Anda di halaman 1dari 56

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANGGAMUS NOMOR : 16 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN TANGGAMUS TAHUN 20112031 DENGAN

RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TANGGAMUS,


Menimbang : a. bahwa ruang merupakan komponen lingkungan hidup yang bersifat terbatas dan tidak terbaharui, sehingga perlu dikelola secara bijaksana dan dimanfaatkan secara berkelanjutan untuk kepentingan generasi sekarang dan generasi yang akan datang; b. bahwa perkembangan pembangunan khususnya pemanfaatan ruang di wilayah Kabupaten Tanggamus diselenggarakan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui pemanfaatan potensi sumberdaya alam, sumberdaya buatan, dan sumberdaya manusia dengan tetap memperhatikan daya dukung, daya tampung, dan kelestarian lingkungan hidup; c. bahwa dalam rangka pelaksanaan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, dan adanya pembentukan Kabupaten Pringsewu yang merupakan pemekaran dari Kabupaten Tanggamus sehingga perlu penataan ruang wilayah Kabupaten Tanggamus dalam satu kesatuan tata lingkungan berlandasan kondisi fisk, kondisi sosial budaya, dan kondisi sosial ekonomi melalui penetapan tata ruang wilayah dari tahun 20112031; d. bahwa Peraturan Daerah Kabupaten Tanggamus Nomor 04 Tahun 2005 tentang Penataan Ruang Wilayah Kabupaten Tanggamus, sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan sehingga perlu dilakukan penyempurnaan; e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana tercantum huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d, maka perlu ditetapkan Peraturan Daerah tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Tanggamus Tahun 2011-2031; 1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar PokokPokok Agraria (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1960 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2043); 2. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1990 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3419 ); 3. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1997 tentang Pembentukan Kabupaten Daerah Tingkat II Tulang Bawang dan Kabupaten Daerah Tingkat II Tanggamus (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 2, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3667); 4. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 154, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3881); 5. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3888) sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 86, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor

Mengingat

4412); 6. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 32, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4377 ); 7. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 84, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4411); 8. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 118, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4433); 9. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844); 10. Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 132, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4444 ); 11. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4723 ); 12. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4725 ); 13. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 84, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4739); 14. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2007 tentang Energi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 96, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4746); 15. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 61, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4846); 16. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4849); 17. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 69, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4851); 18. Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 177, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4925); 19. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 4, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4959); 20. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwistaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 11); 21. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 96, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5025); 22. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5052); 23. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia

Nomor 5059); 24. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 149, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5068); 25. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5188); 26. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundanga-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234); 27. Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 1991 tentang Sungai (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1991 Nomor 44, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3445); 28. Peraturan Pemerintah Nomor 62 Tahun 1998 tentang Penyerahan Sebagian Urusan Pemerintahan di Bidang Kehutanan Kepada Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 106, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3769); 29. Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 2001 tentang Kepelabuhanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 127, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4145); 30. Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2004 tentang Penatagunaan Tanah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 45, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4385); 31. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 147, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4453); 32. Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2005 tentang Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 33, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4490); 33. Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2006 tentang Irigasi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 46, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4624); 34. Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2006 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1989 Tentang Penyediaan dan Pemanfaatan Tenaga Listrik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 56, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4628); 35. Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2006 tentang Jalan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 86, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4655); 36. Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana pengelolaan Hutan Serta Pemanfaatan Hutan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4696) sebagaimana diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 16, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4814); 37. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4737); 38. Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4828 ); 39. Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008

Nomor 48, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4833); 40. Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2008 tentang Air Tanah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 83, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4859); 41. Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sumber Daya Air (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4858); 42. Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 2010 tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 15, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5097); 43. Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 20, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5103) 44. Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2010 tentang Wilayah Pertambangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 28, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5110); 45. Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 29, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5111); 46. Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 2010 tentang Bentuk Dan Tata Cara Peran Masyarakat Dalam Penataan Ruang (Lembar Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 118, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5160); 47. Peraturan Presiden Nomor 36 tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum sebagaimana diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 65 tahun 2006 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 36 tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum; 48. Permendagri Nomor 1 Tahun 2006 Tentang Pedoman Penegasan Batas Daerah; 49. Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor : 256/Kpts-11/2000 tentang Penunjukan Kawasan Hutan dan Perairan di Wilayah Provinsi Lampung + 1.004.735 (satu juta empat ribu tujuh ratus tiga puluh lima) Hektar; 50. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 20/PRT/M/2007 tentang Pedoman Teknik Analisis Aspek Fisik dan Lingkungan, Ekonomi, serta Sosial Budaya dalam Penyusunan Rencana Tata Ruang; 51. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 41/PRT/M/2007 tentang Pedoman Kriteria Teknis Kawasan Budidaya; 52. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 28 Tahun 2008 tentang Tata Cara Evaluasi Rancangan Peraturan Daerah tentang Rencana Tata Ruang Daerah; 53. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 11 Tahun 2009 tentang Pedoman Persetujuan Substansi Dalam Penetapan Rancangan Peraturan Daerah tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabnpaten/Kota beserta Rencana Rinciannya; 54. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 16 Tahun 2009 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten; 55. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 17 Tahun 2009 tentang Pedoman Penentuan Daya Dukung Lingkungan Hidup Dalam Penataan Ruang Wilayah; 56. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 50 Tahun 2009 tentang Pedoman Koordianasi Penataan Ruang Daerah; 57. Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2010 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Lampung 2009-2029 (Lembaran Daerah Provinsi Lampung Tahun 2010 Nomor 1, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Tanggamus Nomor 346);

Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN TANGGAMUS Dan BUPATI TANGGAMUS MEMUTUSKAN : Menetapkan : PERATURAN DAERAH TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN TANGGAMUS TAHUN 2011-2031 BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan : 1. Pemerintah Pusat adalah Pemerintah. 2. Provinsi adalah Provinsi Lampung. 3. Pemerintah Provinsi adalah Pemerintah Provinsi Lampung. 4. Gubernur adalah Gubernur Provinsi Lampung 5. Kepala Daerah adalah Bupati Tanggamus yang dibantu oleh seorang Wakil Bupati 6. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya disingkat DPRD adalah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Tanggamus. 7. Kabupaten adalah Kabupaten Tanggamus dalam wilayah Provinsi Lampung. 8. Pemerintah Kabupaten adalah Pemerintah Kabupaten Tanggamus yang berada di wilayah Provinsi Lampung. 9. Ruang adalah wadah yang meliputi ruang daratan, ruang lautan, dan ruang udara, sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk hidup Iainnya hidup dan melakukan kegiatan serta memelihara kelangsungan hidupnya. 10. Tata Ruang adalah wujud struktur dan pola ruang. 11. Penataan ruang adalah proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang. 12. Rencana Tata Ruang adalah hasil perencanaan tata ruang. 13. Tujuan penataan ruang wilayah kabupaten adalah tujuan yang ditetapkan pemerintah daerah kabupaten yang merupakan arahan perwujudan visi dan misi pembangunan jangka panjang kabupaten pada aspek keruangan, yang pada dasarnya mendukung terwujudnya ruang wilayah nasional yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan berlandaskan Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional 14. Kebijakan penataan ruang wilayah kabupaten adalah arahan pengembangan wilayah yang ditetapkan oleh pemerintah daerah kabupaten guna mencapai tujuan penataan ruang wilayah kabupaten dalam kurun waktu 20 (dua puluh) tahun. 15. Strategi penataan ruang wilayah kabupaten adalah penjabaran kebijakan penataan ruang ke dalam langkah-langkah pencapaian tindakan yang Iebih nyata yang menjadi dasar dalam penyusunan rencana struktur dan pola ruang wilayah kabupaten. 16. Rencana struktur ruang wilayah kabupaten adalah rencana yang mencakup sistem perkotaan wilayah kabupaten yang berkaitan dengan kawasan perdesaan dalam wilayah pelayanannya dan jaringan prasarana wilayah kabupaten yang dikembangkan untuk mengintegrasikan wilayah kabupaten selain untuk melayani kegiatan skala kabupaten yang meliputi sistem jaringan transportasi, sistem jaringan energi dan kelistrikan, sistem jaringan telekomunikasi, sistem jaringan sumber daya air, termasuk seluruh daerah hulu bendungan atau waduk dari daerah aliran sungai, dan sistem jaringan prasarana Iainnya.

17. Pusat Kegiatan Wilayah yang selanjutnya disebut PKW adalah kawasan perkotaan yang berfungsi untuk melayani kegiatan skala provinsi atau beberapa kabupaten/kota. 18. Pusat Kegiatan Lokal yang selanjutnya disebut PKL adalah kawasan perkotaan yang berfungsi untuk melayani kegiatan skala kabupaten atau beberapa kecamatan. 19. Pusat Kegiatan Lokal Promosi yang selanjutnya disebut PKLp adalahpusat kegiatan yang dipromosikan untuk di kemudian hari ditetapkan sebagai PKL dengan persyaratan pusat kegiatan tersebut merupakan kota-kota yang telah memenuhi persyaratan Pusat Pelayanan Kawasan (PPK). 20. Pusat Pelayanan Kawasan yang selanjutnya disebut PPK adalah kawasan perkotaan yang berfungsi untuk melayani kegiatan skala kecamatan atau beberapa desa. 21. Pusat Pelayanan Lingkungan yang selanjutnya disebut PPL adalah pusat permukiman yang berfungsi untuk melayani kegiatan skala antar desa. 22. Rencana sistem jaringan prasarana wilayah kabupaten adalah rencana aringan prasarana wilayah yang dikembangkan untuk mengintegrasikan wilayah kabupaten dan untuk melayani kegiatan yang memiliki cakupan wilayah layanan prasarana skala kabupaten. 23. Rencana sistem perkotaan di wilayah kabupaten adalah rencana susunan kawasan perkotaan sebagai pusat kegiatan di dalam wilayah kabupaten yang menunjukkan keterkaitan saat ini maupun rencana yang membentuk hirarki pelayanan dengan cakupan dan dominasi fungsi tertentu dalam wilayah kabupaten. 24. Rencana pola ruang wilayah kabupaten adalah rencana distribusi peruntukan ruang wilayah kabupaten yang meliputi peruntukan ruang untuk fungsi lindung dan budi daya yang dituju sampai dengan akhir masa berlakunya RTRW kabupaten yang memberikan gambaran pemanfaatan ruang wilayah kabupaten hingga 20 (dua puluh) tahun mendatang. 25. Arahan pemanfaatan ruang wilayah kabupaten adalah arahan pengembangan wilayah untuk mewujudkan struktur ruang dan pola ruang wilayah kabupaten sesuai dengan RTRW kabupaten melalui penyusunan dan pelaksanaan program penataan/pengembangan kabupaten beserta pembiayaannya, dalam suatu indikasi program utama jangka menengah lima tahunan kabupaten yang berisi rencana program utama, sumber pendanaan, instansi pelaksana, dan waktu pelaksanaan. 26. Indikasi program utama jangka menengah lima tahunan adalah petunjuk yang memuat usulan program utama, lokasi, besaran, waktu pelaksanaan, sumber dana, dan instansi pelaksana dalam rangka mewujudkan ruang kabupaten yang sesuai dengan rencana tata ruang. 27. Ketentuan pengendalian pemanfaatan ruang wilayah kabupaten adalah - ketentuan yang dibuat atau disusun dalam upaya mengendalikan pemanfaatan ruang wilayah kabupaten agar sesuai dengan RTRW kabupaten yang berbentuk ketentuan umum peraturan zonasi, ketentuan perizinan, ketentuan insentif dan disinsentif, serta arahan sanksi untuk wilayah kabupaten. 28. Ketentuan umum peraturan zonasi sistem kabupaten adalah ketentuan umum yang mengatur pemanfaatan ruang/penataan kabupaten dan unsur-unsur pengendalian pemanfaatan ruang yang disusun untuk setiap kiasifikasi peruntukan/fungsi ruang sesuai dengan RTRW kabupaten. 29. Ketentuan perizinan adalah ketentuan-ketentuan yang ditetapkan oleh pemerintah daerah kabupaten sesuai kewenangannya yang harus dipenuhi oleh setiap pihak sebelum pemanfaatan ruang, yang digunakan sebagai alat dalam melaksanakan pembangunan keruangan yang tertib sesuai dengan rencana tata ruang yang telah disusun dan ditetapkan. 30. Ketentuan insentif dan disinsentif adalah perangkat atau upaya untuk memberikan imbalan terhadap pelaksanaan kegiatan yang sejalan dengan rencana tata ruang dan jugs perangkat untuk mencegah, membatasi pertumbuhan, atau mengurangi kegiatan yang tidak sejalan dengan rencana tata ruang. 31. Arahan sanksi adalah arahan untuk memberikan sanksi bagi siapa saja yang melakukan pelanggaran pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang yang berlaku. 32. Wilayah adalah ruang yang merupakan Pertamaan geografis beserta segenap unsur terkait padanya yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif dan atau aspek fungsional. 33. Kawasan adalah wilayah dengan fungsi utama lindung atau budidaya.

34. Kawasan Lindung adalah kawasan yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi kelestarian Lingkungan hidup yang mencakup sumberdaya alam, sumberdaya buatan, dan nilai sejarah serta budaya bangsa guna kepentingan pembangunan berkelanjutan. 35. Kawasan Hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap. Kawasan Hutan Lindung adalah kawasan hutan yang memiliki sifat khas yang mampu memberikan perlindungan kepada kawasan sekitarnya maupun bawahannya sebagai pengatur tata air, pencegahan banjir dan erosi serta pemeliharaan kesuburan tanah. 36. Kawasan Budidaya adalah kawasan yang ditetapkan dengan fungsi utama untuk dibudidayakan atas dasar kondisi dan potensi sumberdaya alam, sumberdaya manusia, dan sumberdaya buatan. 37. Kawasan permukiman adalah bagian dari Lingkungan hidup di luar kawasan lindung, baik berupa kawasan perkotaan maupun perdesaan yang berfungsi sebagai Lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian dan tempat kegiatan yang mendukung prikehidupan dan penghidupan. 38. Kawasan perdesaan adalah wilayah yang mempunyai kegiatan utama pertanian, termasuk pengelolaan sumber daya alam dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perdesaan, pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi. 39. Kawasan perkotaan adalah wilayah yang mempunyai kegiatan utama bukan pertanian dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perkotaan, pemusatan dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi. 40. Ruang terbuka hijau adalah area memanjang/jalur dan/atau mengelompok, yang penggunaannya lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik yang tumbuh secara alamiah maupun yang sengaja ditanam. 41. Kawasan Resapan Air adalah kawasan yang mempunyai kemampuan tinggi untuk meresapkan air hujan sehingga merupakan tempat pengisian air bumi (akifer) yang berguna sebagai sumber air. 42. Sempadan Pantai adalah kawasan perlindungan setempat sepanjang pantai yang mempunyai manfaat penting untuk mempertahankan kelestarian dan kesucian pantai, keselamatan bangunan, dan tersedianya ruang untuk lain lintas umum. 43. Sempadan Sungai adalah kawasan sepanjang kiri-kanan sungai, termasuk sungai buatan/kanal/saluran irigasi primer yang mempunyai manfaat penting untuk mempertahankan kelestarian fungsi sungai. 44. Kawasan sekitar Danau/Waduk adalah kawasan sekeliling danau atau waduk yang mempunyai manfaat penting untuk mempertahankan kelestarian fungsi danau/waduk. 45. Kawasan Suaka Alam adalah kawasan yang mewakili ekosistem khas yang merupakan habitat alami yang memberikan perlindungan bagi perkembangan flora dan fauna yang khas dan beraneka ragam 46. Kawasan Taman Nasional adalah kawasan pelestarian alam yang dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan, pariwisata, rekreasi dan pendidikan 47. Wilayah sungai adalah Pertamaan wilayah pengelolaan sumberdaya air dalam satu atau lebih daerah aliran sungai dan/atau pulau-pulau kecil yang luasnya kurang dari atau sama dengan 2.000 km2 48. Daerah Aliran Sungai/Wilayah Sungai yang selanjutnya disingkat WS adalah suatu wilayah tertentu yang bentuk dan sifat alamnya merupakan satu Pertamaan dengan sungai dan anakanak sungainya yang berfungsi menampung air yang berasal dari curah hujan dan sumber air lainnya dan kemudian mengalirkannya melalui sungai utama ke laut. Satu WS dipisahkan dari wilayah lain di sekitarnya (WS-WS lain) oleh pemisah alam topografi seperti punggung perbukitan dan pegunungan. Pengelolaan WS adalah upaya manusia dalam mengendalikan hubungan timbal batik antara sumberdaya alam dengan manusia di dalam WS dan segala aktifitasnya, dengan tujuan membina kelestarian dan keserasian ekosistem serta meningkatkan kemanfaatan sumberdaya alam bagi manusia secara berkelanjutan. 49. Kawasan agropolitan adalah kawasan yang terdiri atas satu atau lebih pusat kegiatan pada wilayah pedesaan sebagai sistem produksi pertanian dan pengelolaan sumber daya alam tertentu yang ditujukan oleh adanya keterkaitan fungsional dan hierarkis keruangan satuan sistem permukiman dan sistem agrobisnis. 50. Kawasan Minapolitan adalah kawasan pengembangan ekonomi berbasis usaha penangkapan ikan yang dikembangkan secara terintegrasi oleh pemerintah, swasta, 7

51.

52. 53. 54.

55.

56.

57.

58. 59.

60. 61.

62. 63.

64.

65.

dan masyarakat untuk menciptakan iklim usaha yang lebih baik untuk pertumbuhan ekonomi, penciptaan lapangan kerja dan pendapatan masyarakat pada suatu wilayah. Kawasan strategis nasional adalah wilayah yang penataan ruangnya diprioritaskan karena mempunyai pengaruh sangat penting secara nasional terhadap kedaulatan negara, pertahanan dan keamanan negara, ekonomi, sosial, budaya, dan/atau lingkungan, termasuk wilayah yang ditetapkan sebagai warisan dunia. Kawasan strategis kabupaten adalah wilayah yang penataan ruangnya diprioritaskan karena mempunyai pengaruh sangat penting dalam lingkup kabupaten terhadap ekonomi, sosial, budaya, dan/atau lingkungan. Kawasan Pesisir adalah wilayah pesisir tertentu yang ditunjukan dan atau ditetapkan oleh pemerintah berdasarkan kriteria tertentu, seperti karakter fisik, biologi, sosial dan ekonomi untuk dipertahankan keberadaannya. Pelabuhan adalah tempat yang terdiri atas daratan dan/atau perairan dengan batasbatas tertentu sebagai tempat kegiatan pemerintahan dan kegiatan pengusahaan yang dipergunakan sebagai tempat kapal bersandar, naik turun penumpang dan/atau bongkar muat barang, berupa terminal dan tempat berlabuh kapal yang dilengkapi dengan fasilitas keselamatan dan keamanan pelayaran dan kegiatan penunjang pelabuhan serta sebagai tempat perpindahan intra dan antarmoda transportasi. Perkebunan adalah segala kegiatan yang mengusahakan tanaman tertentu pada tanah dan/atau media tumbuh lainnya dalam ekosistem yang sesuai, mengolah dan memasarkan barang dan jasa hasil tanaman tersebut, dengan bantuan ilmu pengetahuan dan teknologi, permodalan serta manajemen untuk mewujudkan kesejahteraan bagi pelaku usaha perkebunan dan masyarakat. Perikanan adalah semua kegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya ikan dan lingkungannya secara berkelanjutan, mulai dari praproduksi, produksi, pengolahan sampai dengan pemasaran yang dilaksanakan dalam suatu sistem bisnis perikanan. Pertanian adalah seluruh kegiatan yang meliputi usaha hulu, usaha tani, agroindustri, pemasaran, dan jasa penunjang pengelolaan sumber daya alam hayati dalam agroekosistem yang sesuai dan berkelanjutan, dengan bantuan teknologi, modal, tenaga kerja, dan manajemen untuk mendapatkan manfaat sebesar-besarnya bagi kesejahteraan masyarakat. Peternakan adalah segala urusan yang berkaitan dengan sumber daya fisik, benih, bibit dan/atau bakalan, pakan, alat dan mesin peternakan, budi daya ternak, panen, pascapanen, pengolahan, pemasaran, dan pengusahaannya. Pertambangan adalah sebagian atau seluruh tahapan kegiatan dalam rangka penelitian, pengelolaan dan pengusahaan mineral, batubara dan panas bumi yang meliputi penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian, pengangkutan dan penjualan, serta kegiatan pascatambang. Wilayah Pertambangan, yang selanjutnya disebut WP, adalah wilayah yang memiliki potensi mineral dan/atau batubara dan tidak terikat dengan batasan administrasi pemerintahan yang merupakan bagian dari tata ruang nasional. Wisata adalah kegiatan perjalanan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang dengan mengunjungi tempat tertentu untuk tujuan rekreasi, pengembangan pribadi, atau mempelajari keunikan daya tarik wisata yang dikunjungi dalam jangka waktu sementara. Pariwisata adalah berbagai macam kegiatan wisata dan didukung berbagai fasilitas serta layanan yang disediakan oleh masyarakat, pengusaha, Pemerintah, dan Pemerintah Daerah. Daerah tujuan pariwisata yang selanjutnya disebut Destinasi Pariwisata adalah kawasan geografis yang berada dalam satu atau Iebih wilayah administratif yang di dalamnya terdapat daya tarik wisata, fasilitas umum, fasilitas pariwisata, aksesibilitas, serta masyarakatyang sating terkait dan melengkapi terwujudnya kepariwisataan. Kawasan Strategis Pariwisata adalah kawasan yang memiliki fungsi utama pariwisata atau memiliki potensi untuk pengembangan pariwisata yang mempunyai pengaruh penting dalam satu atau lebih aspek, seperti pertumbuhan ekonomi, social dan budaya, pemberdayaan sumberdaya alam, daya dukung lingkungan hidup serta pertahanan dan keamanan. Lingkungan adalah sumberdaya fisik dan biologis yang menjadi kebutuhan dasar agar kehidupan masyarakat (manusia) dapat bertahan.

66. Lingkungan Hidup adalah Pertamaan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lainnya. 67. Daya Dukung Lingkungan Hidup adalah kemampuan lingkungan hidup untuk mendukung perikehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya. 68. Daya Tampung Lingkungan Hidup adalah kemampuan lingkungan hidup untuk menyerap zat, energi, dan atau komponen lain yang masuk atau dimasukkan ke dalamnya. 69. Konservasi adalah pengelolaan pemanfaatan oleh manusia terhadap biosfer sehingga dapat menghasilkan manfaat berkelanjutan yang terbesar kepada generasi sekarang sementara mempertahankan potensinya untuk memenuhi kebutuhan dan aspirasi generasi akan datang (suatu variasi defenisi pembangunan berkelanjutan). 70. Pulau Kecil adalah pulau dengan ukuran luas kurang atau sama dengan 10.000 km2, jumlah penduduk kurang dari 200.000 jiwa, terpisah dari pulau induk, bersifat insular, memiliki biota indemik, memiliki daerah tangkapan air yang relatif kecil dan sempit, kondisi sosial, budaya dan ekonomi masyarakatnya bersifat khas dan berbeda dengan pulau induk 71. Mitigasi adalah serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik melalui membangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana. 72. Rawan bencana adalah kondisi atau karakteristik geologis, biologis, hidrologis, klimatologis, geografis, sosial, budaya, politik, ekonomi, dan teknologi pada suatu wilayah untuk jangka waktu tertentu yang mengurangi kemampuan mencegah, meredam, mencapai kesiapan, dan mengurangi kemampuan untuk menanggapi dampak buruk bahaya tertentu. 73. Kawasan Pertahanan Negara adalah wilayah yang ditetapkan secara nasional yang digunakan untuk pertahanan. 74. Masyarakat adalah orang perseorangan, kelompok orang termasuk masyarakat hukum adat , korporasi, dan atau pemangku keopentingan non pemerintah lain dalam penyelenggaraan penataan ruang. 75. Peran serta masyarakat adalah berbagai kegiatan masyarakat yang timbul atas kehendak dan prakarsa masyarakat, untuk berminat dan bergerak dalam penyelenggaraan penataan ruang.Pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup adalah upaya sadar dan terencana yang memadukan lingkungan hidup, termasuk sumberdaya, ke dalam proses pembangunan untuk menjamin kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa kini dan generasi masa depan. 76. Izin pemanfaatan ruang adalah izin yang dipersyaratkan dalam kegiatan pemanfaatan 77. Peran masyarakat adalah berpartisipasi aktif dalam perencanaan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang 78. Kawasan peruntukan pertambangan adalah wilayahn yang memiliki sumber daya tambang yang berwujud padat, cair atau gas berdasarkan peta/data geologi dan merupakan tempat dilakukan seluruh tahapan kegiatan pertambangan yang meliputi : penyediaan umum, eksplorasi, operasi produksi, dan pasca tambang, baik di wilayah darat maupun perairan. 79. Sistem jaringan jalan adalah satu Pertamaan ruas jalan yang saling menghubungkan dan mengikat pusat-pusat pertumbuhan dengan wilayah yang berada dalam pengaruh pelayanannya dalam satu hubungan hirarki. 80. BKPRD adalah badan bersifat ad hoc yang dibentuk untuk mendukung pelaksanaan Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, di Kab. Tenggamus dan mempunyai fungsi membantu pelaksanaan tugas Bupati dalam koordinasi penataan ruang di daerah. 81. Pelabuhan Pengumpan adalah pelabuhan yang fungsi pokoknya melayani kegiatan angkutan laut dalam negeri, alih muat angkutan laut dalam negeri dalam jumlah terbatas, merupakan pengumpan bagi pelabuhan utama dan pelabuhan pengumpul, dan sebagai tempat asal tujuan penumpang dan/atau barang, serta angkutan penyeberangan dengan jangkauan pelayanan dalam provinsi. 82. Pelabuhan Pengumpul adalah pelabuhan yang fungsi pokoknya melayani kegiatan angkutan laut dalam negeri, alih muat angkutan laut dalam negeri dalam jumlah menengah, dan sebagai tempat asal tujuan penumpang dan/atau barang, serta angkutan penyeberangan dengan jangkauan pelayanan antarprovinsi.

83. Terminal adalah pangkalan Kendaraan Bermotor Umum yang digunakan untuk mengatur kedatangan dan keberangkatan, menaikkan dan menurunkan orang dan/atau barang, serta perpindahan moda angkutan. 84. TPA (Tempat pemrosesan akhir) adalah tempat untuk memroses dan mengembalikan sampah ke media lingkungan secara aman bagi manusia dan lingkungan BAB II RUANG LINGKUP Pasal 2 (1) Lingkup Wilayah Perencanaan mencakup seluruh ruang Kabupaten dengan batas yang ditentukan berdasarkan aspek adinistratif yang meliputi ruang daratan dan ruang perairan sebagaimana tergambar dalam peta pada Lampiran I Peraturan Daerah ini. (2) Kabupaten Tanggamus secara geografis terletak pada 104 18 105 12 Bujur Timur dan 05 05 05 56 Lintang Selatan. (3) Kabupaten Tanggamus memiliki luas daratan kurang lebih 2.855,46 km2, dan luas wilayah lautan kurang lebih 1.799,50 km2, sehingga luas total wilayah daratan dan lautan adalah kurang lebih 4.654,96 km2 (empat ribu enam ratus lima puluh empat koma sembilan puluh enam). (4) Batas wilayah Kabupaten Tanggamus meliputi : a. Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Lampung Barat dan Lampung Tengah; b. Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Pringsewu dan Kabupaten Pesawaran; c. Sebelah Selatan berbatasan dengan Samudera Indonesia; dan d. Sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Lampung Barat. (5) Lingkup wilayah Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten meliputi a. Kecamatan Wonosobo dengan luas daratan 209,63 km2; b. Kecamatan Semaka dengan luas daratan 170,90 km2; c. Kecamatan Bandar Negeri Semuong dengan luas daratan 98,12 km2; d. Kecamatan Kota Agung dengan luas daratan 76,93 km2 ; e. Kecamatan Pematang Sawa dengan luas daratan 185,29 km2; f. Kecamatan Kota Agung Timur dengan luas daratan 73,33 km2; g. Kecamatan Kota Agung Barat dengan luas daratan 101,30 km2; h. Kecamatan Pulau Panggung dengan luas daratan 437,21 km2; i. Kecamatan Air Naningan dengan luas daratan186,35 km2; j. Kecamatan Ulu Belu dengan luas daratan 323,08 km2; k. Kecamatan Talang Padang dengan luas daratan 45,13 km2; l. Kecamatan Sumberejo dengan luas daratan 56,77 km2; m. Kecamatan Gisting dengan luas daratan 32,53 km2; n. Kecamatan Gunung Alip dengan luas daratan 25,68 km2; o. Kecamatan Pugung dengan luas daratan 232,40 km2; p. Kecamatan Bulok dengan luas daratan 51,68 km2; q. Kecamatan Cukuh Balak dengan luas daratan 133,76 km2; r. Kecamatan Kelumbayan dengan luas daratan121,09 km2; s. Kecamatan Limau dengan luas daratan 240,61 km2; dan t. Kecamatan Kelumbayan Barat dengan luas daratan 53,67 km2. (6) Nama Pulau pulau di Wilayah Kabupaten Tanggamus meliputi a. Pulau Botak b. Pulau Batucentigi c. Pulau Batugondrong d. Pulau Batuhakhong e. Pulau Batuhiu f. Pulau Batukabulung g. Pulau Batukelapa h. Pulau Batukelapanunggal i. Pulau Batukerita j. Pulau Batukerbau 10

k. l. m. n. o. p. q. r. s. t. u. v. w. x. y. z. aa. bb. cc. dd. ee. ff. gg. hh. ii. jj. kk. ll. mm. nn. oo. pp. qq.

Pulau Batukupiah Pinggir Pulau Batukupiah Tengah Pulau Batumandi Pulau Batupanjanglimau Pulau Batuputih Pulau Batuwarong Pulau Baturujuk Balak Pulau Baturujuk Lunik Pulau Batutajam Pulau Burung Pulau Cukuhpandan Balak Pulau Cukuhpandan Lunik Pulau Cukuhpandan Pinggir Pulau Cukuhpandan Tengah Pulau Gawani Pulau Hiu Pulau Kabulung Pulau Kamintara Balak Pulau Kamintara Barat Pulau Kamintara Lunik Pulau Kamintara Tengah Pulau Kamintara Timur Pulau Karangputih Pulau Karangtahabu Pulau Karangtianggayau Pulau Kiluan Pulau Lamang Pulau Lengkekuh Pulau Paku Pulau Pakuayu Pulau Tabuan Pulau Telukbakakh Pulau Tutungkalik Pasal 3

Muatan RTRW Kabupaten Tanggamus meliputi : a. tujuan, kebijakan, dan strategi penataan ruang wilayah kabupaten; b. rencana struktur ruang wilayah kabupaten; c. rencana pola ruang wilayah kabupaten; d. penetapan kawasan strategis kabupaten; e. arahan pemanfaatan ruang wilayah kabupaten; dan f. ketentuan pengendalian pemanfaatan ruang wilayah kabupaten. BAB III TUJUAN, KEBIJAKAN, DAN STRATEGI PENATAAN RUANG Bagian Kesatu Tujuan Penataan Ruang Wilayah Pasal 4 Tujuan penataan ruang wilayah Kabupaten Tanggamus yaitu Terwujudnya Kabupaten Tanggamus yang Maju, Lestari dan Mandiri yang berbasis Potensi Sumber Daya Alam melalui pengembangan Pertanian, Perikanan, Pertambangan dan Pariwisata.. Bagian Kedua Kebijakan Penataan Ruang Wilayah Pasal 5 Untuk mewujudkan tujuan penataan ruang wilayah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, disusun kebijakan penataan ruang wilayah meliputi : 11

a. peningkatan penyediaan sarana dan prasarana wilayah dalam mendukung sektorsektor unggulan; b. peningkatan dan pengembangan kawasan agropolitan berdasarkan potensi hortikultura; c. peningkatan dan pengembangan kawasan minapolitan berdasarkan potensi.perikanan tangkap dan budidaya; d. pemanfaatan potensi pertambangan dengan tetap menjaga kelestarian dan kestabilan kawasan dalam rangka mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan; e. pengembangan ekowisata bertumpu pada wisata bahari; f. pengurangan disparitas dan kesenjangan antar wilayah; dan g. peningkatan fungsi kawasan untuk pertahanan dan keamanan negara. Bagian Ketiga Strategi Penataan Ruang Pasal 6 (1) Untuk mewujudkan kebijakan penataan ruang wilayah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, disusun strategi penataan ruang wilayah. (2) Strategi peningkatan penyediaan sarana dan prasarana wilayah dalam mendukung sektor-sektor unggulan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a meliputi : a. mengembangkan sistem transportasi yang terpadu; b. mengembangkan sistem jaringan prasarana energi pada pusat-pusat pertumbuhan wilayah; c. mengembangkan sistem jaringan prasarana sumber daya air untuk menunjang kawasan pertanian, pariwisata dan mengurang esiko bencana; d. mengembangkan sistem jaringan prasarana telekomunikasi berbasis terestrial dan seluler yang menjangkau seluruh wilayah; dan e. mengembangkan sistem jaringan prasarana lingkungan yang mendukung kelestarian lingkungan hidup. (3) Strategi peningkatan dan pengembangan kawasan agropolitan berdasarkan potensi hortikultura sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf b meliputi : a. meningkatkan produk pertanian hortikultura yang memiliki daya saing dipasar; b. meningkatkan pengolahan produk hortikultura disertai dengan pengemasan untuk peningkatan perluasan pasar; c. menyediakan infrastruktur penunjang hortikultura; d. mengembangkan pasar lokal dan regional sebagai satu kesatuan sistem agropolitan; dan e. meningkatkan kerjasama dengan lembaga keuangan untuk pembiayaan. (4) Strategi peningkatan dan pengembangan kawasan minapolitan berdasarkan potensi perikanan tangkap dan budidaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf c meliputi : a. meningkatkan jumlah produk dan kualitas perikanan tangkap dan budidaya; b. meningkatkan pengolahan produk perikanan sampai beberapa turunannya; c. meningkatkan jaringan pemasaran tingkat lokal, regional dan nasional; d. meningkatkan penyediaan infrastruktur pengembangan perikanan; dan e. meningkatkan kerjasama dengan lembaga keuangan untuk pembiayaan pengembangan pengolahan hasil perikanan. (5) Strategi pemanfaatan potensi pertambangan dengan tetap menjaga kelestarian dan kestabilan kawasan dalam rangka mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf d meliputi : a. mengindentifikasi potensi pertambangan; b. mengelolah hasil pertambangan menjadi bahan jadi/setengah jadi dengan memberdayakan masyarakat; c. melakukan pengawasan dan pengontrolan eksploitasi pertambangan sesuai dengan kemampuan lahan; d. membatasi penambangan liar; e. mengembalikan rona alam pada area bekas tambang untuk kegiatan produktif; 12

f.

dan menjadikan kawasan pertambangan sebagai kawasan pariwisata dan pendidikan berbasis lingkungan.

(6) Strategi pengembangan ekowisata bertumpu pada wisata alam, wisata budaya dan wisata buatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf e meliputi : a. mengembangkan objek wisata unggulan sebagai satu kesatuan sistem tujuan wisata; b. memelihara lingkungan pada kawasan wisata sebagai aset utama wisata alam dan budaya; c. melakukan perluasan kegiatan wisata diikuti lingkage antar objek dan atraksi wisata; d. mengembangkan paket wisata sesuai jalur dan potensi unggulan pariwisata; dan e. mengembangkan industri wisata disertai promosi yang efisien. (7) Strategi pengurangan disparitas dan kesenjangan antar wilayah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf f meliputi : a. menjamin ketersediaan fasilitas umum, sosial, dan ekonomi di seluruh kecamatan; b. menjamin kelancaran aksesibilitas antar kawasan serta pulau pulau kecil; c. terlayaninya seluruh kawasan dengan sumber daya energi; d. membentuk simpul simpul pertumbuhan baru, yang terlayani oleh akses yang baik, dan fasilitas yang memadai; dan e. mengoptimalkan pengembangan kawasan perkotaan sebagai pusat pertumbuhan dan pelayanan kawasan yang berada di sekitarnya. (8) Strategi peningkatan fungsi kawasan untuk perlindungan, pertahanan dan keamanan negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf g meliputi : a. mendukung penetapan kawasan strategis nasional dengan fungsi khusus pertahanan dan keamanan; b. mengembangkan kegiatan budidaya secara selektif di dalam dan di sekitar kawasan strategis nasional untuk menjaga fungsi keamanan nasional; c. mengembangkan kawasan lindung dan atau kawasan budidaya tidak terbangun di sekitar kawasan strategis nasional yang mempunyai khusus pertahanan dan keamanan dengan kawasan budidaya terbangun; dan d. turut serta menjaga dan memelihara aset-aset pemerintah/TNI. BAB IV RENCANA STRUKTUR RUANG WILAYAH Bagian Kesatu Umum Pasal 7 (1) Rencana struktur ruang wilayah Kabupaten terdiri atas : a. Sistem pusat kegiatan; dan b. Sistem jaringan prasarana wilayah. (2) Rencana struktur ruang wilayah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digambarkan dalam peta dengan tingkat ketelitian 1 : 50.000 sebagaimana tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini. Bagian Kedua Rencana Sistem Pusat Kegiatan Pasal 8 (1) Rencana sistem pusat kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf a terdiri atas; a. Pusat Kegiatan Wilayah (PKW); b. Pusat Kegiatan Lokal (PKL); c. Pusat Kegiatan Lokal Promosi (PKLp); d. Pusat Pelayanan Kawasan (PPK); dan 13

e. Pusat Pelayanan Lingkungan (PPL). (2) PKW sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a berada di perkotaan Kota Agung, yang berfungsi sebagai pusat pemerintahan, perdagangan dan jasa, perikanan dan minapolitan, dan industri. (3) PKL sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b berada di perkotaan Wonosobo, yang berfungsi sebagai Pertanian, Perdagangan dan Jasa, Kehutanan dan Minapolitan. (4) PKLp sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c meliputi : a. Perkotaan Talang Padang, yang befungsi sebagai Perdagangan dan Jasa, Pertanian dan Pendukung Kegiatan Pertanian; dan b. Perkotaan Gisting, yang berfungsi sebagai Permukiman, Perdagangan Jasa dan Agropolitan/Kawasan Pendukung Pertanian. (5) PPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d meliputi : a. Perkotaan Srikuncoro (Semaka), yang berfungsi sebagai Permukiman, Perdagangan dan Jasa, dan Kawasan Lindung; b. Perkotaan Putih Doh (Cukuh Balak), yang berfungsi sebagai Permukiman, Perdagangan dan Jasa, dan Pertanian; dan c. Tekad Kecamatan Pulau Panggung yang berfungsi Perdagangan. (6) PPL sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e berada di Ngarib Kecamatan Ulu Belu, Margoyoso Kecamatan Sumberejo, Sukamara Kecamatan Bulok, Kuripan Kecamatan Limau, Napal Kecamatan Kelumbayan, Sidoharjo Kelumbayan Barat. Bagian Ketiga Rencana Sistem Prasarana Wilayah Pasal 9 Sistem jaringan prasarana wilayah kabupaten sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf b terdiri atas : a. Sistem Prasarana Utama; dan b. Sistem Prasarana lainnya. Paragraf 1 Sistem Jaringan Prasarana Utama Pasal 10 Sistem jaringan prasarana utama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf a terdiri atas: a. Sistem Jaringan Transportasi Darat; dan b. Sistem Jaringan Transportasi Laut. Pasal 11 (1) Sistem jaringan transportasi darat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 huruf a terdiri atas: a. Rencana jaringan jalan, prasarana lalu lintas dan angkutan b. Rencana jaringan angkutan penyebrangan. (2). Rencana jaringan jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi : a. jaringan jalan nasional; b. jaringan jalan provinsi; c. jaringan jalan kabupaten; (3) Rencana jaringan jalan nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a meliputi ruas jalan Rantau Tijang Kota Agung Wonosobo Sanggi Bengkunat.

14

(4) Rencana jaringan jalan provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b meliputi ruas jalan : a. Talang Padang Ulu Belu; b. Tekad Air Naningan; c. Sukamara Simpang Kuripan; d. Simpang Kuripan Putih Doh; e. Napal Putih Doh; dan f. Ulu Semuong Batas Lampung Barat; (5) Rencana jaringan jalan kabupaten sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c meliputi ruas jalan diluar jalan nasional dan jalan provinsi. (6) Rencana jaringan prasarana lalu lintas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi : a. pengembangan terminal tipe B di Kota Agung; dan b. pengembangan terminal tipe C di Semaka dan Talang Padang. (7) Rencana jaringan angkutan penyeberangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi : a. Lintas Penyeberangan Kota Agung Pulau Tabuan; dan b. Lintas Penyeberangan Kota Agung Pematang Sawa. Pasal 12 (1) Sistem jaringan transportasi laut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 huruf b terdiri atas: a. Tatanan kepelabuhanan; dan b. Alur pelayaran. (2) Tatanan kepelabuhanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi : a. Pelabuhan pengumpul di Pelabuhan Kota Agung; b. Pelabuhan pengumpan meliputi pelabuhan Batu Balai Kecamatan Kota Agung Timur, Pelabuhan Tabuan Kecamatan Cukuh Balak dan Pelabuhan Kelumbayan di Kecamatan Kelumbayan; c. Pengembangan Pelabuhan lainnya meliputi : 1) Pelabuhan Cukuh Balak Kecamatan Cukuh Balak; 2) Pelabuhan Pematang Sawa Kecamatan Pematang Sawa; 3) Pelabuhan Badak Kecamatan Limau; 4) Kota Agung Karang Anyar Wonosobo (3) Alur pelayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, merupakan alur pelayaran lokal meliputi : a. Kota Agung Pulau Tabuan; b. Kota Agung Cukuh Balak; c. Kota Agung Pematang Sawa; d. Cukuh Balak Pulau Tabuan; dan e. Kota Agung Kelumbayan Paragraf 2 Sistem Jaringan Prasarana Lainnya Pasal 13 Sistem prasarana lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf b terdiri atas : a. sistem jaringan prasarana energi; b. sistem jaringan prasarana sumber daya air; c. sistem jaringan prasarana telekomunikasi; dan d. sistem jaringan prasarana lainnya.

15

Pasal 14 (1) Sistem jaringan energi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf a terdiri atas : a. pembangkit tenaga listrik; b. jaringan tenaga listrik; c. Gardu induk; dan d. Jaringan transmisi tenaga listrik. (2) Rencana pengembangan pembangkit tenaga listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi : a. Pemanfaatan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Batu Tegi di Kecamatan Air Naningan; b. Pemanfaatan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Ulu Belu; c. Pemanfaatan panel surya di Pulau Tabuan dan daerah terisolir lainnya; d. Rencana pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Uap Batu Bara (PLTU) di Kecamatan Kelumbayan; e. Pengembangan pembangkit listrik tegangan skala kecil & menengah (mini & microhydro) di Kecamatan Bandar Negri Semuong, Kecamatan Semaka, Kecamatan Kota Agung dan Kecamatan Sumberejo; dan f. Peningkatan peran dan kemandirian masyarakat dalam memenuhi kebutuhan energinya sendiri melalui pengembangan pembangkit listrik tegangan skala kecil secara swadaya, baik berupa panel surya maupun microhydro. (3) Rencana pengembangan jaringan tenaga listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi : a. Jaringan Saluran Udara Tegangan Ekstra Tinggi (SUTET) melalui Kecamatan Ulu Belu Pagelaran; dan b. Jaringan Saluran Udara Tegangan Tinggi (SUTT) melalui Pagelaran Kota Agung. (4) Rencana Gardu Induk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, berada di Kecamatan Kota Agung Timur dan Kecamatan Ulu Belu. (5) Rencana pengembangan jaringan transmisi tenaga listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d diprioritaskan pada Ibukota Kabupaten dan kota-kota kecamatan yang belum terjangkau listrik dengan pola mengikuti jaringan jalan dan dengan sistem jaringan hantaran udara. Paragraf 3 Rencana Sistem Jaringan Sumber Daya Air Pasal 15 (1) Sistem jaringan sumber daya air sebagaimana dimaksud dalam pada pasal 13 huruf b terdiri atas : a. sistem wilayah sungai; b. sistem jaringan irigasi; c. sistem pengelolaan air baku; d. sistem pengendali bajir; dan e. sistem pengamanan pantai. (2) Sistem wilayah sungai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi pengelolaan : a. Wilayah Sungai Way Seputih Way Sekampung, yang merupakan wilayah sungai strategis nasional, mencakup DAS Seputih, Sekampung, Wako, Kambas, Penet, Kuripan, Sabu, dan Sukamaju; dan b. Wilayah Sungai Semangka yang merupakan wilayah sungai lintas Kabupaten/kota, mencakup DAS Semangka, Ngarip, Menanga, Canguk, Pemerihan, Bambang dan Ngaras. (3) Sistem jaringan irigasi sebagaimana dimasud pada ayat (1) huruf b meliputi pembangunan/peningkatan, rehabilitasi, serta operasi dan pemeliharaan jaringan irigasi untuk mendukung perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan dan ketahanan pangan, diantaranya mencakup : 16

a. b. c.

di kewenangan Pemerintah, diantaranya meliputi DI Way Tebu I, II, III, dan IV; di lintas kabupaten/kota (kewenangan Pemerintah Provinsi Lampung), diantaranya meliputi : DI Way Semangka, DI Ngarip I, DI Way Ngison, dan DI Way Napal; dan di kewenangan Pemerintah Kabupaten Tanggamus, diantaranya meliputi Way Air Kandis, Way Apus, Way Awi, Way Badak, Way Balak Atas, Way Balak Kanan, Way Balak Kiri, Way Banjar Sari, Way Batu Keramat, Way Batu Raja, Way Bayas, Way Belimbing, Way Belu, Way Betung, Way Bulok, Way Bulok Sukamara I, Way Bulok Sukamara II, Way Bulok Sukamara III, Way Bulu, Way Campak Handak, Way Campang Kanan, Way Campang, Way Campang Kanan, Way Campang Kiri, Way Cangkang, Way Ciherang, Way Cilis, Way Gading, Way Gatel, Way Gelang, Way Gerim, Way Grim II, Way Grim III, Way Gunung Alit I, Way Gunung Alit II, Way Gunung Alit III, Way Gunung Doh, Way Guring, Way Halom, Way Handak I, Way Handak II, Way Harong, Way Huara Balak, Way Humara Balak, Way Ilahan, Way Ilahan II Kanan, Way Ilahan II Kiri, Way Jalai, Way Jualang, Way Kamai, Way Kandis, Way Kandis II, Way Kandis III, Way Kelutum, Way Kemuning, Way Kendi, Way Kerep, Way Ketapang, Way Khando, Way Kijaan, Way Klempung, Way Kunyir, Way Kuripan, Way Lalaan, Way Langsep, Way Lankap Atas, Way Maja, Way Manak I, Way Manak II, Way Manak III, Way Mrahabu, Way Megang, Way Merabung, Way Merabung MD, Way Merabung P, Way Mincang I, Way Mincang II, Way Mincang III, Way Mincang IV, Way Mincang V, Way Mincang VI, Way Mincang VII, Way Mincang VIII, Way Mincang IX, Way Mincang X, Way Mincang XI, Way Muara Balak Atas, Way Muara Bulak, Way Muara Dua, Way Muara Dua Tujuh, Way Muara Nenep I, Way Muara Nenep II, Way Muara Ngarip/Belu, Way Muara Ngison, Way Muara Padang Manis, Way Muara Padang Ratu, Way Padang Rincang, Way Padang Kan, Way Paneis, Way Paneman, Way Pangkul, Way Pangkul Kanan, Way Payung, Way Pekon Ampai, Way Penanggungan, Way Rilau, Way Rukem, Way Sailing, Way Sangrong, Way Sedayu, Way Segeming, Way Semah III, Way Semah Podo Moro, Way Semou, Way Simpang, Way Simpang Kanan, Way Simpang Kiri Atas, Way Simpang Rawa, Way Sinai, Way Singo Sari, Way Sukanegeri, Way Sumberagung, Way Sumpu, Way Talangpadang, Way Tanjung Lele, Way Tipah, Way Tresno, Way Tumpang, Way Tumrang, Way Ulu Belu, Way Wonokriyo I, Way Wonokriyo II.

(4) Sistem pengelolaan air baku sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, meliputi pemanfaatan sumber-sumber air baku permukaan dan air tanah didukung oleh pembangunan, rehabilitasi serta operasi dan pemeliharaan sarana dan prasarana pengelolaan air baku, dalam rangka memenuhi kebutuhan air baku untuk air bersih bagi masyarakat diseluruh Kabupaten Tanggamus, melalui jaringan PDAM terdiri atas: a. PDAM Way Agung Cabang Kota Agung akan melayani Kecamatan Kota Agung Timur, Kota Agung dan Kota Agung Barat yang saat ini bersumber dari Way Biah l, Way Biah ll, Way Biah lll, dan Batu Keramat; b. PDAM Way Agung Cabang Talang Padang akan melayani Kecamatan Talang Padang, Gunung Alip dan Gisting yang bersumber dariWay Suka Banjar, Way Landsbow; c. PDAM Way Agung Cabang Pulau Panggung akan melayani Kecamatan Pulau Panggung, dan Air Naningan Yang bersumber dari Way Talang lman dan Way Tanjung Rejo; dan d. PDAM Unit Wonosobo akan melayani Kecamatan Wonosobo yang bersumber dari Way Banyu Urip. (5) Sumber-sumber air baku yang dimanfaatkan sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) meliputi: a. Aliran sungai sungai Way Semangka dan Way Sekampung; b. Anak sungai dari sungai utama, Way Pisang, Way Gatal, Way Semah; c. Way Sengharus, WaY Bulok dan WaY Semong; dan d. lndikasi berdasarkan Cekungan Air Tanah. (6) Pemanfaatan air tanah sebagai sumber air baku sebagaimana dimaksud padal ayat (5) dilakukan secara terbatas, dengan mempernatikan keperluan konservasi dan pencegahan kerusakan lingkungan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

17

(7) Sistem pengendalian banjir seperti yang dimaksud dalam ayat (1) huruf d meliputi pembangunan, rehabilitasi serta operasi dan pemeliharaan bangunan-bangunan pengendali banjir, didukung oleh upaya-upaya non struktural, seperti early warning system, dan pembuatan peta daerah banjir. (8) Sistem pengamanan pantai sebagaimana dimaksud datam ayat (1) huruf e meliputi pembangunan, rehabilitasi, serta operasi dan pemeliharaan sarana dan prasarana pengamanan pantai. Paragraf 4 Rencana Sistem Jaringan Telekomunikasi Pasal 16 (1) Sistem jaringan telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf c terdiri atas : a. jaringan terestrial; b. jaringan seluler; dan c. sistem gelombang radio. (2) Jaringan terestrial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a berupa pengembangan jaringan terestrial di seluruh wilayah Kabupaten Tanggamus. (3) Jaringan seluler sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b berupa pengembangan jaringan seluler diseluruh wilayah Kabupaten Tanggamus, dengan menggunakan menara BTS bersama dan hot spots diarea publik yang akan diatur dalam Peraturan Bupati. (4) Sistem telekomunikasi berbasis gelombang radio sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c digunakan untuk komunikasi antar pusat-pusat pemerintahan (kabupaten dan kecamatan). Paragraf 5 Rencana Sistem Prasarana Lainnya Pasal 17 (1) Rencana sistem prasarana lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf d terdiri atas : a. sistem jaringan persampahan; b. sistem pengelolaan limbah; c. sistem drainase; dan d. jalur dan ruang evakuasi bencana. (2) Rencana pengembangan sistem persampahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi : a. pengembangan sarana pengangkutan sampah dengan menggunakan container terutama untuk melayani lingkungan-lingkungan permukiman, areal komersial seperti perdagangan dan pasar ; b. penyediaan Tempat Penampungan Sementara pada setiap wilayah Kecamatan sebagai tempat pembuangan sampah pasar dan rumah tangga; c. mengembangkan pengolahan sampah terpadu melalui sistem Satuan Operasional Kebersihan Lingkungan (SOKLI) ialah tempat dilaksanakannya kegiatan pengumpulan, pemilihan, penggunaan ulang, pendauran ulang, pengolahan, dan pemrosesan akhir sampah pada daerah-daerah permukiman, khususnya kawasan permukiman kota di pusat-pusat pelayanan; d. pengelolaan sampah dan limbah yang mengandung bahan berbahaya dan beracun dilaksanakan sesuai dengan peraturan yang berlaku; e. meningkatkan jumlah sarana pengangkutan sampah dan pendistribusian yang proporsional di setiap wilayah atau meningkatkan rotasi pengangkutan sampah menuju Tempat Pemrosesan Akhir (TPA); f. pembangunan TPA di Kecamatan Gisting dan atau Pugung dengan menggunakan 18

g.

sistem pengolahan sampah sanitary landfill, serta merubah sistem pengolahan sampah di TPA Kali Miring menjadi sanitary landfill.; daerah pelayanan TPA meliputi : 1) TPA Kali Miring akan melayani kecamatan Kecamatan Kota Agung, Kota Agung Timur, Kota Agung Barat, Wonosobo, Bandar Negeri Semoung, Semaka dan sekitarnya; 2) TPA Gisting dan atau Pugung akan melayani kecamatan Kecamatan Gisting, Gunung Alip, Talang Padang, Pugung, Sumberejo, Pulau Panggung, Air Naningan dan sekitarnya.

(3) Sistem pengolahan limbah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi : a. pengembangan septik tank dengan sistem terpadu untuk kawasan perkotaan; b. pengembangan sistem sewerage untuk kawasan industri dan kawasan padat dengan memakai sistem Instalasi Pengelolaan Air Limbah (IPAL) yang dibuat dengan sistem Instalasi Pengolahan Limbah Tinja (IPLT); dan c. pengembangan jaringan tertutup untuk kawasan lainnya. (4) Sistem drainase sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dilakukan melalui peningkatan kapasitas sistem drainase di pusat-pusat kegiatan. (5) Jalur dan ruang evakuasi bencana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d yaitu jalur evakuasi untuk daerah yang rawan terhadap tanah longsor,gempa bumi, serta tsunami menuju ruang evakuasi bencana di setiap kantor Pekon, kantor Kecamatan, rumah ibadah dan seluruh Fasilitas umum di seluruh Kabupaten Tanggamus.

BAB V RENCANA POLA RUANG Bagian Kesatu Umum Pasal 18 (1) Rencana pola ruang meliputi : a. pola ruang kawasan lindung; dan b. pola ruang kawasan budidaya. (2) Rencana pola ruang wilayah digambarkan dalam peta dengan tingkat ketelitian 1 : 50.000 sebagaimana tercantum dalam Lampiran III yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini. Bagian Kedua Kawasan Lindung Pasal 19 Kawasan lindung sebagaimana dimaksud dalam pada Pasal 18 ayat (1) huruf a terdiri atas : a. kawasan hutan lindung b. kawasan yang memberikan perlindungan kawasan bawahannya; c. kawasan perlindungan setempat; d. kawasan suaka alam, pelestarian alam dan cagar budaya; dan e. kawasan rawan bencana alam; Praragraf 1 Kawasan Hutan Lindung Pasal 20 Kawasan Hutan Lindung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf a dengan luas kurang lebih 134.404,11 Hektar meliputi Batas wilayah Administratif Kecamatan Cukuh Balak, Semaka, Bandar Negeri Semuong, Wonosobo, Ulu Belu, Air Naningan, Pulau

19

Panggung, Gisting, Sumberejo, Kelumbayan, Kelumbayan Barat, Limau, Bulok, Kota Agung, Kota Agung Barat dan Kota Agung Timur. Pasal 21 (1). Kawasan yang memberikan perlindungan kawasan bawahannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 hurup b berupa kawasan resapan air. (2). Kawasan resapan air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi : a. DAS Way Semangka dengan luas kurang lebih 486.435 Hektar; dan b. DAS Sekampung dengan luas kurang lebih 685.421 Hektar. Pasal 22 (1) Kawasan perlindungan setempat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf terdiri atas: a. kawasan sempadan pantai; b. kawasan sempadan sungai; c. kawasan sekitar waduk; dan d. kawasan sekitar mata air. c

(2) Kawasan sempadan pantai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, dengan luas kurang lebih 2.010 Hektar berada di Kecamatan Kelumbayan, Cukuh Balak, Limau, Kota Agung timur, Kota Agung, Kota Agung Barat, Wonosobo, Semaka, dan Pematang Sawa. (3) Kawasan sempadan sungai sebagaimana dimaksud ayat (1) huruf b berada di sepanjang DAS Way Sekampung dan Way Semaka. (4) Kawasan sekitar waduk sebagaimana dimaksud ayat (1) huruf c berada di sekitar Waduk Batutegi. (5) Kawasan sempadan mata air sebagaimana dimaksud ayat (1) huruf d menyebar di seluruh wilayah kabupaten, dengan ketentuan radius 100 meter dari mata air. Pasal 23 (1) Kawasan suaka alam, pelestarian alam dan cagar budaya, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf d terdiri atas : a. Kawasan Taman Nasional; b. Kawasan Cagar Alam Laut; c. Kawasan Cagar Budaya; dan d. Kawasan Suaka Margasatwa (2) Kawasan Taman Nasional, yang merupakan Kawasan Hutan Konservasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dengan luas kurang lebih 10.220 Hektar terdapat di Kecamatan Pematang Sawa, Semaka, dan Ulu Belu. (3) Kawasan cagar alam laut, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b berupa Cagar Alam Laut Bukit Barisan Selatan dengan luas kurang lebih 3.125 Hektar terdapat di Kecamatan Pematang Sawa (4) Kawasan cagar budaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c terdapat di Kecamatan Talang Padang, Kota Agung, Wonosobo, Ulu Belu, Sumber Rejo, dan Pulang Panggung (5) Kawasan Suaka Margasatwa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d terdapat di Perairan Teluk Kiluan Kecamatan Kelumbayan.

20

Pasal 24 (1) Kawasan rawan bencana alam, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf e terdiri atas: a. kawasan rawan tanah longsor; b. kawasan rawan banjir; c. kawasan rawan bencana gelombang tinggi dan tsunami; dan d. kawasan gempa bumi; (2) Kawasan rawan tanah longsor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a terdapat di Kecamatan Wonosobo, Kota Agung, Kota Agung Barat, Ulu Belu, Cukuh Balak , Kelumbayan Barat, Kelumbayan, Semaka, PematangSawa, Limau, Bandar Negeri Semoung, Kota Agung Timur dan Gisting. (3) Kawasan rawan banjir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b terdapat di Kecamatan Wonosobo, Semaka, Bandar Negeri Semuoang, Kota Agung, Kota Agung Barat, Pugung, Pematang Sawa, Kota Agung Timur, Cukuh Balak, Kelumbayan dan Limau. (4) Kawasan rawan gelombang tinggi dan tsunami sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c terdapat di Kecamatan Kelumbayan, Culuk Balak, Limau, Kota Agung, Kota Agung Barat, Kota Agung Timur, Semaka, Wonosobo. dan Pematang Sawa. (5) Kawasan rawan gempa bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d terdapat di Kecamatan Semaka, Kota Agung Barat, Kota Agung Timur, Wonosobo, Air Naningan, Ulu Belu, Pematang Sawa dan Bandar Negeri Semuong. Pasal 25 Kawasan lindung geologi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf f berupa kawasan lindung geologi atau kawasan rawan bencana gempa bumi terdapat di Kecamatan Semaka, Kota Agung Barat, Kota Agung Timur, Wonosobo, Air Naningan, Ulu Belu, Pematang Sawa dan Bandar Negeri Semuong. Bagian Ketiga Rencana Pengembangan Kawasan Budidaya Pasal 26 Kawasan budidaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) huruf b, terdiri atas : a. kawasan peruntukan hutan rakyat; b. kawasan peruntukan pertanian; c. kawasan peruntukan perikanan; d. kawasan peruntukan pertambangan; e. kawasan peruntukan industri; f. kawasan peruntukan pariwisata; g. kawasan peruntukan pemukiman; dan h. kawasan peruntukan peruntukan lainnya. Paragraf 1 Kawasan Hutan Rakyat Pasal 27 Rencana kawasan peruntukan hutan rakyat sebagaimana dimaksud Pasal 26 huruf a, dilakukan di seluruh wilayah kabupaten dengan luas kurang lebih 35.383 Hektar.

21

Paragraf 2 Kawasan Peruntukan Pertanian Pasal 28 (1) Kawasan peruntukan pertanian sebagaimana dimaksud Pasal 26 huruf b terdiri atas : a. kawasan peruntukan pertanian tanaman pangan; b. kawasan peruntukan pertanian holtikultura; c. kawasan peruntukan perkebunan; dan d. kawasan peruntukan peternakan. (2) Kawasan peruntukan pertanian tanaman pangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dengan luas kurang lebih 31.671 Hektar terdapat di Kecamatan Pugung, Talang Padang, Gunung Alip, Kota Agung Timur, Kota Agung Barat, Wonosobo, Semaka dengan komoditas unggulan padi dan jagung. (3) Kawasan peruntukan holtikultura sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dengan luas kurang lebih 9.957 Hektar berada di Kecamatan Gisting, Sumberejo, Pematang Sawa, Pulau Pangung, Kota Agung Timur, Kota Agung, Kota Agung Barat, Bandar Negeri Semuong, Kelumbayan Barat, Kelumbayan, Limau dan Cukuh Balak dengan komoditas unggulan sayur-sayuran, buah manggis, dan buah durian. (4) Kawasan peruntukan perkebunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dengan luas 102.110,76 Hektar yang tersebar di seluruh kecamatan kecuali Kota Agung di Kabupaten Tanggamus dengan komoditas unggulan Kelapa, Kopi, dan Kakao. (5) Kawasan peruntukan peternakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d,di seluruh Kecamatan di Kabupaten Tanggamus. (6) Kawasan pertanian tanaman pangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan sebagai lahan pertanian pangan berkelanjutan seluas kurang lebih 20.000 Ha meliputi Kecamatan Pugung, Talang Padang, Kota Agung Timur, Kota Agung Barat, Wonosobo, Semaka. Paragraf 3 Kawasan Peruntukan Perikanan Pasal 29 (1) Kawasan peruntukan perikanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 huruf c terdiri atas : a. kawasan peruntukan perikanan tangkap; b. kawasan peruntukan perikanan budidaya; dan c. kawasan peruntukan pelabuhan perikanan. (2) Kawasan peruntukan perikanan tangkap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a terdapat di Kecamatan Kota Agung, Wonosobo, Pematang Sawa, Kota Agung Timur, Kota Agung Barat, Cukuh Balak, Kelumbayan, Limau dan Semaka. (3) Kawasan peruntukan perikanan budidaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dengan luas kurang lebih 1.325 hektar teridiri atas : a. perikanan budidaya air tawar; dan b. perikanan budidaya air payau (tambak). (4) Perikanan budidaya air tawar sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a terdapat di Kecamatan Pugung, Wonosobo, Semaka, dan Talang Padang. (5) Perikanan budidaya air payau sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b terdapat di Kecamatan Limau, Kota Agung Barat, Kelumbayan, Cukuh Balak, Semaka, Wonosobo, Pematang Sawa, Kota Agung Barat dan Kota Agung Timur. (6) Kawasan peruntukan Pelabuhan perikanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dikembangkan di Kecamatan Kota Agung berupa Pelabuhan Perikanan Pantai. 22

Paragraf 4 Kawasan Peruntukan Pertambangan Pasal 30 (1) Kawasan peruntukan pertambangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 huruf d terdiri atas: a. Wilayah Usaha Pertambangan; dan b. Wilayah Pertambangan Rakyat. (2) Wilayah usaha pertambangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a terdiri atas: a. peruntukan pertambangan mineral; b. pertambangan batu bara; dan c. Panas Bumi. (3) Kawasan peruntukan pertambangan mineral sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a meliputi mineral logam, mineral bukan logam dan batuan tersebar di seluruh kecamatan di kecualikan Kota Agung, daerah perkotaan dan daerah rawan bencanadi Kabupaten Tanggamus. (4) Kawasan peruntukan pertambangan batu bara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b terdapat di Kecamatan Pematang Sawa, Kecamatan Pugung, Kecamatan Kelumbayan, Kecamatan Kelumbayan Barat dan Kecamatan Air Naningan. (5) Kawasan peruntukan panas bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c terdapat di Kecamatan Ulu Belu. (6) wilayah pertambangan rakyat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi mineral bukan logam dan batuan tersebar di seluruh kecamatan dikecualikan Kota Agung di Kabupaten Tanggamus. (7) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara perizinan dan penetapan wilayah pertambangan rakyat diatur dengan Peraturan Daerah. Paragraf 5 Kawasan Peruntukan Industri Pasal 31 (1) Kawasan peruntukan industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 huruf e, terdiri atas: a. kawasan peruntukan industri besar; b. kawasan peruntukan industri sedang; dan c. kawasan peruntukan industri rumah tangga. (2) Kawasan peruntukan industri besar sebagaimana dimaksud dalam pada ayat (1) huruf a meliputi : a. Industri Maritim; dan b. Industri Olahan Hasil pertanian. terdapat di Kecamatan Pulau Panggung. (3) Industri maritim sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a berupa industri perkapalan dan manufaktur yang terdapat di Teluk Semangka Kecamatan Kota Agung Timur, Limau dan Cukuh Balak. (4) Kawasan peruntukan industri sedang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b terdapat di Kecamatan Gisting, Talang Padang, Pulau Panggung, Kota Agung Timur, Kota Agung Barat, Kota Agung, Sumber Rejo, Wonosobo, Semaka dan Pematang Sawa. (5) Kawasan peruntukan industri rumah tangga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c terdapat di seluruh kecamatan di Kabupaten Tanggamus. .

23

Paragraf 6 Kawasan Peruntukan Pariwisata Pasal 32


(1) Kawasan peruntukan pariwisata sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 huruf f terdiri

atas: a. kawasan peruntukan wisata alam; b. kawasan peruntukan wisata budaya; dan c. kawasan peruntukan wisata buatan.
(2) Kawasan peruntukan wisata alam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a

meliputi : a. wisat alam pantai di Kecamatan Kota Agung, Kota Agung Timur, Kota Agung Barat, Cukuh Balak, Kelumbayan, Limau dan Pematang Sawa; b. wisata alam air terjun di Kecamatan Kota Agung, Kota Agung Timur, Semaka, Pulau Panggung, Ulu Belu, Pematang Sawa, Sumber Rejo, dan Cukuh Balak; c. wisata alam pegunungan di Kecamatan Gisting; d. wisata alam permandian air panas di Kecamatan Wonosobo dan Kecamatan Ulu Belu; e. wisata alam TNBBS di Kecamatan Semaka; f. wisata alam arung jeram di Kecamatan Sumber Rejo; dan g. wisata alam Tampang di Kecamatan Pematang Sawa.
(3) Kawasan peruntukan wisata budaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b

meliputi : a. makam Tanjung Heran di Kecamatan Pugung; b. pelabuhan trandisional Kota Agung di Kecamatan Kota Agung; c. lembah sanggih di Kecamatan Bandar Negeri Semuong; d. batu tulis Gajah dan Prasasti Batu Bedil di Kecamatan Pulau Panggung; dan e. batu Kapal di Kecamatan Cukuh Balak.
(4) Kawasan peruntukan wisata buatan sebagaimana dimaksud ayat (1) huruf c meliputi :

a. b. c. d.

pemandian Wonotirto di Kecamatan Sumber Rejo; waduk Batu Tegi di Air Naningan; pemandian kolam renang di Gisting; dan kawasan wisata terpadu di Kota Agung Timur. Paragraf 7 Kawasan Peruntukan Pemukiman Pasal 33

(1) Kawasan peruntukan pemukiman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 huruf g terdiri atas: a. Kawasan peruntukan pemukiman perkotaan; dan b. Kawasan peruntukan pemukiman pedesaan. (2) Kawasan peruntukan pemukiman perkotaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a terdapat di Kecamatan Kota Agung, Kota Agung Barat, Kota Agung Timur, Gisting, Wonosobo, dan Talang Padang. (3) Kawasan peruntukan pemukiman pedesaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b menyebar di seluruh wilayah, terutama pada pusat pelayanan kawasan dan pusat pelayanan lokal. Paragraf 8 Kawasan Peruntukan Lainnya Pasal 34 (1) Kawasan peruntukan lainnya seperti yang di maksud pasal 26 huruf h terdiri atas : a. peruntukan pertahanan dan keamanan; b. kawasan pengembangan sektor informal; 24

c. kawasan pesisir; d. pengembangan ruang terbuka hijau (RTH); dan e. ruang dalam bumi. (2) Kawasan peruntukan pertahanan dan keamanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a terdiri atas : a. Kantor dan/atau Markas Kepolisian dan Tentara Nasional Indonesia yang terdapat di Perkotaan Kota Agung Timur di Kecamatan Kota Agung Timur; b. Pos Angkatan Laut di Kecamatan Kota Agung, Pematang Sawa dan Kelumbayan; c. Komando Rayon Militer (Koramil) dan menyebar di seluruh Kecamatan di Kabupaten Tanggamus; dan d. Kantor Kepolisian Sektor yang tersebar di setiap kecamatan di Kabupaten Tanggamus. (3) Kawasan pengembangan sektor informal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b diarahkan pada pengembangan kawasan khusus untuk perdagangan dan jasa, meliputi: a. kawasan perdagangan dan jasa skala regional untuk melayani wilayah Kabupaten Tanggamus diarahkan di pusat perkotaan Kota Agung; dan b. kawasan perdagangan skala kecamatan pada kawasan perkotaan di .Kota Agung Barat, Kota Agung Timur, Gisting, Wonosobo, dan Talang Padang. (4) Kawasan pesisir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c meliputi kawasan jalur pelayaran, kawasan pantai berhutan bakau di Kecamatan Pematang Sawa, Wonosobo dan Semaka dengan rencana pemanfaatan lahan diatur berdasarkan prinsip-prinsip, meliputi: a. kawasan di sepanjang jalan arteri primer diarahkan untuk pengembangan industri dan pergudangan serta kegiatan pelayanan umum perkotaan; b. kawasan di sepanjang jalan kolektor primer dan lokal primer diarahkan bagi kegiatan pelayanan umum dan permukiman kepadatan rendah; c. kawasan di sepanjang jalan lingkungan akan dimanfaatkan dengan dominasi bagi kegiatan permukiman kepadatan sedang dan tinggi; d. kawasan di sepanjang pantai akan dimanfaatkan dengan dominasi bagi kegiatan perikanan; dan e. kawasan dengan potensi wisata. (5) Pengembangan Ruang Terbuka Hijau (RTH) sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf d ditetapkan dengan proporsi paling sedikit 30% (tiga puluh persen) dari luas kawasan perkotaan, meliputi: a. Ruang Terbuka Hijau (RTH) publik yaitu taman kota, taman pemakaman umum, dan jalur hijau sepanjang jalan, sungai, dan pantai, dengan proporsi paling sedikit 20% (dua puluh persen); b. Ruang Terbuka Hijau (RTH) privat yaitu kebun atau halaman rumah/gedung milik masyarakat/ swasta yang ditanami tumbuhan, dengan proporsi 10% (sepuluh persen); dan c. Ketentuan lebih lanjut mengenai RTHPerkotaan sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b diatur dalam Rencana Detail Tata Ruang. (6) Rencana ruang dalam bumi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf e meliputi: a. wilayah-wilayah yang sudah diketahui cadangannya dan/atau wilayah yang tengah dalam masa penyelidikan pendahuluan/eksplorasi/eksploitasi dan secara legal telah ada izin atau kontraknya maka harus dilindungi secara hukum di dalam tata ruang sebagai kawasan peruntukan pertambangan; b. wilayah yang berpotensi bahan tambang harus diberikan alokasi ruang dalam bentuk wilayah prospek usaha pertambangan sebagai arahan prospek pertambangan ke depan; c. wilayah prospek pertambangan tidak dipengaruhi oleh kendala sektor budi daya atau lindung lainnya, namun dalam pengusahaannya tetap mengikuti ketentuan perundang-undangan yang berlaku; d. pengembangan wilayah pertambangan harus mengkaji antara aspek-aspek riil, antara resiko dan manfaat, sebagaimana disyaratkan dalam peraturan perundangan; dan

25

BAB VI PENETAPAN KAWASAN STRATEGIS KABUPATEN Pasal 35 (1) Kawasan strategis terdiri atas : a. Kawasan Strategis Provinsi; dan b. Kawasan Strategis Kabupaten; (2) Kawasan strategis provinsi yang berada dalam wilayah kabupaten sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a terdiri atas : a. Kawasan strategis ekonomi yaitu Kawasan Agropolitan Gisting di Kecamatan Gisting; b. Kawasan strategis lingkungan hidup meliputi : 1) Kawasan Waduk Batu Tegi di Kecamatan Air Naningan; dan 2) Kawasan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan di Kecamatan Pematang Sawah dan Semaka. (3) Kawasan strategis kabupaten sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi kawasan strategis untuk kepentingan ekonomi, yaitu : a. Kawasan Strategis Minapolitan, untuk pengembangan perikanan budidaya tangkap di Kecamatan Kota Agung, Kota Agung Barat dan Wonosobo; b. Kawasan Strategis Ulu Belu, untuk pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi di Kecamatan Ulu Belu; c. Kawasan Strategis Teluk Kiluan, untuk pengembangan ekowisata di Kecamatan Kelumbayan; d. Kawasan Strategis Batu Balai, untuk pengembangan Industri Maritim di Kecamatan Kota Agung Timur; dan e. Kawasan Strategis Pulau Panggung, untuk pengembangan industri olahan hasil pertanian di Kecamatan Pulau Panggung. (4) Penetapan kawasan strategis Kabupaten sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditindaklanjuti dengan penyusunan rencana rinci kawasan strategis. (5) Kawasan strategis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digambarkan dalam Peta Kawasan Strategis yang tercantum dalam Lampiran IV yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini. BAB VII ARAHAN PEMANFAATAN RUANG WILAYAH Bagian Kesatu Umum Pasal 36 (1) Arahan Pemanfaatan ruang berisikan kelembagaan, indikasi program pembangunan utama jangka menengah lima tahunan. (2) Arahan pemanfaatan ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berisi tentang perwujudan struktur ruang, perwujudan pola ruang kawasan lindung dan budi daya, serta perwujudan kawasan strategis wilayah kabupaten sesuai dengan RTRW Kabupaten sebagaimana terlampir dalam lampiran V yang merupakan bagian tidak terpisahkan dalam Peraturan Daerah ini. Bagian Kedua Perwujudan Rencana Struktur Ruang Umum Pasal 37 Arahan pemanfaatan ruang dalam rangka perwujudan struktur ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (2) dilakukan melalui perwujudan pusat kegiatan berupa sistem pusat kegiatan dan sistem jaringan prasarana wilayah. 26

Paragraf 1 Perwujudan Sistem Pusat Kegiatan Pasal 38 (1) Perwujudan sistem pusat kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 terdiri atas : a. Pusat Kegiatan Wilayah (PKW); b. Pusat Kegiatan Lokal (PKL); c. Pusat Kegiatan Lokal Promosi (PKLp); d. Pusat Pelayanan Kawasan (PPK); e. Pusat Pelayanan Lingkungan (PPL); dan d. Perwujudan pengembangan sistem prasarana wilayah. (2) Perwujudan PKW sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a berada di Kota Agung meliputi : a. Penyusunan RDTR Kota Kota Agung; b. Pengembangan dan Penataan Teknis Kota Agung; c. Pengembangan pusat pemerintahan kabupaten; d. Pengembangan kawasan perdagangan dan jasa; e. Jasa pendukung pariwisata; dan (3) Perwujudan PKL sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b berada di Wonosobo meliputi : a. Penyusunan RDTR Wonosobo; dan b. Pengembangan kawasan perdagangan hasil pertanian dan perikanan. (4) Perwujudan PKLp sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c terdiri atas: a. Talang Padang, meliputi : 1) Penyusunan RDTR Talang Padang ; 2) Pengembangan kawasan pertanian; dan 3) Pengembangan kawasan perdagangan dan jasa. b. Gisting, meliputi : 1) Penyusunan RDTR Gisting; 2) Pengembangan kawasan perdagangan dan jasa; 3) Pengembangan kawasan permukiman; 4) Pengembangan kawasan agropolitan /pertanian; dan 5) Pengembangan Kawasan Pendidikan. (4) Perwujudan PPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d terdiri atas : a. Sri Kuncoro ( Teluk Semaka), meliputi : 1) Pengembangan kawasan permukiman; 2) Pengembangan kawasan perdagangan dan jasa; dan 3) Pengembangan kawasan lindung. b. Putih Doh, meliputi : 1) Pengembangan kawasan permukiman; 2) Pengembangan kawasan perdagangan dan jasa; dan 3) Pengembangan kawasan pertanian. Paragraf 2 Perwujudan Sistem Prasarana Wilayah Pasal 39 (1) Perwujudan pengembangan sistem prasarana wilayah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 meliputi : a. Perwujudan pengembangan sistem prasarana transportasi; b. Perwujudan pengembangan sistem prasarana energi; c. Perwujudan pengembangan sistem prasarana telekomunikasi; d. Perwujudan pengembangan sistem prasarana sumberdaya air; dan e. Perwujudan pengembangan sistem prasarana pengelolaan lingkungan.

27

(2) Perwujudan pengembangan sistem prasarana transportasi sebagaimana pada ayat (1) huruf a terdiri dari : a. Program transportasi darat; dan b. Program transportasi laut.

dimaksud

(3) Perwujudan pengembangan sistem prasarana transportasi darat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dilakukan melalui : a. Peningkatan kapasitas pelayanan sistem jaringan jalan kolektor primer; Pembangunan jaringan jalan lingkungan primer; b. Rencana pengembangan Jalan Lingkar Luar Kota Agung, dan c. Peningkatan dan pengembangan sarana dan prasarana terminal. (4) Perwujudan pengembangan sistem prasarana transportasi laut sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dilakukan melalui : a. Pelabuhan pengumpul di Pelabuhan Kota Agung; b. Pelabuhan pengumpan meliputi pelabuhan Batu Balai Kecamatan Kota Agung Timur, Pelabuhan Tabuan Kecamatan Cukuh Balak dan Pelabuhan Kelumbayan di Kecamatan Kelumbayan; c. Penetapan dan pengembangan pelabuhan lainnya di Pelabuhan Cukuh Balak Kecamatan Cukuh Balak, Pelabuhan Pematang Sawa Kecamatan Pematang Sawa, Pelabuhan Badak Kecamatan Limau dan Pelabuhan Karang Anyar Kecamatan Wonosobo (5) Perwujudan pengembangan sistem prasarana energi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan melalui : a. Peningkatan pasokan daya listrik yang bersumber dari energi terbarukan untuk memenuhi kebutuhan listrik perdesaan, diantaranya PLTA, mikrohidro, tenaga angin, tenga gelombang taut dan tenaga surya di perdesaan; b. Pemanfaatan batubara sebagai sumber energi dengan pengelolaan yang ramah lingkungan; c. Pembangunan jaringan transmisi dan distribusi listrik sampai tingkat desa, terutama pada desa yang terdapat objek wisata terutama ke daerah-daerah yang belum berlistrik; d. Pengembangan dan optimalisasi pemanfaatan PLTMH berbasis masyarakat; e. Pembangunan PLTA pada beberapa kawasan yang mempunyai potensi sumber daya air yang memadai; dan f. Pengembangan sumber energi alternatif seperti tenaga surya, gelombang Laut dan tenaga angin sesuai dengan potensi setempat. (6) Perwujudan pengembangan sistem prasarana telekomunikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dilakukan melalui : a. Pembangunan sistem jaringan telekomunikasi di seluruh ibukota kecamatan dan desa; b. Menciptakan keanekaragaman model telekomunikasi sesuai dengan kondisi dan kebutuhan; dan c. Optimalisasi pemanfaatan teknologi informasi untuk kegiatan pemerintahan dan usaha penduduk. (7) Perwujudan pengembangan sistem prasarana sumber daya air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d dilakukan melalui: a. Pemeliharaan dan rehabilitasi jaringan irigasi yang tersebar di seluruh kecamatan. b. Pembangunan dan peningkatan jaringan irigasi; c. Pengelolaan wilayah sungai; d. Pengembangan sistem pengelolaan air baku untuk air bersih; e. Pengembangan sistem pengendali bajir; dan f. Pengembangan sistem pengamanan pantai. (8) Perwujudan pengembangan sistem prasarana pengelolaan lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e dilakukan melalui : a. Pembangunan perumahan swadaya untuk kebutuhan penduduk sampai dengan tahun 2031 yang tahan gempa;

28

b. Pengembangan prasarana dan sarana perumahan, berupa jalan poros, jalan lingkungan, jalan setapak, dan drainase yang tersebar di seluruh kecamatan; c. Penyediaan prasarana dan sarana air minum terutama pada kawasan rawan air minum di perkotaan dan perdesaan; d. Pembangunan Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) pada setiap rumah sakit; e. Pembangunan Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) dengan sistem sanitary landfill di Gisting dan atau Pugung; f. Mengubah pola pengolahan sampah open dumping menjadi sanitary landill di TPA Kali Miring Kota Agung; g. Pembangunan TPS di seluruh pusat pelayanan kawasan maupun lingkungan (PPK dan PPL); dan h. Penyusunan dan perwujudan RDTR Lokasi Evakuasi Bencana. Bagian Ketiga Perwujudan Rencana Pola Ruang Umum Pasal 40 Arahan pemanfaatan ruang dalam rangka perwujudan pola ruang dilakukan melalui perwujudan kawasan lindung dan perwujudan kawasan budidaya. Paragraf 1 Perwujudan Kawasan Lindung Pasal 41 (1) Perwujudan kawasan lindung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 terdiri atas : a. Pengelolaan Kawasan hutan lindung b. Pengelolaan Kawasan yang memberikan perlindungan kawasan bawahannya; c. Pengelolaan Kawasan perlindungan setempat; d. Pengelolaan Kawasan suaka alam, pelestarian alam dan cagar budaya; dan e. Pengelolaan Kawasan rawan bencana alam. (2) Pengelolaan kawasan hutan lindung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan melalui : a. Identifikasi dan pemetaan kerusakan hutan lindung; b. Pemetaan persoalan dan pemanfaatan ruang pada kawasan hutan lindung; c. Penyusunan program rehabilitasi hutan lindung; d. Penguatan program rehabilitasi hutan lindung berbasis masyarakat; e. Rehabilitasi kawasan hutan lindung; f. Penegakan hukum pemberantasan pembalakan liar (illegal logging); g. Penerapan pola insentif dan disinsentif dalam pengelolaan hutan lindung; dan h. Pengawasan dan pengamanan kawasan hutan lindung. (3) Pengelolaan kawasan yang memberikan perlindungan kawasan bawahannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan melalui : a. Penetapan kawasan dengan kemiringan diatas 40% (empat puluh persen) sebagai kawasan lindung; b. Identifikasi dan kiasifikasi kawasan lindung sebagaimana dimaksud ayat (5) huruf a menjadi lahan sangat kritis, kritis dan tidak kritis; c. Mencegah timbulnya erosi, bencana banjir, sedimentasi, dan menjaga fungsi hidrologis tanah di kawasan hutan lindung; dan d. Memberikan ruang yang cukup bagi resapan air hujan pada kawasan resapan air untuk keperluan penyediaan kebutuhan air tanah dan penanggulangan banjir. (4) Pengelolaan kawasan perlindungan setempat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dilakukan melalui : a. Menjaga sempadan pantai untuk melindungi wilayah pantai dari kegiatan yang mengganggu kelestarian fungsi pantai; b. Menjaga sempadan sungai untuk melindungi sungai dari kegiatan manusia yang dapat mengganggu dan merusak kualitas air sungai, kondisi fisik pinggir dan dasar sungai serta mengamankan aliran sungai; 29

c. d.

Menjaga kawasan sekitar danau/waduk untuk melindungi danau/waduk dari berbagai usaha dan/atau kegiatan yang dapat mengganggu kelestarian fungsi waduk/danau; dan Menjaga kawasan sekitar mata air untuk melindungi mata air dari dari berbagai usaha dan/atau kegiatan yang dapat merusak kualitas air dan kondisi fisik kawasan sekitarnya.

(5) Pengelolaan kawasan suaka alam, pelestarian alam dan cagar budaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d dilakukan melalui : a. Identifikasi, penetapan dan pemantapan kawasan suaka alam, pelestarian alam dan cagar budaya termasuk cagar alam taut; b. Identifikasi dan klasifikasi kondisi kawasan menjadi kawasan sangat kritis, kritis dan tidak kritis; c. Perumusan program rehabilitasi melalui pendekatan kerjasama lintas pelaku, partisipatif dan lintas wilayah; dan d. Penumbuhkembangan kesadaran dan kepedulian masyarakat terhadap nilai-nilai lingkungan dan budaya lokal dalam rangka menjaga dan melestarikan kawasan suaka alam, pelestarian alam, cagar budaya termasuk cagar alam laut. (6) Pengelolaan kawasan rawan bencana alam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e dilakukan melalui : a. Menginventarisir kawasan rawan bencana alam secara lebih akurat; b. Pengaturan kegiatan manusia di kawasan rawan bencana alam untuk melindungi; c. Manusia dari bencana yang disebabkan oleh alam maupun secara tidak langsung oleh perbuatan manusia; d. Melakukan upaya untuk mengurangi/ meniadakan resiko bencana alam melalui pendekatan struktur dan non struktur; dan e. Melakukan sosialisasi bencana alam pada masyarakat, terutama masyarakat yang berada pada/dekat dengan daerah rawan bencana alam. Paragraf 2 Perwujudan Kawasan Budidaya Pasal 42 Perwujudan kawasan budidaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40, terdiri atas : a. pengembangan kawasan hutan rakyat; b. pengembangan kawasan pertanian; c. pengembangan kawasan perikanan; d. pengembangan kawasan pertambangan; e. pengembangan kawasan industri; f. pengembangan kawasan pariwisata; g. pengembangan kawasan permukiman; dan h. pengembangan kawasan perlindungan, pertahanan dan keamanan. Pasal 43 Pengembangan kawasan hutan rakyat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 huruf a, meliputi : a. pelaksanaan penghijauan kembali pada kawasan hutan yang mengalami degradasi; b. pendampingan kelompok usaha rakyat; dan c. pengawasan dan penertiban pengelolaan industri hasil hutan. Pasal 44 Pengembangan kawasan pertanian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 huruf b meliputi: a. pengembangan prasarana pengairan/irigasi; b. mengendalian alih fungsi kawasan pertanian; c. mempertahankan fungsi kawasan pertanian yang sudah ada sesuai denga peruntukannya; 30

d. membatasi kegiatan pembangunan disekitar kawasan pertanian potensial; e. mengupayakan ekstensifikasi pertanian; dan f. mengembangkan sentra produksi tanaman pertanian pada masing-masing kecamatan sesuai dengan potensi pengembangan. Pasal 45 Pengembangan kawasan perikanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 huruf c meliputi: a. meningkatkan produksi hasil perikanan. b. mengembangkan prasarana perikanan; c. pengolahan hasil perikanan; dan d. pengembangan pemasaran hasil perikanan. Pasal 46 Pengembangan kawasan pertambangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 huruf d meliputi : a. pengembangan kawasan pertambangan dengan tetap memperhatikan kelestarian lingkungan b. pengembangan dan peningkatan sarana dan prasarana pengelolaan tambang; c. sosialisasi pengelolaan pertambangan secara berkelanjutan; dan d. peningkatan pengawasan terhadap pengelolaan pertambangan. Pasal 47 Pengembangan kawasan industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 huruf e meliputi : a. pengemdalian pengembangan industri besar yang dapat menimbulkan kerusakan lingkungan; b. pengembangan dan peningkatan industri rumah tangga; c. pengembangan dan peningkatan jaringan infrastruktur penunjang kawasan; d. pengelolaan kawasan peruntukan industri secara berkelanjutan; dan e. pemberian insentif terhadap pengusaha industri yang mengelola industrinya berwawasan lingkungan. Pasal 48 Pengembangan kawasan pariwisata sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 huruf f meliputi: a. penyusunan Rencana Induk Pengembangan Pariwisata (RIPP) Kabupaten; b. peningkatan kualitas obyek dan daya tarik wisata alam, budaya dan buatan; c. mempertahankan fungsi-fungsi lindung yang terdapat di kawasan wisata; d. pengembangan dan peningkatan sarana dan prasarana penunjang wisata; e. mendorong kegiatan ekonomi penunjang wisata; f. mensinergikan kegiatan lainnya yang memiliki potensi sebagai daya tarik wisata; dan g. peningkatan sistem informasi wisata. Pasal 49 Pengembangan kawasan permukiman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 huruf g meliputi: a. penyusunan masterplan Rencana Pembangunan dan Pengembangan Perumahan Permukiman Daerah (RP4D); b. penetapan batas pengembangan kawasan permukiman perkotaan dan perdesaan; c. pengembangan Kasiba dan Lisiba; d. pengembangan dan peningkatan jaringan infrastruktur penunjang permukiman; e. identifikasi permukiman kumuh; dan f. perbaikan lingkungan permukiman kumuh. 31

Pasal 50 Pengembangan kawasan peruntukan perlindungan pertahanan dan keamanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 huruf h meliputi : a. penetapan batas kawasan; b. pengembangan dan peningkatan sarana dan prasarana kawasan; c. pengendalian perkembangan kegiatan di sekitar kawasan; d. mensinergikan dengan kegiatan budidaya masyarakat sekitar; dan e. sosialisasi dan workshop pengelolaan kawasan perlindungan pertahanan dan keamanan. BAB VIII ARAHAN PENGENDALIAN PEMANFAATAN RUANG Bagian Kesatu Umum Pasal 51 (1) Arahan pengendalian pemanfaatan ruang wilayah kabupaten menjadi acuan pelaksanaan pengendalian pemanfaatan ruang di wilayah kabupaten; (2) Arahan pengendalian pemanfaatan ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. ketentuan umum peraturan zonasi; b. perizinan; c. ketentuan insentif dan disinsentif; dan d. sanksi. Bagian Kedua Ketentuan Umum Peraturan Zonasi Pasal 52 (1) Ketentuan umum peraturan zonasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (2) huruf a, menjadi pedoman bagi penyusunan peraturan zonasi oleh pemerintah kabupaten. (2) Ketentuan umum peraturan zonasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi: a. Ketentuan umum peraturan zonasi untuk kawasan lindung; b. Ketentuan umum peraturan zonasi untuk kawasan budidaya; dan c. Ketentuan umum peraturan zonasi untuk sistem jaringan prasarana provinsi dan kabupaten. Pasal 53 (1) Ketentuan umum peraturan zonasi untuk kawasan lindung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 pada ayat (2) huruf a meliputi : a. Kawasan Hutan Lindung; b. Kawasan Resapan Air ; c. Kawasan Sempadan Pantai; d. Kawasan Sempadan Sungai; e. Kawasan Sempadan Waduk; f. Kawasan Sempadan mata Air; g. Kawsasan Ruang Terbuka Hijau; h. Kawasan Taman Nasional (TNBBS); i. Kawasan Cagar Alam Laut; j. Kawasan Rawan Bencana; dan k. Kawasan Cagar Budaya dan Ilmu Pengetahuan.

32

(2) Ketentuan umum peraturan zonasi untuk kawasan budidaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 pada ayat (2) huruf b meliputi : a. Kawasan Hutan Produksi Terbatas; b. Kawasan Hutan Rakyat; c. Kawasan Perkebunan; d. Kawasan Pertanian; e. Kawasan Perikanan; f. Kawasan Peternakan; g. Kawasan Pertambangan; h. Kawasan Industri; i. Kawasan Pariwisata; j. Kawasan Permukiman; dan k. Kawasan Peruntukan Lainnya. (3) Ketentuan umum praturan zonasi untuk sistem jaringan prasarana provinsi dan kabupaten sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 pada ayat (2) huruf c meliputi : a. jaringan jalan; b. jaringan prasarana lalu lintas dan angkutan jalan; c. jaringan prasarana energi; d. jaringan prasarana telekomunikasi; e. jaringan prasarana sumber daya air; dan f. jaringan prasarana lainnya. Paragraf 1 Ketentuan Umum Peraturan Zonasi Kawasan Lindung Pasal 54 (1) Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan hutan lindung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (1) huruf a ditetapkan sebagai berikut : a. dalam kawasan hutan lindung dapat dilaksanakan untuk kegiatan lain sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku; b. kegiatan pertambangan di kawasan hutan lindung masih diperkenankan sepanjang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku; dan c. kawasan hutan lindung, dapat dimanfaatkan sepanjang mengikuti prosedur sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. (2) Pembangunan prasarana wilayah yang harus melintasi hutan lindung dapat diperkenankan dengap ketentuan : a. tidak menyebabkan terjadinya perkembangan pemanfaatan ruang budidaya di sepanjang jaringan prasarana tersebut; dan b. mengikuti ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 55 Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan resapan air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (1) huruf b ditetapkan sebagai berikut : a. Dalam kawasan resapan air tidak diperkenankan adanya kegiatan budidaya; b. Permukiman yang sudah terbangun di dalam kawasan resapan air sebelum ditetapkan sebagai kawasan lindung masih diperkenankan namun harus memenuhi syarat : 1. Tingkat kerapatan bangunan rendah (KDB maksimum 20%, dan KLB maksimum 40%). 2. Perkerasan permukaan menggunakan bahan yang memiliki daya serap air tinggi. 3. Dalam kawasan resapan air wajib dibangun sumur-sumur resapan sesuai ketentuan yang berlaku. Pasal 56 (1) Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan sempadan pantai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (1) huruf c ditetapkan sebagai berikut : 33

a. Kawasan sempadan pantai ditetapkan 100 meter dari titik pasang tertinggi; b. Dalam kawasan sempadan pantai yang termasuk dalam zona inti wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil tidak diperkenankan dilakukan kegiatan budidaya kecuali kegiatan penelitian, bangunan pengendali air, dan sistem peringatan dini (early warning system); c. Dalam kawasan sempadan pantai yang termasuk zona pemanfaatan terbatas dalam wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil diperkenankan dilakukan kegiatan budidaya pesisir, ekowisata, dan perikanan tradisional; dan d. Dalam kawasan sempadan pantai yang termasuk zona lain dalam wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil diperkenankan dilakukan kegiatan budidaya sesuai peruntukan kawasan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (2) Zona inti kawasan pesisir, zona pemanfaatan terbatas sebagaimana dimaksud ayat (1) huruf b, huruf c dan kawasan konservasi akan ditetapkan lebih lanjut sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Pasal 57 Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan sempadan sungai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (1) huruf d ditetapkan sebagai berikut : a. Kawasan sempadan sungai adalah kawasan sepanjang kiri-kanan sungai, termasuk sungai buatan/kanal/saluran irigasi primer yang mempunyai manfaat penting untuk mempertahankan kelestarian fungsi sungai dengan lebar sempadan sebagai berikut : 1) Bertanggul dan berada dalam kawasan permukiman dengan lebar paling sedikit 5 (lima) meter dari kaki tanggul sebelah luar. 2) Tidak bertanggul dan berada diluar kawasan permukiman dengan lebar minimal paling sedikit 100 (seratus) meter dari tepi sungai. 3) Tidak bertanggul pada sungai kecil diluar kawasan permukiman dengan lebar paling sedikit 50 (lima puluh) meter dari tepi anak sungai. b. Dalam kawasan sempadan sungai tidak diperkenankan dilakukan kegiatan budidaya yang mengakibatkan terganggunya fungsi sungai; dan c. Dalam kawasan sempadan sungai masih diperkenankan dibangun prasarana wilayah dan utilitas lainnya dengan ketentuan tidak menyebabkan terjadinya perkembangan pemanfaatan ruang budidaya di sepanjang jaringan prasarana tersebut dan dilakukan sesuai ketentuan peraturan yang berlaku. Pasal 58 Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan sempadan waduk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (1) huruf e ditetapkan sebagai berikut : a. Lebar sempadan waduk adalah 50 (lima puluh) sampai dengan 100 (seratus) meter dari titik pasang air danau atau waduk tertinggi; b. Dalam kawasan sempadan waduk tidak diperkenankan dilakukan kegiatan budidaya yang dapat merusak fungsi danau/waduk; c. Dalam kawasan sempadan waduk diperkenankan dilakukan kegiatan penunjang pariwisata alam seseuai ketentuan yang berlaku; dan d. Dalam kawasan sempadan waduk masih diperkenankan dibangun prasarana wilayah dan utilitas lainnya dengan ketentuan tidak menyebabkan terjadinya perkembangan pemanfaatan ruang budidaya di sepanjang jaringan prasarana tersebut dan dilakukan sesuai ketentuan peraturan yang berlaku. Pasal 59 Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan sempadan mata air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (1) huruf f ditetapkan sebagai berikut : a. Dalam kawasan sempadan mata air tidak diperkenankan dilakukan kegiatan budidaya yang dapat merusak mata air; b. Dalam kawasan sempadan mata air masih diperkenankan dilakukan kegiatan penunjang pariwisata alam sesuai ketentuan yang berlaku; dan 34

c. Dilarang mendirikan bangunan tanpa kecuali. Pasal 60 Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan ruang terbuka hijau sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (1) huruf g ditetapkan sebagai berikut : a. Kawasan ruang terbuka hijau tidak diperkenankan dialihfungsikan. b. Dalam kawasan ruang terbuka hijau masih diperkenankan dibangun fasilitas pelayanan sosial secara terbatas dan memenuhi ketentuan yang berlaku. c. Pemanfaatan ruang untuk ruang terbuka hijau; d. Pendirian bangunan yang dibatasi hanya untuk menunjang kegiatan rekreasi; e. Pelarangan semua jenis kegiatan yang dapat menurunkan luas, nilai ekologis, dan estetika kawasan; dan f. Untuk kawasan perkotaan minimal disediakan RTH dengan luas 30% (tiga puluh persen) dari total luas kota dan 30% (tiga puluh persen) dari DAS untuk wilayah kabupaten. Pasal 61 Ketentuan umum peraturan zonasi Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (1) huruf h ditetapkan sebagai berikut : a. Dalam kawasan taman nasional dilarang dilakukan kegiatan budidaya yang menyebabkan menurunnya fungsi kawasan; b. Dalam kawasan taman nasional dilarang dilakukan penebangan pohon dan perburuan satwa yang dilndungi undang-undang; c. Dalam kawasan taman nasional laut dilarang dilakukan penambangan terumbu karang; d. Dalam kawasan taman nasional dan taman nasional laut masih diperbolehkan dilakukan kegiatan penelitian dan wisata alam sepanjang tidak merusak lingkungan; dan e. Dalam kawasan taman nasional dan taman nasional laut masih diperbolehkan dilakukan pembangunan prasarana wilayah dan prasarana bawah laut sepanjang tidak merusak atau menurangi fungsi kawasan. Pasal 62 Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan cagar alam laut dan perairan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (1) huruf i ditetapkan sebagai berikut : a. Tidak diperkenankan dilakukan kegiatan budidaya yang mengakibatkan rusak dan menurunnya fungsi kawasan; b. Tidak diperkenankan dilakukan kegiatan budidaya perikanan skala besar atau skala usaha dan eksploitasi sumberaya kelautan yang mengakibatkan menurunnya potensi alam laut dan perairan lainnya; c. Dilarang dilakukan penambangan terumbu karang sehingga tutupan karang hidupnya kurang dari 50 % (lima puluh persen); d. Masih diperkenankan dilakukan kegiatan pariwisata alam secara terbatas dan kegiatan penelitian; e. Masih diperkenankan dibangun pasarana wilayah bawah laut dan bangunan pengendali air; dan f. Masih diperkenankan dipasang alat pemantau bencana alam seperti sistem peringatan dini (early warning system). Pasal 63 Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan rawan bencana alam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (1) huruf j ditetapkan sebagai berikut : a. Perkembangan kawasan permukiman yang sudah terbangun di dalam kawasan rawan bencana alam harus dibatasi dan diterapkan peraturan bangunan (building code) sesuai dengan potensi bahaya/bencana alam, serta dilengkapi jalur evakuasi; 35

b. Kegiatan-kegiatan vital/strategis diarahkan untuk tidak dibangun pada kawasan rawan bencana; c. Dalam kawasan rawan bencana masih dapat dilakukan pembangunan prasarana penunjang untuk mengurangi resiko bencana alam dan pemasangan sistem peringatan dini (early warning system); dan d. Dalam kawasan rawan bencana alam masih diperkenankan adanya kegiatan budidaya lain seperti pertanian, perkebunan, dan kehutanan, serta bangunan yang berfungsi untuk mengurangi resiko yang timbul akibat bencana alam. Pasal 64 Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan cagar budaya dan ilmu pengetahuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (1) huruf k ditetapkan sebagai berikut : a. Kawasan cagar budaya dilindungi dengan sempadan sekurang-kurangnya memiliki radius 100 m, dan pada radius sekurang-kurangnya 500 m tidak diperkenankan adanya bangunan lebih dari 1 (satu) lantai; dan b. Tidak diperkenankan adanya bangunan lain kecuali bangunan pendukung cagar budaya dan ilmu pengetahuan. Paragraf 2 Ketentuan Umum Peraturan Zonasi Kawasan Budidaya Pasal 65 Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan hutan produksi terbatas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (2) huruf a ditetapkan sebagai berikut : a. Hutan produksi adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok memproduksi hasil hutan b. Penggunaan kawasan hutan produksi dilakukan tanpa mengubah fungsi pokok kawasan hutan dengan mempertimbangkan batasan luas dan jangka waktu tertentu serta kelestarian lingkungan. c. Dalam kawasan hutan produksi diperkenankan adanya kegiatan kehutanan dan pembangunan sistem jaringan prasarana wilayah dan bangunan terkait dengan pengelolaan budidaya hutan produksi; d. Kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi atau dialihfungsikan untuk kegiatan lain di luar kehutanan sesuai peraturan perundangan yang berlaku; e. Kegiatan dalam kawasan hutan produksi tidak diperkenankan menimbulkan gangguan lingkungan seperti bencana alam; d. Sebelum kegiatan pengelolaan hutan produksi dilakukan wajib dilakukan studi kelayakan dan studi AMDAL yang hasilnya disetujui oleh tim evaluasi dari lembaga yang berwenang. Pasal 66 Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan hutan rakyat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (2) huruf a ditetapkan sebagai berikut : a. Kegiatan pengusahaan hutan rakyat diperkenankan dilakukan terhadap lahan-lahan yang potensial dikembangkan di seluruh wilayah kabupaten; b. Kegiatan pengusahaan hutan rakyat tidak diperkenankan mengurangi fungsi lindung, sperti mengurangi keseimbangan tata air, dan lingkungan sekitarnya; c. Kegiatan dalam kawasan hutan rakyat tidak diperkenankan menimbulkan gangguan lingkungan seperti bencana alam, seperti longsor dan banjir; Pengelolaan hutan rakyat harus mengikuti peraturan perundang-undangan yang berlaku; d. Pengusahaan hutan rakyat oleh badan hukum dilakukan harus dengan melibatkan masyarakat setempat; dan e. Kawasan hutan rakyat dapat dialihfungsikan untuk kegiatan lain setelah potensi hutan tersebut dimanfaatkan dan sesuai peraturan perundangan yang berlaku.

36

Pasal 67 Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan perkebunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (2) huruf b ditetapkan sebagai berikut : a. Dalam kawasan perkebunan dan perkebunan rakyat tidak diperkenankan penanaman jenis tanaman perkebunan yang bersifat menyerap air dalam jumlah banyak, terutama kawasan perkebunan yang berlokasi di daerah hulu/kawasan resapan air; b. Bagi kawasan perkebunan besar tidak diperkenankan mengubah jenis tanaman perkebunan yang tidak sesuai dengan perizinan yang diberikan; c. Dalam kawasan perkebunan besar dan perkebunan rakyat diperkenankan adanya bangunan yang bersifat mendukung kegiatan perkebunan dan jaringan prasarana wilayah; d. Alih fungsi kawasan perkebunan menjadi fungsi Iainnya dapat dilakukan sepanjang sesuai dan mengikuti ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku; e. Sebelum kegiatan perkebunan besar dilakukan diwajibkan untuk dilakukan studi kelayakan dan studi AMDAL yang hasilnya disetujui oleh tim evaluasi dari lembaga yang berwenang; f. Kegiatan perkebunan tidak diperkenankan dilakukan di dalam kawasan lindung kecuali ditentukan lain oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku; dan g. Jenis tanaman perkebunan yang bersifat menyerap air dalam jumlah banyak, diatur dalam peraturan perundang-undangan.

Pasal 68 Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan pertanian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (2) huruf c ditetapkan sebagai berikut : a. Kegiatan budidaya pertanian tanaman tidak diperkenankan menggunakan lahan yang dikelola dengan mengabaikan kelestarian lingkungan, misalnya penggunaan pupuk yang menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan, dan pengolahan tanah yang tidak memperhatikan aspek konservasi; b. Dalam pengelolaan pertanian tidak diperkenankan pemborosan penggunaan sumber air; c. Peruntukan budidaya pertanian diperkenankan untuk dialihfungsikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, kecuali lahan pertanian tanaman pangan yang telah ditetapkan dengan undang-undang; d. Pada kawasan budidaya pertanian diperkenankan adanya bangunan prasarana wilayah dan bangunan yang bersifat mendukung kegiatan pertanian; e. Dalam kawasan pertanian masih diperkenankan dilakukan kegiatan wisata alam secara terbatas, penelitian dan pendidikan; dan f. Kegiatan pertanian tidak diperkenankan dilakukan di dalam kawasan lindung,kecuali di tentukan lain oleh Peraturan Perundang-undangan yang berlaku. Pasal 69 Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan perikanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (2) huruf d ditetapkan sebagai berikut : a. Kawasan budidaya perikanan tidak diperkenankan berdekatan dengan kawasan yang bersifat polutif; b. Dalam kawasan perikanan masih diperkenankan adanya kegiatan lain yang bersifatmendukung kegiatan perikanan dan pembangunan sistem jaringan prasarana sesuai ketentuan yang berlaku; c. Kawasan perikanan diperkenankan untuk dialihfungsikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku; d. Dalam kawasan perikanan masih diperkenankan dilakukan kegiatan wisata alam secara terbatas, penelitian dan pendidikan; dan e. Kegiatan perikanan tidak diperkenankan dilakukan di dalam kawasan lindung.

37

Pasal 70 Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan peternakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (2) huruf e ditetapkan sebagai berikut : a. Kawasan budidaya peternakan tidak diperkenankan berdekatan dengan kawasan permukiman; b. Dalam kawasan peternakan masih diperkenankan adanya kegiatan lain yang bersifat mendukung kegiatan peternakan dan pembangunan sistem jaringan prasarana sesuai ketentuan yang berlaku; c. Kawasan peternakan diperkenankan untuk dialihfungsikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku; d. Dalam kawasan peternakan masih diperkenankan dilakukan kegiatan wisata alam secara terbatas, penelitian dan pendidikan; dan e. Kegiatan peternakan tidak diperkenankan dilakukan di dalam kawasan lindung. Pasal 71 Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan pertambangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (2) huruf f ditetapkan sebagai berikut : a. Kegiatan usaha pertambangan sepenuhnya harus mengikuti ketentuan yang berlaku di bidang pertambangan; b. Kegiatan usaha pertambangan dilarang dilakukan tanpa izin dari instansi/pejabat yang berwenang; c. Kawasan pasca tambang wajib dilakukan rehabilitasi (reklamasi dan/atau revitalisasi) sehingga dapat digunakan kembali untuk kegiatan lain, seperti pertanian, kehutanan, dan pariwisata; d. Pada kawasan pertambangan diperkenankan adanya kegiatan lainyang bersifat mendukung kegiatan pertambangan; e. Kegiatan permukiman diperkenankan secara terbatas untuk menunjang kegiatan pertambangan dengan tetap memperhatikan aspek-aspek keselamatan; dan f. Sebelum kegiatan pertambangan dilakukan wajib dilakukan studi kelayakan dan studi AMDAL yang hasilnya disetujui oleh tim evaluasi dari lembaga yang berwenang. Pasal 72 Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (2) huruf g ditetapkan sebagai berikut : a. Untuk meningkatkan produktifitas dan kelestarian lingkungan pengembangan kawasan industri harus memperhatikan aspek ekologis; b. Lokasi kawasan industri tidak diperkenankan berbatasan langsung dengan kawasan permukiman; c. Pada kawasan industri diperkenankan adanya permukiman penunjang kegiatan industri yang dibangun sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku; d. Pada kawasan industri masih diperkenankan adanya sarana dan prasarana wilayah sesuai dengan ketentuan yang berlaku; e. Pengembangan kawasan industri harus dilengkapi dengan jalur hijau (greenbelt) sebagai penyangga antar fungsi kawasan, dan sarana pengolahan limbah; f. Pengembangan zona industri yang terletak pada sepanjang jalan arteri atau kolektor harus dilengkapi dengan frontage road untuk kelancaran aksesibilitas; dan g. Setiap kegiatan industri harus dilengkapi dengan upaya pengelolaan lingkungan dan upaya pemantauan lingkungan serta dilakukan studi AMDAL. Pasal 73 Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan wisata sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (2) huruf h ditetapkan sebagai berikut: a. Pada kawasan wisata alam tidak diperkenankan dilakukan kegiatan yang dapat menyebabkan rusaknya kondisi alam terutama yang menjadi obyek wisata alam; 38

b. Dalam kawasan wisata dilarang dibangun permukiman dan industri yang tidak terkait dengan kegiatan pariwisata; c. Dalam kawasan wisata diperkenankan adanya sarana dan prasarana yang mendukung kegiatan pariwisata dan sistem prasarana wilayah sesuai dengan ketentuan perundangundangan yang berlaku; d. Pada kawasan wisata diperkenankan dilakukan penelitian dan pendidikan. e. Pada kawasan wisata alam tidak diperkenankan adanya bangunan lain kecuali bangunan pendukung kegiatan wisata alam; dan f. Pengembangan kawasan wisata harus dilengkapi dengan upaya pengelolaan lingkungan dan upaya pemantauan lingkungan serta studi AMDAL. Pasal 74 Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan permukiman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (2) huruf i ditetapkan sebagai berikut : a. Peruntukan kawasan permukiman diperkenankan untuk dialihfungsikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku b. Pada kawasan permukiman diperkenankan adanya sarana dan prasarana pendukung fasilitas permukiman sesuai dengan petunjuk teknis dan peraturan yang berlaku; c. Dalam kawasan permukiman masih diperkenankan dibangun prasarana wilayah sesuai dengan ketentuan peraturan yang berlaku; d. Kawasan permukiman harus dilengkapi dengan fasilitas sosial termasuk Ruang Terbuka Hijau (RTH) perkotaan; e. Dalam kawasan permukiman masih diperkenankan adanya kegiatan industry skala rumah tangga dan fasilitas sosial ekonomi Iainnya dengan skala pelayanan lingkungan; f. Kawasan permukiman tidak diperkenankan dibangun di dalam kawasan Iindung/konservasi dan lahan pertanian dengan irigasi teknis; g. Dalam kawasan permukiman tidak diperkenankan dikembangkan kegiatan yang mengganggu fungsi permukiman dan kelangsungan kehidupan sosial masyarakat. h. Pengembangan kawasan permukiman harus dilakukan sesuai ketentuan peraturan yang berlaku di bidang perumahan dan permukiman; i. Pembangunan hunian dan kegiatan Iainnya di kawasan permukiman harus sesuai dengan peraturan teknis dan peraturan Iainnya yang berlaku (KDB, KLB, sempadan bangunan, dan lain sebagainya). Pasal 75 Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan peruntukan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (2) huruf j ditetapkan sebagai berikut: a. Peruntukan kawasan diperkenankan untuk dialihfungsikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku; b. Diperkenankan adanya sarana dan prasarana pendukung fasilitas peruntukan tersebut sesuai dengan petunjuk teknis dan peraturan yang berlaku; c. Alokasi peruntukan yang diperkenankan adalah lahan terbuka (darat dan perairan laut) yang belum secara khusus ditetapkan fungsi pemanfaatannya dan belum banyak dimanfaatkan oleh manusia serta memiliki akses yang memadai untuk pembangunan infrastruktur; d. Dilarang melakukan kegiatan yang merusak fungsi ekosistem daerah peruntukan; e. Pembangunan kawasan peruntukan lainnya harus sesuai dengan peraturan teknis dan peraturan lainnya yang berlaku (KDB, KLB, sempadan bangunan, dan lain sebagainya); dan f. Kegiatan pembangunan tidak diperkenankan dilakukan di dalam kawasan lindung. Paragraf 3 Ketentuan Umum Peraturan Zonasi Sistem Jaringan Prasarana Pasal 76 (1) Ketentuan umum peraturan zonasi jaringan jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 pada ayat (3) huruf a disusun dengan ketentuan: 39

a. pemanfaatan ruang di sepanjang sisi jalan dengan tingkat intensitas menengah hingga tinggi yang kecenderungan pengembangan ruangnya dibatasi; b. pelarangan alih fungsi lahan yang berfungsi lindung di sepanjang sisi jalan; c. pelarangan kegiatan yang memanfaatkan ruang manfaat jalan yang dapat mengganggu fungsi jalan sebagai sarana fasilitas umum; d. bangunan dengan fungsi penunjang yang diizinkan hanya berkaitan dengan pemanfaatan ruas jalan seperti rambu-rambu, marka, pengarah dan pengaman jalan, serta penerangan jalan; dan e. penetapan garis sempadan bangunan di sisi jalan yang memenuhi ketentuan ruang pengawasan jalan. (2) Ketentuan umum peraturan zonasi jaringan prasarana lalu lintas dan angkutan jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 pada ayat (3) huruf b disusun dengan ketentuan: a. pemanfaatan ruang untuk terminal berada pada kawasan yang dilewati jaringan jalan primer; b. pemanfaatan ruang untuk terminal diarahkan untuk dapat mendukung pergerakan orang dan barang; c. pembatasan pemanfaatan ruang yang peka terhadap dampak lingkungan akibat aktivitas terminal; dan d. pelarangan pemanfaatan ruang yang dapat mengganggu fungsi terminal sebagai sarana fasilitas umum. (3) Ketentuan umum peraturan zonasi jaringan prasarana energi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 pada ayat (3) huruf c disusun dengan ketentuan: a. pemanfaatan ruang di sekitar gardu induk listrik harus memperhatikan jarak aman dari kegiatan lain; b. pemanfaatan ruang di sepanjang jaringan Saluran Udara Tegangan Tinggi (SUTT) dan Saluran Udara Tegangan Ekstra Tinggi (SUTET) diarahkan sebagai ruang terbuka hijau; dan c. pelarangan pemanfaatan ruang bebas di sepanjang jalur transmisi. (4) Ketentuan umum peraturan zonasi jaringan prasarana telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 pada ayat (3) huruf d disusun dengan ketentuan: a. pemanfaatan ruang untuk penempatan menara telekomunikasi yang memperhitungkan aspek keamanan dan keselamatan aktivitas kawasan; dan b. pemanfaatan menara telekomunikasi secara bersama. c. pelarangan pemanfaatan ruang bebas di sepanjang jalur transmisi. (5) Ketentuan umum peraturan zonasi jaringan sumber daya air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 pada ayat (3) huruf e disusun dengan ketentuan: a. pemanfaatan ruang pada kawasan di sekitar wilayah sungai dengan tetap menjaga kelestarian lingkungan dan fungsi lindung sungai; b. bangunan yang bisa didirikan di sempadan sungai adalah bangunan pemeliharaan jaringan sungai; c. pemanfaatan ruang di sekitar sungai dan jaringan irigasi sebagai ruang terbuka hijau; d. pembatasan pembangunan bangunan yang menganggu sistem lindung sempadan sungai; dan e. pelarangan pemanfaatan ruang yang dapat merusak ekosistem dan fungsi lindung sungai, dan jaringan irigasi. (6) Ketentuan umum peraturan zonasi sistem jaringan prasarana lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 pada ayat (3) huruf f terdiri atas: a. sistem jaringan persampahan; b. sistem jaringan air limbah; c. sistem jaringan drainase; dan d. jalur dan ruang evakuasi bencana.

40

(7) Ketentuan umum peraturan zonasi sistem jaringan persampahan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) huruf a disusun dengan ketentuan: a. pemanfaatan ruang yang diperbolehkan di kawasan Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) dan Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) meliputi kegiatan bongkar muat sampah, pemilahan dan pengolahan sampah, kegiatan budidaya pertanian dan kegiatan lain yang mendukung; b. pemanfaatan ruang di sekitar di kawasan TPA dan TPST sebagai ruang terbuka hijau; c. pemanfaatan ruang yang tidak diperbolehkan di sekitar kawasan TPA dan TPST adalah kegiatan permukiman; dan d. pelarangan kegiatan yang menimbulkan pencemaran lingkungan di kawasan TPA dan TPST. (8) Ketentuan umum peraturan zonasi sistem jaringan air limbah sebagaimana dimaksud pada ayat (6) huruf b disusun dengan ketentuan: a. pemanfaatan ruang diperbolehkanpada ruang terbuka hijau; b. kegiatan yang diperbolehkan berupa kegiatan pembangunan dan pemeliharaan jaringan; dan c. kegiatan yang dilarang berupa kegiatan yang merusak jaringan air limbah. (9) Ketentuan umum peraturan zonasi sistem jaringan drainase sebagaimana dimaksud pada ayat (6) huruf c disusun dengan ketentuan: a. kegiatan yang diperbolehkan berupa kegiatan pembangunan dan pemeliharaan jaringan; b. kegiatan yang tidak diperbolehkan meliputi: 1) kegiatan yang menimbulkan pencemaran saluran; dan 2) kegiatan yang menutup dan merusak jaringan drainase. (10) Ketentuan umum peraturan zonasi jalur dan ruang evakuasi bencana sebagaimana dimaksud pada ayat (6) huruf d disusun dengan ketentuan: a. pemanfaatan ruang yang diizinkan pada ruang terbuka hijau; b. kegiatan yang diperbolehkan berupa perhubungan dan komunikasi; dan c. kegiatan yang dilarang berupa kegiatan yang menghambat kelancaran akses jalur evakuasi. Bagian Ketiga Perizinan Pasal 77 (1) Perizinan merupakan acuan bagi pejabat yang berwenang dalam pemberian izin pemanfaatan ruang sesuai rencanastruktur ruang dan pola ruang yang ditetapkan dalam Peraturan Daerah ini; (2) Izin pemanfaatan ruang diberikan oleh pejabat yang berwenang sesuai dengan kewenangannya dan ketentuan peraturan perundang-undangan; (3) Pemberian izin pemanfaatan ruang dilakukan menurut prosedur atau sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; mekanisme

(4) Izin pemanfaatan ruang yang memiliki dampak skala kabupaten diberikan atau mendapat rekomendasi dari Bupati; (5) Jenis perijinan pemanfaatan ruang meliputi : a. Kawasan Lindung b. Kawasan Budidaya (6) Ketentuan Iebih lanjut mengenai ketentuan perizinan wilayah kabupaten diatur dengan peraturan Bupati.

41

Bagian Keempat Ketentuan Insentif dan Disinsentif Pasal 78 (1) Insentif dan disinsentif diberikan oleh pamerintah daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (2) Insentif diberikan apabila pemanfaatan ruang sesuai dengan rencana struktur ruang, rencana pola ruang, kawasan yang didorong pertumbuhannya dan ketentuan umum peraturan zonasi yang diatur dalam Peraturan Daerah ini. (3) Disinsentif dikenakan terhadap pemanfaatan ruang yang perlu dicegah, dibatasi, atau dikurangi, atau dilarang dikembangkan untuk kegiatan budi daya berdasarkan ketentuan dalam Peraturan Daerah ini. Paragraf 1 Ketentuan Pemberian Insentif Pasal 79 (1) Pemberian insentif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 ayat (2) meliputi : a. Insentif fiskal; dan b. Insentif non-fiskal (2) Pemberian insentif fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi : a. Penghapusan retribusi; b. Pengurangan atau penghapusan PBB melalui mekanisme restitusi pajak oleh dana APBD; dan c. Bantuan subsidi, modal bergilir atau penyertaan modal. (3) Pemberian insentif non-fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi : a. Kemudahan dalam perizinan bagi pengusaha; b. Bantuan peningkatan keberdayaan pelaku usaha terkait; dan c. Penyediaan prasarana pendukung produksi dan pemasaran produk. (4) Pemberian insentif dapat diberikan terhadap pelaksanaan kegiatan yang sejalan dengan rencana tata ruang sebagaimana dimaksud ayat (2) dan ayat (3), meliputi : a. Kawasan pertanian tanaman pangan yaitu kawasan dalam kerangka pewujudan swasembada pangan; b. Kawasan perkebunan yaitu perkebunan kopi yang merupakan komoditas unggulan kabupaten; c. Kawasan pesisir dalam rangka optimalisasi pemanfaatan sumber daya kelautan dan perikanan; d. Kawasan wisata guna peningkatan pendapatan masyarakat dan pendapatan asli daerah (PAD); e. Kawasan pusat agropolitan sebagai pusat pengelolaan, pengolahan dan pemasaran hasil perkebunan; dan f. Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi dan PLTMH. Paragraf 2 Ketentuan Pemberian Disinsentif Pasal 80 (1) Arahan pemberian disinsentif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 ayat (3) disinsentif non-fiskal, berupa tidak diberikannya sarana dan prasarana permukiman yang memungkinkan pengalihan fungsi lahan pertanian menjadi perumahan atau kegiatan komersial. (2) Arahan pemberian disinsentif sebagaimana dimaksud pada ayat diberlakukan disinsentif non fiskal, meliputi : (1) hanya

42

a. Pembatasan penyediaan prasarana dan sarana permukiman untuk mencegah perkembangan permukiman lebih lanjut; b. Penolakan pemberian prasarana dan sarana permukiman untuk kawasan lindung; dan c. Penyediaan prasarana dan sarana permukiman hanya diperbolehkan untuk memenuhi kebutuhan penduduk yang sudah ada. (3) Pemberian disinsentif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 ayat (3) ditujukan pada pola ruang tertentu yang dinilai harus dibatasi dan atau dikendalikan pemanfaatannya, meliputi : a. Kawasan rawan bencana, meliputi rawan bencana Iongsor, gempa, tsunami atau gelombangpasang dan banjir; b. Kawasan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan sebagai kawasan suaka alam yang menjadi paru-paru, pelestarian alam, cagar alam dan wisata alam; c. Kawasan pertanian dan perkebunan yang berada pada kawasan TNBBS dan hutan lindung; dan d. Kawasan pertambangan yang dalam pemanfaatannya mempunyai dampak panting. Pasal 81 (1) Pemberian insentif dan pengenaan disinsentif dilaksanakan oleh instansi berwenang. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian insentif dan disinsentif akan diatur dengan Peraturan Bupati. BAB IX HAK, KEWAJIBAN DAN PERAN MASYARAKAT Bagian Kesatu Hak Masyarakat Pasal 82 Dalam penataan ruang , setiap orang berhak untuk : a. Mengetahui rencana tata ruang wilayah kabupaten; b. Menikmati pertambahan nilai ruang sebagai akibat penataan ruang; c. Memperoleh penggantian yang Iayak atas kerugian yang timbul akibat pelaksanaan kegiatan pembangunan yang sesuai dengan rencana tata ruang; d. Mengajukan keberatan kepada pejabat berwenang terhadap pembangunan yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang di wilayahnya; e. Mengajukan tuntutan pembatalan izin dan penghentian pembangunan yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang kepada pejabat berwenang; dan f. Mengajukan gugatan ganti kerugian kepada pemerintah dan/atau pemegang izin apabila kegiatan pembangunan yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang menimbulkan kerugian. Bagian Kedua Kewajiban Masyarakat Pasal 83 Dalam pemanfaatan ruang, setiap orang wajib : a. Menaati RTRW Kabupaten yang telah ditetapkan; b. Memanfaatkan ruang sesuai dengan izin pemanfaatan ruang dari pejabat yang berwenang; c. Mematuhi ketentuan yang ditetapkan dalam persyaratan izin pemanfaatan ruang; dan d. Memberikan akses terhadap kawasan yang oleh ketentuan peraturan perundangundangan dinyatakan sebagai milik umum.

43

Bagian Ketiga Peran Masyarakat Pasal 84 (1) Peran masyarakat dalam penataan ruang dilakukan antara lain melalui : a. Partisipasi dalam penyusunan rencana tata ruang; b. Partisipasi dalam pemanfaatan ruang, dan c. Partisipasi dalam pengendalian pemanfaatan ruang. (2) Bentuk peran masyarakat dalam perencanaan tata ruang berupa : a. Masukan mengenai : 1) Persiapan penyusunan rencana tata ruang; 2) Penentuan arah pengembangan wilayah atau kawasan; 3) Pengidentifikasian potensi dan masalah pembangunan wilayah atau kawasan; 4) Perumusan konsepsi rencana tata ruang dan atau 5) Penetapan rencana tata ruang. b. Kerjasama dengan pemerintah, pemerintah daerah dan atau sesama unsur masyarakat dalam perencanaan tata ruang. Pasal 85 Bentuk peran masyarakat dalam pemanfaatan ruang dapat berupa : a. masukan mengenai kebijakan pemanfaatan ruang; b. kerjasama dengan pemerintah, pemerintah daerah, dan atau sesama unsur masyarakat dalam pemanfaatan ruang; c. kegiatan memanfaatkan ruang yang sesuai dengan kearifan local dan rencana tata ruang yang telah ditetapkan; d. peningkatan efisiensi, efektivitas, dan keserasian dalam pemanfaatan ruang darat, ruang laut, ruang udara, dan ruang di dalam bumi dengan memperhatikan kearifan lokal serta sesuai dengan ketentuan perundang-undangan; e. kegiatan menjaga kepentingan pertahanan dan keamanan serta memelihara dan meningkatkan kelestarian fungsi lingkungan hidup dan sumber daya alam; dan f. kegiatan investasi dalam pemanfaatan ruang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 86 Bentuk peran masyarakat dalam pengendalian pemanfaatan ruang dapat berupa: a. Masukan terkait arahan dan atau peraturan zonasi, perijinan, pemberian insentif dan disinsentif serta pengenaaan sanksi; b. Keikutsertaan dalam memantau dan mengawasi pelaksanaan rencana tata ruang yang telah ditetapkan; c. Pelaporan kepada instansi dan atau pejabat yang berwenang dalam hal menemukan dugaan penyimpangan kegiatan pemanfaatan ruang yang melanggar rencana tata ruang yang ditetapkan; dan d. Pengajuan keberatan terhadap keputusan pejabat yang berwenang terhadap pembangunan yang dianggap tidak sesuai dengan rencana tata ruang. Pasal 87 Tata cara dan ketentuan lebih lanjut tentang peran masyarakat dalam penataan ruang di daerah yang dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

44

BAB X SANKSI ADMINISTRATIF DAN PIDANA Pasal 88 Setiap orang dan/atau korporasi yang melanggar ketentuan pengaturan tata ruang sebagimana diatur dalam Peraturan Daerah ini dapat dikenakan sanksi administratif berupa : a. Peringatan tertulis; b. Penghentian sementara kegiatan; c. Penghentian sementara pelayanan umum; d. Penutupan lokasi; e. Pencabutan izin; f. Pembatalan izin; g. Pembongkaran bangunan; dan h. Pemulihan fungsi ruang. Pasal 89 (1) Peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada Pasal 88 huruf a diberikan oleh pejabat yang berwenang dalam penertiban pelanggaran pemanfaatan ruang melalui penerbitan surat peringatan tertulis sebanyak- banyaknya 3 (tiga) kali. (2) Penghentian sementara kegiatan sebagaimana dimaksud pada Pasal 88 huruf b dilakukan melalui langkah-langkah sebagai berikut: a. Penerbitan surat perintah penghentian kegiatan sementara dari pejabat yang berwenang melakukan penertiban pelanggaran pemanfaatan ruang; b. Apabila pelanggar mengabaikan perintah penghentian kegiatan sementara, pejabat yang berwenang melakukan penertiban dengan menerbitkan surat keputusan pengenaan sanksi penghentian sementara secara paksa terhadap kegiatan pemanfaatan ruang; c. Pejabat yang berwenang melakukan tindakan penertiban dengan memberitahukan kepada pelanggar mengenai pengenaan sanksi penghentian kegiatan pemanfaatan ruang dan akan segera dilakukan tindakan penertiban oleh aparat penertiban; d. Berdasarkan surat keputusan pengenaan sanksi, pejabat yang berwenang melakukan penertiban dengan bantuan aparat penertiban melakukan penghentian kegiatan pemanfaatan ruang secara paksa; dan e. Setelah kegiatan pemanfaatan ruang dihentikan, pejabat yang berwenang melakukan pengawasan agar kegiatan pemanfaatan ruang yang dihentikan tidak beroperasi kembali sampai dengan terpenuhinya kewajiban pelanggar untuk menyesuaikan pemanfaatan ruangnya dengan rencana tata ruang dan/atau ketentuan teknis pemanfaatan ruang yang berlaku. (3) Penghentian sementara pelayanan umum sebagaimana dimaksud pada Pasal 88 huruf c dilakukan melalui langkah-langkah sebagai berikut: a. Penerbitan surat pemberitahuan penghentian sementara pelayanan umum dari pejabatyang berwenang melakukan penertiban pelanggaranpemanfaatan ruang (membuat surat pemberitahuan penghentian sementara pelayanan umum); b. Apabila pelanggar mengabaikan surat pemberitahuan yang disampaikan, pejabat yang berwenang melakukan penertiban menerbitkan surat keputusan pengenaan sanksi penghentian sementara pelayanan umum kepada pelanggar dengan memuat rincian jenis-jenis pelayanan umum yang akan diputus; c. Pejabat yang berwenang melakukan tindakan penertiban memberitahukan kepada pelanggar mengenai pengenaan sanksi penghentian sementara pelayanan umum yang akan segera dilaksanakan, disertai rincian jenis-jenis pelayanan umum yang akan diputus; d. Pejabat yang berwenang menyampaikan perintah kepada penyedia jasa pelayanan umum untuk menghentikan pelayanan kepada pelanggar, disertai penjelasan secukupnya; e. Penyedia jasa pelayanan umum menghentikan pelayanan kepada pelanggar; dan

45

f. Pengawasan terhadap penerapan sanksi penghentian sementara pelayanan umum dilakukan untuk memastikan tidak terdapat pelayanan umum kepada pelanggar sampai dengan pelanggar memenuhi kewajibannya untuk menyesuaikan pemanfaatan ruangnya dengan rencana tata ruang dan ketentuan teknis pemanfaatan ruang yang berlaku. (4) Penutupan lokasi sebagaimana dimaksud pada Pasal 88 huruf d dilakukan melalui langkah-langkah sebagai berikut: a. Penerbitan surat perintah penutupan lokasi dari pejabat yang berwenang melakukan penertiban pelanggaran pemanfaatan ruang; b. Apabila pelanggar mengabaikan surat perintah yang disampaikan, pejabat yang berwenang menerbitkan surat keputusan pengenaan sanksi penutupan lokasi kepada pelanggar; c. Pejabat yang berwenang melakukan tindakan penertiban dengan memberitahukan kepada pelanggar mengenai pengenaan sanksi penutupan lokasi yang akan segera dilaksanakan; d. Berdasarkan surat keputusan pengenaan sanksi, pejabat yang berwenang dengan bantuan aparat penertiban melakukan penutupan lokasi secara paksa; dan e. Pengawasan terhadap penerapan sanksi penutupan lokasi, untuk memastikan lokasi yang ditutup tidak dibuka kembali sampai dengan pelanggar memenuhi kewajibannya untuk menyesuaikan pemanfaatan ruangnya dengan rencana tata ruang dan ketentuan teknis pemanfaatan ruang yang berlaku. (5) Pencabutan izin sebagaimana dimaksud pada Pasal 88 huruf e dilakukan melalui langkah-langkah sebagai berikut: a. Menerbitkan surat pemberitahuan sekaligus pencabutan izin oleh pejabat yang berwenang melakukan penertiban pelanggaran pemanfaatan ruang; b. Apabila pelanggar mengabaikan surat pemberitahuan yang disampaikan, pejabat yang berwenang menerbitkan surat keputusan pengenaan sanksi pencabutan izin pemanfaatan ruang; c. Pejabat yang berwenang memberitahukan kepada pelanggar mengenai pengenaan sanksi pencabutan izin; d. Pejabat yang berwenang melakukan tindakan penertiban mengajukan permohonan pencabutan izin kepada pejabat yang memiliki kewenangan untuk melakukanpencabutan izin; e. Pejabat yang memiliki kewenangan untuk melakukan pencabutan izin menerbitkankeputusan pencabutan izin; (6) memberitahukan kepada pemanfaat ruang mengenai status izin yang telah dicabut, sekaligus perintah untuk menghentikan kegiatanpemanfaatan ruang secara permanen yang telah dicabut izinnya; dan f. Apabila pelanggar mengabaikan perintah untuk menghentikan kegiatan pemanfaatanyang telah dicabut izinnya, pejabat yang berwenang melakukan penertiban kegiatantanpa izin sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. (6) Pembatalan izin sebagaimana dimaksud pada Pasal 88 huruf f dilakukan melalui langkah-langkah sebagai berikut: a. Pembongkaran bangunan sebagaimana dimaksud pada Pasal 88 huruf g dilakukan melalui langkah-langkah sebagai berikut: b. Menerbitkan surat pemberitahuan perintah pembongkaran bangunan dari pejabat yang berwenang melakukan penertiban pelanggaran pemanfaatan ruang; c. Apabila pelanggar mengabaikan surat pemberitahuan yang disampaikan, pejabat yang berwenang melakukan penertiban mengeluarkan surat keputusan pengenaan sanksi pembongkaran bangunan; d. Pejabat yang berwenang melakukan tindakan penertiban memberitahukan kepada pelanggar mengenai pengenaan sanksi pembongkaran bangunan yang akan segera dilaksanakan; dan e. Berdasarkan surat keputusan pengenaan sanksi, pejabat yang berwenang melakukan tindakan penertiban dengan bantuan aparat penertiban melakukan pembongkaran bangunan secara paksa.

46

(7) Pemulihan fungsi ruang sebagaimana dimaksud pada Pasal 88 huruf h dilakukan melalui langkah-langkah sebagai berikut: a. Menetapkan ketentuan pemulihan fungsi ruang yang berisi bagian-bagian yang harus dipulihkan fungsinya dan cara pemulihannya; b. Pejabat yang berwenang melakukan penertiban pelanggaran pemanfaatan ruang menerbitkan surat pemberitahuan perintah pemulihan fungsi ruang; c. Apabila pelanggar mengabaikan surat pemberitahuan yang disampaikan, pejabat yang berwenang melakukan penertiban mengeluarkan surat keputusan pengenaan sanksi pemulihan fungsi ruang; d. Pejabat yang berwenang melakukan tindakan penertiban, memberitahukan kepada pelanggar mengenai pengenaan sanksi pemulihan fungsi ruang yang harus dilaksanakan pelanggar dalam jangka waktu tertentu; e. Pejabat yang berwenang melakukan tindakan penertiban dan melakukan pengawasan pelaksanaan kegiatan pemulihan fungsi ruang; f. Apabila sampai jangka waktu yang ditentukan pelanggar belum melaksanakan pemulihan fungsi ruang, pejabat yang bertanggung jawab melakukan tindakan penertiban dapat melakukan tindakan paksa untuk melakukan pemulihan fungsi ruang; dan g. Apabila pelanggar pada saat itu dinilai tidak mampu membiayai kegiatan pemulihan fungsi ruang, pemerintah dapat mengajukan penetapan pengadilan agar pemulihan dilakukan oleh pemerintah atas beban pelanggar di kemudian hari. (8) Denda administratif dapat dikenakan secara tersendiri atau bersama-sama dengan pengenaan sanksi administratif dan besarannya ditetapkan oleh masing-masing pemerintah daerah kabupaten. Pasal 90 Ketentuan pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam pasal 89 ayat (4) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Bupati. Pasal 91 Setiap orang dan/atau korporasi yang melakukan kegiatan atau perbuatan yang tidak sesuai atau bertentangan atau melanggar ketentuan yang diatur dalam Peraturan Daerah ini, dikenakan sanksi pidana dan denda sesuai ketentuan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku. BAB XI KELEMBAGAAN Pasal 92 (1) Dalam rangka mengkoordinasikan penyelenggaraan penataan ruang dan kerjasama antar sektor/antar daerah bidang penataan ruang dilaksanakan oleh Badan koordinasi Penataan Ruang Daerah. (2) Tugas, susunan organisasi, dan tata kerja Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Keputusan Bupati. BAB XII PENYIDIKAN Pasal 93 (1) Selain pejabat penyidik kepolisian negara Republik Indonesia, pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan instansi pemerintah yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang penataan ruang diberi wewenang khusus sebagai penyidik untuk membantu pejabat penyidik kepolisian negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. 47

(2) Penyidik pegawai negeri sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang : a. melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan yang berkenaan dengan tindak pidana dalam bidang penataan ruang; b. melakukan pemeriksaan terhadap orang yang diduga melakukan tindak pidana dalam bidang penataan ruang; c. meminta keterangan dan bahan bukti dari orang sehubungan dengan peristiwa tindak pidana dalam bidang penataan ruang; d. melakukan pemeriksaan atas dokumen-dokumen yang berkenaan dengan tindak pidana dalam bidang penataan ruang; e. melakukan pemeriksaan di tempat tertentu yang diduga terdapat bahan bukti dan dokumen lain serta melakukan penyitaan dan penyegelan terhadap bahan dan barang hasil pelanggaran yang dapat dijadikan bukti dalam perkara tindak pidana dalam bidang penataan ruang; dan f. meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana dalam bidang penataan ruang. (3) Penyidik pegawai negeri sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberitahukan dimulainya penyidikan kepada pejabat penyidik kepolisian negara Republik Indonesia. (4) Apabila pelaksanaan kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) memerlukan tindakan penangkapan dan penahanan, penyidik pegawai negeri sipil melakukan koordinasi dengan pejabat penyidik kepolisian negara Republik Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (5) Penyidik pegawai negeri sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyampaikan hasil penyidikan kepada penuntut umum melalui pejabat penyidik kepolisian negara Republik Indonesia. (6) Pengangkatan pejabat penyidik pegawai negeri sipil dan tata cara serta proses penyidikan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

BAB XIII KETENTUAN LAIN-LAIN Pasal 94 (1) RTRW Kabupaten Tenggamus memiliki jangka waktu 20 tahun sejak ditetapkan dalam Perda dan dapat ditinjau kembali 1 kali dalam 5 tahun. (2) Dalam kondisi lingkungan strategis tertentu yang berkaitan dengan bencana alam skala besar dan atau perbahan batas territorial wilayah propinsi yang ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan, RTRW Kababupaten Tenggamus dapat ditinjau kembali lebih dari 1 kali dalam 5 tahun. (3) Peninjauan kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (2) juga dilakukan apabila terjadi perubahan kebijakan nasional dan strategi yang mempengaruhi pemanfaatan ruang kabupaten dan atau dinamika internal kabupaten. BAB XIV KETENTUAN PERALIHAN Pasal 95 (1) Dengan berlakunya Peraturan Daerah ini, maka semua peraturan pelaksanaan yang berkaitan dengan penataan ruang Daerah yang telah ada dinyatakan berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan dan belum diganti berdasarkan Peraturan Daerah ini. (2) Dengan berlakunya Peraturan Daerah ini, maka: a. izin pemanfaatan ruang yang telah dikeluarkan dan telah sesuai dengan ketentuan Peraturan Daerah ini ini tetap berlaku sesuai dengan masa berlakunya;

48

b. izin pemanfaatan ruang yang telah dikeluarkan tetapi tidak sesuai dengan ketentuan Peraturan Daerah ini berlaku ketentuan: 1. untuk yang belum dilaksanakan pembangunannya, izin tersebut disesuaikan dengan fungsi kawasan berdasarkan Peraturan Daerah ini; 2. untuk yang sudah dilaksanakan pembangunannya, pemanfaatan ruang dilakukan sampai izin terkait habis masa berlakunya dan dilakukan penyesuaian dengan fungsi kawasan berdasarkan Peraturan Daerah ini; dan 3. untuk yang sudah dilaksanakan pembangunannya dan tidak memungkinkan untuk dilakukan penyesuaian dengan fungsi kawasan berdasarkan Peraturan Daerah ini, izin yang telah diterbitkan dapat dibatalkan dan terhadap kerugian yang timbul sebagai akibat pembatalan izin tersebut dapat diberikan penggantian yang layak; c. pemanfaatan ruang yang izinnya sudah habis dan tidak sesuai dengan Peraturan Daerah ini dilakukan penyesuaian berdasarkan Peraturan Daerah ini; d. pemanfaatan ruang di Daerah yang diselenggarakan tanpa izin ditentukan sebagai berikut: 1. yang bertentangan dengan ketentuan Peraturan Daerah ini, pemanfaatan ruang yang bersangkutan ditertibkan dan disesuaikan dengan Peraturan Daerah ini; 2. yang sesuai dengan ketentuan Peraturan Daerah ini, dipercepat untuk mendapatkan izin yang diperlukan. BAB XV KETENTUAN PENUTUP Pasal 96 Hal-hal yang belum cukup diatur dalam Peraturan Daerah ini, sepanjang mengenai teknis pelaksanaan Rencana Tata Ruang Wilayah, diatur lebih lanjut dengan Peraturan Bupati. Pasal 97 Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan dengan penempatan dalam Lembaran Daerah Kabupaten Tanggamus. Ditetapkan di : pada tanggal : BUPATI TANGGAMUS,

BAMBANG KURNIAWAN Diundangkan di : pada tanggal : SEKRETARIS DAERAH KABUPATEN TANGGAMUS,

GUNAWAN TARWIN WIYATNA PEMBINA UTAMA MUDA NIP. 19540708 198212 1 002 49

PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANGGAMUS NOMOR .....16......TAHUN...2011.... TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN TANGGAMUS TAHUN 20112031

I. UMUM Berdasarkan UndangUndang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, RTRW Kabupaten Tanggamus merupakan pedoman pelaksanaan pemanfaatan ruang wilayah untuk mewujudkan keseimbangan pembangunan wilayah. Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten adalah rencana pengembangan wilayah kabupaten yang disiapkan secara teknis dan non-teknis oleh Pemerintah Daerah yang merupakan rumusan kebijaksanaan pemanfaatan muka bumi wilayah kabupaten termasuk ruang di atasnya yang menjadi pedoman pengarahan dan pengendalian dalam pelaksanaan pembangunan wilayah kabupaten. Bahwa RTRW Kabupaten Tanggamus tahun 2011-2031 merupakan perwujudan aspirasi lain: Bahwa RTRW Kabupaten Tanggamus tahun 2011-2031 merupakan perwujudan aspirasi masyarakat yang tertuang dalam rangkaian kebijaksanaan pembangunan Kabupaten Tanggamus yang memuat ketentuanketentuan antara lain: 1. Merupakan pedoman, landasan, dan garis besar kebijaksanaan bagi pembangunan wilayah Kabupaten Tanggamus dalam jangka waktu 20 tahun, dengan tujuan agar dapat mewujudkan kelengkapan kesejahteraan masyarakat dalam hal memiliki wilayah kabupaten yang dapat memenuhi segala kebutuhan fasilitas; 2. Berisi suatu uraian keterangan dan petunjuk-petunjuk serta prinsip pokok pembangunan wilayah kabupaten yang berkembang secara dinamis dan didukung oleh pengembangan potensi alami, serta sosial ekonomi, sosial budaya, politik, pertahanan keamanan dan teknologi yang menjadi ketentuan pokok bagi seluruh jenis pembangunan, baik yang dilaksanakan Pemerintah Kabupaten Tanggamus, Pemerintah Provinsi Lampung, maupun Pemerintah Pusat dan masyarakat secara terpadu. masyarakat yang tertuang dalam rangkaian kebijaksanaan pembangunan Kabupaten Tanggamus yang memuat ketentuanketentuan antara

50

II.

PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Cukup jelas. Pasal 3 Cukup jelas. Pasal 4 Tujuan penataan ruang wilayah Kabupaten Tanggamus yaitu Terwujudnya Kabupaten Tanggamus yang Maju, Lestari dan Mandiri berbasis Potensi Sumber Daya Alam dan kondisi sosial budaya masyarakat melalui pengembangan Pertanian, Perikanan, Pertambangan dan Pariwisata selaras dengan keberlangsungan lingkungan hidup dan upaya pemerataan pembangunan. Pasal 5 Cukup jelas. Pasal 6 Cukup jelas Pasal 7 Cukup jelas. Pasal 8 Cukup jelas. Pasal 9 Cukup jelas. Pasal 10 Cukup jelas. Pasal 11 Sistem jaringan transportasi di Kabupaten Tanggamus didasarkan pada SK Gubernur Nomr G/433.a/III.09/HK/2011 tentang Penetapan Status Ruas Ruas pada Jalan Provinsi dan Peraturan Daerah Provinsi Lampung Nomor 1 Tahun 2010 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Lampung 2009-2029. Pasal 12 Cukup jelas. Pasal 13 Cukup jelas. Pasal 14 Cukup jelas. Pasal 15 Cukup jelas. Pasal 16 Cukup jelas. 51

Pasal 17 Cukup jelas. Pasal 18 Cukup jelas. Pasal 19 Cukup jelas. Pasal 21 Kawasan resapan air DAS Way Semangka dengan luas kurang lebih 486.435 Hektar dan DAS Sekampung dengan luas kurang lebih 685.421 Hektar meliputi : a. Way Sekampung, luas + 107.542,30 Ha; b. Way Sekampung DS, luas + 89.312,00 Ha; c. Way Semangka, luas + 77.808,0 Ha; d. way Semangka DS, luas + 22.252,40 Ha; e. Way Seputih, luas + 6.925,0 Ha; dan f. Way Tulang Bawang, luas + 60,60 Ha. Pasal 22 Cukup jelas. Pasal 23 Kawasan Suaka Margasatwa di Kabupaten Tanggamus terdapat di Perairan Teluk Kiluan Kecamatan Kelumbayan. Pasal 24 Cukup jelas. Pasal 25 Cukup jelas. Pasal 26 Cukup jelas. Pasal 27 Cukup jelas. Pasal 28 Cukup jelas. Pasal 29 Cukup jelas. Pasal 30 Cukup jelas. Pasal 31 Cukup jelas. Pasal 32 Cukup jelas.

52

Pasal 33 Cukup jelas. Pasal 34 Cukup jelas. Pasal 35 Cukup jelas. Pasal 36 Cukup jelas. Pasal 37 Cukup jelas. Pasal 38 Cukup jelas. Pasal 39 Cukup jelas. Pasal 40 Cukup jelas. Pasal 41 Cukup jelas. Pasal 42 Cukup jelas. Pasal 43 Cukup jelas. Pasal 44 Cukup jelas. Pasal 45 Cukup jelas. Pasal 46 Cukup jelas. Pasal 47 Cukup jelas. Pasal 48 Cukup jelas. Pasal 49 Cukup jelas. Pasal 50 Cukup jelas. Pasal 51 Pengendalian pemanfaatan ruang dimaksudkan agar pemanfaatan ruang dilakukan sesuai dengan rencana tata ruang. Peraturan zonasi merupakan ketentuan yang mengatur pemanfaatan ruang dan unsur-unsur pengendalian yang disusun untuk setiap zona peruntukan sesuai dengan rencana rinci tata ruang. Peraturan zonasi 53

berisi ketentuan yang harus, boleh, dan tidak boleh dilaksanakan pada zona pemanfaatan ruang yang dapat terdiri atas ketentuan tentang amplop ruang (koefisien dasar ruang hijau, koefisien dasar bangunan, koefisien lantai bangunan, dan garis sempadan bangunan), penyediaan sarana dan prasarana, serta ketentuan lain yang mengendalikan perkembangan kawasan budi daya dibutuhkan untuk yang dikendalikan iterapkan mewujudkan ruang yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan. Untuk pengembangannya, diterapkan mekanisme disinsentif secara ketat, sedangkan untuk mendorong perkembangan kawasan yang didorong pengembangannya mekanisme insentif Pasal 52 Cukup jelas. Pasal 53 Cukup jelas. Pasal 54 Cukup jelas Pasal 55 Cukup jelas. Pasal 56 Cukup jelas. Pasal 57 Cukup jelas. Pasal 58 Cukup jelas. Pasal 59 Cukup jelas. Pasal 60 Cukup jelas. Pasal 61 Cukup jelas. Pasal 62 Cukup jelas. Pasal 63 Cukup jelas. Pasal 64 Cukup jelas. Pasal 65 Cukup jelas. Pasal 66 Cukup jelas.

54

Pasal 67 Cukup jelas. Pasal 68 Cukup jelas. Pasal 69 Cukup jelas. Pasal 70 Cukup jelas. Pasal 71 Cukup jelas. Pasal 72 Cukup jelas. Pasal 73 Cukup jelas. Pasal 74 Cukup jelas. Pasal 75 Cukup jelas. Pasal 77 Yang dimaksud dengan perizinan adalah perizinan yang terkait dengan izin pemanfaatan ruang yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan harus dimiliki sebelum pelaksanaan pemanfaatan ruang. Pasal 78 Cukup jelas. Pasal 79 Cukup jelas. Pasal 80 Cukup jelas. Pasal 81 Cukup jelas. Pasal 82 Cukup jelas. Pasal 83 Cukup jelas. Pasal 84 Cukup jelas. Pasal 85 Cukup jelas. Pasal 86 Cukup jelas

55

Pasal 87 Cukup jelas. Pasal 88 Cukup jelas. Pasal 89 Cukup jelas. Pasal 90 Cukup jelas. Pasal 91 Cukup jelas. Pasal 92 Cukup jelas. Pasal 93 Cukup jelas. Pasal 94 Cukup jelas. Pasal 95 Cukup jelas. Pasal 96 Cukup jelas. Pasal 97 Cukup jelas.

56

Anda mungkin juga menyukai