembangkan secara terintegrasi oleh pemerintah, swasta,

7
dan masyarakat untuk menciptakan iklim usaha yang lebih baik untuk pertumbuhan
ekonomi, penciptaan lapangan kerja dan pendapatan masyarakat pada suatu wilayah.
51. Kawasan strategis nasional adalah wilayah yang penataan ruangnya diprioritaskan
karena mempunyai pengaruh sangat penting secara nasional terhadap kedaulatan
negara, pertahanan dan keamanan negara, ekonomi, sosial, budaya, dan/atau
lingkungan, termasuk wilayah yang ditetapkan sebagai warisan dunia.
52. Kawasan strategis kabupaten adalah wilayah yang penataan ruangnya diprioritaskan
karena mempunyai pengaruh sangat penting dalam lingkup kabupaten terhadap
ekonomi, sosial, budaya, dan/atau lingkungan.
53. Kawasan Pesisir adalah wilayah pesisir tertentu yang ditunjukan dan atau ditetapkan
oleh pemerintah berdasarkan kriteria tertentu, seperti karakter fisik, biologi, sosial dan
ekonomi untuk dipertahankan keberadaannya.
54. Pelabuhan adalah tempat yang terdiri atas daratan dan/atau perairan dengan batas-
batas tertentu sebagai tempat kegiatan pemerintahan dan kegiatan pengusahaan yang
dipergunakan sebagai tempat kapal bersandar, naik turun penumpang dan/atau
bongkar muat barang, berupa terminal dan tempat berlabuh kapal yang dilengkapi
dengan fasilitas keselamatan dan keamanan pelayaran dan kegiatan penunjang
pelabuhan serta sebagai tempat perpindahan intra dan antarmoda transportasi.
55. Perkebunan adalah segala kegiatan yang mengusahakan tanaman tertentu pada tanah
dan/atau media tumbuh lainnya dalam ekosistem yang sesuai, mengolah dan
memasarkan barang dan jasa hasil tanaman tersebut, dengan bantuan ilmu
pengetahuan dan teknologi, permodalan serta manajemen untuk mewujudkan
kesejahteraan bagi pelaku usaha perkebunan dan masyarakat.
56. Perikanan adalah semua kegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan dan
pemanfaatan sumber daya ikan dan lingkungannya secara berkelanjutan, mulai dari
praproduksi, produksi, pengolahan sampai dengan pemasaran yang dilaksanakan
dalam suatu sistem bisnis perikanan.
57. Pertanian adalah seluruh kegiatan yang meliputi usaha hulu, usaha tani, agroindustri,
pemasaran, dan jasa penunjang pengelolaan sumber daya alam hayati dalam
agroekosistem yang sesuai dan berkelanjutan, dengan bantuan teknologi, modal,
tenaga kerja, dan manajemen untuk mendapatkan manfaat sebesar-besarnya bagi
kesejahteraan masyarakat.
58. Peternakan adalah segala urusan yang berkaitan dengan sumber daya fisik, benih, bibit
dan/atau bakalan, pakan, alat dan mesin peternakan, budi daya ternak, panen,
pascapanen, pengolahan, pemasaran, dan pengusahaannya.
59. Pertambangan adalah sebagian atau seluruh tahapan kegiatan dalam rangka
penelitian, pengelolaan dan pengusahaan mineral, batubara dan panas bumi yang
meliputi penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi, penambangan,
pengolahan dan pemurnian, pengangkutan dan penjualan, serta kegiatan
pascatambang.
60. Wilayah Pertambangan, yang selanjutnya disebut WP, adalah wilayah yang memiliki
potensi mineral dan/atau batubara dan tidak terikat dengan batasan administrasi
pemerintahan yang merupakan bagian dari tata ruang nasional.
61. Wisata adalah kegiatan perjalanan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok
orang dengan mengunjungi tempat tertentu untuk tujuan rekreasi, pengembangan
pribadi, atau mempelajari keunikan daya tarik wisata yang dikunjungi dalam jangka
waktu sementara.
62. Pariwisata adalah berbagai macam kegiatan wisata dan didukung berbagai fasilitas
serta layanan yang disediakan oleh masyarakat, pengusaha, Pemerintah, dan
Pemerintah Daerah.
63. Daerah tujuan pariwisata yang selanjutnya disebut Destinasi Pariwisata adalah
kawasan geografis yang berada dalam satu atau Iebih wilayah administratif yang di
dalamnya terdapat daya tarik wisata, fasilitas umum, fasilitas pariwisata, aksesibilitas,
serta masyarakatyang sating terkait dan melengkapi terwujudnya kepariwisataan.
64. Kawasan Strategis Pariwisata adalah kawasan yang memiliki fungsi utama pariwisata
atau memiliki potensi untuk pengembangan pariwisata yang mempunyai pengaruh
penting dalam satu atau lebih aspek, seperti pertumbuhan ekonomi, social dan budaya,
pemberdayaan sumberdaya alam, daya dukung lingkungan hidup serta pertahanan
dan keamanan.
65. Lingkungan adalah sumberdaya fisik dan biologis yang menjadi kebutuhan dasar agar
kehidupan masyarakat (manusia) dapat bertahan.

8
66. Lingkungan Hidup adalah Pertamaan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan
makhluk hidup termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi
kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lainnya.
67. Daya Dukung Lingkungan Hidup adalah kemampuan lingkungan hidup untuk
mendukung perikehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya.
68. Daya Tampung Lingkungan Hidup adalah kemampuan lingkungan hidup untuk
menyerap zat, energi, dan atau komponen lain yang masuk atau dimasukkan ke
dalamnya.
69. Konservasi adalah pengelolaan pemanfaatan oleh manusia terhadap biosfer sehingga
dapat menghasilkan manfaat berkelanjutan yang terbesar kepada generasi sekarang
sementara mempertahankan potensinya untuk memenuhi kebutuhan dan aspirasi
generasi akan datang (suatu variasi defenisi pembangunan berkelanjutan).
70. Pulau Kecil adalah pulau dengan ukuran luas kurang atau sama dengan 10.000 km2,
jumlah penduduk kurang dari 200.000 jiwa, terpisah dari pulau induk, bersifat
insular, memiliki biota indemik, memiliki daerah tangkapan air yang relatif kecil dan
sempit, kondisi sosial, budaya dan ekonomi masyarakatnya bersifat khas dan berbeda
dengan pulau induk
71. Mitigasi adalah serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik melalui
membangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi
ancaman bencana.
72. Rawan bencana adalah kondisi atau karakteristik geologis, biologis, hidrologis,
klimatologis, geografis, sosial, budaya, politik, ekonomi, dan teknologi pada suatu
wilayah untuk jangka waktu tertentu yang mengurangi kemampuan mencegah,
meredam, mencapai kesiapan, dan mengurangi kemampuan untuk menanggapi
dampak buruk bahaya tertentu.
73. Kawasan Pertahanan Negara adalah wilayah yang ditetapkan secara nasional yang
digunakan untuk pertahanan.
74. Masyarakat adalah orang perseorangan, kelompok orang termasuk masyarakat hukum
adat , korporasi, dan atau pemangku keopentingan non pemerintah lain dalam
penyelenggaraan penataan ruang.
75. Peran serta masyarakat adalah berbagai kegiatan masyarakat yang timbul atas
kehendak dan prakarsa masyarakat, untuk berminat dan bergerak dalam
penyelenggaraan penataan ruang.Pembangunan berkelanjutan yang berwawasan
lingkungan hidup adalah upaya sadar dan terencana yang memadukan lingkungan
hidup, termasuk sumberdaya, ke dalam proses pembangunan untuk menjamin
kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa kini dan generasi masa
depan.
76. Izin pemanfaatan ruang adalah izin yang dipersyaratkan dalam kegiatan pemanfaatan
77. Peran masyarakat adalah berpartisipasi aktif dalam perencanaan ruang dan
pengendalian pemanfaatan ruang
78. Kawasan peruntukan pertambangan adalah wilayahn yang memiliki sumber daya
tambang yang berwujud padat, cair atau gas berdasarkan peta/data geologi dan
merupakan tempat dilakukan seluruh tahapan kegiatan pertambangan yang meliputi :
penyediaan umum, eksplorasi, operasi produksi, dan pasca tambang, baik di wilayah
darat maupun perairan.
79. Sistem jaringan jalan adalah satu Pertamaan ruas jalan yang saling menghubungkan
dan mengikat pusat-pusat pertumbuhan dengan wilayah yang berada dalam
pengaruh pelayanannya dalam satu hubungan hirarki.
80. BKPRD adalah badan bersifat ad hoc yang dibentuk untuk mendukung pelaksanaan
Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, di Kab. Tenggamus
dan mempunyai fungsi membantu pelaksanaan tugas Bupati dalam koordinasi
penataan ruang di daerah.
81. Pelabuhan Pengumpan adalah pelabuhan yang fungsi pokoknya melayani kegiatan
angkutan laut dalam negeri, alih muat angkutan laut dalam negeri dalam jumlah
terbatas, merupakan pengumpan bagi pelabuhan utama dan pelabuhan pengumpul,
dan sebagai tempat asal tujuan penumpang dan/atau barang, serta angkutan
penyeberangan dengan jangkauan pelayanan dalam provinsi.
82. Pelabuhan Pengumpul adalah pelabuhan yang fungsi pokoknya melayani kegiatan
angkutan laut dalam negeri, alih muat angkutan laut dalam negeri dalam jumlah
menengah, dan sebagai tempat asal tujuan penumpang dan/atau barang, serta
angkutan penyeberangan dengan jangkauan pelayanan antarprovinsi.

9
83. Terminal adalah pangkalan Kendaraan Bermotor Umum yang digunakan untuk
mengatur kedatangan dan keberangkatan, menaikkan dan menurunkan orang
dan/atau barang, serta perpindahan moda angkutan.
84. TPA (Tempat pemrosesan akhir) adalah tempat untuk memroses dan mengembalikan
sampah ke media lingkungan secara aman bagi manusia dan lingkungan

BAB II
RUANG LINGKUP

Pasal 2

(1) Lingkup Wilayah Perencanaan mencakup seluruh ruang Kabupaten dengan batas yang
ditentukan berdasarkan aspek adinistratif yang meliputi ruang daratan dan ruang
perairan sebagaimana tergambar dalam peta pada Lampiran I Peraturan Daerah ini.

(2) Kabupaten Tanggamus secara geografis terletak pada 104° 18’ ‐ 105° 12’ Bujur Timur
dan 05° 05’ ‐ 05° 56’ Lintang Selatan.

(3) Kabupaten Tanggamus memiliki luas daratan kurang lebih 2.855,46 km2, dan luas
wilayah lautan kurang lebih 1.799,50 km2, sehingga luas total wilayah daratan dan
lautan adalah kurang lebih 4.654,96 km2 (empat ribu enam ratus lima puluh empat
koma sembilan puluh enam).

(4) Batas wilayah Kabupaten Tanggamus meliputi :


a. Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Lampung Barat dan Lampung Tengah;
b. Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Pringsewu dan Kabupaten Pesawaran;
c. Sebelah Selatan berbatasan dengan Samudera Indonesia; dan
d. Sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Lampung Barat.

(5) Lingkup wilayah Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten meliputi


a. Kecamatan Wonosobo dengan luas daratan 209,63 km2;
b. Kecamatan Semaka dengan luas daratan 170,90 km2;
c. Kecamatan Bandar Negeri Semuong dengan luas daratan 98,12 km2;
d. Kecamatan Kota Agung dengan luas daratan 76,93 km2 ;
e. Kecamatan Pematang Sawa dengan luas daratan 185,29 km2;
f. Kecamatan Kota Agung Timur dengan luas daratan 73,33 km2;
g. Kecamatan Kota Agung Barat dengan luas daratan 101,30 km2;
h. Kecamatan Pulau Panggung dengan luas daratan 437,21 km2;
i. Kecamatan Air Naningan dengan luas daratan186,35 km2;
j. Kecamatan Ulu Belu dengan luas daratan 323,08 km2;
k. Kecamatan Talang Padang dengan luas daratan 45,13 km2;
l. Kecamatan Sumberejo dengan luas daratan 56,77 km2;
m. Kecamatan Gisting dengan luas daratan 32,53 km2;
n. Kecamatan Gunung Alip dengan luas daratan 25,68 km2;
o. Kecamatan Pugung dengan luas daratan 232,40 km2;
p. Kecamatan Bulok dengan luas daratan 51,68 km2;
q. Kecamatan Cukuh Balak dengan luas daratan 133,76 km2;
r. Kecamatan Kelumbayan dengan luas daratan121,09 km2;
s. Kecamatan Limau dengan luas daratan 240,61 km2; dan
t. Kecamatan Kelumbayan Barat dengan luas daratan 53,67 km2.

(6) Nama Pulau – pulau di Wilayah Kabupaten Tanggamus meliputi


a. Pulau Botak
b. Pulau Batucentigi
c. Pulau Batugondrong
d. Pulau Batuhakhong
e. Pulau Batuhiu
f. Pulau Batukabulung
g. Pulau Batukelapa
h. Pulau Batukelapanunggal
i. Pulau Batukerita
j. Pulau Batukerbau

10
k. Pulau Batukupiah Pinggir
l. Pulau Batukupiah Tengah
m. Pulau Batumandi
n. Pulau Batupanjanglimau
o. Pulau Batuputih
p. Pulau Batuwarong
q. Pulau Baturujuk Balak
r. Pulau Baturujuk Lunik
s. Pulau Batutajam
t. Pulau Burung
u. Pulau Cukuhpandan Balak
v. Pulau Cukuhpandan Lunik
w. Pulau Cukuhpandan Pinggir
x. Pulau Cukuhpandan Tengah
y. Pulau Gawani
z. Pulau Hiu
aa. Pulau Kabulung
bb. Pulau Kamintara Balak
cc. Pulau Kamintara Barat
dd. Pulau Kamintara Lunik
ee. Pulau Kamintara Tengah
ff. Pulau Kamintara Timur
gg. Pulau Karangputih
hh. Pulau Karangtahabu
ii. Pulau Karangtianggayau
jj. Pulau Kiluan
kk. Pulau Lamang
ll. Pulau Lengkekuh
mm. Pulau Paku
nn. Pulau Pakuayu
oo. Pulau Tabuan
pp. Pulau Telukbakakh
qq. Pulau Tutungkalik

Pasal 3

Muatan RTRW Kabupaten Tanggamus meliputi :


a. tujuan, kebijakan, dan strategi penataan ruang wilayah kabupaten;
b. rencana struktur ruang wilayah kabupaten;
c. rencana pola ruang wilayah kabupaten;
d. penetapan kawasan strategis kabupaten;
e. arahan pemanfaatan ruang wilayah kabupaten; dan
f. ketentuan pengendalian pemanfaatan ruang wilayah kabupaten.

BAB III
TUJUAN, KEBIJAKAN, DAN STRATEGI PENATAAN RUANG
Bagian Kesatu
Tujuan Penataan Ruang Wilayah
Pasal 4

Tujuan penataan ruang wilayah Kabupaten Tanggamus yaitu “Terwujudnya Kabupaten


Tanggamus yang Maju, Lestari dan Mandiri yang berbasis Potensi Sumber Daya Alam
melalui pengembangan Pertanian, Perikanan, Pertambangan dan Pariwisata.”.

Bagian Kedua
Kebijakan Penataan Ruang Wilayah
Pasal 5
Untuk mewujudkan tujuan penataan ruang wilayah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4,
disusun kebijakan penataan ruang wilayah meliputi :

11
a. peningkatan penyediaan sarana dan prasarana wilayah dalam mendukung sektor-
sektor unggulan;
b. peningkatan dan pengembangan kawasan agropolitan berdasarkan potensi
hortikultura;
c. peningkatan dan pengembangan kawasan minapolitan berdasarkan potensi.perikanan
tangkap dan budidaya;
d. pemanfaatan potensi pertambangan dengan tetap menjaga kelestarian dan kestabilan
kawasan dalam rangka mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan;
e. pengembangan ekowisata bertumpu pada wisata bahari;
f. pengurangan disparitas dan kesenjangan antar wilayah; dan
g. peningkatan fungsi kawasan untuk pertahanan dan keamanan negara.

Bagian Ketiga
Strategi Penataan Ruang
Pasal 6

(1) Untuk mewujudkan kebijakan penataan ruang wilayah sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 5, disusun strategi penataan ruang wilayah.

(2) Strategi peningkatan penyediaan sarana dan prasarana wilayah dalam mendukung
sektor-sektor unggulan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a meliputi :
a. mengembangkan sistem transportasi yang terpadu;
b. mengembangkan sistem jaringan prasarana energi pada pusat-pusat pertumbuhan
wilayah;
c. mengembangkan sistem jaringan prasarana sumber daya air untuk menunjang
kawasan pertanian, pariwisata dan mengurang esiko bencana;
d. mengembangkan sistem jaringan prasarana telekomunikasi berbasis terestrial dan
seluler yang menjangkau seluruh wilayah; dan
e. mengembangkan sistem jaringan prasarana lingkungan yang mendukung
kelestarian lingkungan hidup.
(3) Strategi peningkatan dan pengembangan kawasan agropolitan berdasarkan potensi
hortikultura sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf b meliputi :
a. meningkatkan produk pertanian hortikultura yang memiliki daya saing dipasar;
b. meningkatkan pengolahan produk hortikultura disertai dengan pengemasan untuk
peningkatan perluasan pasar;
c. menyediakan infrastruktur penunjang hortikultura;
d. mengembangkan pasar lokal dan regional sebagai satu kesatuan sistem
agropolitan; dan
e. meningkatkan kerjasama dengan lembaga keuangan untuk pembiayaan.

(4) Strategi peningkatan dan pengembangan kawasan minapolitan berdasarkan potensi


perikanan tangkap dan budidaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf c
meliputi :
a. meningkatkan jumlah produk dan kualitas perikanan tangkap dan budidaya;
b. meningkatkan pengolahan produk perikanan sampai beberapa turunannya;
c. meningkatkan jaringan pemasaran tingkat lokal, regional dan nasional;
d. meningkatkan penyediaan infrastruktur pengembangan perikanan; dan
e. meningkatkan kerjasama dengan lembaga keuangan untuk pembiayaan
pengembangan pengolahan hasil perikanan.
(5) Strategi pemanfaatan potensi pertambangan dengan tetap menjaga kelestarian dan
kestabilan kawasan dalam rangka mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf d meliputi :
a. mengindentifikasi potensi pertambangan;
b. mengelolah hasil pertambangan menjadi bahan jadi/setengah jadi dengan
memberdayakan masyarakat;
c. melakukan pengawasan dan pengontrolan eksploitasi pertambangan sesuai
dengan kemampuan lahan;
d. membatasi penambangan liar;
e. mengembalikan rona alam pada area bekas tambang untuk kegiatan produktif;

12
dan
f. menjadikan kawasan pertambangan sebagai kawasan pariwisata dan pendidikan
berbasis lingkungan.

(6) Strategi pengembangan ekowisata bertumpu pada wisata alam, wisata budaya dan
wisata buatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf e meliputi :
a. mengembangkan objek wisata unggulan sebagai satu kesatuan sistem tujuan
wisata;
b. memelihara lingkungan pada kawasan wisata sebagai aset utama wisata alam dan
budaya;
c. melakukan perluasan kegiatan wisata diikuti lingkage antar objek dan atraksi
wisata;
d. mengembangkan paket wisata sesuai jalur dan potensi unggulan pariwisata; dan
e. mengembangkan industri wisata disertai promosi yang efisien.

(7) Strategi pengurangan disparitas dan kesenjangan antar wilayah sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 5 huruf f meliputi :
a. menjamin ketersediaan fasilitas umum, sosial, dan ekonomi di seluruh kecamatan;
b. menjamin kelancaran aksesibilitas antar kawasan serta pulau – pulau kecil;
c. terlayaninya seluruh kawasan dengan sumber daya energi;
d. membentuk simpul – simpul pertumbuhan baru, yang terlayani oleh akses yang
baik, dan fasilitas yang memadai; dan
e. mengoptimalkan pengembangan kawasan perkotaan sebagai pusat pertumbuhan
dan pelayanan kawasan yang berada di sekitarnya.

(8) Strategi peningkatan fungsi kawasan untuk perlindungan, pertahanan dan keamanan
negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf g meliputi :
a. mendukung penetapan kawasan strategis nasional dengan fungsi khusus
pertahanan dan keamanan;
b. mengembangkan kegiatan budidaya secara selektif di dalam dan di sekitar
kawasan strategis nasional untuk menjaga fungsi keamanan nasional;
c. mengembangkan kawasan lindung dan atau kawasan budidaya tidak terbangun di
sekitar kawasan strategis nasional yang mempunyai khusus pertahanan dan
keamanan dengan kawasan budidaya terbangun; dan
d. turut serta menjaga dan memelihara aset-aset pemerintah/TNI.

BAB IV
RENCANA STRUKTUR RUANG WILAYAH
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 7

(1) Rencana struktur ruang wilayah Kabupaten terdiri atas :


a. Sistem pusat kegiatan; dan
b. Sistem jaringan prasarana wilayah.

(2) Rencana struktur ruang wilayah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digambarkan
dalam peta dengan tingkat ketelitian 1 : 50.000 sebagaimana tercantum dalam
Lampiran II yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.

Bagian Kedua
Rencana Sistem Pusat Kegiatan
Pasal 8

(1) Rencana sistem pusat kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf a
terdiri atas;
a. Pusat Kegiatan Wilayah (PKW);
b. Pusat Kegiatan Lokal (PKL);
c. Pusat Kegiatan Lokal Promosi (PKLp);
d. Pusat Pelayanan Kawasan (PPK); dan

13
e. Pusat Pelayanan Lingkungan (PPL).

(2) PKW sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a berada di perkotaan Kota Agung,
yang berfungsi sebagai pusat pemerintahan, perdagangan dan jasa, perikanan dan
minapolitan, dan industri.

(3) PKL sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b berada di perkotaan Wonosobo,
yang berfungsi sebagai Pertanian, Perdagangan dan Jasa, Kehutanan dan Minapolitan.

(4) PKLp sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c meliputi :


a. Perkotaan Talang Padang, yang befungsi sebagai Perdagangan dan Jasa, Pertanian
dan Pendukung Kegiatan Pertanian; dan
b. Perkotaan Gisting, yang berfungsi sebagai Permukiman, Perdagangan Jasa dan
Agropolitan/Kawasan Pendukung Pertanian.

(5) PPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d meliputi :


a. Perkotaan Srikuncoro (Semaka), yang berfungsi sebagai Permukiman, Perdagangan
dan Jasa, dan Kawasan Lindung;
b. Perkotaan Putih Doh (Cukuh Balak), yang berfungsi sebagai Permukiman,
Perdagangan dan Jasa, dan Pertanian; dan
c. Tekad Kecamatan Pulau Panggung yang berfungsi Perdagangan.

(6) PPL sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e berada di Ngarib Kecamatan Ulu
Belu, Margoyoso Kecamatan Sumberejo, Sukamara Kecamatan Bulok, Kuripan
Kecamatan Limau, Napal Kecamatan Kelumbayan, Sidoharjo Kelumbayan Barat.

Bagian Ketiga
Rencana Sistem Prasarana Wilayah
Pasal 9

Sistem jaringan prasarana wilayah kabupaten sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat
(1) huruf b terdiri atas :
a. Sistem Prasarana Utama; dan
b. Sistem Prasarana lainnya.

Paragraf 1
Sistem Jaringan Prasarana Utama
Pasal 10

Sistem jaringan prasarana utama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf a terdiri atas:
a. Sistem Jaringan Transportasi Darat; dan
b. Sistem Jaringan Transportasi Laut.

Pasal 11

(1) Sistem jaringan transportasi darat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 huruf a
terdiri atas:
a. Rencana jaringan jalan, prasarana lalu lintas dan angkutan
b. Rencana jaringan angkutan penyebrangan.

(2). Rencana jaringan jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi :
a. jaringan jalan nasional;
b. jaringan jalan provinsi;
c. jaringan jalan kabupaten;

(3) Rencana jaringan jalan nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a meliputi
ruas jalan Rantau Tijang – Kota Agung – Wonosobo – Sanggi – Bengkunat.

14
(4) Rencana jaringan jalan provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b meliputi
ruas jalan :
a. Talang Padang – Ulu Belu;
b. Tekad – Air Naningan;
c. Sukamara – Simpang Kuripan;
d. Simpang Kuripan – Putih Doh;
e. Napal – Putih Doh; dan
f. Ulu Semuong – Batas Lampung Barat;

(5) Rencana jaringan jalan kabupaten sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c
meliputi ruas jalan diluar jalan nasional dan jalan provinsi.

(6) Rencana jaringan prasarana lalu lintas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
meliputi :
a. pengembangan terminal tipe B di Kota Agung; dan
b. pengembangan terminal tipe C di Semaka dan Talang Padang.

(7) Rencana jaringan angkutan penyeberangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b meliputi :
a. Lintas Penyeberangan Kota Agung – Pulau Tabuan; dan
b. Lintas Penyeberangan Kota Agung – Pematang Sawa.

Pasal 12

(1) Sistem jaringan transportasi laut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 huruf b terdiri
atas:
a. Tatanan kepelabuhanan; dan
b. Alur pelayaran.

(2) Tatanan kepelabuhanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi :
a. Pelabuhan pengumpul di Pelabuhan Kota Agung;
b. Pelabuhan pengumpan meliputi pelabuhan Batu Balai Kecamatan Kota Agung
Timur, Pelabuhan Tabuan Kecamatan Cukuh Balak dan Pelabuhan Kelumbayan di
Kecamatan Kelumbayan;
c. Pengembangan Pelabuhan lainnya meliputi :
1) Pelabuhan Cukuh Balak Kecamatan Cukuh Balak;
2) Pelabuhan Pematang Sawa Kecamatan Pematang Sawa;
3) Pelabuhan Badak Kecamatan Limau;
4) Kota Agung – Karang Anyar Wonosobo

(3) Alur pelayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, merupakan alur
pelayaran lokal meliputi :
a. Kota Agung – Pulau Tabuan;
b. Kota Agung – Cukuh Balak;
c. Kota Agung – Pematang Sawa;
d. Cukuh Balak – Pulau Tabuan; dan
e. Kota Agung – Kelumbayan

Paragraf 2
Sistem Jaringan Prasarana Lainnya
Pasal 13

Sistem prasarana lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf b terdiri atas :
a. sistem jaringan prasarana energi;
b. sistem jaringan prasarana sumber daya air;
c. sistem jaringan prasarana telekomunikasi; dan
d. sistem jaringan prasarana lainnya.

15
Pasal 14

(1) Sistem jaringan energi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf a terdiri atas :
a. pembangkit tenaga listrik;
b. jaringan tenaga listrik;
c. Gardu induk; dan
d. Jaringan transmisi tenaga listrik.

(2) Rencana pengembangan pembangkit tenaga listrik sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf a meliputi :
a. Pemanfaatan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Batu Tegi di Kecamatan Air
Naningan;
b. Pemanfaatan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Ulu Belu;
c. Pemanfaatan panel surya di Pulau Tabuan dan daerah terisolir lainnya;
d. Rencana pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Uap Batu Bara (PLTU) di
Kecamatan Kelumbayan;
e. Pengembangan pembangkit listrik tegangan skala kecil & menengah (mini &
microhydro) di Kecamatan Bandar Negri Semuong, Kecamatan Semaka, Kecamatan
Kota Agung dan Kecamatan Sumberejo; dan
f. Peningkatan peran dan kemandirian masyarakat dalam memenuhi kebutuhan
energinya sendiri melalui pengembangan pembangkit listrik tegangan skala kecil
secara swadaya, baik berupa panel surya maupun microhydro.

(3) Rencana pengembangan jaringan tenaga listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b meliputi :
a. Jaringan Saluran Udara Tegangan Ekstra Tinggi (SUTET) melalui Kecamatan Ulu
Belu – Pagelaran; dan
b. Jaringan Saluran Udara Tegangan Tinggi (SUTT) melalui Pagelaran – Kota Agung.

(4) Rencana Gardu Induk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, berada di
Kecamatan Kota Agung Timur dan Kecamatan Ulu Belu.

(5) Rencana pengembangan jaringan transmisi tenaga listrik sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf d diprioritaskan pada Ibukota Kabupaten dan kota-kota kecamatan yang
belum terjangkau listrik dengan pola mengikuti jaringan jalan dan dengan sistem
jaringan hantaran udara.

Paragraf 3
Rencana Sistem Jaringan Sumber Daya Air
Pasal 15

(1) Sistem jaringan sumber daya air sebagaimana dimaksud dalam pada pasal 13 huruf b
terdiri atas :
a. sistem wilayah sungai;
b. sistem jaringan irigasi;
c. sistem pengelolaan air baku;
d. sistem pengendali bajir; dan
e. sistem pengamanan pantai.

(2) Sistem wilayah sungai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi
pengelolaan :
a. Wilayah Sungai Way Seputih – Way Sekampung, yang merupakan wilayah sungai
strategis nasional, mencakup DAS Seputih, Sekampung, Wako, Kambas, Penet,
Kuripan, Sabu, dan Sukamaju; dan
b. Wilayah Sungai Semangka yang merupakan wilayah sungai lintas
Kabupaten/kota, mencakup DAS Semangka, Ngarip, Menanga, Canguk,
Pemerihan, Bambang dan Ngaras.

(3) Sistem jaringan irigasi sebagaimana dimasud pada ayat (1) huruf b meliputi
pembangunan/peningkatan, rehabilitasi, serta operasi dan pemeliharaan jaringan
irigasi untuk mendukung perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan dan
ketahanan pangan, diantaranya mencakup :

16
a. di kewenangan Pemerintah, diantaranya meliputi DI Way Tebu I, II, III, dan IV;
b. di lintas kabupaten/kota (kewenangan Pemerintah Provinsi Lampung),
diantaranya meliputi : DI Way Semangka, DI Ngarip I, DI Way Ngison, dan DI
Way Napal; dan
c. di kewenangan Pemerintah Kabupaten Tanggamus, diantaranya meliputi Way Air
Kandis, Way Apus, Way Awi, Way Badak, Way Balak Atas, Way Balak Kanan, Way
Balak Kiri, Way Banjar Sari, Way Batu Keramat, Way Batu Raja, Way Bayas, Way
Belimbing, Way Belu, Way Betung, Way Bulok, Way Bulok Sukamara I, Way Bulok
Sukamara II, Way Bulok Sukamara III, Way Bulu, Way Campak Handak, Way
Campang Kanan, Way Campang, Way Campang Kanan, Way Campang Kiri, Way
Cangkang, Way Ciherang, Way Cilis, Way Gading, Way Gatel, Way Gelang, Way
Gerim, Way Grim II, Way Grim III, Way Gunung Alit I, Way Gunung Alit II, Way
Gunung Alit III, Way Gunung Doh, Way Guring, Way Halom, Way Handak I, Way
Handak II, Way Harong, Way Huara Balak, Way Humara Balak, Way Ilahan, Way
Ilahan II Kanan, Way Ilahan II Kiri, Way Jalai, Way Jualang, Way Kamai, Way
Kandis, Way Kandis II, Way Kandis III, Way Kelutum, Way Kemuning, Way Kendi,
Way Kerep, Way Ketapang, Way Khando, Way Kijaan, Way Klempung, Way
Kunyir, Way Kuripan, Way Lalaan, Way Langsep, Way Lankap Atas, Way Maja,
Way Manak I, Way Manak II, Way Manak III, Way Mrahabu, Way Megang, Way
Merabung, Way Merabung MD, Way Merabung P, Way Mincang I, Way Mincang
II, Way Mincang III, Way Mincang IV, Way Mincang V, Way Mincang VI, Way
Mincang VII, Way Mincang VIII, Way Mincang IX, Way Mincang X, Way
Mincang XI, Way Muara Balak Atas, Way Muara Bulak, Way Muara Dua, Way
Muara Dua Tujuh, Way Muara Nenep I, Way Muara Nenep II, Way Muara
Ngarip/Belu, Way Muara Ngison, Way Muara Padang Manis, Way Muara Padang
Ratu, Way Padang Rincang, Way Padang Kan, Way Paneis, Way Paneman, Way
Pangkul, Way Pangkul Kanan, Way Payung, Way Pekon Ampai, Way
Penanggungan, Way Rilau, Way Rukem, Way Sailing, Way Sangrong, Way Sedayu,
Way Segeming, Way Semah III, Way Semah Podo Moro, Way Semou, Way
Simpang, Way Simpang Kanan, Way Simpang Kiri Atas, Way Simpang Rawa, Way
Sinai, Way Singo Sari, Way Sukanegeri, Way Sumberagung, Way Sumpu, Way
Talangpadang, Way Tanjung Lele, Way Tipah, Way Tresno, Way Tumpang, Way
Tumrang, Way Ulu Belu, Way Wonokriyo I, Way Wonokriyo II.

(4) Sistem pengelolaan air baku sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, meliputi
pemanfaatan sumber-sumber air baku permukaan dan air tanah didukung oleh
pembangunan, rehabilitasi serta operasi dan pemeliharaan sarana dan prasarana
pengelolaan air baku, dalam rangka memenuhi kebutuhan air baku untuk air bersih
bagi masyarakat diseluruh Kabupaten Tanggamus, melalui jaringan PDAM terdiri atas:
a. PDAM Way Agung Cabang Kota Agung akan melayani Kecamatan Kota Agung
Timur, Kota Agung dan Kota Agung Barat yang saat ini bersumber dari Way Biah l,
Way Biah ll, Way Biah lll, dan Batu Keramat;
b. PDAM Way Agung Cabang Talang Padang akan melayani Kecamatan Talang
Padang, Gunung Alip dan Gisting yang bersumber dariWay Suka Banjar, Way
Landsbow;
c. PDAM Way Agung Cabang Pulau Panggung akan melayani Kecamatan Pulau
Panggung, dan Air Naningan Yang bersumber dari Way Talang lman dan Way
Tanjung Rejo; dan
d. PDAM Unit Wonosobo akan melayani Kecamatan Wonosobo yang bersumber dari
Way Banyu Urip.

(5) Sumber-sumber air baku yang dimanfaatkan sebagaimana dimaksud dalam ayat (4)
meliputi:
a. Aliran sungai sungai Way Semangka dan Way Sekampung;
b. Anak sungai dari sungai utama, Way Pisang, Way Gatal, Way Semah;
c. Way Sengharus, WaY Bulok dan WaY Semong; dan
d. lndikasi berdasarkan Cekungan Air Tanah.

(6) Pemanfaatan air tanah sebagai sumber air baku sebagaimana dimaksud padal ayat (5)
dilakukan secara terbatas, dengan mempernatikan keperluan konservasi dan
pencegahan kerusakan lingkungan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

17
(7) Sistem pengendalian banjir seperti yang dimaksud dalam ayat (1) huruf d meliputi
pembangunan, rehabilitasi serta operasi dan pemeliharaan bangunan-bangunan
pengendali banjir, didukung oleh upaya-upaya non struktural, seperti early warning
system, dan pembuatan peta daerah banjir.

(8) Sistem pengamanan pantai sebagaimana dimaksud datam ayat (1) huruf e meliputi
pembangunan, rehabilitasi, serta operasi dan pemeliharaan sarana dan prasarana
pengamanan pantai.

Paragraf 4
Rencana Sistem Jaringan Telekomunikasi
Pasal 16

(1) Sistem jaringan telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf c terdiri
atas :
a. jaringan terestrial;
b. jaringan seluler; dan
c. sistem gelombang radio.

(2) Jaringan terestrial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a berupa
pengembangan jaringan terestrial di seluruh wilayah Kabupaten Tanggamus.

(3) Jaringan seluler sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b berupa pengembangan
jaringan seluler diseluruh wilayah Kabupaten Tanggamus, dengan menggunakan
menara BTS bersama dan hot spots diarea publik yang akan diatur dalam Peraturan
Bupati.

(4) Sistem telekomunikasi berbasis gelombang radio sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf c digunakan untuk komunikasi antar pusat-pusat pemerintahan (kabupaten dan
kecamatan).

Paragraf 5
Rencana Sistem Prasarana Lainnya
Pasal 17

(1) Rencana sistem prasarana lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf d
terdiri atas :
a. sistem jaringan persampahan;
b. sistem pengelolaan limbah;
c. sistem drainase; dan
d. jalur dan ruang evakuasi bencana.

(2) Rencana pengembangan sistem persampahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a meliputi :
a. pengembangan sarana pengangkutan sampah dengan menggunakan container
terutama untuk melayani lingkungan-lingkungan permukiman, areal komersial
seperti perdagangan dan pasar ;
b. penyediaan Tempat Penampungan Sementara pada setiap wilayah Kecamatan
sebagai tempat pembuangan sampah pasar dan rumah tangga;
c. mengembangkan pengolahan sampah terpadu melalui sistem Satuan Operasional
Kebersihan Lingkungan (SOKLI) ialah tempat dilaksanakannya kegiatan
pengumpulan, pemilihan, penggunaan ulang, pendauran ulang, pengolahan, dan
pemrosesan akhir sampah pada daerah-daerah permukiman, khususnya kawasan
permukiman kota di pusat-pusat pelayanan;
d. pengelolaan sampah dan limbah yang mengandung bahan berbahaya dan beracun
dilaksanakan sesuai dengan peraturan yang berlaku;
e. meningkatkan jumlah sarana pengangkutan sampah dan pendistribusian yang
proporsional di setiap wilayah atau meningkatkan rotasi pengangkutan sampah
menuju Tempat Pemrosesan Akhir (TPA);
f. pembangunan TPA di Kecamatan Gisting dan atau Pugung dengan menggunakan

18
sistem pengolahan sampah sanitary landfill, serta merubah sistem pengolahan
sampah di TPA Kali Miring menjadi sanitary landfill.;
g. daerah pelayanan TPA meliputi :
1) TPA Kali Miring akan melayani kecamatan Kecamatan Kota Agung, Kota
Agung Timur, Kota Agung Barat, Wonosobo, Bandar Negeri Semoung, Semaka
dan sekitarnya;
2) TPA Gisting dan atau Pugung akan melayani kecamatan Kecamatan Gisting,
Gunung Alip, Talang Padang, Pugung, Sumberejo, Pulau Panggung, Air
Naningan dan sekitarnya.

(3) Sistem pengolahan limbah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi :
a. pengembangan septik tank dengan sistem terpadu untuk kawasan perkotaan;
b. pengembangan sistem sewerage untuk kawasan industri dan kawasan padat dengan
memakai sistem Instalasi Pengelolaan Air Limbah (IPAL) yang dibuat dengan sistem
Instalasi Pengolahan Limbah Tinja (IPLT); dan
c. pengembangan jaringan tertutup untuk kawasan lainnya.

(4) Sistem drainase sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dilakukan melalui
peningkatan kapasitas sistem drainase di pusat-pusat kegiatan.

(5) Jalur dan ruang evakuasi bencana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d yaitu
jalur evakuasi untuk daerah yang rawan terhadap tanah longsor,gempa bumi, serta
tsunami menuju ruang evakuasi bencana di setiap kantor Pekon, kantor Kecamatan,
rumah ibadah dan seluruh Fasilitas umum di seluruh Kabupaten Tanggamus.

BAB V
RENCANA POLA RUANG
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 18

(1) Rencana pola ruang meliputi :


a. pola ruang kawasan lindung; dan
b. pola ruang kawasan budidaya.

(2) Rencana pola ruang wilayah digambarkan dalam peta dengan tingkat ketelitian 1 :
50.000 sebagaimana tercantum dalam Lampiran III yang merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.

Bagian Kedua
Kawasan Lindung
Pasal 19

Kawasan lindung sebagaimana dimaksud dalam pada Pasal 18 ayat (1) huruf a terdiri atas :
a. kawasan hutan lindung
b. kawasan yang memberikan perlindungan kawasan bawahannya;
c. kawasan perlindungan setempat;
d. kawasan suaka alam, pelestarian alam dan cagar budaya; dan
e. kawasan rawan bencana alam;

Praragraf 1
Kawasan Hutan Lindung
Pasal 20

Kawasan Hutan Lindung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf a dengan luas
kurang lebih 134.404,11 Hektar meliputi Batas wilayah Administratif Kecamatan Cukuh
Balak, Semaka, Bandar Negeri Semuong, Wonosobo, Ulu Belu, Air Naningan, Pulau

19
Panggung, Gisting, Sumberejo, Kelumbayan, Kelumbayan Barat, Limau, Bulok, Kota Agung,
Kota Agung Barat dan Kota Agung Timur.

Pasal 21

(1). Kawasan yang memberikan perlindungan kawasan bawahannya sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 19 hurup b berupa kawasan resapan air.

(2). Kawasan resapan air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi :
a. DAS Way Semangka dengan luas kurang lebih 486.435 Hektar; dan
b. DAS Sekampung dengan luas kurang lebih 685.421 Hektar.

Pasal 22

(1) Kawasan perlindungan setempat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf c


terdiri atas:
a. kawasan sempadan pantai;
b. kawasan sempadan sungai;
c. kawasan sekitar waduk; dan
d. kawasan sekitar mata air.

(2) Kawasan sempadan pantai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, dengan luas
kurang lebih 2.010 Hektar berada di Kecamatan Kelumbayan, Cukuh Balak, Limau,
Kota Agung timur, Kota Agung, Kota Agung Barat, Wonosobo, Semaka, dan Pematang
Sawa.

(3) Kawasan sempadan sungai sebagaimana dimaksud ayat (1) huruf b berada di
sepanjang DAS Way Sekampung dan Way Semaka.
(4) Kawasan sekitar waduk sebagaimana dimaksud ayat (1) huruf c berada di sekitar
Waduk Batutegi.

(5) Kawasan sempadan mata air sebagaimana dimaksud ayat (1) huruf d menyebar di
seluruh wilayah kabupaten, dengan ketentuan radius 100 meter dari mata air.

Pasal 23

(1) Kawasan suaka alam, pelestarian alam dan cagar budaya, sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 19 huruf d terdiri atas :
a. Kawasan Taman Nasional;
b. Kawasan Cagar Alam Laut;
c. Kawasan Cagar Budaya; dan
d. Kawasan Suaka Margasatwa

(2) Kawasan Taman Nasional, yang merupakan Kawasan Hutan Konservasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a dengan luas kurang lebih 10.220 Hektar terdapat di
Kecamatan Pematang Sawa, Semaka, dan Ulu Belu.

(3) Kawasan cagar alam laut, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b berupa Cagar
Alam Laut Bukit Barisan Selatan dengan luas kurang lebih 3.125 Hektar terdapat di
Kecamatan Pematang Sawa

(4) Kawasan cagar budaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c terdapat di
Kecamatan Talang Padang, Kota Agung, Wonosobo, Ulu Belu, Sumber Rejo, dan Pulang
Panggung

(5) Kawasan Suaka Margasatwa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d terdapat di
Perairan Teluk Kiluan Kecamatan Kelumbayan.

20
Pasal 24

(1) Kawasan rawan bencana alam, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf e terdiri
atas:
a. kawasan rawan tanah longsor;
b. kawasan rawan banjir;
c. kawasan rawan bencana gelombang tinggi dan tsunami; dan
d. kawasan gempa bumi;

(2) Kawasan rawan tanah longsor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a terdapat di
Kecamatan Wonosobo, Kota Agung, Kota Agung Barat, Ulu Belu, Cukuh Balak ,
Kelumbayan Barat, Kelumbayan, Semaka, PematangSawa, Limau, Bandar Negeri
Semoung, Kota Agung Timur dan Gisting.

(3) Kawasan rawan banjir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b terdapat di
Kecamatan Wonosobo, Semaka, Bandar Negeri Semuoang, Kota Agung, Kota Agung
Barat, Pugung, Pematang Sawa, Kota Agung Timur, Cukuh Balak, Kelumbayan dan
Limau.

(4) Kawasan rawan gelombang tinggi dan tsunami sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf c terdapat di Kecamatan Kelumbayan, Culuk Balak, Limau, Kota Agung, Kota
Agung Barat, Kota Agung Timur, Semaka, Wonosobo. dan Pematang Sawa.

(5) Kawasan rawan gempa bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d terdapat di
Kecamatan Semaka, Kota Agung Barat, Kota Agung Timur, Wonosobo, Air Naningan,
Ulu Belu, Pematang Sawa dan Bandar Negeri Semuong.

Pasal 25

Kawasan lindung geologi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf f berupa kawasan
lindung geologi atau kawasan rawan bencana gempa bumi terdapat di Kecamatan Semaka,
Kota Agung Barat, Kota Agung Timur, Wonosobo, Air Naningan, Ulu Belu, Pematang Sawa
dan Bandar Negeri Semuong.

Bagian Ketiga
Rencana Pengembangan Kawasan Budidaya
Pasal 26

Kawasan budidaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) huruf b, terdiri atas :
a. kawasan peruntukan hutan rakyat;
b. kawasan peruntukan pertanian;
c. kawasan peruntukan perikanan;
d. kawasan peruntukan pertambangan;
e. kawasan peruntukan industri;
f. kawasan peruntukan pariwisata;
g. kawasan peruntukan pemukiman; dan
h. kawasan peruntukan peruntukan lainnya.

Paragraf 1
Kawasan Hutan Rakyat
Pasal 27

Rencana kawasan peruntukan hutan rakyat sebagaimana dimaksud Pasal 26 huruf a,


dilakukan di seluruh wilayah kabupaten dengan luas kurang lebih 35.383 Hektar.

21
Paragraf 2
Kawasan Peruntukan Pertanian
Pasal 28

(1) Kawasan peruntukan pertanian sebagaimana dimaksud Pasal 26 huruf b terdiri atas :
a. kawasan peruntukan pertanian tanaman pangan;
b. kawasan peruntukan pertanian holtikultura;
c. kawasan peruntukan perkebunan; dan
d. kawasan peruntukan peternakan.

(2) Kawasan peruntukan pertanian tanaman pangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a dengan luas kurang lebih 31.671 Hektar terdapat di Kecamatan Pugung,
Talang Padang, Gunung Alip, Kota Agung Timur, Kota Agung Barat, Wonosobo, Semaka
dengan komoditas unggulan padi dan jagung.

(3) Kawasan peruntukan holtikultura sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dengan
luas kurang lebih 9.957 Hektar berada di Kecamatan Gisting, Sumberejo, Pematang
Sawa, Pulau Pangung, Kota Agung Timur, Kota Agung, Kota Agung Barat, Bandar
Negeri Semuong, Kelumbayan Barat, Kelumbayan, Limau dan Cukuh Balak dengan
komoditas unggulan sayur-sayuran, buah manggis, dan buah durian.

(4) Kawasan peruntukan perkebunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dengan
luas 102.110,76 Hektar yang tersebar di seluruh kecamatan kecuali Kota Agung di
Kabupaten Tanggamus dengan komoditas unggulan Kelapa, Kopi, dan Kakao.

(5) Kawasan peruntukan peternakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d,di
seluruh Kecamatan di Kabupaten Tanggamus.

(6) Kawasan pertanian tanaman pangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan
sebagai lahan pertanian pangan berkelanjutan seluas kurang lebih 20.000 Ha meliputi
Kecamatan Pugung, Talang Padang, Kota Agung Timur, Kota Agung Barat, Wonosobo,
Semaka.

Paragraf 3
Kawasan Peruntukan Perikanan
Pasal 29

(1) Kawasan peruntukan perikanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 huruf c terdiri
atas :
a. kawasan peruntukan perikanan tangkap;
b. kawasan peruntukan perikanan budidaya; dan
c. kawasan peruntukan pelabuhan perikanan.

(2) Kawasan peruntukan perikanan tangkap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
terdapat di Kecamatan Kota Agung, Wonosobo, Pematang Sawa, Kota Agung Timur,
Kota Agung Barat, Cukuh Balak, Kelumbayan, Limau dan Semaka.

(3) Kawasan peruntukan perikanan budidaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
b dengan luas kurang lebih 1.325 hektar teridiri atas :
a. perikanan budidaya air tawar; dan
b. perikanan budidaya air payau (tambak).

(4) Perikanan budidaya air tawar sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a terdapat di
Kecamatan Pugung, Wonosobo, Semaka, dan Talang Padang.

(5) Perikanan budidaya air payau sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b terdapat di
Kecamatan Limau, Kota Agung Barat, Kelumbayan, Cukuh Balak, Semaka, Wonosobo,
Pematang Sawa, Kota Agung Barat dan Kota Agung Timur.

(6) Kawasan peruntukan Pelabuhan perikanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
c dikembangkan di Kecamatan Kota Agung berupa Pelabuhan Perikanan Pantai.

22
Paragraf 4
Kawasan Peruntukan Pertambangan
Pasal 30

(1) Kawasan peruntukan pertambangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 huruf d


terdiri atas:
a. Wilayah Usaha Pertambangan; dan
b. Wilayah Pertambangan Rakyat.

(2) Wilayah usaha pertambangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a terdiri
atas:
a. peruntukan pertambangan mineral;
b. pertambangan batu bara; dan
c. Panas Bumi.

(3) Kawasan peruntukan pertambangan mineral sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
huruf a meliputi mineral logam, mineral bukan logam dan batuan tersebar di seluruh
kecamatan di kecualikan Kota Agung, daerah perkotaan dan daerah rawan bencanadi
Kabupaten Tanggamus.

(4) Kawasan peruntukan pertambangan batu bara sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
huruf b terdapat di Kecamatan Pematang Sawa, Kecamatan Pugung, Kecamatan
Kelumbayan, Kecamatan Kelumbayan Barat dan Kecamatan Air Naningan.

(5) Kawasan peruntukan panas bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c
terdapat di Kecamatan Ulu Belu.

(6) wilayah pertambangan rakyat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi
mineral bukan logam dan batuan tersebar di seluruh kecamatan dikecualikan Kota
Agung di Kabupaten Tanggamus.

(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara perizinan dan penetapan wilayah
pertambangan rakyat diatur dengan Peraturan Daerah.

Paragraf 5
Kawasan Peruntukan Industri
Pasal 31

(1) Kawasan peruntukan industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 huruf e, terdiri
atas:
a. kawasan peruntukan industri besar;
b. kawasan peruntukan industri sedang; dan
c. kawasan peruntukan industri rumah tangga.

(2) Kawasan peruntukan industri besar sebagaimana dimaksud dalam pada ayat (1) huruf
a meliputi :
a. Industri Maritim; dan
b. Industri Olahan Hasil pertanian. terdapat di Kecamatan Pulau Panggung.

(3) Industri maritim sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a berupa industri
perkapalan dan manufaktur yang terdapat di Teluk Semangka Kecamatan Kota Agung
Timur, Limau dan Cukuh Balak.

(4) Kawasan peruntukan industri sedang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
terdapat di Kecamatan Gisting, Talang Padang, Pulau Panggung, Kota Agung Timur,
Kota Agung Barat, Kota Agung, Sumber Rejo, Wonosobo, Semaka dan Pematang Sawa.

(5) Kawasan peruntukan industri rumah tangga sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf c terdapat di seluruh kecamatan di Kabupaten Tanggamus.
.

23
Paragraf 6
Kawasan Peruntukan Pariwisata
Pasal 32

(1) Kawasan peruntukan pariwisata sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 huruf f terdiri
atas:
a. kawasan peruntukan wisata alam;
b. kawasan peruntukan wisata budaya; dan
c. kawasan peruntukan wisata buatan.

(2) Kawasan peruntukan wisata alam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
meliputi :
a. wisat alam pantai di Kecamatan Kota Agung, Kota Agung Timur, Kota Agung Barat,
Cukuh Balak, Kelumbayan, Limau dan Pematang Sawa;
b. wisata alam air terjun di Kecamatan Kota Agung, Kota Agung Timur, Semaka, Pulau
Panggung, Ulu Belu, Pematang Sawa, Sumber Rejo, dan Cukuh Balak;
c. wisata alam pegunungan di Kecamatan Gisting;
d. wisata alam permandian air panas di Kecamatan Wonosobo dan Kecamatan Ulu
Belu;
e. wisata alam TNBBS di Kecamatan Semaka;
f. wisata alam arung jeram di Kecamatan Sumber Rejo; dan
g. wisata alam Tampang di Kecamatan Pematang Sawa.

(3) Kawasan peruntukan wisata budaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
meliputi :
a. makam Tanjung Heran di Kecamatan Pugung;
b. pelabuhan trandisional Kota Agung di Kecamatan Kota Agung;
c. lembah sanggih di Kecamatan Bandar Negeri Semuong;
d. batu tulis Gajah dan Prasasti Batu Bedil di Kecamatan Pulau Panggung; dan
e. batu Kapal di Kecamatan Cukuh Balak.

(4) Kawasan peruntukan wisata buatan sebagaimana dimaksud ayat (1) huruf c meliputi :
a. pemandian Wonotirto di Kecamatan Sumber Rejo;
b. waduk Batu Tegi di Air Naningan;
c. pemandian kolam renang di Gisting; dan
d. kawasan wisata terpadu di Kota Agung Timur.

Paragraf 7
Kawasan Peruntukan Pemukiman
Pasal 33

(1) Kawasan peruntukan pemukiman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 huruf g


terdiri atas:
a. Kawasan peruntukan pemukiman perkotaan; dan
b. Kawasan peruntukan pemukiman pedesaan.

(2) Kawasan peruntukan pemukiman perkotaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a terdapat di Kecamatan Kota Agung, Kota Agung Barat, Kota Agung Timur,
Gisting, Wonosobo, dan Talang Padang.

(3) Kawasan peruntukan pemukiman pedesaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b menyebar di seluruh wilayah, terutama pada pusat pelayanan kawasan dan
pusat pelayanan lokal.

Paragraf 8
Kawasan Peruntukan Lainnya
Pasal 34

(1) Kawasan peruntukan lainnya seperti yang di maksud pasal 26 huruf h terdiri atas :
a. peruntukan pertahanan dan keamanan;
b. kawasan pengembangan sektor informal;

24
c. kawasan pesisir;
d. pengembangan ruang terbuka hijau (RTH); dan
e. ruang dalam bumi.

(2) Kawasan peruntukan pertahanan dan keamanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a terdiri atas :
a. Kantor dan/atau Markas Kepolisian dan Tentara Nasional Indonesia yang terdapat
di Perkotaan Kota Agung Timur di Kecamatan Kota Agung Timur;
b. Pos Angkatan Laut di Kecamatan Kota Agung, Pematang Sawa dan Kelumbayan;
c. Komando Rayon Militer (Koramil) dan menyebar di seluruh Kecamatan di
Kabupaten Tanggamus; dan
d. Kantor Kepolisian Sektor yang tersebar di setiap kecamatan di Kabupaten
Tanggamus.

(3) Kawasan pengembangan sektor informal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
diarahkan pada pengembangan kawasan khusus untuk perdagangan dan jasa, meliputi:
a. kawasan perdagangan dan jasa skala regional untuk melayani wilayah Kabupaten
Tanggamus diarahkan di pusat perkotaan Kota Agung; dan
b. kawasan perdagangan skala kecamatan pada kawasan perkotaan di .Kota Agung
Barat, Kota Agung Timur, Gisting, Wonosobo, dan Talang Padang.

(4) Kawasan pesisir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c meliputi kawasan jalur
pelayaran, kawasan pantai berhutan bakau di Kecamatan Pematang Sawa, Wonosobo
dan Semaka dengan rencana pemanfaatan lahan diatur berdasarkan prinsip-prinsip,
meliputi:
a. kawasan di sepanjang jalan arteri primer diarahkan untuk pengembangan industri
dan pergudangan serta kegiatan pelayanan umum perkotaan;
b. kawasan di sepanjang jalan kolektor primer dan lokal primer diarahkan bagi
kegiatan pelayanan umum dan permukiman kepadatan rendah;
c. kawasan di sepanjang jalan lingkungan akan dimanfaatkan dengan dominasi bagi
kegiatan permukiman kepadatan sedang dan tinggi;
d. kawasan di sepanjang pantai akan dimanfaatkan dengan dominasi bagi kegiatan
perikanan; dan
e. kawasan dengan potensi wisata.

(5) Pengembangan Ruang Terbuka Hijau (RTH) sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
huruf d ditetapkan dengan proporsi paling sedikit 30% (tiga puluh persen) dari luas
kawasan perkotaan, meliputi:
a. Ruang Terbuka Hijau (RTH) publik yaitu taman kota, taman pemakaman umum,
dan jalur hijau sepanjang jalan, sungai, dan pantai, dengan proporsi paling sedikit
20% (dua puluh persen);
b. Ruang Terbuka Hijau (RTH) privat yaitu kebun atau halaman rumah/gedung milik
masyarakat/ swasta yang ditanami tumbuhan, dengan proporsi 10% (sepuluh
persen); dan
c. Ketentuan lebih lanjut mengenai RTHPerkotaan sebagaimana dimaksud pada huruf
a dan huruf b diatur dalam Rencana Detail Tata Ruang.

(6) Rencana ruang dalam bumi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf e meliputi:
a. wilayah-wilayah yang sudah diketahui cadangannya dan/atau wilayah yang tengah
dalam masa penyelidikan pendahuluan/eksplorasi/eksploitasi dan secara legal
telah ada izin atau kontraknya maka harus dilindungi secara hukum di dalam tata
ruang sebagai kawasan peruntukan pertambangan;
b. wilayah yang berpotensi bahan tambang harus diberikan alokasi ruang dalam
bentuk wilayah prospek usaha pertambangan sebagai arahan prospek
pertambangan ke depan;
c. wilayah prospek pertambangan tidak dipengaruhi oleh kendala sektor budi daya
atau lindung lainnya, namun dalam pengusahaannya tetap mengikuti ketentuan
perundang-undangan yang berlaku;
d. pengembangan wilayah pertambangan harus mengkaji antara aspek-aspek riil,
antara resiko dan manfaat, sebagaimana disyaratkan dalam peraturan perundangan;
dan

25
BAB VI
PENETAPAN KAWASAN STRATEGIS KABUPATEN
Pasal 35

(1) Kawasan strategis terdiri atas :


a. Kawasan Strategis Provinsi; dan
b. Kawasan Strategis Kabupaten;

(2) Kawasan strategis provinsi yang berada dalam wilayah kabupaten sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a terdiri atas :
a. Kawasan strategis ekonomi yaitu Kawasan Agropolitan Gisting di Kecamatan
Gisting;
b. Kawasan strategis lingkungan hidup meliputi :
1) Kawasan Waduk Batu Tegi di Kecamatan Air Naningan; dan
2) Kawasan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan di Kecamatan Pematang Sawah
dan Semaka.

(3) Kawasan strategis kabupaten sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi
kawasan strategis untuk kepentingan ekonomi, yaitu :
a. Kawasan Strategis Minapolitan, untuk pengembangan perikanan budidaya tangkap
di Kecamatan Kota Agung, Kota Agung Barat dan Wonosobo;
b. Kawasan Strategis Ulu Belu, untuk pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Panas
Bumi di Kecamatan Ulu Belu;
c. Kawasan Strategis Teluk Kiluan, untuk pengembangan ekowisata di Kecamatan
Kelumbayan;
d. Kawasan Strategis Batu Balai, untuk pengembangan Industri Maritim di Kecamatan
Kota Agung Timur; dan
e. Kawasan Strategis Pulau Panggung, untuk pengembangan industri olahan hasil
pertanian di Kecamatan Pulau Panggung.

(4) Penetapan kawasan strategis Kabupaten sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
ditindaklanjuti dengan penyusunan rencana rinci kawasan strategis.

(5) Kawasan strategis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digambarkan dalam Peta
Kawasan Strategis yang tercantum dalam Lampiran IV yang merupakan bagian yang
tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.

BAB VII
ARAHAN PEMANFAATAN RUANG WILAYAH
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 36

(1) Arahan Pemanfaatan ruang berisikan kelembagaan, indikasi program pembangunan


utama jangka menengah lima tahunan.

(2) Arahan pemanfaatan ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berisi tentang
perwujudan struktur ruang, perwujudan pola ruang kawasan lindung dan budi daya,
serta perwujudan kawasan strategis wilayah kabupaten sesuai dengan RTRW
Kabupaten sebagaimana terlampir dalam lampiran V yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dalam Peraturan Daerah ini.

Bagian Kedua
Perwujudan Rencana Struktur Ruang
Umum
Pasal 37

Arahan pemanfaatan ruang dalam rangka perwujudan struktur ruang sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 36 ayat (2) dilakukan melalui perwujudan pusat kegiatan berupa
sistem pusat kegiatan dan sistem jaringan prasarana wilayah.

26
Paragraf 1
Perwujudan Sistem Pusat Kegiatan
Pasal 38

(1) Perwujudan sistem pusat kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 terdiri atas :
a. Pusat Kegiatan Wilayah (PKW);
b. Pusat Kegiatan Lokal (PKL);
c. Pusat Kegiatan Lokal Promosi (PKLp);
d. Pusat Pelayanan Kawasan (PPK);
e. Pusat Pelayanan Lingkungan (PPL); dan
d. Perwujudan pengembangan sistem prasarana wilayah.

(2) Perwujudan PKW sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a berada di Kota Agung
meliputi :
a. Penyusunan RDTR Kota Kota Agung;
b. Pengembangan dan Penataan Teknis Kota Agung;
c. Pengembangan pusat pemerintahan kabupaten;
d. Pengembangan kawasan perdagangan dan jasa;
e. Jasa pendukung pariwisata; dan

(3) Perwujudan PKL sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b berada di Wonosobo
meliputi :
a. Penyusunan RDTR Wonosobo; dan
b. Pengembangan kawasan perdagangan hasil pertanian dan perikanan.

(4) Perwujudan PKLp sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c terdiri atas:
a. Talang Padang, meliputi :
1) Penyusunan RDTR Talang Padang ;
2) Pengembangan kawasan pertanian; dan
3) Pengembangan kawasan perdagangan dan jasa.
b. Gisting, meliputi :
1) Penyusunan RDTR Gisting;
2) Pengembangan kawasan perdagangan dan jasa;
3) Pengembangan kawasan permukiman;
4) Pengembangan kawasan agropolitan /pertanian; dan
5) Pengembangan Kawasan Pendidikan.

(4) Perwujudan PPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d terdiri atas :
a. Sri Kuncoro ( Teluk Semaka), meliputi :
1) Pengembangan kawasan permukiman;
2) Pengembangan kawasan perdagangan dan jasa; dan
3) Pengembangan kawasan lindung.
b. Putih Doh, meliputi :
1) Pengembangan kawasan permukiman;
2) Pengembangan kawasan perdagangan dan jasa; dan
3) Pengembangan kawasan pertanian.

Paragraf 2
Perwujudan Sistem Prasarana Wilayah
Pasal 39

(1) Perwujudan pengembangan sistem prasarana wilayah sebagaimana dimaksud dalam


Pasal 37 meliputi :
a. Perwujudan pengembangan sistem prasarana transportasi;
b. Perwujudan pengembangan sistem prasarana energi;
c. Perwujudan pengembangan sistem prasarana telekomunikasi;
d. Perwujudan pengembangan sistem prasarana sumberdaya air; dan
e. Perwujudan pengembangan sistem prasarana pengelolaan lingkungan.

27
(2) Perwujudan pengembangan sistem prasarana transportasi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf a terdiri dari :
a. Program transportasi darat; dan
b. Program transportasi laut.

(3) Perwujudan pengembangan sistem prasarana transportasi darat sebagaimana dimaksud


pada ayat (2) huruf a dilakukan melalui :
a. Peningkatan kapasitas pelayanan sistem jaringan jalan kolektor primer;
Pembangunan jaringan jalan lingkungan primer;
b. Rencana pengembangan Jalan Lingkar Luar Kota Agung, dan
c. Peningkatan dan pengembangan sarana dan prasarana terminal.

(4) Perwujudan pengembangan sistem prasarana transportasi laut sebagaimana dimaksud


pada ayat (2) huruf b dilakukan melalui :
a. Pelabuhan pengumpul di Pelabuhan Kota Agung;
b. Pelabuhan pengumpan meliputi pelabuhan Batu Balai Kecamatan Kota Agung
Timur, Pelabuhan Tabuan Kecamatan Cukuh Balak dan Pelabuhan Kelumbayan di
Kecamatan Kelumbayan;
c. Penetapan dan pengembangan pelabuhan lainnya di Pelabuhan Cukuh Balak
Kecamatan Cukuh Balak, Pelabuhan Pematang Sawa Kecamatan Pematang Sawa,
Pelabuhan Badak Kecamatan Limau dan Pelabuhan Karang Anyar Kecamatan
Wonosobo

(5) Perwujudan pengembangan sistem prasarana energi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf b dilakukan melalui :
a. Peningkatan pasokan daya listrik yang bersumber dari energi terbarukan untuk
memenuhi kebutuhan listrik perdesaan, diantaranya PLTA, mikrohidro, tenaga
angin, tenga gelombang taut dan tenaga surya di perdesaan;
b. Pemanfaatan batubara sebagai sumber energi dengan pengelolaan yang ramah
lingkungan;
c. Pembangunan jaringan transmisi dan distribusi listrik sampai tingkat desa, terutama
pada desa yang terdapat objek wisata terutama ke daerah-daerah yang belum
berlistrik;
d. Pengembangan dan optimalisasi pemanfaatan PLTMH berbasis masyarakat;
e. Pembangunan PLTA pada beberapa kawasan yang mempunyai potensi sumber daya
air yang memadai; dan
f. Pengembangan sumber energi alternatif seperti tenaga surya, gelombang Laut dan
tenaga angin sesuai dengan potensi setempat.

(6) Perwujudan pengembangan sistem prasarana telekomunikasi sebagaimana dimaksud


pada ayat (1) huruf c dilakukan melalui :
a. Pembangunan sistem jaringan telekomunikasi di seluruh ibukota kecamatan dan
desa;
b. Menciptakan keanekaragaman model telekomunikasi sesuai dengan kondisi dan
kebutuhan; dan
c. Optimalisasi pemanfaatan teknologi informasi untuk kegiatan pemerintahan dan
usaha penduduk.

(7) Perwujudan pengembangan sistem prasarana sumber daya air sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf d dilakukan melalui:
a. Pemeliharaan dan rehabilitasi jaringan irigasi yang tersebar di seluruh kecamatan.
b. Pembangunan dan peningkatan jaringan irigasi;
c. Pengelolaan wilayah sungai;
d. Pengembangan sistem pengelolaan air baku untuk air bersih;
e. Pengembangan sistem pengendali bajir; dan
f. Pengembangan sistem pengamanan pantai.

(8) Perwujudan pengembangan sistem prasarana pengelolaan lingkungan sebagaimana


dimaksud pada ayat (1) huruf e dilakukan melalui :
a. Pembangunan perumahan swadaya untuk kebutuhan penduduk sampai dengan
tahun 2031 yang tahan gempa;

28
b. Pengembangan prasarana dan sarana perumahan, berupa jalan poros, jalan
lingkungan, jalan setapak, dan drainase yang tersebar di seluruh kecamatan;
c. Penyediaan prasarana dan sarana air minum terutama pada kawasan rawan air
minum di perkotaan dan perdesaan;
d. Pembangunan Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) pada setiap rumah sakit;
e. Pembangunan Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) dengan sistem sanitary landfill di
Gisting dan atau Pugung;
f. Mengubah pola pengolahan sampah open dumping menjadi sanitary landill di TPA
Kali Miring Kota Agung;
g. Pembangunan TPS di seluruh pusat pelayanan kawasan maupun lingkungan (PPK
dan PPL); dan
h. Penyusunan dan perwujudan RDTR Lokasi Evakuasi Bencana.

Bagian Ketiga
Perwujudan Rencana Pola Ruang
Umum
Pasal 40

Arahan pemanfaatan ruang dalam rangka perwujudan pola ruang dilakukan melalui
perwujudan kawasan lindung dan perwujudan kawasan budidaya.

Paragraf 1
Perwujudan Kawasan Lindung
Pasal 41

(1) Perwujudan kawasan lindung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 terdiri atas :
a. Pengelolaan Kawasan hutan lindung
b. Pengelolaan Kawasan yang memberikan perlindungan kawasan bawahannya;
c. Pengelolaan Kawasan perlindungan setempat;
d. Pengelolaan Kawasan suaka alam, pelestarian alam dan cagar budaya; dan
e. Pengelolaan Kawasan rawan bencana alam.

(2) Pengelolaan kawasan hutan lindung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
dilakukan melalui :
a. Identifikasi dan pemetaan kerusakan hutan lindung;
b. Pemetaan persoalan dan pemanfaatan ruang pada kawasan hutan lindung;
c. Penyusunan program rehabilitasi hutan lindung;
d. Penguatan program rehabilitasi hutan lindung berbasis masyarakat;
e. Rehabilitasi kawasan hutan lindung;
f. Penegakan hukum pemberantasan pembalakan liar (illegal logging);
g. Penerapan pola insentif dan disinsentif dalam pengelolaan hutan lindung; dan
h. Pengawasan dan pengamanan kawasan hutan lindung.
(3) Pengelolaan kawasan yang memberikan perlindungan kawasan bawahannya
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan melalui :
a. Penetapan kawasan dengan kemiringan diatas 40% (empat puluh persen) sebagai
kawasan lindung;
b. Identifikasi dan kiasifikasi kawasan lindung sebagaimana dimaksud ayat (5) huruf
a menjadi lahan sangat kritis, kritis dan tidak kritis;
c. Mencegah timbulnya erosi, bencana banjir, sedimentasi, dan menjaga fungsi
hidrologis tanah di kawasan hutan lindung; dan
d. Memberikan ruang yang cukup bagi resapan air hujan pada kawasan resapan air
untuk keperluan penyediaan kebutuhan air tanah dan penanggulangan banjir.

(4) Pengelolaan kawasan perlindungan setempat sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf c dilakukan melalui :
a. Menjaga sempadan pantai untuk melindungi wilayah pantai dari kegiatan yang
mengganggu kelestarian fungsi pantai;
b. Menjaga sempadan sungai untuk melindungi sungai dari kegiatan manusia yang
dapat mengganggu dan merusak kualitas air sungai, kondisi fisik pinggir dan
dasar sungai serta mengamankan aliran sungai;
29
c. Menjaga kawasan sekitar danau/waduk untuk melindungi danau/waduk dari
berbagai usaha dan/atau kegiatan yang dapat mengganggu kelestarian fungsi
waduk/danau; dan
d. Menjaga kawasan sekitar mata air untuk melindungi mata air dari dari berbagai
usaha dan/atau kegiatan yang dapat merusak kualitas air dan kondisi fisik
kawasan sekitarnya.

(5) Pengelolaan kawasan suaka alam, pelestarian alam dan cagar budaya sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf d dilakukan melalui :
a. Identifikasi, penetapan dan pemantapan kawasan suaka alam, pelestarian alam
dan cagar budaya termasuk cagar alam taut;
b. Identifikasi dan klasifikasi kondisi kawasan menjadi kawasan sangat kritis, kritis
dan tidak kritis;
c. Perumusan program rehabilitasi melalui pendekatan kerjasama lintas pelaku,
partisipatif dan lintas wilayah; dan
d. Penumbuhkembangan kesadaran dan kepedulian masyarakat terhadap nilai-nilai
lingkungan dan budaya lokal dalam rangka menjaga dan melestarikan kawasan
suaka alam, pelestarian alam, cagar budaya termasuk cagar alam laut.

(6) Pengelolaan kawasan rawan bencana alam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
e dilakukan melalui :
a. Menginventarisir kawasan rawan bencana alam secara lebih akurat;
b. Pengaturan kegiatan manusia di kawasan rawan bencana alam untuk melindungi;
c. Manusia dari bencana yang disebabkan oleh alam maupun secara tidak langsung
oleh perbuatan manusia;
d. Melakukan upaya untuk mengurangi/ meniadakan resiko bencana alam melalui
pendekatan struktur dan non struktur; dan
e. Melakukan sosialisasi bencana alam pada masyarakat, terutama masyarakat yang
berada pada/dekat dengan daerah rawan bencana alam.

Paragraf 2
Perwujudan Kawasan Budidaya
Pasal 42

Perwujudan kawasan budidaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40, terdiri atas :
a. pengembangan kawasan hutan rakyat;
b. pengembangan kawasan pertanian;
c. pengembangan kawasan perikanan;
d. pengembangan kawasan pertambangan;
e. pengembangan kawasan industri;
f. pengembangan kawasan pariwisata;
g. pengembangan kawasan permukiman; dan
h. pengembangan kawasan perlindungan, pertahanan dan keamanan.

Pasal 43

Pengembangan kawasan hutan rakyat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 huruf a,


meliputi :
a. pelaksanaan penghijauan kembali pada kawasan hutan yang mengalami degradasi;
b. pendampingan kelompok usaha rakyat; dan
c. pengawasan dan penertiban pengelolaan industri hasil hutan.

Pasal 44

Pengembangan kawasan pertanian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 huruf b


meliputi:
a. pengembangan prasarana pengairan/irigasi;
b. mengendalian alih fungsi kawasan pertanian;
c. mempertahankan fungsi kawasan pertanian yang sudah ada sesuai denga
peruntukannya;

30
d. membatasi kegiatan pembangunan disekitar kawasan pertanian potensial;
e. mengupayakan ekstensifikasi pertanian; dan
f. mengembangkan sentra produksi tanaman pertanian pada masing-masing kecamatan
sesuai dengan potensi pengembangan.

Pasal 45
Pengembangan kawasan perikanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 huruf c
meliputi:
a. meningkatkan produksi hasil perikanan.
b. mengembangkan prasarana perikanan;
c. pengolahan hasil perikanan; dan
d. pengembangan pemasaran hasil perikanan.

Pasal 46

Pengembangan kawasan pertambangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 huruf d


meliputi :
a. pengembangan kawasan pertambangan dengan tetap memperhatikan kelestarian
lingkungan
b. pengembangan dan peningkatan sarana dan prasarana pengelolaan tambang;
c. sosialisasi pengelolaan pertambangan secara berkelanjutan; dan
d. peningkatan pengawasan terhadap pengelolaan pertambangan.

Pasal 47

Pengembangan kawasan industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 huruf e meliputi :


a. pengemdalian pengembangan industri besar yang dapat menimbulkan kerusakan
lingkungan;
b. pengembangan dan peningkatan industri rumah tangga;
c. pengembangan dan peningkatan jaringan infrastruktur penunjang kawasan;
d. pengelolaan kawasan peruntukan industri secara berkelanjutan; dan
e. pemberian insentif terhadap pengusaha industri yang mengelola industrinya
berwawasan lingkungan.

Pasal 48

Pengembangan kawasan pariwisata sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 huruf f


meliputi:
a. penyusunan Rencana Induk Pengembangan Pariwisata (RIPP) Kabupaten;
b. peningkatan kualitas obyek dan daya tarik wisata alam, budaya dan buatan;
c. mempertahankan fungsi-fungsi lindung yang terdapat di kawasan wisata;
d. pengembangan dan peningkatan sarana dan prasarana penunjang wisata;
e. mendorong kegiatan ekonomi penunjang wisata;
f. mensinergikan kegiatan lainnya yang memiliki potensi sebagai daya tarik wisata; dan
g. peningkatan sistem informasi wisata.

Pasal 49

Pengembangan kawasan permukiman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 huruf g


meliputi:
a. penyusunan masterplan Rencana Pembangunan dan Pengembangan Perumahan
Permukiman Daerah (RP4D);
b. penetapan batas pengembangan kawasan permukiman perkotaan dan perdesaan;
c. pengembangan Kasiba dan Lisiba;
d. pengembangan dan peningkatan jaringan infrastruktur penunjang permukiman;
e. identifikasi permukiman kumuh; dan
f. perbaikan lingkungan permukiman kumuh.
31
Pasal 50

Pengembangan kawasan peruntukan perlindungan pertahanan dan keamanan


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 huruf h meliputi :
a. penetapan batas kawasan;
b. pengembangan dan peningkatan sarana dan prasarana kawasan;
c. pengendalian perkembangan kegiatan di sekitar kawasan;
d. mensinergikan dengan kegiatan budidaya masyarakat sekitar; dan
e. sosialisasi dan workshop pengelolaan kawasan perlindungan pertahanan dan
keamanan.

BAB VIII
ARAHAN PENGENDALIAN PEMANFAATAN RUANG
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 51

(1) Arahan pengendalian pemanfaatan ruang wilayah kabupaten menjadi acuan


pelaksanaan pengendalian pemanfaatan ruang di wilayah kabupaten;

(2) Arahan pengendalian pemanfaatan ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi:
a. ketentuan umum peraturan zonasi;
b. perizinan;
c. ketentuan insentif dan disinsentif; dan
d. sanksi.

Bagian Kedua
Ketentuan Umum Peraturan Zonasi
Pasal 52

(1) Ketentuan umum peraturan zonasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (2)
huruf a, menjadi pedoman bagi penyusunan peraturan zonasi oleh pemerintah
kabupaten.

(2) Ketentuan umum peraturan zonasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi:
a. Ketentuan umum peraturan zonasi untuk kawasan lindung;
b. Ketentuan umum peraturan zonasi untuk kawasan budidaya; dan
c. Ketentuan umum peraturan zonasi untuk sistem jaringan prasarana provinsi dan
kabupaten.

Pasal 53

(1) Ketentuan umum peraturan zonasi untuk kawasan lindung sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 52 pada ayat (2) huruf a meliputi :
a. Kawasan Hutan Lindung;
b. Kawasan Resapan Air ;
c. Kawasan Sempadan Pantai;
d. Kawasan Sempadan Sungai;
e. Kawasan Sempadan Waduk;
f. Kawasan Sempadan mata Air;
g. Kawsasan Ruang Terbuka Hijau;
h. Kawasan Taman Nasional (TNBBS);
i. Kawasan Cagar Alam Laut;
j. Kawasan Rawan Bencana; dan
k. Kawasan Cagar Budaya dan Ilmu Pengetahuan.

32
(2) Ketentuan umum peraturan zonasi untuk kawasan budidaya sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 52 pada ayat (2) huruf b meliputi :
a. Kawasan Hutan Produksi Terbatas;
b. Kawasan Hutan Rakyat;
c. Kawasan Perkebunan;
d. Kawasan Pertanian;
e. Kawasan Perikanan;
f. Kawasan Peternakan;
g. Kawasan Pertambangan;
h. Kawasan Industri;
i. Kawasan Pariwisata;
j. Kawasan Permukiman; dan
k. Kawasan Peruntukan Lainnya.

(3) Ketentuan umum praturan zonasi untuk sistem jaringan prasarana provinsi dan
kabupaten sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 pada ayat (2) huruf c meliputi :
a. jaringan jalan;
b. jaringan prasarana lalu lintas dan angkutan jalan;
c. jaringan prasarana energi;
d. jaringan prasarana telekomunikasi;
e. jaringan prasarana sumber daya air; dan
f. jaringan prasarana lainnya.

Paragraf 1
Ketentuan Umum Peraturan Zonasi Kawasan Lindung
Pasal 54

(1) Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan hutan lindung sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 53 ayat (1) huruf a ditetapkan sebagai berikut :
a. dalam kawasan hutan lindung dapat dilaksanakan untuk kegiatan lain sesuai
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
b. kegiatan pertambangan di kawasan hutan lindung masih diperkenankan sepanjang
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku; dan
c. kawasan hutan lindung, dapat dimanfaatkan sepanjang mengikuti prosedur sesuai
peraturan perundang-undangan yang berlaku.

(2) Pembangunan prasarana wilayah yang harus melintasi hutan lindung dapat
diperkenankan dengap ketentuan :
a. tidak menyebabkan terjadinya perkembangan pemanfaatan ruang budidaya di
sepanjang jaringan prasarana tersebut; dan
b. mengikuti ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 55

Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan resapan air sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 53 ayat (1) huruf b ditetapkan sebagai berikut :
a. Dalam kawasan resapan air tidak diperkenankan adanya kegiatan budidaya;
b. Permukiman yang sudah terbangun di dalam kawasan resapan air sebelum ditetapkan
sebagai kawasan lindung masih diperkenankan namun harus memenuhi syarat :
1. Tingkat kerapatan bangunan rendah (KDB maksimum 20%, dan KLB maksimum
40%).
2. Perkerasan permukaan menggunakan bahan yang memiliki daya serap air tinggi.
3. Dalam kawasan resapan air wajib dibangun sumur-sumur resapan sesuai
ketentuan yang berlaku.

Pasal 56

(1) Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan sempadan pantai sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 53 ayat (1) huruf c ditetapkan sebagai berikut :

33
a. Kawasan sempadan pantai ditetapkan 100 meter dari titik pasang tertinggi;
b. Dalam kawasan sempadan pantai yang termasuk dalam zona inti wilayah pesisir
dan pulau-pulau kecil tidak diperkenankan dilakukan kegiatan budidaya kecuali
kegiatan penelitian, bangunan pengendali air, dan sistem peringatan dini (early
warning system);
c. Dalam kawasan sempadan pantai yang termasuk zona pemanfaatan terbatas dalam
wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil diperkenankan dilakukan kegiatan budidaya
pesisir, ekowisata, dan perikanan tradisional; dan
d. Dalam kawasan sempadan pantai yang termasuk zona lain dalam wilayah pesisir
dan pulau-pulau kecil diperkenankan dilakukan kegiatan budidaya sesuai
peruntukan kawasan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

(2) Zona inti kawasan pesisir, zona pemanfaatan terbatas sebagaimana dimaksud ayat (1)
huruf b, huruf c dan kawasan konservasi akan ditetapkan lebih lanjut sesuai dengan
ketentuan perundang-undangan.

Pasal 57

Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan sempadan sungai sebagaimana dimaksud


dalam Pasal 53 ayat (1) huruf d ditetapkan sebagai berikut :
a. Kawasan sempadan sungai adalah kawasan sepanjang kiri-kanan sungai, termasuk
sungai buatan/kanal/saluran irigasi primer yang mempunyai manfaat penting untuk
mempertahankan kelestarian fungsi sungai dengan lebar sempadan sebagai berikut :
1) Bertanggul dan berada dalam kawasan permukiman dengan lebar paling sedikit 5
(lima) meter dari kaki tanggul sebelah luar.
2) Tidak bertanggul dan berada diluar kawasan permukiman dengan lebar minimal
paling sedikit 100 (seratus) meter dari tepi sungai.
3) Tidak bertanggul pada sungai kecil diluar kawasan permukiman dengan lebar
paling sedikit 50 (lima puluh) meter dari tepi anak sungai.
b. Dalam kawasan sempadan sungai tidak diperkenankan dilakukan kegiatan budidaya
yang mengakibatkan terganggunya fungsi sungai; dan
c. Dalam kawasan sempadan sungai masih diperkenankan dibangun prasarana wilayah
dan utilitas lainnya dengan ketentuan tidak menyebabkan terjadinya perkembangan
pemanfaatan ruang budidaya di sepanjang jaringan prasarana tersebut dan dilakukan
sesuai ketentuan peraturan yang berlaku.

Pasal 58

Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan sempadan waduk sebagaimana dimaksud


dalam Pasal 53 ayat (1) huruf e ditetapkan sebagai berikut :
a. Lebar sempadan waduk adalah 50 (lima puluh) sampai dengan 100 (seratus) meter dari
titik pasang air danau atau waduk tertinggi;
b. Dalam kawasan sempadan waduk tidak diperkenankan dilakukan kegiatan budidaya
yang dapat merusak fungsi danau/waduk;
c. Dalam kawasan sempadan waduk diperkenankan dilakukan kegiatan penunjang
pariwisata alam seseuai ketentuan yang berlaku; dan
d. Dalam kawasan sempadan waduk masih diperkenankan dibangun prasarana wilayah
dan utilitas lainnya dengan ketentuan tidak menyebabkan terjadinya perkembangan
pemanfaatan ruang budidaya di sepanjang jaringan prasarana tersebut dan dilakukan
sesuai ketentuan peraturan yang berlaku.

Pasal 59

Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan sempadan mata air sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 53 ayat (1) huruf f ditetapkan sebagai berikut :
a. Dalam kawasan sempadan mata air tidak diperkenankan dilakukan kegiatan budidaya
yang dapat merusak mata air;
b. Dalam kawasan sempadan mata air masih diperkenankan dilakukan kegiatan
penunjang pariwisata alam sesuai ketentuan yang berlaku; dan

34
c. Dilarang mendirikan bangunan tanpa kecuali.

Pasal 60

Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan ruang terbuka hijau sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 53 ayat (1) huruf g ditetapkan sebagai berikut :
a. Kawasan ruang terbuka hijau tidak diperkenankan dialihfungsikan.
b. Dalam kawasan ruang terbuka hijau masih diperkenankan dibangun fasilitas
pelayanan sosial secara terbatas dan memenuhi ketentuan yang berlaku.
c. Pemanfaatan ruang untuk ruang terbuka hijau;
d. Pendirian bangunan yang dibatasi hanya untuk menunjang kegiatan rekreasi;
e. Pelarangan semua jenis kegiatan yang dapat menurunkan luas, nilai ekologis, dan
estetika kawasan; dan
f. Untuk kawasan perkotaan minimal disediakan RTH dengan luas 30% (tiga puluh
persen) dari total luas kota dan 30% (tiga puluh persen) dari DAS untuk wilayah
kabupaten.

Pasal 61

Ketentuan umum peraturan zonasi Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS)
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (1) huruf h ditetapkan sebagai berikut :
a. Dalam kawasan taman nasional dilarang dilakukan kegiatan budidaya yang
menyebabkan menurunnya fungsi kawasan;
b. Dalam kawasan taman nasional dilarang dilakukan penebangan pohon dan perburuan
satwa yang dilndungi undang-undang;
c. Dalam kawasan taman nasional laut dilarang dilakukan penambangan terumbu karang;
d. Dalam kawasan taman nasional dan taman nasional laut masih diperbolehkan
dilakukan kegiatan penelitian dan wisata alam sepanjang tidak merusak lingkungan;
dan
e. Dalam kawasan taman nasional dan taman nasional laut masih diperbolehkan
dilakukan pembangunan prasarana wilayah dan prasarana bawah laut sepanjang tidak
merusak atau menurangi fungsi kawasan.

Pasal 62

Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan cagar alam laut dan perairan lainnya
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (1) huruf i ditetapkan sebagai berikut :
a. Tidak diperkenankan dilakukan kegiatan budidaya yang mengakibatkan rusak dan
menurunnya fungsi kawasan;
b. Tidak diperkenankan dilakukan kegiatan budidaya perikanan skala besar atau skala
usaha dan eksploitasi sumberaya kelautan yang mengakibatkan menurunnya potensi
alam laut dan perairan lainnya;
c. Dilarang dilakukan penambangan terumbu karang sehingga tutupan karang hidupnya
kurang dari 50 % (lima puluh persen);
d. Masih diperkenankan dilakukan kegiatan pariwisata alam secara terbatas dan kegiatan
penelitian;
e. Masih diperkenankan dibangun pasarana wilayah bawah laut dan bangunan pengendali
air; dan
f. Masih diperkenankan dipasang alat pemantau bencana alam seperti sistem peringatan
dini (early warning system).

Pasal 63

Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan rawan bencana alam sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 53 ayat (1) huruf j ditetapkan sebagai berikut :
a. Perkembangan kawasan permukiman yang sudah terbangun di dalam kawasan rawan
bencana alam harus dibatasi dan diterapkan peraturan bangunan (building code) sesuai
dengan potensi bahaya/bencana alam, serta dilengkapi jalur evakuasi;

35
b. Kegiatan-kegiatan vital/strategis diarahkan untuk tidak dibangun pada kawasan rawan
bencana;
c. Dalam kawasan rawan bencana masih dapat dilakukan pembangunan prasarana
penunjang untuk mengurangi resiko bencana alam dan pemasangan sistem peringatan
dini (early warning system); dan
d. Dalam kawasan rawan bencana alam masih diperkenankan adanya kegiatan budidaya
lain seperti pertanian, perkebunan, dan kehutanan, serta bangunan yang berfungsi
untuk mengurangi resiko yang timbul akibat bencana alam.

Pasal 64
Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan cagar budaya dan ilmu pengetahuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (1) huruf k ditetapkan sebagai berikut :
a. Kawasan cagar budaya dilindungi dengan sempadan sekurang-kurangnya memiliki
radius 100 m, dan pada radius sekurang-kurangnya 500 m tidak diperkenankan
adanya bangunan lebih dari 1 (satu) lantai; dan
b. Tidak diperkenankan adanya bangunan lain kecuali bangunan pendukung cagar
budaya dan ilmu pengetahuan.

Paragraf 2
Ketentuan Umum Peraturan Zonasi Kawasan Budidaya
Pasal 65

Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan hutan produksi terbatas sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 53 ayat (2) huruf a ditetapkan sebagai berikut :
a. Hutan produksi adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok memproduksi
hasil hutan
b. Penggunaan kawasan hutan produksi dilakukan tanpa mengubah fungsi pokok kawasan
hutan dengan mempertimbangkan batasan luas dan jangka waktu tertentu serta
kelestarian lingkungan.
c. Dalam kawasan hutan produksi diperkenankan adanya kegiatan kehutanan dan
pembangunan sistem jaringan prasarana wilayah dan bangunan terkait dengan
pengelolaan budidaya hutan produksi;
d. Kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi atau dialihfungsikan untuk kegiatan lain
di luar kehutanan sesuai peraturan perundangan yang berlaku;
e. Kegiatan dalam kawasan hutan produksi tidak diperkenankan menimbulkan gangguan
lingkungan seperti bencana alam;
d. Sebelum kegiatan pengelolaan hutan produksi dilakukan wajib dilakukan studi
kelayakan dan studi AMDAL yang hasilnya disetujui oleh tim evaluasi dari lembaga yang
berwenang.

Pasal 66

Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan hutan rakyat sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 53 ayat (2) huruf a ditetapkan sebagai berikut :
a. Kegiatan pengusahaan hutan rakyat diperkenankan dilakukan terhadap lahan-lahan
yang potensial dikembangkan di seluruh wilayah kabupaten;
b. Kegiatan pengusahaan hutan rakyat tidak diperkenankan mengurangi fungsi lindung,
sperti mengurangi keseimbangan tata air, dan lingkungan sekitarnya;
c. Kegiatan dalam kawasan hutan rakyat tidak diperkenankan menimbulkan gangguan
lingkungan seperti bencana alam, seperti longsor dan banjir; Pengelolaan hutan rakyat
harus mengikuti peraturan perundang-undangan yang berlaku;
d. Pengusahaan hutan rakyat oleh badan hukum dilakukan harus dengan melibatkan
masyarakat setempat; dan
e. Kawasan hutan rakyat dapat dialihfungsikan untuk kegiatan lain setelah potensi hutan
tersebut dimanfaatkan dan sesuai peraturan perundangan yang berlaku.

36
Pasal 67

Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan perkebunan sebagaimana dimaksud dalam


Pasal 53 ayat (2) huruf b ditetapkan sebagai berikut :
a. Dalam kawasan perkebunan dan perkebunan rakyat tidak diperkenankan penanaman
jenis tanaman perkebunan yang bersifat menyerap air dalam jumlah banyak, terutama
kawasan perkebunan yang berlokasi di daerah hulu/kawasan resapan air;
b. Bagi kawasan perkebunan besar tidak diperkenankan mengubah jenis tanaman
perkebunan yang tidak sesuai dengan perizinan yang diberikan;
c. Dalam kawasan perkebunan besar dan perkebunan rakyat diperkenankan adanya
bangunan yang bersifat mendukung kegiatan perkebunan dan jaringan prasarana
wilayah;
d. Alih fungsi kawasan perkebunan menjadi fungsi Iainnya dapat dilakukan sepanjang
sesuai dan mengikuti ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
e. Sebelum kegiatan perkebunan besar dilakukan diwajibkan untuk dilakukan studi
kelayakan dan studi AMDAL yang hasilnya disetujui oleh tim evaluasi dari lembaga
yang berwenang;
f. Kegiatan perkebunan tidak diperkenankan dilakukan di dalam kawasan lindung kecuali
ditentukan lain oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku; dan
g. Jenis tanaman perkebunan yang bersifat menyerap air dalam jumlah banyak, diatur
dalam peraturan perundang-undangan.

Pasal 68

Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan pertanian sebagaimana dimaksud dalam Pasal
53 ayat (2) huruf c ditetapkan sebagai berikut :
a. Kegiatan budidaya pertanian tanaman tidak diperkenankan menggunakan lahan yang
dikelola dengan mengabaikan kelestarian lingkungan, misalnya penggunaan pupuk
yang menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan, dan pengolahan tanah yang
tidak memperhatikan aspek konservasi;
b. Dalam pengelolaan pertanian tidak diperkenankan pemborosan penggunaan sumber
air;
c. Peruntukan budidaya pertanian diperkenankan untuk dialihfungsikan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, kecuali lahan pertanian
tanaman pangan yang telah ditetapkan dengan undang-undang;
d. Pada kawasan budidaya pertanian diperkenankan adanya bangunan prasarana wilayah
dan bangunan yang bersifat mendukung kegiatan pertanian;
e. Dalam kawasan pertanian masih diperkenankan dilakukan kegiatan wisata alam secara
terbatas, penelitian dan pendidikan; dan
f. Kegiatan pertanian tidak diperkenankan dilakukan di dalam kawasan lindung,kecuali
di tentukan lain oleh Peraturan Perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 69

Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan perikanan sebagaimana dimaksud dalam


Pasal 53 ayat (2) huruf d ditetapkan sebagai berikut :
a. Kawasan budidaya perikanan tidak diperkenankan berdekatan dengan kawasan
yang bersifat polutif;
b. Dalam kawasan perikanan masih diperkenankan adanya kegiatan lain yang
bersifatmendukung kegiatan perikanan dan pembangunan sistem jaringan prasarana
sesuai ketentuan yang berlaku;
c. Kawasan perikanan diperkenankan untuk dialihfungsikan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku;
d. Dalam kawasan perikanan masih diperkenankan dilakukan kegiatan wisata alam secara
terbatas, penelitian dan pendidikan; dan
e. Kegiatan perikanan tidak diperkenankan dilakukan di dalam kawasan lindung.

37
Pasal 70

Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan peternakan sebagaimana dimaksud dalam


Pasal 53 ayat (2) huruf e ditetapkan sebagai berikut :
a. Kawasan budidaya peternakan tidak diperkenankan berdekatan dengan kawasan
permukiman;
b. Dalam kawasan peternakan masih diperkenankan adanya kegiatan lain yang bersifat
mendukung kegiatan peternakan dan pembangunan sistem jaringan prasarana sesuai
ketentuan yang berlaku;
c. Kawasan peternakan diperkenankan untuk dialihfungsikan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku;
d. Dalam kawasan peternakan masih diperkenankan dilakukan kegiatan wisata alam
secara terbatas, penelitian dan pendidikan; dan
e. Kegiatan peternakan tidak diperkenankan dilakukan di dalam kawasan lindung.

Pasal 71

Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan pertambangan sebagaimana dimaksud dalam


Pasal 53 ayat (2) huruf f ditetapkan sebagai berikut :
a. Kegiatan usaha pertambangan sepenuhnya harus mengikuti ketentuan yang berlaku di
bidang pertambangan;
b. Kegiatan usaha pertambangan dilarang dilakukan tanpa izin dari instansi/pejabat yang
berwenang;
c. Kawasan pasca tambang wajib dilakukan rehabilitasi (reklamasi dan/atau revitalisasi)
sehingga dapat digunakan kembali untuk kegiatan lain, seperti pertanian, kehutanan,
dan pariwisata;
d. Pada kawasan pertambangan diperkenankan adanya kegiatan lainyang bersifat
mendukung kegiatan pertambangan;
e. Kegiatan permukiman diperkenankan secara terbatas untuk menunjang kegiatan
pertambangan dengan tetap memperhatikan aspek-aspek keselamatan; dan
f. Sebelum kegiatan pertambangan dilakukan wajib dilakukan studi kelayakan dan studi
AMDAL yang hasilnya disetujui oleh tim evaluasi dari lembaga yang berwenang.

Pasal 72

Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal
53 ayat (2) huruf g ditetapkan sebagai berikut :
a. Untuk meningkatkan produktifitas dan kelestarian lingkungan pengembangan kawasan
industri harus memperhatikan aspek ekologis;
b. Lokasi kawasan industri tidak diperkenankan berbatasan langsung dengan kawasan
permukiman;
c. Pada kawasan industri diperkenankan adanya permukiman penunjang kegiatan
industri yang dibangun sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku;
d. Pada kawasan industri masih diperkenankan adanya sarana dan prasarana wilayah
sesuai dengan ketentuan yang berlaku;
e. Pengembangan kawasan industri harus dilengkapi dengan jalur hijau (greenbelt)
sebagai penyangga antar fungsi kawasan, dan sarana pengolahan limbah;
f. Pengembangan zona industri yang terletak pada sepanjang jalan arteri atau kolektor
harus dilengkapi dengan frontage road untuk kelancaran aksesibilitas; dan
g. Setiap kegiatan industri harus dilengkapi dengan upaya pengelolaan lingkungan dan
upaya pemantauan lingkungan serta dilakukan studi AMDAL.

Pasal 73

Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan wisata sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53
ayat (2) huruf h ditetapkan sebagai berikut:
a. Pada kawasan wisata alam tidak diperkenankan dilakukan kegiatan yang dapat
menyebabkan rusaknya kondisi alam terutama yang menjadi obyek wisata alam;

38
b. Dalam kawasan wisata dilarang dibangun permukiman dan industri yang tidak terkait
dengan kegiatan pariwisata;
c. Dalam kawasan wisata diperkenankan adanya sarana dan prasarana yang mendukung
kegiatan pariwisata dan sistem prasarana wilayah sesuai dengan ketentuan
perundangundangan yang berlaku;
d. Pada kawasan wisata diperkenankan dilakukan penelitian dan pendidikan.
e. Pada kawasan wisata alam tidak diperkenankan adanya bangunan lain kecuali
bangunan pendukung kegiatan wisata alam; dan
f. Pengembangan kawasan wisata harus dilengkapi dengan upaya pengelolaan
lingkungan dan upaya pemantauan lingkungan serta studi AMDAL.

Pasal 74

Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan permukiman sebagaimana dimaksud dalam


Pasal 53 ayat (2) huruf i ditetapkan sebagai berikut :
a. Peruntukan kawasan permukiman diperkenankan untuk dialihfungsikan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku
b. Pada kawasan permukiman diperkenankan adanya sarana dan prasarana pendukung
fasilitas permukiman sesuai dengan petunjuk teknis dan peraturan yang berlaku;
c. Dalam kawasan permukiman masih diperkenankan dibangun prasarana wilayah sesuai
dengan ketentuan peraturan yang berlaku;
d. Kawasan permukiman harus dilengkapi dengan fasilitas sosial termasuk Ruang Terbuka
Hijau (RTH) perkotaan;
e. Dalam kawasan permukiman masih diperkenankan adanya kegiatan industry skala
rumah tangga dan fasilitas sosial ekonomi Iainnya dengan skala pelayanan lingkungan;
f. Kawasan permukiman tidak diperkenankan dibangun di dalam kawasan
Iindung/konservasi dan lahan pertanian dengan irigasi teknis;
g. Dalam kawasan permukiman tidak diperkenankan dikembangkan kegiatan yang
mengganggu fungsi permukiman dan kelangsungan kehidupan sosial masyarakat.
h. Pengembangan kawasan permukiman harus dilakukan sesuai ketentuan peraturan
yang berlaku di bidang perumahan dan permukiman;
i. Pembangunan hunian dan kegiatan Iainnya di kawasan permukiman harus sesuai
dengan peraturan teknis dan peraturan Iainnya yang berlaku (KDB, KLB, sempadan
bangunan, dan lain sebagainya).

Pasal 75

Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan peruntukan lainnya sebagaimana dimaksud


dalam Pasal 53 ayat (2) huruf j ditetapkan sebagai berikut:
a. Peruntukan kawasan diperkenankan untuk dialihfungsikan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku;
b. Diperkenankan adanya sarana dan prasarana pendukung fasilitas peruntukan tersebut
sesuai dengan petunjuk teknis dan peraturan yang berlaku;
c. Alokasi peruntukan yang diperkenankan adalah lahan terbuka (darat dan perairan
laut) yang belum secara khusus ditetapkan fungsi pemanfaatannya dan belum banyak
dimanfaatkan oleh manusia serta memiliki akses yang memadai untuk pembangunan
infrastruktur;
d. Dilarang melakukan kegiatan yang merusak fungsi ekosistem daerah peruntukan;
e. Pembangunan kawasan peruntukan lainnya harus sesuai dengan peraturan teknis dan
peraturan lainnya yang berlaku (KDB, KLB, sempadan bangunan, dan lain sebagainya);
dan
f. Kegiatan pembangunan tidak diperkenankan dilakukan di dalam kawasan lindung.

Paragraf 3
Ketentuan Umum Peraturan Zonasi Sistem Jaringan Prasarana
Pasal 76

(1) Ketentuan umum peraturan zonasi jaringan jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
53 pada ayat (3) huruf a disusun dengan ketentuan:

39
a. pemanfaatan ruang di sepanjang sisi jalan dengan tingkat intensitas menengah
hingga tinggi yang kecenderungan pengembangan ruangnya dibatasi;
b. pelarangan alih fungsi lahan yang berfungsi lindung di sepanjang sisi jalan;
c. pelarangan kegiatan yang memanfaatkan ruang manfaat jalan yang dapat
mengganggu fungsi jalan sebagai sarana fasilitas umum;
d. bangunan dengan fungsi penunjang yang diizinkan hanya berkaitan dengan
pemanfaatan ruas jalan seperti rambu-rambu, marka, pengarah dan pengaman
jalan, serta penerangan jalan; dan
e. penetapan garis sempadan bangunan di sisi jalan yang memenuhi ketentuan ruang
pengawasan jalan.

(2) Ketentuan umum peraturan zonasi jaringan prasarana lalu lintas dan angkutan jalan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 pada ayat (3) huruf b disusun dengan
ketentuan:
a. pemanfaatan ruang untuk terminal berada pada kawasan yang dilewati jaringan
jalan primer;
b. pemanfaatan ruang untuk terminal diarahkan untuk dapat mendukung pergerakan
orang dan barang;
c. pembatasan pemanfaatan ruang yang peka terhadap dampak lingkungan akibat
aktivitas terminal; dan
d. pelarangan pemanfaatan ruang yang dapat mengganggu fungsi terminal sebagai
sarana fasilitas umum.

(3) Ketentuan umum peraturan zonasi jaringan prasarana energi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 53 pada ayat (3) huruf c disusun dengan ketentuan:
a. pemanfaatan ruang di sekitar gardu induk listrik harus memperhatikan jarak aman
dari kegiatan lain;
b. pemanfaatan ruang di sepanjang jaringan Saluran Udara Tegangan Tinggi (SUTT)
dan Saluran Udara Tegangan Ekstra Tinggi (SUTET) diarahkan sebagai ruang
terbuka hijau; dan
c. pelarangan pemanfaatan ruang bebas di sepanjang jalur transmisi.

(4) Ketentuan umum peraturan zonasi jaringan prasarana telekomunikasi sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 53 pada ayat (3) huruf d disusun dengan ketentuan:
a. pemanfaatan ruang untuk penempatan menara telekomunikasi yang
memperhitungkan aspek keamanan dan keselamatan aktivitas kawasan; dan
b. pemanfaatan menara telekomunikasi secara bersama.
c. pelarangan pemanfaatan ruang bebas di sepanjang jalur transmisi.

(5) Ketentuan umum peraturan zonasi jaringan sumber daya air sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 53 pada ayat (3) huruf e disusun dengan ketentuan:
a. pemanfaatan ruang pada kawasan di sekitar wilayah sungai dengan tetap menjaga
kelestarian lingkungan dan fungsi lindung sungai;
b. bangunan yang bisa didirikan di sempadan sungai adalah bangunan pemeliharaan
jaringan sungai;
c. pemanfaatan ruang di sekitar sungai dan jaringan irigasi sebagai ruang terbuka
hijau;
d. pembatasan pembangunan bangunan yang menganggu sistem lindung sempadan
sungai; dan
e. pelarangan pemanfaatan ruang yang dapat merusak ekosistem dan fungsi lindung
sungai, dan jaringan irigasi.

(6) Ketentuan umum peraturan zonasi sistem jaringan prasarana lainnya sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 53 pada ayat (3) huruf f terdiri atas:
a. sistem jaringan persampahan;
b. sistem jaringan air limbah;
c. sistem jaringan drainase; dan
d. jalur dan ruang evakuasi bencana.

40
(7) Ketentuan umum peraturan zonasi sistem jaringan persampahan sebagaimana
dimaksud pada ayat (6) huruf a disusun dengan ketentuan:
a. pemanfaatan ruang yang diperbolehkan di kawasan Tempat Pemrosesan Akhir
(TPA) dan Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) meliputi kegiatan bongkar
muat sampah, pemilahan dan pengolahan sampah, kegiatan budidaya pertanian dan
kegiatan lain yang mendukung;
b. pemanfaatan ruang di sekitar di kawasan TPA dan TPST sebagai ruang terbuka
hijau;
c. pemanfaatan ruang yang tidak diperbolehkan di sekitar kawasan TPA dan TPST
adalah kegiatan permukiman; dan
d. pelarangan kegiatan yang menimbulkan pencemaran lingkungan di kawasan TPA
dan TPST.

(8) Ketentuan umum peraturan zonasi sistem jaringan air limbah sebagaimana dimaksud
pada ayat (6) huruf b disusun dengan ketentuan:
a. pemanfaatan ruang diperbolehkanpada ruang terbuka hijau;
b. kegiatan yang diperbolehkan berupa kegiatan pembangunan dan pemeliharaan
jaringan; dan
c. kegiatan yang dilarang berupa kegiatan yang merusak jaringan air limbah.

(9) Ketentuan umum peraturan zonasi sistem jaringan drainase sebagaimana dimaksud
pada ayat (6) huruf c disusun dengan ketentuan:
a. kegiatan yang diperbolehkan berupa kegiatan pembangunan dan pemeliharaan
jaringan;
b. kegiatan yang tidak diperbolehkan meliputi:
1) kegiatan yang menimbulkan pencemaran saluran; dan
2) kegiatan yang menutup dan merusak jaringan drainase.

(10) Ketentuan umum peraturan zonasi jalur dan ruang evakuasi bencana sebagaimana
dimaksud pada ayat (6) huruf d disusun dengan ketentuan:
a. pemanfaatan ruang yang diizinkan pada ruang terbuka hijau;
b. kegiatan yang diperbolehkan berupa perhubungan dan komunikasi; dan
c. kegiatan yang dilarang berupa kegiatan yang menghambat kelancaran akses jalur
evakuasi.

Bagian Ketiga
Perizinan
Pasal 77

(1) Perizinan merupakan acuan bagi pejabat yang berwenang dalam pemberian izin
pemanfaatan ruang sesuai rencanastruktur ruang dan pola ruang yang ditetapkan
dalam Peraturan Daerah ini;

(2) Izin pemanfaatan ruang diberikan oleh pejabat yang berwenang sesuai dengan
kewenangannya dan ketentuan peraturan perundang-undangan;

(3) Pemberian izin pemanfaatan ruang dilakukan menurut prosedur atau mekanisme
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;

(4) Izin pemanfaatan ruang yang memiliki dampak skala kabupaten diberikan atau
mendapat rekomendasi dari Bupati;

(5) Jenis perijinan pemanfaatan ruang meliputi :


a. Kawasan Lindung
b. Kawasan Budidaya

(6) Ketentuan Iebih lanjut mengenai ketentuan perizinan wilayah kabupaten diatur dengan
peraturan Bupati.

41
Bagian Keempat
Ketentuan Insentif dan Disinsentif
Pasal 78

(1) Insentif dan disinsentif diberikan oleh pamerintah daerah sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.

(2) Insentif diberikan apabila pemanfaatan ruang sesuai dengan rencana struktur ruang,
rencana pola ruang, kawasan yang didorong pertumbuhannya dan ketentuan umum
peraturan zonasi yang diatur dalam Peraturan Daerah ini.

(3) Disinsentif dikenakan terhadap pemanfaatan ruang yang perlu dicegah, dibatasi, atau
dikurangi, atau dilarang dikembangkan untuk kegiatan budi daya berdasarkan
ketentuan dalam Peraturan Daerah ini.

Paragraf 1
Ketentuan Pemberian Insentif
Pasal 79

(1) Pemberian insentif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 ayat (2) meliputi :
a. Insentif fiskal; dan
b. Insentif non-fiskal

(2) Pemberian insentif fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi :
a. Penghapusan retribusi;
b. Pengurangan atau penghapusan PBB melalui mekanisme restitusi pajak oleh dana
APBD; dan
c. Bantuan subsidi, modal bergilir atau penyertaan modal.

(3) Pemberian insentif non-fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi :
a. Kemudahan dalam perizinan bagi pengusaha;
b. Bantuan peningkatan keberdayaan pelaku usaha terkait; dan
c. Penyediaan prasarana pendukung produksi dan pemasaran produk.

(4) Pemberian insentif dapat diberikan terhadap pelaksanaan kegiatan yang sejalan
dengan rencana tata ruang sebagaimana dimaksud ayat (2) dan ayat (3), meliputi :
a. Kawasan pertanian tanaman pangan yaitu kawasan dalam kerangka pewujudan
swasembada pangan;
b. Kawasan perkebunan yaitu perkebunan kopi yang merupakan komoditas unggulan
kabupaten;
c. Kawasan pesisir dalam rangka optimalisasi pemanfaatan sumber daya kelautan dan
perikanan;
d. Kawasan wisata guna peningkatan pendapatan masyarakat dan pendapatan asli
daerah (PAD);
e. Kawasan pusat agropolitan sebagai pusat pengelolaan, pengolahan dan pemasaran
hasil perkebunan; dan
f. Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi dan PLTMH.

Paragraf 2
Ketentuan Pemberian Disinsentif
Pasal 80

(1) Arahan pemberian disinsentif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 ayat (3)
disinsentif non-fiskal, berupa tidak diberikannya sarana dan prasarana permukiman
yang memungkinkan pengalihan fungsi lahan pertanian menjadi perumahan atau
kegiatan komersial.

(2) Arahan pemberian disinsentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya
diberlakukan disinsentif non fiskal, meliputi :

42
a. Pembatasan penyediaan prasarana dan sarana permukiman untuk mencegah
perkembangan permukiman lebih lanjut;
b. Penolakan pemberian prasarana dan sarana permukiman untuk kawasan lindung;
dan
c. Penyediaan prasarana dan sarana permukiman hanya diperbolehkan untuk
memenuhi kebutuhan penduduk yang sudah ada.

(3) Pemberian disinsentif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 ayat (3) ditujukan pada
pola ruang tertentu yang dinilai harus dibatasi dan atau dikendalikan
pemanfaatannya, meliputi :
a. Kawasan rawan bencana, meliputi rawan bencana Iongsor, gempa, tsunami atau
gelombangpasang dan banjir;
b. Kawasan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan sebagai kawasan suaka alam yang
menjadi paru-paru, pelestarian alam, cagar alam dan wisata alam;
c. Kawasan pertanian dan perkebunan yang berada pada kawasan TNBBS dan hutan
lindung; dan
d. Kawasan pertambangan yang dalam pemanfaatannya mempunyai dampak panting.

Pasal 81

(1) Pemberian insentif dan pengenaan disinsentif dilaksanakan oleh instansi berwenang.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian insentif dan disinsentif akan
diatur dengan Peraturan Bupati.

BAB IX
HAK, KEWAJIBAN DAN PERAN MASYARAKAT
Bagian Kesatu
Hak Masyarakat
Pasal 82

Dalam penataan ruang , setiap orang berhak untuk :


a. Mengetahui rencana tata ruang wilayah kabupaten;
b. Menikmati pertambahan nilai ruang sebagai akibat penataan ruang;
c. Memperoleh penggantian yang Iayak atas kerugian yang timbul akibat pelaksanaan
kegiatan pembangunan yang sesuai dengan rencana tata ruang;
d. Mengajukan keberatan kepada pejabat berwenang terhadap pembangunan yang tidak
sesuai dengan rencana tata ruang di wilayahnya;
e. Mengajukan tuntutan pembatalan izin dan penghentian pembangunan yang tidak sesuai
dengan rencana tata ruang kepada pejabat berwenang; dan
f. Mengajukan gugatan ganti kerugian kepada pemerintah dan/atau pemegang izin
apabila kegiatan pembangunan yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang
menimbulkan kerugian.

Bagian Kedua
Kewajiban Masyarakat
Pasal 83

Dalam pemanfaatan ruang, setiap orang wajib :


a. Menaati RTRW Kabupaten yang telah ditetapkan;
b. Memanfaatkan ruang sesuai dengan izin pemanfaatan ruang dari pejabat yang
berwenang;
c. Mematuhi ketentuan yang ditetapkan dalam persyaratan izin pemanfaatan ruang; dan
d. Memberikan akses terhadap kawasan yang oleh ketentuan peraturan perundang-
undangan dinyatakan sebagai milik umum.

43
Bagian Ketiga
Peran Masyarakat
Pasal 84

(1) Peran masyarakat dalam penataan ruang dilakukan antara lain melalui :
a. Partisipasi dalam penyusunan rencana tata ruang;
b. Partisipasi dalam pemanfaatan ruang, dan
c. Partisipasi dalam pengendalian pemanfaatan ruang.

(2) Bentuk peran masyarakat dalam perencanaan tata ruang berupa :


a. Masukan mengenai :
1) Persiapan penyusunan rencana tata ruang;
2) Penentuan arah pengembangan wilayah atau kawasan;
3) Pengidentifikasian potensi dan masalah pembangunan wilayah atau kawasan;
4) Perumusan konsepsi rencana tata ruang dan atau
5) Penetapan rencana tata ruang.
b. Kerjasama dengan pemerintah, pemerintah daerah dan atau sesama unsur
masyarakat dalam perencanaan tata ruang.

Pasal 85

Bentuk peran masyarakat dalam pemanfaatan ruang dapat berupa :


a. masukan mengenai kebijakan pemanfaatan ruang;
b. kerjasama dengan pemerintah, pemerintah daerah, dan atau sesama unsur masyarakat
dalam pemanfaatan ruang;
c. kegiatan memanfaatkan ruang yang sesuai dengan kearifan local dan rencana tata
ruang yang telah ditetapkan;
d. peningkatan efisiensi, efektivitas, dan keserasian dalam pemanfaatan ruang darat,
ruang laut, ruang udara, dan ruang di dalam bumi dengan memperhatikan kearifan
lokal serta sesuai dengan ketentuan perundang-undangan;
e. kegiatan menjaga kepentingan pertahanan dan keamanan serta memelihara dan
meningkatkan kelestarian fungsi lingkungan hidup dan sumber daya alam; dan
f. kegiatan investasi dalam pemanfaatan ruang sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.

Pasal 86

Bentuk peran masyarakat dalam pengendalian pemanfaatan ruang dapat berupa:


a. Masukan terkait arahan dan atau peraturan zonasi, perijinan, pemberian insentif dan
disinsentif serta pengenaaan sanksi;
b. Keikutsertaan dalam memantau dan mengawasi pelaksanaan rencana tata ruang yang
telah ditetapkan;
c. Pelaporan kepada instansi dan atau pejabat yang berwenang dalam hal menemukan
dugaan penyimpangan kegiatan pemanfaatan ruang yang melanggar rencana tata
ruang yang ditetapkan; dan
d. Pengajuan keberatan terhadap keputusan pejabat yang berwenang terhadap
pembangunan yang dianggap tidak sesuai dengan rencana tata ruang.

Pasal 87

Tata cara dan ketentuan lebih lanjut tentang peran masyarakat dalam penataan ruang di
daerah yang dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

44
BAB X
SANKSI ADMINISTRATIF DAN PIDANA
Pasal 88

Setiap orang dan/atau korporasi yang melanggar ketentuan pengaturan tata ruang
sebagimana diatur dalam Peraturan Daerah ini dapat dikenakan sanksi administratif
berupa :
a. Peringatan tertulis;
b. Penghentian sementara kegiatan;
c. Penghentian sementara pelayanan umum;
d. Penutupan lokasi;
e. Pencabutan izin;
f. Pembatalan izin;
g. Pembongkaran bangunan; dan
h. Pemulihan fungsi ruang.

Pasal 89

(1) Peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada Pasal 88 huruf a diberikan oleh
pejabat yang berwenang dalam penertiban pelanggaran pemanfaatan ruang melalui
penerbitan surat peringatan tertulis sebanyak- banyaknya 3 (tiga) kali.

(2) Penghentian sementara kegiatan sebagaimana dimaksud pada Pasal 88 huruf b


dilakukan melalui langkah-langkah sebagai berikut:
a. Penerbitan surat perintah penghentian kegiatan sementara dari pejabat yang
berwenang melakukan penertiban pelanggaran pemanfaatan ruang;
b. Apabila pelanggar mengabaikan perintah penghentian kegiatan sementara, pejabat
yang berwenang melakukan penertiban dengan menerbitkan surat keputusan
pengenaan sanksi penghentian sementara secara paksa terhadap kegiatan
pemanfaatan ruang;
c. Pejabat yang berwenang melakukan tindakan penertiban dengan memberitahukan
kepada pelanggar mengenai pengenaan sanksi penghentian kegiatan pemanfaatan
ruang dan akan segera dilakukan tindakan penertiban oleh aparat penertiban;
d. Berdasarkan surat keputusan pengenaan sanksi, pejabat yang berwenang
melakukan penertiban dengan bantuan aparat penertiban melakukan penghentian
kegiatan pemanfaatan ruang secara paksa; dan
e. Setelah kegiatan pemanfaatan ruang dihentikan, pejabat yang berwenang
melakukan pengawasan agar kegiatan pemanfaatan ruang yang dihentikan tidak
beroperasi kembali sampai dengan terpenuhinya kewajiban pelanggar untuk
menyesuaikan pemanfaatan ruangnya dengan rencana tata ruang dan/atau
ketentuan teknis pemanfaatan ruang yang berlaku.

(3) Penghentian sementara pelayanan umum sebagaimana dimaksud pada Pasal 88 huruf
c dilakukan melalui langkah-langkah sebagai berikut:
a. Penerbitan surat pemberitahuan penghentian sementara pelayanan umum dari
pejabatyang berwenang melakukan penertiban pelanggaranpemanfaatan ruang
(membuat surat pemberitahuan penghentian sementara pelayanan umum);
b. Apabila pelanggar mengabaikan surat pemberitahuan yang disampaikan, pejabat
yang berwenang melakukan penertiban menerbitkan surat keputusan pengenaan
sanksi penghentian sementara pelayanan umum kepada pelanggar dengan memuat
rincian jenis-jenis pelayanan umum yang akan diputus;
c. Pejabat yang berwenang melakukan tindakan penertiban memberitahukan kepada
pelanggar mengenai pengenaan sanksi penghentian sementara pelayanan umum
yang akan segera dilaksanakan, disertai rincian jenis-jenis pelayanan umum yang
akan diputus;
d. Pejabat yang berwenang menyampaikan perintah kepada penyedia jasa pelayanan
umum untuk menghentikan pelayanan kepada pelanggar, disertai penjelasan
secukupnya;
e. Penyedia jasa pelayanan umum menghentikan pelayanan kepada pelanggar; dan

45
f. Pengawasan terhadap penerapan sanksi penghentian sementara pelayanan umum
dilakukan untuk memastikan tidak terdapat pelayanan umum kepada pelanggar
sampai dengan pelanggar memenuhi kewajibannya untuk menyesuaikan
pemanfaatan ruangnya dengan rencana tata ruang dan ketentuan teknis
pemanfaatan ruang yang berlaku.

(4) Penutupan lokasi sebagaimana dimaksud pada Pasal 88 huruf d dilakukan melalui
langkah-langkah sebagai berikut:
a. Penerbitan surat perintah penutupan lokasi dari pejabat yang berwenang
melakukan penertiban pelanggaran pemanfaatan ruang;
b. Apabila pelanggar mengabaikan surat perintah yang disampaikan, pejabat yang
berwenang menerbitkan surat keputusan pengenaan sanksi penutupan lokasi
kepada pelanggar;
c. Pejabat yang berwenang melakukan tindakan penertiban dengan memberitahukan
kepada pelanggar mengenai pengenaan sanksi penutupan lokasi yang akan segera
dilaksanakan;
d. Berdasarkan surat keputusan pengenaan sanksi, pejabat yang berwenang dengan
bantuan aparat penertiban melakukan penutupan lokasi secara paksa; dan
e. Pengawasan terhadap penerapan sanksi penutupan lokasi, untuk memastikan lokasi
yang ditutup tidak dibuka kembali sampai dengan pelanggar memenuhi
kewajibannya untuk menyesuaikan pemanfaatan ruangnya dengan rencana tata
ruang dan ketentuan teknis pemanfaatan ruang yang berlaku.

(5) Pencabutan izin sebagaimana dimaksud pada Pasal 88 huruf e dilakukan melalui
langkah-langkah sebagai berikut:
a. Menerbitkan surat pemberitahuan sekaligus pencabutan izin oleh pejabat yang
berwenang melakukan penertiban pelanggaran pemanfaatan ruang;
b. Apabila pelanggar mengabaikan surat pemberitahuan yang disampaikan, pejabat
yang berwenang menerbitkan surat keputusan pengenaan sanksi pencabutan izin
pemanfaatan ruang;
c. Pejabat yang berwenang memberitahukan kepada pelanggar mengenai pengenaan
sanksi pencabutan izin;
d. Pejabat yang berwenang melakukan tindakan penertiban mengajukan permohonan
pencabutan izin kepada pejabat yang memiliki kewenangan untuk
melakukanpencabutan izin;
e. Pejabat yang memiliki kewenangan untuk melakukan pencabutan izin
menerbitkankeputusan pencabutan izin; (6) memberitahukan kepada pemanfaat
ruang mengenai status izin yang telah dicabut, sekaligus perintah untuk
menghentikan kegiatanpemanfaatan ruang secara permanen yang telah dicabut
izinnya; dan
f. Apabila pelanggar mengabaikan perintah untuk menghentikan kegiatan
pemanfaatanyang telah dicabut izinnya, pejabat yang berwenang melakukan
penertiban kegiatantanpa izin sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.

(6) Pembatalan izin sebagaimana dimaksud pada Pasal 88 huruf f dilakukan melalui
langkah-langkah sebagai berikut:
a. Pembongkaran bangunan sebagaimana dimaksud pada Pasal 88 huruf g dilakukan
melalui langkah-langkah sebagai berikut:
b. Menerbitkan surat pemberitahuan perintah pembongkaran bangunan dari pejabat
yang berwenang melakukan penertiban pelanggaran pemanfaatan ruang;
c. Apabila pelanggar mengabaikan surat pemberitahuan yang disampaikan, pejabat
yang berwenang melakukan penertiban mengeluarkan surat keputusan pengenaan
sanksi pembongkaran bangunan;
d. Pejabat yang berwenang melakukan tindakan penertiban memberitahukan kepada
pelanggar mengenai pengenaan sanksi pembongkaran bangunan yang akan segera
dilaksanakan; dan
e. Berdasarkan surat keputusan pengenaan sanksi, pejabat yang berwenang
melakukan tindakan penertiban dengan bantuan aparat penertiban melakukan
pembongkaran bangunan secara paksa.

46
(7) Pemulihan fungsi ruang sebagaimana dimaksud pada Pasal 88 huruf h dilakukan
melalui langkah-langkah sebagai berikut:
a. Menetapkan ketentuan pemulihan fungsi ruang yang berisi bagian-bagian yang
harus dipulihkan fungsinya dan cara pemulihannya;
b. Pejabat yang berwenang melakukan penertiban pelanggaran pemanfaatan ruang
menerbitkan surat pemberitahuan perintah pemulihan fungsi ruang;
c. Apabila pelanggar mengabaikan surat pemberitahuan yang disampaikan, pejabat
yang berwenang melakukan penertiban mengeluarkan surat keputusan pengenaan
sanksi pemulihan fungsi ruang;
d. Pejabat yang berwenang melakukan tindakan penertiban, memberitahukan kepada
pelanggar mengenai pengenaan sanksi pemulihan fungsi ruang yang harus
dilaksanakan pelanggar dalam jangka waktu tertentu;
e. Pejabat yang berwenang melakukan tindakan penertiban dan melakukan
pengawasan pelaksanaan kegiatan pemulihan fungsi ruang;
f. Apabila sampai jangka waktu yang ditentukan pelanggar belum melaksanakan
pemulihan fungsi ruang, pejabat yang bertanggung jawab melakukan tindakan
penertiban dapat melakukan tindakan paksa untuk melakukan pemulihan fungsi
ruang; dan
g. Apabila pelanggar pada saat itu dinilai tidak mampu membiayai kegiatan
pemulihan fungsi ruang, pemerintah dapat mengajukan penetapan pengadilan agar
pemulihan dilakukan oleh pemerintah atas beban pelanggar di kemudian hari.

(8) Denda administratif dapat dikenakan secara tersendiri atau bersama-sama dengan
pengenaan sanksi administratif dan besarannya ditetapkan oleh masing-masing
pemerintah daerah kabupaten.

Pasal 90

Ketentuan pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam pasal 89 ayat


(4) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Bupati.

Pasal 91

Setiap orang dan/atau korporasi yang melakukan kegiatan atau perbuatan yang tidak
sesuai atau bertentangan atau melanggar ketentuan yang diatur dalam Peraturan Daerah
ini, dikenakan sanksi pidana dan denda sesuai ketentuan Peraturan Perundang-undangan
yang berlaku.

BAB XI
KELEMBAGAAN
Pasal 92

(1) Dalam rangka mengkoordinasikan penyelenggaraan penataan ruang dan kerjasama


antar sektor/antar daerah bidang penataan ruang dilaksanakan oleh Badan koordinasi
Penataan Ruang Daerah.

(2) Tugas, susunan organisasi, dan tata kerja Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Keputusan Bupati.

BAB XII
PENYIDIKAN
Pasal 93

(1) Selain pejabat penyidik kepolisian negara Republik Indonesia, pegawai negeri sipil
tertentu di lingkungan instansi pemerintah yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya
di bidang penataan ruang diberi wewenang khusus sebagai penyidik untuk membantu
pejabat penyidik kepolisian negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

47
(2) Penyidik pegawai negeri sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang :
a. melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan yang berkenaan
dengan tindak pidana dalam bidang penataan ruang;
b. melakukan pemeriksaan terhadap orang yang diduga melakukan tindak pidana
dalam bidang penataan ruang;
c. meminta keterangan dan bahan bukti dari orang sehubungan dengan peristiwa
tindak pidana dalam bidang penataan ruang;
d. melakukan pemeriksaan atas dokumen-dokumen yang berkenaan dengan tindak
pidana dalam bidang penataan ruang;
e. melakukan pemeriksaan di tempat tertentu yang diduga terdapat bahan bukti dan
dokumen lain serta melakukan penyitaan dan penyegelan terhadap bahan dan
barang hasil pelanggaran yang dapat dijadikan bukti dalam perkara tindak pidana
dalam bidang penataan ruang; dan
f. meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak
pidana dalam bidang penataan ruang.

(3) Penyidik pegawai negeri sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberitahukan
dimulainya penyidikan kepada pejabat penyidik kepolisian negara Republik Indonesia.
(4) Apabila pelaksanaan kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) memerlukan
tindakan penangkapan dan penahanan, penyidik pegawai negeri sipil melakukan
koordinasi dengan pejabat penyidik kepolisian negara Republik Indonesia sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(5) Penyidik pegawai negeri sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyampaikan
hasil penyidikan kepada penuntut umum melalui pejabat penyidik kepolisian negara
Republik Indonesia.
(6) Pengangkatan pejabat penyidik pegawai negeri sipil dan tata cara serta proses
penyidikan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

BAB XIII
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 94

(1) RTRW Kabupaten Tenggamus memiliki jangka waktu 20 tahun sejak ditetapkan dalam
Perda dan dapat ditinjau kembali 1 kali dalam 5 tahun.

(2) Dalam kondisi lingkungan strategis tertentu yang berkaitan dengan bencana alam
skala besar dan atau perbahan batas territorial wilayah propinsi yang ditetapkan
dengan peraturan perundang-undangan, RTRW Kababupaten Tenggamus dapat
ditinjau kembali lebih dari 1 kali dalam 5 tahun.

(3) Peninjauan kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (2) juga dilakukan apabila
terjadi perubahan kebijakan nasional dan strategi yang mempengaruhi pemanfaatan
ruang kabupaten dan atau dinamika internal kabupaten.

BAB XIV
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 95

(1) Dengan berlakunya Peraturan Daerah ini, maka semua peraturan pelaksanaan yang
berkaitan dengan penataan ruang Daerah yang telah ada dinyatakan berlaku
sepanjang tidak bertentangan dengan dan belum diganti berdasarkan Peraturan
Daerah ini.

(2) Dengan berlakunya Peraturan Daerah ini, maka:


a. izin pemanfaatan ruang yang telah dikeluarkan dan telah sesuai dengan ketentuan
Peraturan Daerah ini ini tetap berlaku sesuai dengan masa berlakunya;

48
b. izin pemanfaatan ruang yang telah dikeluarkan tetapi tidak sesuai dengan
ketentuan Peraturan Daerah ini berlaku ketentuan:
1. untuk yang belum dilaksanakan pembangunannya, izin tersebut disesuaikan
dengan fungsi kawasan berdasarkan Peraturan Daerah ini;
2. untuk yang sudah dilaksanakan pembangunannya, pemanfaatan ruang
dilakukan sampai izin terkait habis masa berlakunya dan dilakukan
penyesuaian dengan fungsi kawasan berdasarkan Peraturan Daerah ini; dan
3. untuk yang sudah dilaksanakan pembangunannya dan tidak memungkinkan
untuk dilakukan penyesuaian dengan fungsi kawasan berdasarkan Peraturan
Daerah ini, izin yang telah diterbitkan dapat dibatalkan dan terhadap kerugian
yang timbul sebagai akibat pembatalan izin tersebut dapat diberikan
penggantian yang layak;
c. pemanfaatan ruang yang izinnya sudah habis dan tidak sesuai dengan Peraturan
Daerah ini dilakukan penyesuaian berdasarkan Peraturan Daerah ini;
d. pemanfaatan ruang di Daerah yang diselenggarakan tanpa izin ditentukan sebagai
berikut:
1. yang bertentangan dengan ketentuan Peraturan Daerah ini, pemanfaatan ruang
yang bersangkutan ditertibkan dan disesuaikan dengan Peraturan Daerah ini;
2. yang sesuai dengan ketentuan Peraturan Daerah ini, dipercepat untuk
mendapatkan izin yang diperlukan.

BAB XV
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 96

Hal-hal yang belum cukup diatur dalam Peraturan Daerah ini, sepanjang mengenai teknis
pelaksanaan Rencana Tata Ruang Wilayah, diatur lebih lanjut dengan Peraturan Bupati.

Pasal 97

Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.


Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan dengan penempatan
dalam Lembaran Daerah Kabupaten Tanggamus.

Ditetapkan di :
pada tanggal :

BUPATI TANGGAMUS,

BAMBANG KURNIAWAN

Diundangkan di :
pada tanggal :

SEKRETARIS DAERAH KABUPATEN TANGGAMUS,

GUNAWAN TARWIN WIYATNA

PEMBINA UTAMA MUDA


NIP. 19540708 198212 1 002

49
PENJELASAN

ATAS

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANGGAMUS


NOMOR .....16......TAHUN...2011....

TENTANG

RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN TANGGAMUS


TAHUN 2011–2031

I. UMUM
Berdasarkan Undang–Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2007 tentang
Penataan Ruang, RTRW Kabupaten Tanggamus merupakan pedoman pelaksanaan
pemanfaatan ruang wilayah untuk mewujudkan keseimbangan pembangunan wilayah.

Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten adalah rencana pengembangan wilayah


kabupaten yang disiapkan secara teknis dan non-teknis oleh Pemerintah Daerah yang
merupakan rumusan kebijaksanaan pemanfaatan muka bumi wilayah kabupaten
termasuk ruang di atasnya yang menjadi pedoman pengarahan dan pengendalian dalam
pelaksanaan pembangunan wilayah kabupaten.

Bahwa RTRW Kabupaten Tanggamus tahun 2011-2031 merupakan perwujudan


aspirasi masyarakat yang tertuang dalam rangkaian kebijaksanaan
pembangunan Kabupaten Tanggamus yang memuat ketentuan–ketentuan antara
lain:

Bahwa RTRW Kabupaten Tanggamus tahun 2011-2031 merupakan perwujudan


aspirasi masyarakat yang tertuang dalam rangkaian kebijaksanaan pembangunan
Kabupaten Tanggamus yang memuat ketentuan–ketentuan antara lain:
1. Merupakan pedoman, landasan, dan garis besar kebijaksanaan bagi pembangunan
wilayah Kabupaten Tanggamus dalam jangka waktu 20 tahun, dengan tujuan agar
dapat mewujudkan kelengkapan kesejahteraan masyarakat dalam hal memiliki
wilayah kabupaten yang dapat memenuhi segala kebutuhan fasilitas;
2. Berisi suatu uraian keterangan dan petunjuk-petunjuk serta prinsip pokok
pembangunan wilayah kabupaten yang berkembang secara dinamis dan didukung
oleh pengembangan potensi alami, serta sosial ekonomi, sosial budaya, politik,
pertahanan keamanan dan teknologi yang menjadi ketentuan pokok bagi seluruh
jenis pembangunan, baik yang dilaksanakan Pemerintah Kabupaten Tanggamus,
Pemerintah Provinsi Lampung, maupun Pemerintah Pusat dan masyarakat secara
terpadu.

50
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
Tujuan penataan ruang wilayah Kabupaten Tanggamus yaitu Terwujudnya
Kabupaten Tanggamus yang Maju, Lestari dan Mandiri berbasis Potensi Sumber Daya
Alam dan kondisi sosial budaya masyarakat melalui pengembangan Pertanian,
Perikanan, Pertambangan dan Pariwisata selaras dengan keberlangsungan
lingkungan hidup dan upaya pemerataan pembangunan.

Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Cukup jelas
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
Sistem jaringan transportasi di Kabupaten Tanggamus didasarkan pada SK Gubernur
Nomr G/433.a/III.09/HK/2011 tentang Penetapan Status Ruas – Ruas pada Jalan
Provinsi dan Peraturan Daerah Provinsi Lampung Nomor 1 Tahun 2010 tentang
Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Lampung 2009-2029.

Pasal 12
Cukup jelas.
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Cukup jelas.
51
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Cukup jelas.

Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 21
Kawasan resapan air DAS Way Semangka dengan luas kurang lebih 486.435 Hektar
dan DAS Sekampung dengan luas kurang lebih 685.421 Hektar meliputi :
a. Way Sekampung, luas + 107.542,30 Ha;
b. Way Sekampung DS, luas + 89.312,00 Ha;
c. Way Semangka, luas + 77.808,0 Ha;
d. way Semangka DS, luas + 22.252,40 Ha;
e. Way Seputih, luas + 6.925,0 Ha; dan
f. Way Tulang Bawang, luas + 60,60 Ha.

Pasal 22
Cukup jelas.
Pasal 23
Kawasan Suaka Margasatwa di Kabupaten Tanggamus terdapat di Perairan
Teluk Kiluan Kecamatan Kelumbayan.

Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25
Cukup jelas.
Pasal 26
Cukup jelas.
Pasal 27
Cukup jelas.
Pasal 28
Cukup jelas.
Pasal 29
Cukup jelas.
Pasal 30
Cukup jelas.
Pasal 31
Cukup jelas.
Pasal 32
Cukup jelas.

52
Pasal 33
Cukup jelas.
Pasal 34
Cukup jelas.
Pasal 35
Cukup jelas.
Pasal 36
Cukup jelas.
Pasal 37
Cukup jelas.
Pasal 38
Cukup jelas.
Pasal 39
Cukup jelas.
Pasal 40
Cukup jelas.
Pasal 41
Cukup jelas.
Pasal 42
Cukup jelas.
Pasal 43
Cukup jelas.
Pasal 44
Cukup jelas.
Pasal 45
Cukup jelas.
Pasal 46
Cukup jelas.
Pasal 47
Cukup jelas.
Pasal 48
Cukup jelas.

Pasal 49
Cukup jelas.
Pasal 50
Cukup jelas.
Pasal 51
Pengendalian pemanfaatan ruang dimaksudkan agar pemanfaatan ruang dilakukan
sesuai dengan rencana tata ruang. Peraturan zonasi merupakan ketentuan yang
mengatur pemanfaatan ruang dan unsur-unsur pengendalian yang disusun untuk
setiap zona peruntukan sesuai dengan rencana rinci tata ruang. Peraturan zonasi
53
berisi ketentuan yang harus, boleh, dan tidak boleh dilaksanakan pada zona
pemanfaatan ruang yang dapat terdiri atas ketentuan tentang amplop ruang
(koefisien dasar ruang hijau, koefisien dasar bangunan, koefisien lantai bangunan,
dan garis sempadan bangunan),
penyediaan sarana dan prasarana, serta ketentuan lain yang dibutuhkan untuk
mewujudkan ruang yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan. Untuk
mengendalikan perkembangan kawasan budi daya yang dikendalikan
pengembangannya, diterapkan mekanisme disinsentif secara ketat, sedangkan untuk
mendorong perkembangan kawasan yang didorong pengembangannya iterapkan
mekanisme insentif

Pasal 52
Cukup jelas.
Pasal 53
Cukup jelas.
Pasal 54
Cukup jelas
Pasal 55
Cukup jelas.
Pasal 56
Cukup jelas.
Pasal 57
Cukup jelas.
Pasal 58
Cukup jelas.
Pasal 59
Cukup jelas.
Pasal 60
Cukup jelas.
Pasal 61
Cukup jelas.
Pasal 62
Cukup jelas.
Pasal 63
Cukup jelas.
Pasal 64
Cukup jelas.
Pasal 65
Cukup jelas.
Pasal 66
Cukup jelas.

54
Pasal 67
Cukup jelas.
Pasal 68
Cukup jelas.
Pasal 69
Cukup jelas.
Pasal 70
Cukup jelas.
Pasal 71
Cukup jelas.
Pasal 72
Cukup jelas.
Pasal 73
Cukup jelas.
Pasal 74
Cukup jelas.
Pasal 75
Cukup jelas.
Pasal 77
Yang dimaksud dengan perizinan adalah perizinan yang terkait dengan izin
pemanfaatan ruang yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan harus
dimiliki sebelum pelaksanaan pemanfaatan ruang.

Pasal 78
Cukup jelas.
Pasal 79
Cukup jelas.
Pasal 80
Cukup jelas.
Pasal 81
Cukup jelas.
Pasal 82
Cukup jelas.
Pasal 83
Cukup jelas.
Pasal 84
Cukup jelas.
Pasal 85
Cukup jelas.
Pasal 86
Cukup jelas

55
Pasal 87
Cukup jelas.
Pasal 88
Cukup jelas.
Pasal 89
Cukup jelas.
Pasal 90
Cukup jelas.
Pasal 91
Cukup jelas.
Pasal 92
Cukup jelas.
Pasal 93
Cukup jelas.
Pasal 94
Cukup jelas.
Pasal 95
Cukup jelas.
Pasal 96
Cukup jelas.
Pasal 97
Cukup jelas.

56

Anda mungkin juga menyukai