Anda di halaman 1dari 60

Piagam Jakarta

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas


Belum Diperiksa
Wikisource memiliki naskah sumber yang berkaitan
dengan artikel ini:

Piagam Jakarta

Piagam Jakarta adalah hasil kompromi tentang dasar


negara Indonesia yang dirumuskan oleh Panitia
Sembilan dan disetujui pada tanggal 22 Juni 1945
antara pihak Islam dan kaum kebangsaan (nasionalis).
Panitia Sembilan merupakan panitia kecil yang
dibentuk oleh BPUPKI.

Di dalam Piagam Jakarta terdapat lima butir yang


kelak menjadi Pancasila dari lima butir, sebagai
berikut:

1. Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat


Islam bagi pemeluk-pemeluknya
2. Kemanusiaan yang adil dan beradab
3. Persatuan Indonesia
4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan
5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia

Pada saat penyusunan UUD pada Sidang Kedua BPUPKI,


Piagam Jakarta dijadikan Muqaddimah (preambule).
Selanjutnya pada pengesahan UUD 45 18 Agustus 1945
oleh PPKI, istilah Muqaddimah diubah menjadi
Pembukaan UUD setelah butir pertama diganti menjadi
Ketuhanan Yang Maha Esa. Perubahan butir pertama
dilakukan oleh Drs. M. Hatta atas usul A.A. Maramis
setelah berkonsultasi dengan Teuku Muhammad Hassan,
Kasman Singodimedjo dan Ki Bagus Hadikusumo.

Naskah Piagam Jakarta ditulis dengan menggunakan


ejaan Republik dan ditandatangani oleh Ir. Soekarno,
Mohammad Hatta, A.A. Maramis, Abikoesno
Tjokrosoejoso, Abdul Kahar Muzakir, H.A. Salim,
Achmad Subardjo, Wahid Hasjim, dan Muhammad Yamin.
Rumusan-rumusan Pancasila

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Ada usul agar artikel atau bagian ini


digabungkan ke Pancasila. (Diskusikan)

Pancasila sebagai dasar negara dari Negara Kesatuan


Republik Indonesia telah diterima secara luas dan
telah bersifat final. Hal ini kembali ditegaskan
dalam Ketetapan MPR No XVIII/MPR/1998 tentang
Pencabutan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
Republik Indonesia No. II/MPR/1978 tentang Pedoman
Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (Ekaprasetya
Pancakarsa) dan Penetapan tentang Penegasan Pancasila
sebagai Dasar Negara jo Ketetapan MPR No. I/MPR/2003
tentang Peninjauan Terhadap Materi dan Status Hukum
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara
dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik
Indonesia Tahun 1960 sampai dengan Tahun 2002. Selain
itu Pancasila sebagai dasar negara merupakan hasil
kesepakatan bersama para Pendiri Bangsa yang kemudian
sering disebut sebagai sebuah “Perjanjian Luhur”
bangsa Indonesia.

Namun dibalik itu terdapat sejarah panjang perumusan


sila-sila Pancasila dalam perjalanan ketata negaraan
Indonesia. Sejarah ini begitu sensitif dan salah-
salah bisa mengancam keutuhan Negara Indonesia. Hal
ini dikarenakan begitu banyak polemik serta
kontroversi yang akut dan berkepanjangan baik
mengenai siapa pengusul pertama sampai dengan
pencetus istilah Pancasila. Artikel ini sedapat
mungkin menghindari polemik dan kontroversi tersebut.
Oleh karena itu artikel ini lebih bersifat suatu
"perbandingan" (bukan "pertandingan") antara rumusan
satu dengan yang lain yang terdapat dalam dokumen-
dokumen yang berbeda. Penempatan rumusan yang lebih
awal tidak mengurangi kedudukan rumusan yang lebih
akhir.

Dari kronik sejarah setidaknya ada beberapa rumusan


Pancasila yang telah atau pernah muncul. Rumusan
Pancasila yang satu dengan rumusan yang lain ada yang
berbeda namun ada pula yang sama. Secara berturut
turut akan dikemukakan rumusan dari Muh Yamin,
Sukarno, Piagam Jakarta, Hasil BPUPKI, Hasil PPKI,
Konstitusi RIS, UUD Sementara, UUD 1945 (Dekrit
Presiden 5 Juli 1959), Versi Berbeda, dan Versi
populer yang berkembang di masyarakat.
Daftar isi
[sembunyikan]

 1 Rumusan I: Moh. Yamin, Mr.


o 1.1 Rumusan Pidato
o 1.2 Rumusan Tertulis
 2 Rumusan II: Soekarno, Ir.
o 2.1 Rumusan Pancasila [5]
o 2.2 Rumusan Trisila [6]
o 2.3 Rumusan Ekasila [7]
 3 Rumusan III: Piagam Jakarta
o 3.1 Rumusan kalimat [8]
o 3.2 Alternatif pembacaan
o 3.3 Rumusan dengan penomoran (utuh)
o 3.4 Rumusan populer
 4 Rumusan IV: BPUPKI
o 4.1 Rumusan kalimat [10]
o 4.2 Rumusan dengan penomoran (utuh)
 5 Rumusan V: PPKI
o 5.1 Rumusan kalimat [11]
o 5.2 Rumusan dengan penomoran (utuh)
 6 Rumusan VI: Konstitusi RIS
o 6.1 Rumusan kalimat [12]
o 6.2 Rumusan dengan penomoran (utuh)
 7 Rumusan VII: UUD Sementara
o 7.1 Rumusan kalimat[15]
o 7.2 Rumusan dengan penomoran (utuh)
 8 Rumusan VIII: UUD 1945
o 8.1 Rumusan kalimat [16]
o 8.2 Rumusan dengan penomoran (utuh)
 9 Rumusan IX: Versi Berbeda[17]
o 9.1 Rumusan
 10 Rumusan X: Versi Populer[18]
o 10.1 Rumusan
 11 Epilog
 12 Catatan kaki
 13 Referensi
 14 Lihat pula

[sunting] Rumusan I: Moh. Yamin, Mr.


Pada sesi pertama persidangan BPUPKI yang
dilaksanakan pada 29 Mei – 1 Juni 1945 beberapa
anggota BPUPKI diminta untuk menyampaikan usulan
mengenai bahan-bahan konstitusi dan rancangan “blue
print” Negara Republik Indonesia yang akan didirikan.
Pada tanggal 29 Mei 1945 Mr. Mohammad Yamin
menyampaikan usul dasar negara dihadapan sidang pleno
BPUPKI baik dalam pidato maupun secara tertulis yang
disampaikan kepada BPUPKI.

[sunting] Rumusan Pidato

Baik dalam kerangka uraian pidato maupun dalam


presentasi lisan Muh Yamin mengemukakan lima calon
dasar negara yaitu[1]:

1. Peri Kebangsaan
2. Peri Kemanusiaan
3. Peri ke-Tuhanan
4. Peri Kerakyatan
5. Kesejahteraan Rakyat

[sunting] Rumusan Tertulis

Selain usulan lisan Muh Yamin tercatat menyampaikan


usulan tertulis mengenai rancangan dasar negara.
Usulan tertulis yang disampaikan kepada BPUPKI oleh
Muh Yamin berbeda dengan rumusan kata-kata dan
sistematikanya dengan yang dipresentasikan secara
lisan, yaitu[2]:

1. Ketuhanan Yang Maha Esa


2. Kebangsaan Persatuan Indonesia
3. Rasa Kemanusiaan yang Adil dan Beradab
4. Kerakyatan yang dipimpin oleh Hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan
5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia

[sunting] Rumusan II: Soekarno, Ir.

Selain Muh Yamin, beberapa anggota BPUPKI juga


menyampaikan usul dasar negara, diantaranya adalah Ir
Sukarno[3]. Usul ini disampaikan pada 1 Juni 1945 yang
kemudian dikenal sebagai hari lahir Pancasila. Usul
Sukarno sebenarnya tidak hanya satu melainkan tiga
buah usulan calon dasar negara yaitu lima prinsip,
tiga prinsip, dan satu prinsip. Sukarno pula-lah yang
mengemukakan dan menggunakan istilah “Pancasila”
(secara harfiah berarti lima dasar) pada rumusannya
ini atas saran seorang ahli bahasa (Muhammad Yamin)
yang duduk di sebelah Sukarno. Oleh karena itu
rumusan Sukarno di atas disebut dengan Pancasila,
Trisila, dan Ekasila[4].

[sunting] Rumusan Pancasila [5]

1. Kebangsaan Indonesia
2. Internasionalisme,-atau peri-kemanusiaan
3. Mufakat,-atau demokrasi
4. Kesejahteraan sosial
5. ke-Tuhanan yang maha esa

[sunting] Rumusan Trisila [6]

1. Socio-nationalisme
2. Socio-demokratie
3. ke-Tuhanan

[sunting] Rumusan Ekasila [7]

1. Gotong-Royong

[sunting] Rumusan III: Piagam Jakarta

Usulan-usulan blue print Negara Indonesia telah


dikemukakan anggota-anggota BPUPKI pada sesi pertama
yang berakhir tanggal 1 Juni 1945. Selama reses
antara 2 Juni – 9 Juli 1945, delapan orang anggota
BPUPKI ditunjuk sebagai panitia kecil yang bertugas
untuk menampung dan menyelaraskan usul-usul anggota
BPUPKI yang telah masuk. Pada 22 Juni 1945 panitia
kecil tersebut mengadakan pertemuan dengan 38 anggota
BPUPKI dalam rapat informal. Rapat tersebut
memutuskan membentuk suatu panitia kecil berbeda
(kemudian dikenal dengan sebutan "Panitia Sembilan")
yang bertugas untuk menyelaraskan mengenai hubungan
Negara dan Agama.
Dalam menentukan hubungan negara dan agama anggota
BPUPKI terbelah antara golongan Islam yang
menghendaki bentuk teokrasi Islam dengan golongan
Kebangsaan yang menghendaki bentuk negara sekuler
dimana negara sama sekali tidak diperbolehkan
bergerak di bidang agama. Persetujuan di antara dua
golongan yang dilakukan oleh Panitia Sembilan
tercantum dalam sebuah dokumen “Rancangan Pembukaan
Hukum Dasar”. Dokumen ini pula yang disebut Piagam
Jakarta (Jakarta Charter) oleh Mr. Muh Yamin. Adapun
rumusan rancangan dasar negara terdapat di akhir
paragraf keempat dari dokumen “Rancangan Pembukaan
Hukum Dasar” (paragraf 1-3 berisi rancangan
pernyataan kemerdekaan/proklamasi/declaration of
independence). Rumusan ini merupakan rumusan pertama
sebagai hasil kesepakatan para "Pendiri Bangsa".

[sunting] Rumusan kalimat [8]

“… dengan berdasar kepada: ke-Tuhanan, dengan


kewajiban menjalankan syari'at Islam bagi pemeluk-
pemeluknya, menurut dasar kemanusiaan yang adil dan
beradab, persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang
dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan perwakilan serta dengan mewujudkan
suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”

[sunting] Alternatif pembacaan

Alternatif pembacaan rumusan kalimat rancangan dasar


negara pada Piagam Jakarta dimaksudkan untuk
memperjelas persetujuan kedua golongan dalam BPUPKI
sebagaimana terekam dalam dokumen itu dengan
menjadikan anak kalimat terakhir dalam paragraf
keempat tersebut menjadi sub-sub anak kalimat.

“… dengan berdasar kepada: ke-Tuhanan,

[A] dengan kewajiban menjalankan syari'at Islam


bagi pemeluk-pemeluknya, menurut dasar[:]

[A.1] kemanusiaan yang adil dan beradab,

[A.2] persatuan Indonesia, dan


[A.3] kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan[;]

serta

[B] dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi


seluruh rakyat Indonesia.”

[sunting] Rumusan populer

Versi populer rumusan rancangan Pancasila menurut


Piagam Jakarta yang beredar di masyarakat adalah:

1. Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat


Islam bagi pemeluk-pemeluknya
2. Kemanusiaan yang adil dan beradab
3. Persatuan Indonesia
4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan
5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia

[sunting] Rumusan IV: BPUPKI

Pada sesi kedua persidangan BPUPKI yang berlangsung


pada 10-17 Juli 1945, dokumen “Rancangan Pembukaan
Hukum Dasar” (baca Piagam Jakarta) dibahas kembali
secara resmi dalam rapat pleno tanggal 10 dan 14 Juli
1945. Dokumen “Rancangan Pembukaan Hukum Dasar”
tersebut dipecah dan diperluas menjadi dua buah
dokumen berbeda yaitu Declaration of Independence
(berasal dari paragraf 1-3 yang diperluas menjadi 12
paragraf) dan Pembukaan (berasal dari paragraf 4
tanpa perluasan sedikitpun). Rumusan yang diterima
oleh rapat pleno BPUPKI tanggal 14 Juli 1945 hanya
sedikit berbeda dengan rumusan Piagam Jakarta yaitu
dengan menghilangkan kata “serta” dalam sub anak
kalimat terakhir. Rumusan rancangan dasar negara
hasil sidang BPUPKI, yang merupakan rumusan resmi
pertama, jarang dikenal oleh masyarakat luas[9].

[sunting] Rumusan kalimat [10]

“… dengan berdasar kepada: ke-Tuhanan, dengan


kewajiban menjalankan syari'at Islam bagi pemeluk-
pemeluknya, menurut dasar kemanusiaan yang adil dan
beradab, persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang
dipimpin oleh hikmat-kebijaksanaan dalam
permusyawaratan perwakilan, dengan mewujudkan suatu
keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”

[sunting] Rumusan dengan penomoran (utuh)

1. Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat


Islam bagi pemeluk-pemeluknya
2. Menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab
3. Persatuan Indonesia
4. Dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat-
kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan
5. Dengan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia

[sunting] Rumusan V: PPKI

Menyerahnya Kekaisaran Jepang yang mendadak dan


diikuti dengan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia yang
diumumkan sendiri oleh Bangsa Indonesia (lebih awal
dari kesepakatan semula dengan Tentara Angkatan Darat
XVI Jepang) menimbulkan situasi darurat yang harus
segera diselesaikan. Sore hari tanggal 17 Agustus
1945, wakil-wakil dari Indonesia daerah Kaigun
(Papua, Maluku, Nusa Tenggara, Sulawesi, dan
Kalimantan), diantaranya A. A. Maramis, Mr., menemui
Sukarno menyatakan keberatan dengan rumusan “dengan
kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-
pemeluknya” untuk ikut disahkan menjadi bagian dasar
negara. Untuk menjaga integrasi bangsa yang baru
diproklamasikan, Sukarno segera menghubungi Hatta dan
berdua menemui wakil-wakil golongan Islam. Semula,
wakil golongan Islam, diantaranya Teuku Moh Hasan,
Mr. Kasman Singodimedjo, dan Ki Bagus Hadikusumo,
keberatan dengan usul penghapusan itu. Setelah
diadakan konsultasi mendalam akhirnya mereka
menyetujui penggantian rumusan “Ketuhanan, dengan
kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-
pemeluknya” dengan rumusan “Ketuhanan Yang Maha Esa”
sebagai sebuah “emergency exit” yang hanya bersifat
sementara dan demi keutuhan Indonesia.
Pagi harinya tanggal 18 Agustus 1945 usul
penghilangan rumusan “dengan kewajiban menjalankan
syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” dikemukakan
dalam rapat pleno PPKI. Selain itu dalam rapat pleno
terdapat usulan untuk menghilangkan frasa “menurut
dasar” dari Ki Bagus Hadikusumo. Rumusan dasar negara
yang terdapat dalam paragraf keempat Pembukaan
Undang-Undang Dasar ini merupakan rumusan resmi kedua
dan nantinya akan dipakai oleh bangsa Indonesia
hingga kini. UUD inilah yang nantinya dikenal dengan
UUD 1945.

[sunting] Rumusan kalimat [11]

“… dengan berdasar kepada: ke-Tuhanan Yang Maha Esa,


kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan
Indonesia dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan serta
dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia.”

[sunting] Rumusan dengan penomoran (utuh)

1. ke-Tuhanan Yang Maha Esa,


2. Kemanusiaan yang adil dan beradab,
3. Persatuan Indonesia
4. Dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan
5. Serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial
bagi seluruh rakyat Indonesia.

[sunting] Rumusan VI: Konstitusi RIS

Pendudukan wilayah Indonesia oleh NICA menjadikan


wilayah Republik Indonesi semakin kecil dan terdesak.
Akhirnya pada akhir 1949 Republik Indonesia yang
berpusat di Yogyakarta (RI Yogyakarta) terpaksa
menerima bentuk negara federal yang disodorkan
pemerintah kolonial Belanda dengan nama Republik
Indonesia Serikat (RIS) dan hanya menjadi sebuah
negara bagian saja. Walaupun UUD yang disahkan oleh
PPKI pada 18 Agustus 1945 tetap berlaku bagi RI
Yogyakarta, namun RIS sendiri mempunyai sebuah
Konstitusi Federal (Konstitusi RIS) sebagai hasil
permufakatan seluruh negara bagian dari RIS. Dalam
Konstitusi RIS rumusan dasar negara terdapat dalam
Mukaddimah (pembukaan) paragraf ketiga. Konstitusi
RIS disetujui pada 14 Desember 1949 oleh enam belas
negara bagian dan satuan kenegaraan yang tergabung
dalam RIS.

[sunting] Rumusan kalimat [12]

“…, berdasar pengakuan ke-Tuhanan Yang Maha Esa,


perikemanusiaan, kebangsaan, kerakyatan dan keadilan
sosial.”

[sunting] Rumusan dengan penomoran (utuh)

1. ke-Tuhanan Yang Maha Esa,


2. perikemanusiaan,
3. kebangsaan,
4. kerakyatan
5. dan keadilan sosial

[sunting] Rumusan VII: UUD Sementara

Segera setelah RIS berdiri, negara itu mulai menempuh


jalan kehancuran. Hanya dalam hitungan bulan negara
bagian RIS membubarkan diri dan bergabung dengan
negara bagian RI Yogyakarta. Pada Mei 1950 hanya ada
tiga negara bagian yang tetap eksis yaitu RI
Yogyakarta, NIT[13], dan NST[14]. Setelah melalui
beberapa pertemuan yang intensif RI Yogyakarta dan
RIS, sebagai kuasa dari NIT dan NST, menyetujui
pembentukan negara kesatuan dan mengadakan perubahan
Konstitusi RIS menjadi UUD Sementara. Perubahan
tersebut dilakukan dengan menerbitkan UU RIS No 7
Tahun 1950 tentang Perubahan Konstitusi Sementara
Republik Indonesia Serikat menjadi Undang-Undang
Dasar Sementara (LN RIS Tahun 1950 No 56, TLN RIS No
37) yang disahkan tanggal 15 Agustus 1950. Rumusan
dasar negara kesatuan ini terdapat dalam paragraf
keempat dari Mukaddimah (pembukaan) UUD Sementara
Tahun 1950.
[sunting] Rumusan kalimat[15]

“…, berdasar pengakuan ke-Tuhanan Yang Maha Esa,


perikemanusiaan, kebangsaan, kerakyatan dan keadilan
sosial, …”

[sunting] Rumusan dengan penomoran (utuh)

1. ke-Tuhanan Yang Maha Esa,


2. perikemanusiaan,
3. kebangsaan,
4. kerakyatan
5. dan keadilan sosial

[sunting] Rumusan VIII: UUD 1945

Kegagalan Konstituante untuk menyusun sebuah UUD yang


akan menggantikan UUD Sementara yang disahkan 15
Agustus 1950 menimbulkan bahaya bagi keutuhan negara.
Untuk itulah pada 5 Juli 1959 Presiden Indonesia saat
itu, Sukarno, mengambil langkah mengeluarkan Dekrit
Kepala Negara yang salah satu isinya menetapkan
berlakunya kembali UUD yang disahkan oleh PPKI pada
18 Agustus 1945 menjadi UUD Negara Indonesia
menggantikan UUD Sementara. Dengan pemberlakuan
kembali UUD 1945 maka rumusan Pancasila yang terdapat
dalam Pembukaan UUD kembali menjadi rumusan resmi
yang digunakan.

Rumusan ini pula yang diterima oleh MPR, yang pernah


menjadi lembaga tertinggi negara sebagai penjelmaan
kedaulatan rakyat antara tahun 1960-2004, dalam
berbagai produk ketetapannya, diantaranya:

1. Tap MPR No XVIII/MPR/1998 tentang Pencabutan


Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik
Indonesia No. II/MPR/1978 tentang Pedoman
Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (Ekaprasetya
Pancakarsa) dan Penetapan tentang Penegasan
Pancasila sebagai Dasar Negara, dan
2. Tap MPR No III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan
Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan.
[sunting] Rumusan kalimat [16]

“… dengan berdasar kepada: Ketuhanan Yang Maha Esa,


Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan
Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan serta
dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia.”

[sunting] Rumusan dengan penomoran (utuh)

1. Ketuhanan Yang Maha Esa,


2. Kemanusiaan yang adil dan beradab,
3. Persatuan Indonesia
4. Dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan
5. Serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial
bagi seluruh rakyat Indonesia.

[sunting] Rumusan IX: Versi Berbeda[17]

Selain mengutip secara utuh rumusan dalam UUD 1945,


MPR pernah membuat rumusan yang agak sedikit berbeda.
Rumusan ini terdapat dalam lampiran Ketetapan MPRS
No. XX/MPRS/1966 tentang Memorandum DPR-GR mengenai
Sumber Tertib Hukum Republik Indonesia dan Tata
Urutan Peraturan Perundangan Republik Indonesia.

[sunting] Rumusan

1. Ketuhanan Yang Maha Esa,


2. Kemanusiaan yang adil dan beradab,
3. Persatuan Indonesia
4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah
kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan
5. Keadilan sosial.

[sunting] Rumusan X: Versi Populer[18]

Rumusan terakhir yang akan dikemukakan adalah rumusan


yang beredar dan diterima secara luas oleh
masyarakat. Rumusan Pancasila versi populer inilah
yang dikenal secara umum dan diajarkan secara luas di
dunia pendidikan sebagai rumusan dasar negara.
Rumusan ini pada dasarnya sama dengan rumusan dalam
UUD 1945, hanya saja menghilangkan kata “dan” serta
frasa “serta dengan mewujudkan suatu” pada sub anak
kalimat terakhir.

Rumusan ini pula yang terdapat dalam lampiran Tap MPR


No II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan
Pengamalan Pancasila (Ekaprasetya Pancakarsa)

[sunting] Rumusan

1. Ketuhanan Yang Maha Esa,


2. Kemanusiaan yang adil dan beradab,
3. Persatuan Indonesia
4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan
5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

[sunting] Epilog

“Pancasila sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan


Undang-Undang Dasar 1945 adalah dasar negara dari
Negara Kesatuan Republik Indonesia harus dilaksanakan
secara konsisten dalam kehidupan bernegara” (Pasal 1
Ketetapan MPR No XVIII/MPR/1998 jo Ketetapan MPR No.
I/MPR/2003 jo Pasal I Aturan Tambahan UUD 1945).

[sunting] Catatan kaki

1. ^ Saafroedin Bahar (ed). (1992) Risalah Sidang


BPUPKI-PPKI 29 Mei 1945-19 Agustus 1945. Edisi
kedua. Jakarta: SetNeg RIselanjutnya disebut
Risalah 2
2. ^ Risalah 2
3. ^ Sidang Sesi I BPUPKI tidak hanya membahas
mengenai calon dasar negara namun juga membahas
hal yang lain. Tercatat dua anggota Moh. Hatta,
Drs. dan Supomo, Mr. mendapat kesempatan
berpidato yang agak panjang. Hatta berpidato
mengenai perekonomian Indonesia sedangkan Supomo
yang kelak menjadi arsitek UUD berbicara mengenai
corak Negara Integralistik
4. ^ Risalah 2
5. ^ Risalah 2
6. ^ Risalah 2
7. ^ Risalah 2
8. ^ Risalah 2
9. ^ Risalah 2
10. ^ Risalah 2
11. ^ Risalah 2
12. ^ Konstitusi Republik Indonesia Serikat
13. ^ Negara Indonesia Timur, wilayahnya meliputi
Sulawesi dan pulau-pulau sekitarnya, Kepulauan
Nusa Tenggara, dan seluruh kepulauan Maluku
14. ^ Negara Sumatra Timur, wilayahnya meliputi
bagian timur provinsi Sumut (sekarang)
15. ^ Undang-Undang Dasar Sementara
16. ^ UUD 1945 (dekrit 1959), Tap MPR No
XVIII/MPR/1998, Tap MPR No III/MPR/2000 tentang
Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-
undangan
17. ^ Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966
18. ^ Tap MPR No II/MPR/1978

[sunting] Referensi

1. UUD 1945
2. Konstitusi RIS (1949)
3. UUD Sementara (1950)
4. Berbagai Ketetapan MPRS dan MPR RI
5. Saafroedin Bahar (ed). (1992) Risalah Sidang
BPUPKI-PPKI 29 Mei 1945-19 Agustus 1945. Edisi
kedua. Jakarta: SetNeg RI
6. Tim Fakultas Filsafat UGM (2005) Pendidikan
Pancasila. Edisi 2. Jakarta: Universitas Terbuka

[sunting] Lihat pula

 Garuda Pancasila
 Pancasila sebagai FIlsafat dan Ideologi Negara
Indonesia

[sembunyikan]

l • b • s
Artikel terkait ideologi Pancasila

Pidato "Lahirnya Pancasila" · Piagam


Sejarah
Jakarta · Rumusan-rumusan Pancasila

Soekarno · Mohammad Hatta · Mohammad


Yamin · Alexander Andries Maramis ·
Tokoh Abikoesno Tjokrosoejoso · Abdul Kahar
terkait Muzakir · Agus Salim · Achmad
Soebardjo · Wahid Hasjim · Mohammad
Yamin

Badan
Panitia Sembilan · BPUPKI · PPKI
terkait

Garuda Pancasila · Hari Kesaktian


Hal
Pancasila · UUD 1945 · Gedung
terkait
Pancasila · Daftar Anggota BPUPKI-PPKI

Kategori: a

eskol

 Terurut Topik
 Terurut Waktu
 Cari

Artikel Lepas: "Piagam Jakarta dan Hubungan antar


Umat Beragama"

Eskol
Wed, 09 Jan 2002 17:36:51 -0800

`````````````````````````
[EMAIL PROTECTED]
A r t i k e l Lepas
^*^*^*^*^*^*^*^

Piagam Jakarta dan Hubungan


antar Umat Beragama
````````````````````````````
Oleh: Mbah Dukun S

Pengantar
````````````
Pada tanggal 29 April 1945 bertepatan dengan hari
ulang tahun Kaisar
Hirohito dibentuklah Badan Penyelidik Usaha Persiapan
Kemerdekaan Indonesia
(BPUPKI) oleh pemerintah Jepang sebagai upaya
pelaksanaan janji mereka
tentang kemerdekaan Indonesia. BPUPKI beranggotakan
62 orang yang diketuai
oleh Radjiman Widjodiningrat. Pada hari terakhir
sidang pertama BPUPKI pada
tanggal 1 Juni 1945, Soekarno, salah seorang anggota,
menyampaikan usulan
fundamen filsafat negara, yang dikenal dengan
Pancasila.

Keterangan Soekarno tentang Pancasila dalam sidang


itu menunjukkan dengan
jelas bahwa ia sendiri mengakui adanya ketergantungan
dengan orang lain,
baik orang Indonesia maupun orang asing, seperti Peri
Kebangsaan, Peri
Kemanusiaan, dan Kesejahteraan Rakyat. Pertanyaan
yang penting ialah dari
sumber manakah Soekarno mengangkat prinsip Ketuhanan,
yang akhirnya dikenal
sebagai Ketuhanan Yang Mahaesa. Pengertian Ketuhanan,
pada dasarnya,
berlatarbelakang muslim, walaupun tidak selalu tidak
diterima oleh golongan
bukan muslim. Prinsip Ketuhanan setidaknya diilhami
oleh uraian dari para
pemimpin Islam yang berbicara mendahului Soekarno
dalam sidang itu.

Dalam sidang itu ada dua paham yang terlihat. Kedua


paham itu ialah yang
menganjurkan agar Indonesia didirikan sebagai negara
Islam dan anjuran
lainnya, seperti Hatta, yaitu negara persatuan
nasional yang memisahkan
unsur negara dan agama. Dengan kata lain bukan negara
Islam. Ternyata di
dalam Naskah Persiapan UUD 1945 jilid II yang disusun
oleh Yamin tidak
memuat satupun pidato para anggota nasionalis Islam.
Yang dimuat hanyalah
tiga, yaitu (1) pidato Soekarno, (2) pidato Yamin,
dan (3) pidato Soepomo.

BPUPKI juga berhasil merumuskan dan bentuk


pemerintahan melalui pemungutan
suara. Ada 45 suara pemilih dasar negara adalah
kebangsaan, sedang 15 suara
memilih Islam sebagai dasar negara. Setelah sidang
pertama berakhir
dibentuklah panitia kecil yang beranggotakan sembilan
orang, yang lalu
dikenal dengan nama Panitia Sembilan. Melalui
perbincangan yang serius
akhirnya Panitia Sembilan berhasil mencapai suatu
kesepakatan antara Islam
dan Nasionalis. Pada tanggal 10 Juli 1945 Soekarno
menyampaikan pidatonya
pada sidang BPUPKI.

Soekarno juga menyampaikan rancangan preambule UUD


hasil rapat Panitia
Sembilan. Dalam rancangan preambule tersebut
muncullah kalimat yang sampai
saat ini tetap menjadi persengketaan ...Ketuhanan,
dengan menjalankan
syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya. Rancangan
preambule itu
ditandatangani oleh Panitia Sembilan pada tanggal 22
Juni 1945 di Jakarta.
Oleh karena itu rancangan preambule itu dikenal
sebagai Piagam Jakarta.

Perjalanan Piagam Jakarta Menjelang Proklamasi


Kemerdekaan Sehari setelah
pidato Soekarno, yakni pada tanggal 11 Juli 1945,
seorang Protestan anggota
BPUPKI, Latuharhary, langsung menyatakan keberatan
atas tujuh kata di
belakang kata Ketuhanan pada Piagam Jakarta. Agus
Salim melihatnya secara
netral, walaupun ia lebih condong mendukung Piagam
Jakarta. Namun beberapa
orang anggota BPUPKI berkeberatan, termasuk
Wongsonegoro dan Hoesein
Djajadiningrat.

Sidang pada hari itu seolah-olah berakhir dengan


kesepakatan menerima
rancangan preambule hasil kerja Panitia Sembilan.
Kemudian Soekarno
membentuk panitia kecil untuk merancang UUD, yang
mesti bekerja pada tanggal
12 Juli 1945. Dua pasal rancangan pertama UUD yang
paut dengan pokok bahasan
ini ialah pasal 4 dan pasal 28 . Pasal 4:2 berbunyi
Yang dapat menjadi
Presiden dan Wakil Presiden hanya orang Indonesia
asli, sedang pasal 28
berbunyi Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap
penduduk untuk memeluk agama
apapun dan untuk beribadat menurut agama masing-
masing.

Abdul Wahid Hasjim mengajukan dua usulan. Pertama,


pasal 4:2 tersebut
ditambah dengan anak kalimat yang beragama Islam.
Kedua, pasal 28 diubah
isinya menjadi Agama negara ialah agama Islam, dengan
menjamin kemerdekaan
orang-orang yang beragama lain untuk Agus Salim tidak
sependapat
dengannya, namun Hasjim mendapat dukungan dari
Sukiman. Soekarno selalu
memposisikan diri bahwa rancangan preambule adalah
hasil kompromi dua pihak,
yaitu Nasionalis dan Islam. Padahal tak kurang tokoh
Muhammadyah, seperti Ki
Bagus Hadikusumo, yang didukung oleh Kyai Ahmad
Sanusi, tidak menyetujui
tujuh kata anak kalimat Ketuhanan.
Pada tanggal 17 Agustus 1945 pukul 04:00 naskah baru
pernyataan kemerdekaan
dirumuskan dalam suatu pertemuan di rumah Maeda,
seorang perwira Angkatan
Laut Jepang. Atas nama bangsa Indonesia Soekarno dan
Hatta memproklamasikan
kemerdekaan Indonesia pada hari itu pukul 10:00 di
Jalan Pegangsaan Timur
No. 56. Keesokan harinya dibentuklah Panitia
Persiapan Kemerdekaan Indonesia
(PPKI) yang diketuai Soekarno dengan wakilnya Hatta
untuk menetapkan UUD.
Ternyata sebelum waktu penetapan Hatta menyampaikan
empat usulan perubahan
rancangan UUD yang sudah ditetapkan oleh BPUPKI.
Usulan tersebut sebagai
berikut:

1. Kata Mukhadimah diganti dengan kata Pembukaan.

2. Kalimat Ketuhanan, dengan menjalankan syariat


Islam bagi
pemeluk-pemeluknya diganti dengan Ketuhanan yang
Mahaesa.

3. Mencoret kata-kata dan beragama Islam pada pasal


6:1 yang berbunyi
Presiden ialah orang Indonesia Asli dan beragama
Islam.

4. Sejalan dengan usulan kedua, maka pasal 29 pun


berubah.

Usulan perubahan diterima bulat oleh PPKI. Soekarno


juga menekankan bahwa
UUD 1945 tersebut hanyalah sementara, yang akan
diubah oleh MPR setelah
Indonesia dalam suasana lebih tenteram.

Ada alasan kuat mengapa Hatta mengajukan empat usulan


perubahan. Dalam buku
karya Hatta dengan judul Sekitar Proklamasi
Kemerdekaan 17 Agustus 1945 yang
dikutip oleh Anshari (1981), Hatta mengatakan bahwa
ia didatangi oleh
seorang perwira Jepang, yang ia sendiri lupa namanya,
pada tanggal 17
Agustus 1945 petang. Perwira itu membawa pesan bahwa
bahwa orang Kristen di
kawasan Kaigun sangat berkeberatan atas tujuh kata
dalam Pembukaan UUD.
Walaupun mereka mengakui bahwa tujuh kata itu tidak
mengikat mereka, namun
mereka memandang hal itu sebagai diskriminasi
terhadap golongan minoritas.

Hatta sendiri sudah menjelaskan kepada perwira


tersebut bahwa ketetapan
rancangan UUD merupakan hasil kesepakatan dua pihak,
Islam dan Nasionalis.
Perwira tersebut meyakinkan Hatta bahwa wilayah
Indonesia bagian Timur akan
menolak bergabung ke dalam negara persatuan
Indonesia. Hatta akhirnya lebih
memilih persatuan ketimbang perpecahan dan menerima
keberatan orang Kristen.
Tentu saja ketetapan PPKI tersebut membuat sakit hati
pihak Islam. Akan
tetapi mereka tidak dapat menolaknya, karena suasana
waktu itu sangat
darurat. Mereka masih berpengharapan akan memasukkan
misi mereka di masa
yang akan datang.

Piagam Jakarta sebagai Sumber Konflik


````````````````````````````````````````````````
Pihak Islam fundamentalis tidak menyerah. Mereka
masih melihat peluang
perubahan UUD 1945 seperti yang dikatakan Soekarno
pada sidang PPKI.
Sepuluh tahun setelah Indonesia merdeka, pada tanggal
15 Desember 1955,
diadakanlah Pemilu untuk memilih wakil-wakil rakyat
untuk duduk di
Konstituante, sebuah lembaga pembuat UUD sebagai
pengganti UUD 1945.
Presiden Soekarno melantik anggota-anggota
Konstituante pada tanggal 10
November 1956. Partai-partai Islam meraih 230 kursi,
sedang partai lainnya
(Nasionalis, Kristen, Sosialis, dan Komunis) meraih
286 kursi.

Pada sidang Konstituante terjadilah perdebatan yang


berlarut-larut tentang
dasar negara. Para wakil partai-partai Islam tetap
memegang Pancasila
sebagaimana dirumuskan dalam Piagam Jakarta. Para
wakil-wakil lainnya
menyetujui kembali kepada UUD 1945. Namun demikian
kedua pokok masalah itu
menemui jalan buntu, karena tidak dapat diputuskan
dengan suara
sekurang-kurangnya dua pertiga anggota Konstituante.
Menghadapi suasana
kritis ini Presiden Soekarno turun tangan. Pada
tanggal 5 Juli ia
mengeluarkan dekrit, yang salah satu isinya ialah
pemberlakuan lagi UUD 1945
dan pembubaran Konstituante.

Bagi sebagian orang Islam Dekrit Presiden mengandung


pengertian hidupnya
kembali Piagam Jakarta. Piagam Jakarta menjiwai UUD
1945 dan Piagam Jakarta
merupakan rangkaian kesatuan dengan UUD 1945. Usaha-
usaha untuk memasukkan
kembali Piagam Jakarta ke dalam agenda nasional terus
berlangsung sampai
akhirnya diredam oleh pemerintah Orde Baru lewat Tap
MPR no. II/MPR/1978.

Setelah berakhirnya era Orde Baru dimulailah era


reformasi. Keterbukaan ini
membuat orang-orang seperti kuda lepas kendali.
Sepertinya orang bebas
berbicara apa saja. Kesempatan ini dimanfaatkan oleh
partai-partai Islam
untuk meniupkan isu Piagam Jakarta ke dalam agenda
sidang MPR hasil Pemilu
1999. Dua partai yang ngotot sejak November 1999
untuk membahas Piagam
Jakarta adalah PPP dan PBB. Meskipun pada Sidang
Tahunan (ST) MPR tahun 2000
usulan mereka tidak ditanggapi, mereka tetap
bersemangat memasukkannya ke
dalam agenda ST MPR tahun 2001.

Dampak Pemberlakuan Piagam Jakarta terhadap Hubungan


Antarumat Beragama
Seperti ditulis di atas bahwa Piagam Jakarta kembali
marak setelah
berakhirnya era Orde Baru. Sejak itu lahirlah partai-
partai berasaskan
Islam. Selain itu banyak ormas yang keras
memperjuangkan aspirasi Islam.
Tidak itu saja, ada juga kelompok yang ingin
mendirikan negara Islam, walau
jumlahnya kecil.
Piagam Jakarta dianggap sebagai jaminan konstitusi
bagi umat Islam untuk
dapat dengan leluasa mengatur umatnya sendiri agar
lebih taat beragama.
Persoalannya tidaklah sesederhana itu. Banyak masalah
yang akan mengganjal,
yang bukan saja berpautan dengan kenyataan
kemajemukan masyarakat Indonesia,
tetapi juga adanya keanekaan pemahaman dalam umat
Islam sendiri khususnya
yang berpautan dengan bentuk nasabah (relationship)
agama dan negara.

Dalam ST MPR 2001 Piagam Jakarta tidak dimasukkan ke


dalam agenda. Kebiasaan
sebagian kecil partai Islam untuk memasukkan Piagam
Jakarta ke dalam ST MPR
justru dalam aras tertentu tidak mendewasakan
kehidupan demokrasi di
Indonesia. Di kalangan Nadhlatul Ulama (NU)
permasalahan ideologis bangsa
sudah ada kata akhir seperti yang pernah dikatakan
oleh K.H. Achmad Siddiq,
tetapi bagi sebagian kecil umat Islam permasalahan
tersebut belum dianggap
selesai.

Tidak ada yang baru dari perdebatan tentang nasabah


agama dan negara. Dapat
dikatakan semua yang ada merupakan pengulangan agenda
lama yang tidak pernah
sampai pada kata sepakat dengan ketulusan hati.
Perdebatan ini menjadi tidak
progresif, karena umat Islam garis keras tidak mau
berpikir bagaimana
mengatur negara yang majemuk ini dengan menempatkan
semua anasirnya pada
posisi yang sama. Alasan klasik yang dilontarkan
selalu saja tentang
mayoritas sehingga merasa lebih berhak untuk mengatur
negara ini.

Ketidakpahaman nasabah agama dan negara tidak pernah akan mencair, jika
seluruh umat beragama masih berpikir egois dan melalaikan perasaan penganut
agama lain dan kepentingan bangsa secara serbacakup (comprehensive).
Semestinya agama merupakan urusan pribadi manusia dengan Allahnya. Baik
negara maupun perorangan tidak berhak memaksa orang lain untuk mengikuti
atau menaati agamanya. Memang keruwetan nasabah agama dan negara acapkali
melekat pada Islam, karena Islam tidak sepenuhnya dipisahkan dengan masalah
kenegaraan. Yang patut menjadi introspeksi bagi umat Islam adalah Islam
tanpa negara bukanlah Islam yang tidak lengkap.

Persengketaan Piagam Jakarta, yang ditambah dengan munculnya gerakan atas


nama Islam untuk mendirikan agama Islam, oleh kalangan umat lainnya,
khususnya Kristen, acapkali diungkit-ungkit sebagai bahaya laten. Tentunya
ini membuka luka lama hubungan antarumat beragama, khususnya umat Islam dan
Kristen. Hal ini makin diperuncing dengan sikap triumfalistik orang Kristen
garis keras dalam penginjilan.

Pemberlakuan Piagam Jakarta tidaklah sama dengan Piagam Madinah yang dibuat
tahun 622. Ada perbedaan hakiki pada hasil yang dicapainya. Perbedaan
tersebut terjadi karena perumusan yang berbeda antara Piagam Madinah dan
Piagam Jakarta. Piagam Madinah tidak ada tekanan kewajiban dalam hal
menganut atau melaksanakan agama masing-masing. Dengan demikian Piagam
Madinah telah melahirkan persatuan. Kebalikannya dengan Piagam Jakarta yang
melahirkan ancaman perpecahan. Pencatuman tujuh kata dalam Piagam Jakarta
merupakan sikap tidak peduli atas perintah Allah yang berdampak melampaui
ambang batas kebenaran.

Bagi pemeluk agama bukan Islam penempatan tujuh kata dalam Piagam Jakarta
merupakan pilihan yang salah. Jika ketujuh kata itu dimasukkan ke dalamnya,
maka negara dibebani dengan tugas khusus terhadap pemeluk salah satu agama
saja. Negara menjadi tidak netral lagi dan mengancam kesatuan bangsa. Logika
Pancasila sebagai pemersatu bangsa dan logika Sumpah Pemuda sebagai rumusan
dasar bagi gerakan kebangsaan Indonesia menuntut sendiri agar tujuh kata
dalam Piagam Jakarta mesti dihilangkan.

Sila pertama memberikan wewenang bagi kelompok agama agar mereka sendiri
mengusahakan sesuai dengan pemahaman mereka sendiri agar para pemeluknya
menjalankan etika dan ajarannya. Istilah Ketuhanan yang Mahaesa merupakan
suatu prinsip tentang Tuhan dan bukan Tuhan itu sendiri. Teologilah yang
dapat menjelaskan dan menakrifkan tentang apa yang dimaksudkan dengan
ketuhanan itu secara nyata. Rumusan sila pertama yang sekarang ini sudah
memberikan ruang yang luas agar agama-agama yang diakui dapat menguraikan
dan mengembangkan pemahaman mereka sendiri mengenai Tuhan itu.

Kesimpulan
```````````````
Pembangunan ketaatan beragama lewat daya paksa hukum negara mengandung
konsekuensi berisiko tinggi atas rasa tauhid dalam masyarakat. Hal ini dapat
terjadi, karena rasa takut terhadap negara akan melampaui rasa takut kepada
Allah yang Esa, yang tentunya dapat membangkitkan peluang kemusyrikan dan
kemunafikan.**

Peristiwa Rengasdengklok

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas


Kamar peristirahatan Bung Karno di rumah Djiaw Kie
Siong.

Peristiwa Rengasdengklok adalah peristiwa dimulai


dari "penculikan" yang dilakukan oleh sejumlah pemuda
(a.l. Soekarni, Wikana dan Chaerul Saleh dari
perkumpulan "Menteng 31" terhadap Soekarno dan Hatta.
Peristiwa ini terjadi pada tanggal 16 Agustus 1945
pukul 04.00. WIB, Soekarno dan Hatta dibawa ke
Rengasdengklok, Karawang, untuk kemudian didesak agar
mempercepat proklamasi kemerdekaan Republik
Indonesia,sampai dengan terjadinya kesepakatan antara
golongan tua yang diwakili Soekarno dan Hatta serta
Mr. Achmad Subardjo dengan golongan muda tentang
kapan proklamasi akan dilaksanakan.

Menghadapi desakan tersebut, Soekarno dan Hatta tetap


tidak berubah pendirian. Sementara itu di Jakarta,
Chairul dan kawan-kawan telah menyusun rencana untuk
merebut kekuasaan. Tetapi apa yang telah direncanakan
tidak berhasil dijalankan karena tidak semua anggota
PETA mendukung rencana tersebut.

Proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia rencananya


akan dibacakan Bung Karno dan Bung Hatta pada hari
Jumat, 17 Agustus 1945 di lapangan IKADA(yang
sekarang telah menjadi lapangan Monas) atau di rumah
Bung Karno di Jl.Pegangsaan Timur 56. Dipilih rumah
Bung Karno karena di lapangan IKADA sudah tersebar
bahwa ada sebuah acara yang akan diselenggarakan,
sehingga tentara-tentara jepang sudah berjaga-jaga,
untuk menghindari kericuhan, antara penonton-penonton
saat terjadi pembacaan teks proklamasi, dipilihlah
rumah Soekarno di jalan Pegangsaan Timur No.56. Teks
Proklamasi disusun di Jakarta, bukan di
Rengasdengklok, bukan di rumah seorang Tionghoa,
Djiaw Kie Siong yang diusir dari rumahnya oleh
anggota PETA agar dapat ditempati oleh "rombongan
dari Jakarta". Naskah teks proklamasi di susun di
rumah Laksamana Muda Maeda di Jakarta, bukan di
Rengasdengklok. Bendera Merah Putih sudah dikibarkan
para pejuang di Rengasdengklok pada Rabu tanggal 16
Agustus, sebagai persiapan untuk proklamasi
kemerdekaan Indonesia.

Karena tidak mendapat berita dari Jakarta, maka Jusuf


Kunto dikirim untuk berunding dengan pemuda-pemuda
yang ada di Jakarta. Namun sesampainya di Jakarta,
Kunto hanya menemui Wikana dan Mr. Achmad Soebardjo,
kemudian Kunto dan Achmad Soebardjo ke Rangasdengklok
untuk menjemput Soekarno, Hatta, Fatmawati dan
Guntur. Achmad Soebardjo mengundang Bung Karno dan
Hatta berangkat ke Jakarta untuk membacakan
proklamasi di Jalan Pegangsaan Timur 56. Pada tanggal
16 tengah malam rombongan tersebut sampai di Jakarta.

Keesokan harinya, tepatnya tanggal 17 Agustus 1945


pernyataan proklamasi dikumandangkan dengan teks
proklamasi Kemerdekaan Indonesia yang diketik oleh
Sayuti Melik menggunakan mesin ketik yang "dipinjam"
(tepatnya sebetulnya diambil) dari kantor Kepala
Perwakilan Angkatan Laut Jerman, Mayor (Laut) Dr.
Hermann Kandeler.[1]

[sunting] Latar belakang

Pada waktu itu Soekarno dan Moh. Hatta, tokoh-tokoh


menginginkan agar proklamasi dilakukan melalui PPKI,
sementara golongan pemuda menginginkan agar
proklamasi dilakukan secepatnya tanpa melalui PPKI
yang dianggap sebagai badan buatan Jepang. Selain
itu, hal tersebut dilakukan agar Soekarno dan Moh.
Hatta tidak terpengaruh oleh Jepang. Para golongan
pemuda khawatir apabila kemerdekaan yang sebenarnya
merupakan hasil dari perjuangan bangsa Indonesia,
menjadi seolah-olah merupakan pemberian dari Jepang.

Sebelumnya golongan pemuda telah mengadakan suatu


perundingan di salah satu lembaga bakteriologi di
Pegangsaan Timur Jakarta, pada tanggal 15 Agustus.
Dalam pertemuan ini diputuskan agar pelaksanaan
kemerdekaan dilepaskan segala ikatan dan hubungan
dengan janji kemerdekaan dari Jepang. Hasil keputusan
disampaikan kepada Ir. Soekarno pada malam harinya
tetapi ditolak Soekarno karena merasa bertanggung
jawab sebagai ketua PPKI.
[

historia magistra

Belajar Sejarah, Mantapkan Langkah, Menuju Masa Depan


Cerah

Twitter Facebook RSS

 Home
 Sejarah X
 Sejarah XI-IPS
 Sejarah XI-IPA
 Sejarah XII-IPA
 Sejarah XII-IPS
 Belajar Sejarah Online
 Artikel
 Biografi Tokoh
 Sejarah Umum
 Resensi
 Hari ini dalam sejarah
 Latihan Soal Sejarah
 Software Download
 Tahukah Anda?
 E-Books

MADILOG KEADAAN EKONOMI-KEUANGAN PADA


AWAL KEMERDEKAAN

PERISTIWA SEKITAR PROKLAMASI 17 AGUSTUS 1945

21/02/2010

Mustaqim Sejarah XI-IPA, Sejarah XII-IPS perjuangan


bangsa indonesia, proklamasi, rengasdengklok, sidang
bpupki, sidang ppki, tahun 1945 13 Comments

A. PEMBENTUKAN BPUPKI

Pada tahun 1944 Saipan jatuh ke tangan Sekutu.


Demikian halnya dengan pasukan Jepang di Papua
Nugini, Kepulauan Solomon dan Kepulauan Marshall,
dipukul mundur oleh pasukan Sekutu. Dengan demikian
seluruh garis pertahanan Jepang di Pasifik sudah
hancur dan bayang-bayang kekalahan Jepang mulai
nampak. Selanjutnya Jepang mengalami serangan udara
di kota Ambon, Makasar, Menado dan Surabaya. Bahkan
pasukan Sekutu telah mendarat di daerah-daerah minyak
seperti Tarakan dan Balikpapan.

Dalam situasi kritis tersebut, pada tanggal 1 maret


1945 Letnan Jendral Kumakici Harada, pimpinan
pemerintah pendudukan Jepang di Jawa, mengumumkan
pembentukan Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (Dokuritsu Junbi Cosakai).
Pembentukan badan ini bertujuan untuk menyelidiki
hal-hal penting menyangkut pembentukan negara
Indonesia merdeka. Pengangkatan pengurus ini
diumumkan pada tanggal 29 April 1945. dr. K.R.T.
Radjiman Wediodiningrat diangkat sebagai ketua
(Kaico). Sedangkan yang duduk sebagai Ketua Muda
(Fuku Kaico) pertama dijabat oleh seorang Jepang,
Shucokan Cirebon yang bernama Icibangase. R.P. Suroso
diangkat sebagai Kepala Sekretariat dengan dibantu
oleh Toyohito Masuda dan Mr. A.G. Pringgodigdo.

B. SIDANG-SIDANG BPUPKI

Pada tanggal 28 Mei 1945 dilangsungkan upacara


peresmian Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan
Kemerdekaan bertempat di gedung Cuo Sangi In, Jalan
Pejambon (sekarang Gedung Departemen Luar Negeri),
Jakarta. Upacara peresmian itu dihadiri pula oleh dua
pejabat Jepang, yaitu : Jenderal Itagaki (Panglima
Tentara Ketujuh yang bermarkas di Singapura dan
Letnan Jenderal Nagano (Panglima Tentara Keenambelas
yang baru). Pada kesempatan itu dikibarkan bendera
Jepang, Hinomaru oleh Mr. A.G. Pringgodigdo yang
disusul dengan pengibaran bendera Sang Merah Putih
oleh Toyohiko Masuda. Peristiwa itu membangkitkan
semangat para anggota dalam usaha mempersiapkan
kemerdekaan Indonesia.
Sidang BPUPKI

Persidangan BPUPKI untuk merumuskan Undang-undang


Dasar diawali dengan pembahasan mengenai persoalan
“dasar” bagi Negara Indonesia Merdeka. Untuk itulah
pada kata pembukaannya, ketua BPUPKI, dr. Radjiman
Wediodiningrat meminta pandangan para anggota
mengenai dasar Negara Indonesia merdeka tersebut.
Tokoh yang pertama kali mendapatkan kesempatan untuk
mengutarakan rumusan Dasar Negara Indonesia Merdeka
adalah Mr. Muh. Yamin. Pada hari pertama persidangan
pertama tanggal 29 Mei 1945, Muh. Yamin mengemukakan
lima “Azas Dasar Negara Kebangsaan Republik
Indonesia” sebagai berikut :

1. Peri Kebangsaan;

2. Peri Kemanusiaan;

3. Peri Ke-Tuhanan;

4. Peri Kerakyatan;

5. Kesejahteraan Rakyat.

Dua hari kemudian pada tanggal 31 Mei 1945 Prof. Dr.


Mr. Supomo mengajukan Dasar Negara Indonesia Merdeka
adalah sebagai berikut :

1. persatuan

2. kekeluargaan

3. keseimbangan
4. musyawarah

5. keadilan sosial

Keesokan harinya pada tanggal 1 Juni 1945


berlangsunglah rapat terakhir dalam persidangan
pertama itu. Pada kesempatan itulah Ir. Sukarno
mengemukakan pidatonya yang kemudian dikenal sebagai
“Lahirnya Pancasila”. Keistimewaan pidato Ir. Sukarno
adalah selain berisi pandangan mengenai Dasar Negara
Indonesia Merdeka, juga berisi usulan mengenai nama
bagi dasar negara, yaitu : Pancasila, Trisila, atau
Ekasila. “Selanjutnya sidang memilih nama Pancasila
sebagai nama dasar negara. Lima dasar negara yang
diusulkan oleh Ir. Sukarno adalah sebagai berikut :

1. Kebangsaan Indonesia;

2. Internasionalisme atau peri-kemanusiaan;

3. Mufakat atau demokrasi

4. Kesejahteraan sosial;

5. Ke-Tuhanan Yang Maha Esa.

Persidangan pertama BPUPKI berakhir pada tanggal 1


Juni 1945. Sidang tersebut belum menghasilkan
keputusan akhir mengenai Dasar Negara Indonesia
Merdeka. Selanjutnya diadakan masa “reses” selama
satu bulan lebih.

Pada tanggal 22 Juni 1945 BPUPKI membentuk Panitia


Kecil yang beranggotakan 9 orang. Oleh karena itu
panitia ini juga disebut sebagai Panitia Sembilan.
Anggota-anggota Panitia Sembilan ini adalah sebagai
berikut :

1. Ir. Sukarno

2. Drs. Moh. Hatta

3. Muh. Yamin

4. Mr. Ahmad Subardjo


5. Mr. A.A. Maramis

6. Abdulkadir Muzakkir

7. K.H. Wachid Hasyim

8. K.H. Agus Salim

9. Abikusno Tjokrosujoso.

Musyawarah dari Panitia Sembilan ini kemudian


menghasilkan suatu rumusan yang menggambarkan maksud
dan tujuan pembentukan Negara Indonesia Merdeka. Oleh
Muh.Yamin rumusan itu diberi nama Jakarta Charter
atau Piagam Jakarta. Rumusan draft dasar negara
Indonesia Merdeka itu adalah :

1. Ke-Tuhanan, dengan kewajiban menjalankan


Syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya;

2. (menurut) dasar kemanusiaan yang adil dan


beradab;

3. Persatuan Indonesia;

4. (dan) kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat


kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan;

5. (serta dengan mewujudkan suatu) keadilan sosial


bagi seluruh rakyat Indonesia.

Pada tanggal 10 Juli 1945 dibahas Rencana Undang-


undang Dasar, termasuk soal pembukaan atau preambule-
nya oleh sebuah Panitia Perancang Undang-undang Dasar
yang diketuai oleh Ir. Sukarno dan beranggotakan 21
orang. Pada tanggal 11 Juli 1945, Panitia Perancang
Undang-undang Dasar dengan suara bulat menyetujui isi
preambule (pembukaan) yang diambil dari Piagam
Jakarta.

Selanjutnya panitia tersebut membentuk Panitia Kecil


Perancang Undang-undang Dasar yang diketuai Prof. Dr.
Mr. Supomo dengan anggotanya Mr. Wongsonegoro, Mr.
Ahmad Subardjo, Mr. A.A. Maramis, Mr. R.P. Singgih,
H. Agus Salim dan Sukiman. Hasil perumusan panitia
kecil ini kemudian disempurnakan bahasanya oleh
Panitia Penghalus Bahasa yang terdiri dari Husein
Djajadiningrat, Agus Salim dan Supomo.

Persidangan kedua BPUPKI dilaksanakan pada tanggal 14


Juli 1945 dalam rangka menerima laporan Panitia
Perancang Undang-undang Dasar. Ir. Sukarno selaku
ketua panitia melaporkan tiga hasil, yaitu :

1. Pernyataan Indonesia Merdeka;

2. Pembukaan Undang-undang Dasar;

3. Undang-undang Dasar (batang tubuh);

C. AKTIVITAS GOLONGAN MUDA

Angkatan Moeda Indonesia dan Gerakan Angkatan Baroe


Indonesia

Sebelum BPUPKI dibentuk di Bandung pada tanggal 16


Mei 1945 telah diadakan Kongres Pemuda Seluruh Jawa
yang diprakarsai Angkatan Moeda Indonesia. Organisasi
itu sebenarnya dibentuk atas inisitaif Jepang pada
pertengahan 1944, akan tetapi kemudian berkembang
menjadi suatu pergerakan pemuda yang anti-Jepang.
Kongres pemuda itu dihadiri oleh lebih 100 utusan
pemuda, pelajar dan mahasiswa seluruh Jawa
diantaranya Djamal Ali, Chairul Saleh, Anwar
Tjokroaminoto, Harsono Tjokroaminoto serta sejumlah
mahasiswa Ika Daigaku Jakarta. Kongres menghimbau
para pemuda di Jawa hendaknya bersatu dan
mempersiapkan diri untuk melaksanakan proklamasi
kemerdekaan yang bukan hadiah Jepang. Setelah tiga
hari berlangsung kongres akhirnya memutuskan dua buah
resolusi, yaitu:

1. semua golongan Indonesia, terutama golongan


pemuda dipersatukan dan dibulatkan dibawah satu
pimpinan nasional.

2. dipercepatnya pelaksanaan pernyataan


kemerdekaan Indonesia. Walaupun demikian kongres pun
akhirnya menyatakan dukungan sepenuhnya dan kerjasama
erat dengan Jepang dalam usaha mencapai kemerdekaan.
Pernyataan tersebut tidak memuaskan beberapa tokoh
pemuda yang hadir, seperti utusan dari Jakarta yang
dipimpin oleh Sukarni, Harsono Tjokroaminoto dan
Chairul Saleh. Mereka bertekad untuk menyiapkan suatu
gerakan pemuda yang lebih radikal. Untuk itulah pada
tanggal 3 Juni 1945 diadakan suatu pertemuan rahasia
di Jakarta untuk membentuk suatu panitia khusus yang
diketuai oleh B.M. Diah, dengan anggotanya Sukarni,
Sudiro, Sjarif Thajeb, Harsono Tjokroaminoto, Wikana,
Chairul Saleh, P. Gultom, Supeno dan Asmara Hadi.

Pertemuan semacam itu diadakan lagi pada tanggal 15


Juni 1945, yang menghasilkan pembentukan Gerakan
Angkatan Baroe Indonesia. Dalam prakteknya kegiatan
organisasi itu banyak dikendalikan oleh para pemuda
dari Asrama Menteng 31. Tujuan dari gerakan itu,
seperti yang tercantum di dalam surat kabar Asia Raja
pada pertengahan bulan Juni 1945, menunjukkan sifat
gerakan yang lebih radikal sebagai berikut :

1. mencapai persatuan kompak di antara seluruh


golongan masyarakat Indonesia;

2. menanamkan semangat revolusioner massa atas


dasar kesadaran mereka sebagai rakyat yang berdaulat;

3. membentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia;

4. mempersatukan Indonesia bahu-membahu dengan


Jepang, tetapi jika perlu gerakan itu bermaksud untuk
mencapai kemerdekaan dengan kekuatannya sendiri.

Gerakan Rakyat Baroe

Gerakan Rakyat Baroe dibentuk berdasarkan hasil


sidang ke-8 Cuo Sangi In yang mengusulkan berdirinya
suatu gerakan untuk mengobar-ngobarkan semangat cinta
kepada tanah air dan semangat perang. Pembentukan
badan ini diperkenankan oleh Saiko Shikikan yang
baru, Letnan Jenderal Y. Nagano pada tanggal 2 juli
1945. Susunan pengurus pusat organisasi ini terdiri
dari 80 orang. Anggotanya terdiri atas penduduk asli
Indonesia dan bangsa Jepang, golongan Cina, golongan
Arab dan golongan peranakan Eropa. Tokoh-tokoh pemuda
radikal seperti Chairul Saleh, Sukarni, B.M. Diah,
Asmara Hadi, Harsono Tjokroaminoto, Wikana, Sudiro,
Supeno, Adam Malik, S.K. Trimurti, Sutomo dan Pandu
Kartawiguna diikutsertakan dalam organisasi tersebut.

Tujuan pemerintah Jepang mengangkat wakil-wakil


golongan muda di dalam organisasi itu adalah agar
pemerintah Jepang dapat mengawasi kegiatan-kegiatan
mereka. Sumobuco Mayor Jenderal Nishimura menegaskan
bahwa setiap pemuda yang tergabung di dalamnya harus
tunduk sepenuhnya kepada Gunseikanbu (pemerintah
militer Jepang) dan mereka harus bekerja dibawah
pengawasan pejabat-pejabat pemerintah. Dengan
demikian berarti kebebasan bergerak para pemuda
dibatasi, sehingga timbullah rasa tidak puas. Oleh
karena itulah, tatkala Gerakan Rakyat Baroe ini
diresmikan pada tanggal 28 Juli 1945, tidak seorang
pun pemuda radikal yang bersedia memduduki kursi yang
telah disediakan. Sehingga nampak semakin tajam
perselisihan paham antara golongan tua dan golongan
muda tentang cara melaksanakan pembentukan negara
Indonesia Merdeka.

D. PEMBENTUKAN PPKI

Pada tanggal 7 Agustus 1945 BPUPKI dibubarkan.


Sebagai gantinya pemerintah pendudukan Jepang
membentuk PPKI (Dokuritsu Junbi Inkai). Sebanyak 21
anggota PPKI yang terpilih tidak hanya terbatas pada
wakil-wakil dari Jawa yang berada di bawah
pemerintahan Tentara Keenambelas, tetapi juga dari
berbagai pulau, yaitu : 12 wakil dari Jawa, 3 wakil
dari Sumatera, 2 wakil dari Sulawesi, seorang dari
Kalimantan, seorang dari Sunda Kecil (Nusatenggara),
seorang dari Maluku dan seorang lagi dari golongan
penduduk Cina. Ir. Sukarno ditunjuk sebagai ketua
PPKI dan Drs. Moh. Hatta ditunjuk sebagai wakil
ketuanya. Sedangkan Mr. Ahmad Subardjo ditunjuk
sebagai penasehatnya.

Kepada para anggota PPKI, Gunseikan Mayor Jenderal


Yamamoto menegaskan bahwa para anggota PPKI tidak
hanya dipilih oleh pejabat di lingkungan Tentara
Keenambelas, akan tetapi oleh Jenderal Besar Terauci
sendiri yang menjadi penguasa perang tertinggi di
seluruh Asia Tenggara.

Dalam rangka pengangkatan itulah, Jenderal Besar


Terauci memanggil tiga tokoh Pergerakan Nasional,
yaitu Ir. Sukarno, Drs. Moh. Hatta dan dr. Radjiman
Wediodiningrat. Pada tanggal 9 Agustus 1945 mereka
berangkat menuju markas besar Terauci di Dalat,
Vietnam Selatan. Dalam pertemuan di Dalat pada
tanggal 12 Agustus 1945 Jenderal Besar Terauci
menyampaikan kepada ketiga tokoh itu bahwa Pemerintah
Kemaharajaan telah memutuskan untuk memberikan
kemerdekaan kepada Indonesia. Pelaksanaannya dapat
dilakukan segera setelah persiapannya selesai oleh
PPKI. Wilayah Indonesia akan meliputi seluruh bekas
wilayah Hindia Belanda.

Ketika ketiga tokoh itu berangkat kembali menuju


Jakarta pada tanggal 14 Agustus 1945, Jepang telah
dibom atom oleh Sekutu di kota Hirosima dan Nagasaki.
Bahkan Uni Soviet mengingkari janjinya dan menyatakan
perang terhadap Jepang seraya melakukan penyerbuan ke
Manchuria. Dengan demikian dapat diramalkan bahwa
kekalahan Jepang akan segera terjadi. Keesokan
harinya, pada tanggal 15 Agustus 1945 Sukarno-Hatta
tiba kembali di tanah air. Dengan bangganya Ir.
Sukarno berkata : “Sewaktu-waktu kita dapat merdeka;
soalnya hanya tergantung kepada saya dan kemauan
rakyat memperbarui tekadnya meneruskan perang suci
Dai Tao ini. Kalau dahulu saya berkata ‘Sebelum
jagung berbuah, Indonesia akan merdeka : sekarang
saya dapat memastikan Indonesia akan merdeka, sebelum
jagung berbuah.” Perkataan itu menunjukkan bahwa Ir.
Sukarno pada saat itu belum mengetahui bahwa Jepang
telah menyerah kepada Sekutu.

E. PERBEDAAN PENDAPAT ANTARA GOLONGAN TUA DAN


GOLONGAN MUDA

Berita tentang kekalahan Jepang, diketahui oleh


sebagian golongan muda melalui radio siaran luar
negeri. Pada malam harinya Sutan syahrir menyampaikan
berita itu kepada Moh. Hatta. Syahrir juga menanyakan
mengenai kemerdekaan Indonesia sehubungan dengan
peristiwa tersebut. Moh. Hatta berjanji akan
menanyakan hal itu kepada Gunseikanbu. Setelah yakin
bahwa Jepang telah menyerah kepada Sekutu, Moh. Hatta
mengambil keputusan untuk segera mengundang anggota
PPKI.

Selanjutnya golongan muda mengadakan rapat di salah


satu ruangan Lembaga Bakteriologi di Jalan Pegangsaan
Timur, Jakarta. Rapat dilaksanakan pada tanggal 15
agustus 1945, pukul 20.30 waktu Jawa. Rapat yang
dipimpin oleh Chairul Saleh itu menghasilkan
keputusan “ kemerdekaan Indonesia adalah hak dan
soal rakyat Indonesia sendiri, tak dapat digantungkan
pada orang dan negara lain. Segala ikatan dan
hubungan dengan janji kemerdekaan dari Jepang harus
diputuskan dan sebaliknya diharapkan diadakan
perundingan dengan golongan muda agar mereka
diikutsertakan dalam pernyataan proklamasi.”

Keputusan rapat itu disampaikan oleh Wikana dan


Darwis pada pukul 22.30 waktu Jawa kepada Ir. Sukarno
di rumahnya, Jl. Pegangsaan Timur 56, Jakarta. Kedua
utusan tersebut segera menyampaikan keputusan
golongan muda agar Ir. Sukarno segera
memproklamasikan kemerdekaan Indonesia tanpa menunggu
hadiah dari Jepang. Tuntutan Wikana yang disertai
ancaman bahwa akan terjadi pertumpahan darah jika Ir.
Sukarno tidak menyatakan proklamasi keesokan harinya
telah menimbulkan ketegangan. Ir. Sukarno marah dan
berkata “Ini leher saya, seretlah saya ke pojok itu
dan sudahilah nyawa saya malam ini juga, jangan
menunggu sampai besok. Saya tidak bisa melepaskan
tanggungjawab saya sebagai ketua PPKI. Karena itu
saya tanyakan kepada wakil-wakil PPKI besok”.
Ketegangan itu juga disaksikan oleh golongan tua
lainnya seperti : Drs. Moh. Hatta, dr. Buntaran, dr.
Samsi, Mr. Ahmad Subardjo dan Iwa Kusumasumantri.

Dalam diskusi antara Darwis dan Wikana, Moh. Hatta


berkata, “Dan kami pun tak dapat ditarik-tarik atau
didesak supaya mesti juga mengumumkan proklamasi itu.
Kecuali jiak Saudara-saudara memang sudah siap dan
sanggup memproklamasikan. Cobalah! Saya pun ingin
melihat kesanggupan Saudara-saudara !” Utusan itu pun
menjawab “Kalau begitu pendirian Saudara-saudara
berdua, baiklah ! Dan kami pemuda-pemuda tidak dapat
menanggung sesuatu, jika besok siang proklamasi belum
juga diumumkan. Kami pemuda-pemuda akan bertindak dan
menunjukkan kesanggupan yang saudara kehendaki itu!”

F. PERISTIWA RENGASDENGKLOK

Sekitar pukul 12.00 kedua utusan meninggalkan halaman


rumah Ir. Sukarno dengan diliputi perasaan kesal
memikirkan sikap dan perkataan sukarno-Hatta.
Sesampainya mereka di tempat rapat, mereka melaporkan
semuanya. Menanggapi hal itu kembali golongan muda
mengadakan rapat dini hari tanggal 16 Agustus 1945 di
asrama Baperpi, Jalan Cikini 71, Jakarta. Selain
dihadiri oleh para pemuda yang mengikuti rapat
sebelumnya, rapat ini juga dihadiri juga oleh
Sukarni, Jusuf Kunto, dr. Muwardi dari Barisan
Pelopor dan Shudanco Singgih dari Daidan PETA Jakarta
Syu. Rapat ini membuat keputusan “menyingkirkan Ir.
Sukarno dan Drs. Moh. Hatta ke luar kota dengan
tujuan untuk menjauhkan mereka dari segala pengaruh
Jepang”. Untuk menghindari kecurigaan dari pihak
Jepang, Shudanco Singgih mendapatkan kepercayaan
untuk melaksanakan rencana tersebut.

Rencana ini berjalan lancar karena mendapatkan


dukungan perlengkapan Tentara PETA dari Cudanco
Latief Hendraningrat yang pada saat itu sedang
menggantikan Daidanco Kasman Singodimedjo yang sedang
bertugas ke Bandung. Maka pada tanggal 16 Agustus
1945 pukul 04.30 waktu Jawa sekelompok pemuda membawa
Ir. Sukarno dan Drs. Moh. Hatta ke luar kota menuju
Rengasdengklok, sebuah kota kawedanan di pantai utara
Kabupaten Karawang. Alasan yang mereka kemukakan
ialah bahwa keadaan di kota sangat genting, sehingga
keamanan Sukarno-Hatta di dalam kota sangat
dikhawatirkan. Tempat yang dituju merupakan kedudukan
sebuah cudan (kompi) tentara PETA Rengasdengklok
dengan komandannya Cudanco Subeno.

Sehari penuh Sukarno dan Hatta berada di


Rengasdengklok. Kewibawaan yang besar dari kedua
tokoh ini membuat para pemuda segan untuk melakukan
penekanan lebih jauh. Namun dalam suatu pembicaraan
berdua dengan Ir. Sukarno, Shudanco Singgih
beranggapan Sukarno bersedia untuk menyatakan
proklamasi segera setelah kembali ke Jakarta. Oleh
karena itulah Singgih pada tengah hari itu kembali ke
Jakarta untuk menyampaikan rencana proklamasi kepada
kawan-kawannya.

Sementara itu di Jakarta para anggota PPKI yang


diundang rapat pada tanggal 16 agustus memenuhi
undangannya dan berkumpul di gedung Pejambon 2. Akan
tetapi rapat itu tidak dapat dihadiri oleh
pengundangnya Sukarno-Hatta yang sedang berada di
Rengasdengklok. Oleh karena itu mereka merasa heran.
Satu-satu jalan untuk mengetahui mereka adalah
melalui Wikana salah satu utusan yang bersitegang
dengan Sukarno-Hatta malam harinya. Oleh karena
itulah Mr. Ahmad Subardjo mendekati Wikana.
Selanjutnya antara kedua tokoh golongan tua dan tokoh
golongan muda itu tercapai kesepakatan bahwa
Proklamasi Kemerdekaan harus dilaksanakan di Jakarta.
Karena adanya kesepakatan itu, maka Jusuf Kunto dari
golongan muda bersedia mengantarkan Mr. Ahmad
Subardjo bersama sekretarisnya, Sudiro (Mbah) ke
Rengasdengklok. Rombongan ini tiba pada pukul 18.00
waktu Jawa. Selanjutnya Ahmad Subardjo memberikan
jaminan dengan taruhan nyawa bahwa Proklamasi
Kemerdekaan akan diumumkan pada keesokan harinya
tanggal 17 Agustus 1945 selambat-lambatnya pukul
12.00. Dengan adanya jaminan itu, maka komandan kompi
PETA Rengasdengklok, Cudanco Subeno bersedia
melepaskan Ir. Sukarno dan Drs. Moh Hatta kembali ke
Jakarta.

G. PERUMUSAN TEKS PROKLAMASI

Rombongan tiba kembali di Jakarta pada pukul 23.30


waktu Jawa. Setelah Sukarno dan Hatta singgah di
rumah masing-masing rombongan kemudian menuju ke
rumah Laksamana Maeda di Jalan Imam Bonjol No. 1,
Jakarta (sekarang Perpustakaan Nasional). Hal itu
juga disebabkan Laksamana Tadashi Maeda telah
menyampaikan kepada Ahmad Subardjo (sebagai salah
satu pekerja di kantor Laksamana Maeda) bahwa ia
menjamin keselamatan mereka selama berada di
rumahnya.

Sebelum mereka memulai merumuskan naskah proklamasi,


terlebih dahulu Sukarno dan Hatta menemui Somubuco
(Kepala Pemerintahan Umum) Mayor Jenderal Nishimura,
untuk menjajagi sikapnya mengenai Proklamasi
Kemerdekaan. Mereka ditemani oleh Laksamana Maeda,
Shigetada Nishijima dan Tomegoro Yoshizumi serta
Miyoshi sebagai penterjemah. Pertemuan itu tidak
mencapai kata sepakat. Nishimura menegaskan bahwa
garis kebijakan Panglima Tentara Keenambelas di Jawa
adalah “dengan menyerahnya Jepang kepada sekutu
berlaku ketentuan bahwa tentara Jepang tidak
diperbolehkan lagi merubah status quo (status politik
Indonesia). Sejak tengah hari sebelumnya tentara
Jepang semata-mata sudah merupakan alat Sekutu dan
diharuskan tunduk kepada sekutu”. Berdasarkan garis
kebijakan itu Nishimura melarang Sukarno-Hatta untuk
mengadakan rapat PPKI dalam rangka proklamasi
kemerdekaan.

Sampailah Sukarno-Hatta pada kesimpulan bahwa tidak


ada gunanya lagi membicarakan kemerdekaan Indonesia
dengan pihak Jepang. Akhirnya mereka hanya
mengharapkan pihak Jepang tidak menghalang-halangi
pelaksanaan proklamasi yang akan dilaksanakan oleh
rakyat Indonesia sendiri. Maka mereka kembali ke
rumah Laksamana Maeda. Sebagai tuan rumah Maeda
mengundurkan diri ke lantai dua. Sedangkan di ruang
makan, naskah proklamasi dirumuskan oleh tiga tokoh
golongan tua, yaitu : Ir. Sukarno, Drs. Moh. Hatta
dan Mr. Ahmad Subardjo. Peristiwa ini disaksikan oleh
Miyoshi sebagai orang kepercayaan Nishimura, bersama
dengan tiga orang tokoh pemuda lainnya, yaitu :
Sukarni, Mbah Diro dan B.M. Diah. Sementara itu
tokoh-tokoh lainnya, baik dari golongan muda maupun
golongan tua menunggu di serambi muka.

Ir. Sukarno yang menuliskan konsep naskah proklamasi,


sedangkan Drs. Moh. Hatta dan Mr Ahmad Subardjo
menyumbangkan pikiran secara lisan. Kalimat pertama
dari naskah proklamasi merupakan saran dari Mr. Ahmad
Subardjo yang diambil dari rumusan BPUPKI. Sedangkan
kalimat terakhir merupakan sumbangan pikiran dari
Drs. Moh. Hatta. Hal itu disebabkan menurut beliau
perlu adanya tambahan pernyataan pengalihan kekuasaan
(transfer of sovereignty). Sehingga naskah proklamasi
yang dihasilkan adalah sebagai berikut :

Proklamasi

Kami bangsa Indonesia dengan ini menjatakan


kemerdekaan Indonesia.

Hal-2 jang mengenai pemindahan kekoeasaan d.l.l.,


diselengarakan dengan tjara seksama dan dalam tempoh
jang sesingkat-singkatnja

Djakarta, 17 – 8 –‘05

Wakil-2 bangsa Indonesia,

Pada pukul 04.30 waktu Jawa konsep naskah proklamasi


selesai disusun. Selanjutnya mereka menuju ke serambi
muka menemui para hadirin yang menunggu. Ir. Sukarno
memulai membuka pertemuan dengan membacakan naskah
proklamasi yang masih merupakan konsep tersebut. Ir.
Sukarno meminta kepada semua hadirin untuk
menandatangani naskah proklamasi selaku wakil-wakil
bangsa Indonesia. Pendapat itu diperkuat oleh Moh.
Hatta dengan mengambil contoh naskah “Declaration of
Independence” dari Amerika Serikat. Usulan tersebut
ditentang oleh tokoh-tokoh pemuda. Karena mereka
beranggapan bahwa sebagian tokoh-tokoh tua yang hadir
adalah “budak-budak” Jepang. Selanjutnya Sukarni,
salah satu tokoh golongan muda, mengusulkan agar yang
menandatangani naskah proklamasi cukup Sukarno-Hatta
atas nama bangsa Indonesia.

Setelah usulan Sukarni itu disetujui, maka Ir.


Sukarno meminta kepada Sajuti Melik untuk mengetik
naskah tulisan tangan Sukarno tersebut, dengan
disertai perubahan-perubahan yang telah disepakati.
Ada tiga perubahan yang terdapat pada naskah ketikan
Sajuti Melik, yaitu : kata “tempoh” diganti “tempo”,
sedangkan kata “wakil-wakil bangsa Indonesia” diganti
dengan “Atas nama bangsa Indonesia”. Perubahan juga
dilakukan dalam cara menuliskan tanggal, yaitu
“Djakarta, 17-8-05” menjadi “Djakarta, hari 17 boelan
8 tahoen ‘05”. Sehingga naskah proklamasi ketikan
Sajuti Melik itu, adalah sebagai berikut :

PROKLAMASI

Kami bangsa Indonesia dengan ini menjatakan


Kemerdekaan Indonesia.

Hal-hal jang mengenai pemindahan kekoeasaan d.l.l.,


diselengarakan dengan tjara seksama dan dalam tempoh
jang sesingkat-singkatnja

Djakarta, hari 17 boelan 8 tahoen ‘05

Atas nama bangsa Indonesia,

Soekarno/Hatta

(tandatangan Sukarno)

(tandatangan Hatta)

Selanjutnya timbul persoalan dimanakah proklamasi


akan diselenggarakan. Sukarni mengusulkan bahwa
Lapangan Ikada (sekarang bagian tenggara lapangan
Monumen Nasional) telah dipersiapkan bagi
berkumpulnya masyarakat Jakarta untuk mendengar
pembacaan naskah Proklamasi. Namun Ir. Sukarno
menganggap lapangan Ikada adalah salah satu lapangan
umum yang dapat menimbulkan bentrokan antara rakyat
dengan pihak militer Jepang. Oleh karena itu Bung
Karno mengusulkan agar upacara proklamasi
dilaksanakan di rumahnya, di Jalan Pegangsaan Timur
No. 56 dan disetujui oleh para hadirin.

H. PELAKSANAAN PROKLAMASI KEMERDEKAAN 17 AGUSTUS


1945

Pada pukul 05.00 waktu Jawa tanggal 17 Agustus 1945,


para pemimpin Indonesia dari golongan tua dan
golongan muda keluar dari rumah Laksamana Maeda.
Mereka pulang ke rumah masing-masing setelah berhasil
merumuskan naskah proklamasi. Mereka telah sepakat
untuk memproklamasikan kemerdekaan pada pukul 10.30
waktu Jawa atau pukul 10.00 WIB sekarang. Sebelum
pulang Bung Hatta berpesan kepada para pemuda yang
bekerja di kantor berita dan pers, utamanya B.M. Diah
untuk memperbanyak teks proklamasi dan menyiarkannya
ke seluruh dunia.

Pagi hari itu, rumah Ir. Sukarno dipadati oleh


sejumlah massa pemuda yang berbaris dengan tertib.
Untuk menjaga keamanan upacara pembacaan proklamasi,
dr. Muwardi (Kepala Keamanan Ir. Sukarno) meminta
kepada Cudanco Latief Hendraningrat untuk menugaskan
anak buahnya berjaga-jaga di sekitar rumah Ir.
Sukarno. Sedangkan Wakil Walikota Suwirjo
memerintahkan kepada Mr. Wilopo untuk mempersiapkan
pengeras suara. Untuk itu Mr. Wilopo dan Nyonopranowo
pergi ke rumah Gunawan pemilik toko radio Satria di
Jl. Salemba Tengah 24, untuk meminjam mikrofon dan
pengeras suara. Sudiro yang pada waktu itu juga
merangkap sebagai sekretaris Ir. Sukarno
memerintahkan kepada S. Suhud (Komandan Pengawal
Rumah Ir. Sukarno) untuk menyiapkan tiang bendera.
Suhud kemudian mencari sebatang bambu di belakang
rumah. Bendera yang akan dikibarkan sudah
dipersiapkan oleh Nyonya Fatmawati.

Menjelang pukul 10.30 para pemimpin bangsa Indonesia


telah berdatangan ke Jalan Pegangsaan Timur. Diantara
mereka nampak Mr. A.A. Maramis, Ki Hajar Dewantara,
Sam Ratulangi, K.H. Mas Mansur, Mr. Sartono, M.
Tabrani, A.G. Pringgodigdo dan sebagainya. Adapun
susunan acara yang telah dipersiapkan adalah sebagai
berikut:

Pertama, Pembacaan Proklamasi;

Kedua, Pengibaran Bendera Merah Putih;

Ketiga, Sambutan Walikota Suwirjo dan Muwardi.

Lima menit sebelum acara dimulai, Bung Hatta datang


dengan berpakaian putih-putih. Setelah semuanya siap,
Latief Hendraningrat memberikan aba-aba kepada
seluruh barisan pemuda dan mereka pun kemudian
berdiri tegak dengan sikap sempurna. Selanjutnya
Latif mempersilahkan kepada Ir. Sukarno dan Moh.
Hatta. Dengan suara yang mantap Bung Karno
mengucapkan pidato pendahuluan singkat yang
dilanjutkan dengan pembacaan teks proklamasi.

Acara dilanjutkan dengan pengibaran bendera Merah


Putih. S. Suhud mengambil bendera dari atas baki yang
telah disediakan dan mengikatkannya pada tali dengan
bantuan Cudanco Latif Hendraningrat. Bendera
dinaikkan perlahan-lahan. Tanpa dikomando para
hadirin spontan menyanyikan Indonesia Raya. Acara
selanjutnya adalah sambutan dari Walikota Suwirjo
dan dr. Muwardi.

Berita proklamasi yang sudah meluas di seluruh


Jakarta disebarkan ke seluruh Indonesia. Pagi hari
itu juga, teks proklamsi telah sampai di tangan
Kepala Bagian Radio dari Kantor Berita Domei, Waidan
B. Palenewen. Segera ia memerintahkan F. Wuz untuk
menyiarkan tiga kali berturut-turut. Baru dua kali F.
Wuz menyiarkan berita itu, masuklah orang Jepang ke
ruangan radio. Dengan marah-marah orang Jepang itu
memerintahkan agar penyiaran berita itu dihentikan.
Tetapi Waidan memerintahkan kepada F. Wuz untuk terus
menyiarkannya. Bahkan berita itu kemudian diulang
setiap setengah jam sampai pukul 16.00 saat siaran
radio itu berhenti. Akibatnya, pucuk pimpinan tentara
Jepang di Jawa memerintahkan untuk meralat berita
itu. Dan pada hari Senin tanggal 20 Agustus 1945
pemancar itu disegel dan pegawainya dilarang masuk.

Walaupun demikian para tokoh pemuda tidak kehilangan


akal. Mereka membuat pemancar baru dengan bantuan
beberapa orang tehnisi radio, seperti : Sukarman,
Sutamto, Susilahardja dan Suhandar. Sedangkan alat-
alat pemancar mereka ambil bagian-demi bagian dari
kantor betita Domei, kemudian dibawa ke Jalan Menteng
31. Maka terciptalah pemancar baru di Jalan Menteng
31. Dari sinilah seterusnya berita proklamasi
disiarkan.

Selain lewat radio, berita proklamasi juga disiarkan


lewat pers dan surat selebaran. Hampir seluruh harian
di Jawa dalam penerbitannya tanggal 20 Agustus 1945
memuat berita proklamasi dan Undang-undang Dasar
Negara Republik Indonesia.

Untuk pembahasan mengenai pembentukan pemerintahan RI


pasca proklamasi, silahkan download di sini

Rate this:

27

Rate this post

Share this:

 Share

Rate This

Log in to Reply

1. Indira Hanif Asyraq


Oct 19, 2010 @ 19:37:13

mksh ud bantuin drama buat pr pkn..

hehehhe
thanks

Rate This

Log in to Reply

2. TIESYA
Jan 12, 2011 @ 14:37:21

BELAJAR ITU BAGUS KARENA ADA INI BELAJAR JADI


GAMPANG

Rate This

Log in to Reply

3. ngobrolislami
Jan 15, 2011 @ 15:54:12

KONSEP HUKUM PIDANA ISLAM: HUKUMAN UNTUK JARIMAH


ZINA
-
PERKEMBANGAN HUKUMAN ZINA
-
Pada permulaan Islam, hukuman untuk tindak pidana
zina adalah dipenjarakan di dalam rumah dan
disakiti, baik dengan pukulan di badanya maupun
dengan dipermalukan. Dasar hukumnya adalah firman
ALLOH surat An Nisaa’ ayat 15-16;
“Dan (terhadap) para wanita yang mengerjakan
perbuatan keji , hendaklah ada empat orang saksi
diantara kamu (yang menyaksikannya). Kemudian
apabila mereka telah memberi persaksian, maka
kurunglah mereka (wanita-wanita itu) dalam rumah
sampai mereka menemui ajalnya, atau sampai ALLOH
memberi jalan lain kepadanya. Dan terhadap dua
orang yang melakukan perbuatan keji di antara
kamu, maka berilah hukuman kepada keduanya,
kemudian jika keduanya bertaubat dan memperbaiki
diri, maka biarkanlah mereka. Sesungguhnya ALLOH
Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.”
{Terjemahan Al Qur’an Surat An Nisaa’ [4]:15-16}
-
Kemudian terjadi perkembangan dan perubahan dalam
hukuman zina, yaitu turunya Surat An-Nuur ayat 2;
“Perempuan yang berzina dan laki-laki yang
berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari
keduanya seratus dali dera, dan janganlah belas
kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk
(menjalankan) agama ALLOH, jika kamu beriman
kepada ALLOH, dan hari akhirat, dan hendaklah
(pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh
sekumpulan orang-orang yang beriman.”
{Terjemahan Al Qur’an Surat An-Nuur [24]:2}
-
Kemudian lebih diperjelas oleh Nabi Muhammad
dengan Sunah Qowliyah dan Fi’liah. Adapun Sunah
Qowliyah yang menjelaskan hukuman zina antara
lain adalah sebagai berikut;
Nabi Muhammad bersabda;
“ambilah dari diriku, ambilah dari diriku,
sesungguhnya ALLOH telah memberikan jalan keluar
(hukuman) bagi mereka (pezina). Jejaka dan gadis
hukumanya dera seratus kali dan pengasingan
selama satu tahun sedangkan duda dan janda
hukumanya dera seratus kali dan rajam.”
-
Dengan turunya Surat An-Nuur ayal 2 dan
penjelasan Rosululloh ini maka hukuman yang
tercantum dalam surat An Nisaa’ ayat 15-16 telah
dihapus (mansukh). Dengan demikian hukuman untuk
pezina berdasarkan ayat dan hadits diatas dirinci
menjadi dua bagian sebagai berikut:
-
[a] dera seratus kali dan pengasingan selama satu
tahun bagi pezina yang belum berkeluarga (ghoyr
muhshon).
-
[b] rajam bagi yang sudah berkeluarga (muhshon)
disamping dera seratus kali.
-
Akan tetapi bagi ulama yang tidak menerima nasikh
mansukh, surat An Nisaa’ 15-16 tersebut masih
berlaku dan tidak di nasakh oleh Surat An-Nuur
ayat 2. Hanya saja penerapanya berbeda. Surat An
Nisaa’ berlaku bagi wanita yang melakukan
hubungan intim dengan wanita (lesbi), sedangkan
surat An Nisaa’ ayat 16 bagi pelaku homosexual
(liwath), sedangkan Surat An-Nuur ayat 2 berlaku
bagi laki-laki dan wanita yang berzina.
-
[2] macam macam hukuman zina
-
Dari ayat dan hadits yang dikemukakan diatas
dapat diketahui bahwa hukuman zina itu ada dua
macam, tergantung pada keadaan pelakunya apakah
sudah berkeluarga (muhshon) atau belum
berkeluarga (Ghoyr muhshon).
-
[a] hukuman untuk zina Ghoyr muhshon
Zina Ghoyr muhshon adalah zina yang dilakukan
oleh laki-laki dan perempuan yang belum
berkeluarga. Hukuman untuk zina Ghoyr muhshon ini
ada dua macam, yaitu:
1) dera seratus kali; dan
2) pengasingan selama satu tahun
Hal ini didasarkan pada hadits Rosululloh s.a.w,
beliau bersabda;
“ambilah dari diriku, ambilah dari diriku,
sesungguhnya ALLOH telah memberikan jalan keluar
(hukuman) bagi mereka (pezina). Jejaka dan gadis
hukumanya dera seratus kali dan pengasingan
selama satu tahun sedangkan duda dan janda
hukumanya dera seratus kali dan rajam.”
-
1) hukuman dera
Apabila jejaka dan gadis melakukan perbuatan
zina, mereka dikenai hukuman dera seratus kali.
Hal ini didasarkan pada Qur’an Surat An-Nuur ayat
2 dan hadits Nabi Muhammad;
“Perempuan yang berzina dan laki-laki yang
berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari
keduanya seratus dali dera, dan janganlah belas
kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk
(menjalankan) agama ALLOH, jika kamu beriman
kepada ALLOH, dan hari akhirat, dan hendaklah
(pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh
sekumpulan orang-orang yang beriman.”
{Terjemahan Al Qur’an Surat An-Nuur [24]:2}
Adapun hadits Nabi Muhammad adalah sabda Nabi
Muhammad;
“ambilah dari diriku, ambilah dari diriku,
sesungguhnya ALLOH telah memberikan jalan keluar
(hukuman) bagi mereka (pezina). Jejaka dan gadis
hukumanya dera seratus kali dan pengasingan
selama satu tahun sedangkan duda dan janda
hukumanya dera seratus kali dan rajam.”
-
Hukuman dera adalah hukuman had yaitu hukuman
yang sudah ditentukan oleh syaro’. Oleh karena
itu hakim tidak boleh mengurang, menambah,
menunda pelaksanaanya atau menggantinya dengan
hukuman yang lain. Disamping telah ditentukan
oleh syaro’ hukuman hada adalah hak ALLOH
sehingga pemerintah maupun individu tidak boleh
memberikan pengampunan.
-
2) hukuman pengasingan
Hukuman yang kedua untuk zina Ghoyr muhshon
adalah pengasingan selama satu tahun hukuman ini
didasarkan pada hadits yang diriwayatkan Ubadah
bin ash Shomit. Apakah hukuman ini harus
dilaksanakan bersamaan dengan hukuman dera, para
ulama berbeda pendapat. Menurut Imam Abu Hanifah
dan kawan-kawanya, hukuman pengasingan tidak
wajib dilaksanakan. Namun mereka membolehkan
kholifah menggabungkan hukuman dera seratus kali
dan pengasingan. Dengan demikian menurut mereka,
hukuman pengasingan itu bukan hukuman had
melainkan hukuman ta’zir. Pendapat ini juga
merupakan pendapat Syi’ah Zaydiyah. Alasanya
adalah hukuman pengasingan ini dihapuskan (di-
mansukh) oleh Surat An-Nuur ayat 2
-
Jumhur ulama yang terdiri atas Imam Malik,
Syafi’i dan Ahmad, berpendapat bahwa hukuman
pengasingan harus dilaksanakan bersamaan dengan
hukuman dera seratus kali. Dengan demikian
menurut jumhur, hukuman pengasingan ini termasuk
hukuman had, dan bukan hukuman ta’zir. Dasarnya
adalah hadits Ubadah bin Shomit tersebut yang
didalamnya tercantum:
“…dan gadis hukumanya dera seratus kali dan
pengasingan selama satu tahun sedangkan duda dan
janda hukumanya dera seratus kali dan rajam.”
-
Di samping hadits tersebut, jumhur ulama
beralasan dengan tindakan sahabat antara lain
sayidina Umar dan Ali yang melaksanakan hukuman
dera dan pengasingan ini, dan sahabat sahabat
yang lain tidak ada yang mengingkarinya. Dengan
demikian hal ini bisa disebut ijma’.
-
Akan tetapi dalam hal pengasingan bagi wanita
yang berzina, para ulaman berbeda pendapat.
Menurut Imam Malik hukuman pengasingan hanya
berlaku untuk laki-laki, sedangkan untuk wanita
tidak diberlakukan. Sebabnya adalah wanita itu
perlu pada penjagaan dan pengawalan. Di samping
itu, apabila wanita diasingkan, ia mungkin tidak
disertai muhrim dan mungkin pula disertai muhrim.
Apabila tidak disertai muhrim maka hal itu tidak
diperbolehkan.
Dasar hukumnya adalah;
“tidak halal bagi seorang wanita yang beriman
kepada ALLOH dan hari akhir untuk bepergian dalam
perjalanan sehari semalam kecuali bersama
muhrimnya.”
-
Sebaliknya, apabila ia (wanita) diasingkan
bersama-sama dengan seorang muhrim maka hal ini
berarti mengasingkan orang yang tidak melakukan
perbuatan zina. Oleh karena itu, Malikiyah men-
takhsiskan hadits tentang hukuman pengasingan
tersebut dan membatasinya hanya untuk laki-laki
saja.
-
Menurut mazhab Syafi’i, Hanbali, dan Zhohiriyah,
hukuman pengasingan berlaku bagi setiap orang
yang melakukan zina Ghoyr muhshon, baik laki-laki
maupun perempuan. Alasanya adalah dengan
berpedoman kepada keumuman hadits yang
menjelaskan tentang hukuman pengasinga sebagaiman
yang telah disebutkan di atas.
-
Cara pelaksanaan hukuman pengasingan juga
terdapat perbedaan pendapat para fuqoha. Menurut
Imam Malik, Abu Hanifah, dan Syi’ah Zaydiyah,
pengasingan itu pengertianya adalah penahanan
atau di penjarakan. Oleh karena itu, pelaksanaan
hukuman pengasingan itu adalah dengan cara menhan
atau memenjarakan pezina itu di tempat lain di
luar tempat terjadinya zina. Adapun menurut Imam
Syafi’i dann Ahmad, pengasingan itu berarti
membuang (mengasingkan) pelaku dari daerah
terjadinya zina ke daerah lain, dengan pengawasan
dan tanpa dipenjarakan. Tujuan pengawasan adalah
agar pelaku tidak melarikan diri dan kembali ke
daerah asalnya. Namun demikian, kelompok
Syafi’iyah membolehkan penahanan orang yang
terhukum di tempat pengasinganya apabila ia
dikhawatirkan melarikan diri dan kembali ke
daerah asalnya.
-
Apabila orang terhukum melarikan diri dan kembali
ke daerah asalnya, ia harus dikembalikan ke
tempat asalnya dan masa pengasinganya dihitung
sejak pengembaliannya tanpa menghitung masa
pengasingan yang sudah dilaksanakan sebelum ia
melarikan diri. Akan tetapi kelompok Hanabilah
dalam kasus ini tetap menghitung masa pengasingan
yang telah dilaksanakan.
-
Apabila orang terhukum melakukan zina di tempat
pengasinganya maka ia di dera seratus kali dan
diasingkan lagi ke tempat lain, dengan masa
pengasingan yang baru. Pendapat ini dikemukakan
oleh Imam Malik, Syafi’i dan Ahmad, tetapi
kelompok Zhohiriyah berpendapat bahwa orang
terhukum harus menyelesaikan masa sisa
pengasinganya yang sebelumnya, kemudian ditambah
masa pengasingan yang berikutnya.
-
[b] hukuman untuk zina muhshon
-
Zina muhshon adalah zina yang dilakukan oleh
laki-laki dan perempuan yang sudah berkeluarga
(bersuami/beristri). Hukuman untuk pelaku zina
muhshon ini ada dua macam;
1) dera seratus kali, dan
2) rajam
-
Hukuman dera seratus kali didasarkan kepada al
Qur’an Surat An-Nuur ayat 2 dan hadis Nabi yang
dikemukakan di atas, sedangkan hukuman rajam juga
di dasarkan kepada hadits Nabi baik Qowliyah
maupun Fi’liah.
-
Hukuman rajam adalah hukuman mati dengan jalan
dilempari dengan batu atau sejenisnya. Hukuman
rajam merupakan hukuman yang telah diakui dan
diterima oleh hampir semua fuqoha, kecuali
kelompok Azariqoh dari golongan Khowarij, karena
mereka ini tidak mau menerima hadits, kecuali
yang sampai pada tingkatan mutawatir. Menurut
mereka, hukuman untuk pezina muhshon maupun
Ghoyru muhshon adalah hukuman dera seratus kali
berdasarkan firman ALLOH dalam Surat An-Nuur ayat
2.
-
Dasar hukum untukhukuman rajam yang berupa Sunah
Qowliyah dan Fi’liah adalah sebagai berikut.
Hadits Ubadah bin ash Shomit bahwa Nabi Muhammad
bersabda;
“ambilah dari diriku, ambilah dari diriku,
sesungguhnya ALLOH telah memberikan jalan keluar
(hukuman) bagi mereka (pezina). Jejaka dan gadis
hukumanya dera seratus kali dan pengasingan
selama satu tahun sedangkan duda dan janda
hukumanya dera seratus kali dan rajam.”
Hadits Jabir
Dari Jabir bin Abdillah bahwa seorang laki-laki
telah berzina dengan seorang perempuan, kemudian
Nabi memerintahkan membawanya ke hadapan Nabi
s.a.w. lalu Nabi menjilidnya sesuai dengan
ketentuan. Kemudian Nabi diberitahu bahwa dia
sudah berkeluarga (beristri). Dan Nabi
memerintahkan untuk membawanya kembali, dan
kemudian ia dirajam.
(hadits ini diriwayatkan oleh Abu Dawud)
Hadits Jabir bin Samuroh
Dari Jabir bin Samuroh bahwa Rosululloh s.a.w
melaksanakan hukuman rajam terhadap Ma’iz bin
Malik, dan tidak disebut-sebut tentang hukuma
jilid (dera).
(hadits ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad)
-
Berdasarkan hadits-hadits tersebut dan hadits-
hadits lain yang tidak dikemukakan di sini, dapat
disimpulkan bahwa hukuman rajam telah disepakati
oleh para fuqoha, sebagaimana diketakan oleh Imam
Asy-Syawkani, sebagai hukuman untuk zina muhshon.
Lalu bagaimana status hukuman jilid (dera) untuk
zina muhshon apakah harus dilaksanakan bersama-
sama dengan hukuman rajam? Dalam hal ini ada
perbedaan pendapat.
-
Menurut Imam Al-Hasan, Ishak, ibnu Mundzir,
golonngan Zhohiriyah, Syi’ah Zaydiyah, dan satu
riwayat dari Imam Ahmad, hukuman jilid atau dera
seratus kali tetap dilaksanakan terhadap zina
muhshon disamping hukuman rajam. Alasanya adalah
sebagai berikut.
a) al Qur’an menjadikan hukuman jilid sebagai
hukuman yang asasi untuk jarimah zina sebagaimana
yang disebutkan dalam Surat An-Nuur ayat 2. Lalu
datang Sunah yang menjelaskan hukuman rajam bagi
tsayyib (yang sudah berkeluarga) dan hukuman
pengasingan bagi bikr (yang berkeluarga). Dengan
demikian pelaksanaanya wajib digabungkan antara
hukum-hukum tersebut, yaitu jilid yang bersumber
dari al Qur’an dan rajam yang bersumber dari
Sunah Rosululloh s.a.w.
b) sayidina Ali pernah melaksanakan penggabungan
antara hukum jilid dan rajam ketika beliau
menjilid syurohah pada hari kamis dan merajamnya
pada hari jumat dan beliau berkata: “saya
menjilidnya berdasarkan kitabulloh dan merajamnya
berdasarkan Sunah Rosululloh s.a.w
c) Sunah yang menggabungkan antara hukuman jilid
dan rajam, antara lain hadits yang berbunyi;
“…dan janda dengan duda hukumanya dera seratus
kali dan rajam.”
(hadits diriwayatkan oleh jamaah kecuali Bukhori
dan Nasa’i)
-
Menurut Imam Malik, Imam Syafi’i, Imam Abu
Hanifah, dan satu riwayat dari Imam Ahmad,
hukuman untuk zina muhshon cukup dengan rajam
saja dan tidak digabung dengan jilid. Alasanya
adalah sebagai berikut
1) hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari
Jabir bin Samuroh.
Dari Jabir bin Samuroh bahwa Rosululloh s.a.w
melaksanakan hukuman rajam terhadap Ma’iz bin
Malik, dan tidak disebut-sebut tentang hukuman
jilid (dera).
(hadits ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad)
2) Rosululloh melaksanakan hukuman rajam atas
diri wanita ghomidiah dan dua orang yahudi, dan
tidak ada riwayat yang menyatakan bahwa
Rosululloh menjilid salah seorang dari mereka.
-
Disamping itu adalagi pendapat yang ketiga yang
dikemukakan oleh Ubay bin Ka’ab dan Masruq, yaitu
seorang tsayyib (yang sudah bersuami/beristri)
yang berzina apabila sudah tua maka ia dihukum
jilid dan di rajam. Hal ini didasarkan pada atsar
sahabat yang diriwayatkan dari Abi Dzar bahwa ia
berkata;
“dua orang yang sudah tua (apabila ia berzina)
keduanya dijilid dan dirajam, dan duda/janda
(yang masih muda) keduanya dirajam, sedangkan
jejaka dan gadis keduanya dijilid dan diasingkan
-
Rupanya dasar dari atsar ini adalah bahwa zina
yang dilakukan oleh orang tua adalah sangat
tercela, sebagaimana yang disabdakan Nabi
Muhammad;
“tiga kelompok yang ALLOH tidak mau melihat dan
membersihkanya, dan bagi mereka disediakan siksa
yang pedih, yaitu orang tua yang berzina, raja
yang banyak berdusta, dan pegawai yang sombong.”
(terjemahan hadits riwayat Muslim dan Nasa’i)
-
[c] ihshon dalam rajam
-
Dalam uraian yang lalu telah dijelaskan bahwa
syari’at Islam membedakan hukuman untuk zina
muhshon dan zina Ghoyr muhshon. Perbedaan ini
menunjukan hukuman untuk zina muhshon lebih berat
dari zina Ghoyr muhshon. Yang menyebabkan hukuman
zina muhshon labih berat adalah sifat ihshon-nya
ini. Dengan demikian, ihshsan dijadikan syarat
untuk diterapkanya hukuman rajam, dan apabila
tidak ada maka tidak dikenai hukuman rajam.
-
Ihshon sebagai syarat dalam hukum rajam merupakan
kumpulan dan gabungan dari beberapa syarat yang
apabila syarat-syarat itu ada maka ihshon
dianggap ada. Di bawah ini dijelaskan beberapa
hal yang berkaitan dengan ihshon.
-
1) Pengertian Ihshon
Ihshon menurut arti bahasa adalah ‘masuk ke dalam
benteng’. Dalam al Qur’an, ihshon ini diartikan
dengan beberapa arti sebagai berikut;
a) tazwij atau nikah, seperti dalam firman ALLOH
surat An Nisaa’ ayat 24:
“dan (diharamkan bagi kamu) wanita-wanita
‘muhshon’ (yang telah bersuami) kecuali budak-
budak yang kamu miliki…”
{Terjemahan Al Qur’an Surat An Nisaa’ ayat 24}
b) hurriyah atau merdeka, seperti dalam firman
ALLOH surat An Nisaa’ ayat 25:
“Dan barangsiapa diantara kamu (orang merdeka)
yang tidak cukup perbelanjaannya untuk mengawini
wanita ‘muhshon’ (merdeka) lagi beriman, ia boleh
mengawini wanita yang beriman, dari budak-budak
yang kamu miliki.”
{Terjemahan Al Qur’an Surat An Nisaa’ ayat 25}
-
c) iffah atau bersih, suci, seperti dalam surat
at tahrim ayat 12:
“dan (ingatlah) Maryam putri Imran yang ‘ahshon’
kehormatannya
{Terjemahan Al Qur’an Surat at tahrim ayat 12}
-
d) zawaj (nikah), seperti dalam firman ALLOH
surat An Nisaa’ ayat 25:
“dan apabila mereka telah menjaga diri dengan
kawin, kemudian mereka melakukan perbuatan yang
keji (zina), maka atas mereka separo hukuman dari
hukuman wanita-wanita muhshon (yang bersuami).”
{Terjemahan Al Qur’an Surat An Nisaa’ ayat 25}
-
e) hurriyah (merdeka), baligh dan iffah (suci,
bersih, terpelihara) seperti dalam Surat An-Nuur
ayat 4;
“Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita
muhshon dan mereka tidak mendatangkan empat orang
saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu)
delapan puluh kali dera”
{Terjemahan Al Qur’an Surat An-Nuur ayat 4}
-
Dalam arti istilah, ihshon terbagi kepada dua
bagian sebagai berikut;
1) ihshon dalam rajam
2) inshan dalam qodzaf
Pengertian ihshon dalam rajam adalah sebagai
berikut;
“ihshon dalam rajam adalah ungkapan tentang
berkumpulnya beberapa sifat yang oleh syaro’
dipandang sebagai sebab diterapkanya hukuman
rajam. Atau sekumpulan syarat-syarat yang apabila
terdapat pada pezina maka hukumanya adalah
hukuman rajam.”
-
2) syarat – syarat ihshon
-
Untuk terwujudnya sifat ihshon dalam diri orang
yang melakukan zina, harus dipenuhi beberapa
syarat;
a) persetubuhan dalam naungan perkawinan yang sah
persetubuhan yang dilakukan dalam naungan
perkawinan yang sah merupakan syarat adanya
ihshon. Persetubuhan ini harus persetubuhan pada
qubul (kemaluan). Akad nikah semata tanpa
persetubuhan tidak menimbulkan status ihshon.
Demikian pula persetubuhan yang dilakukan diluar
pernikahan seperti pernah berzina, tidak
menyebabkan timbulnya ihshon. Demikian pula
perkawinan harus perkawinan yang sah.
Disamping itu, persetubuhan yang dilakuakan dalam
perkawinan yang sah tersebut bukan persetubuhan
yang diharamkan contohnya persetubuhan pada saat
haid atau pada saat sedang puasa ramadhan.
b) balig dan berakal
baligh dan berakal merupakan syarat adanya
kecakapan (ahliyah) bagi seseorang untuk dapat
dikenakanya hukuman apabila ia melakukan jarimah.
Hanya saja keduanya (baligh dan berakal) juga
disyaratkan untuk timbulnya ihshon, karena adanya
kedua syarat tersebut pada saat melakukan jarimah
tidak cukup untuk timbulnya ihshon. Dengan
demikian persetubuhan yang menimbulkan ihshon
adalah persetubuhan yang dilakukan oleh orang
baligh dan berakal. Apabila terjadi persetubuhan
dari anak yang masih dibawah umur atau orang yang
gila, kemudian ia baligh dan berakal ( sembuh
dari gilanya) beberapa waktu kemudian maka ia
tidak dianggap muhshon, karena persetubuhan yang
lalu itu. Apabila ia berzina maka termasuk Ghoyr
muhshon
akan tetapi ada sebagian dari pengikut mazhab
Syafi’i yang berpendapat bahwa persetubuhan yang
terjadi sebelum baligh dan pada waktu gila dapat
menyebabkan ihshon. Akan tetapi, pendapat ini
merupakan pendapat yang marjuh (lemah) dalam
mazhab tersebut.
c) adanya kesempurnaan syarat untuk kedua belah
pihak pada waktu persetubuhan
untuk terwujudnya ihshon, disyaratkan pada waktu
terjadinya persetubuhan kedua belah pihak harus
sudah dewasa dan berakal sehat. Apabila pezina
sudah kawin dan ia sudah bersetubuh dengan
istrinya tetapi istrinya sedang gila atau masih
dibawah umur maka pezina tersebut tergolong Ghoyr
muhshon. Pendapat ini dikemukakan oleh Imam Abu
Hanifah dan Imam Ahmad.
Akan tetapi, Imam Malik tidak mensyaratkan baligh
dan berakal untuk kedua belah pihak, melainkan
terdapat pada salah satu pihak saja. Dengan
demikian menurut Imam Malik, seorang laki-laki
termasuk muhshon apabila pada dirinya sudah
terpenuhi syarat-syarat ihshon, dan wanita mampu
melakukan persetubuhan walaupun ia masih dibawah
umur atau gila. Demikian pula wanita bisa menjadi
muhshon dengan terpenuhinya syarat-syarat ihshon
dan dewasanya suami yang menyetubuhi walaupun ia
gila.
Di kalangan mazhab Syafi’i dalam masalah ini ada
dua pendapat. Pendapat pertama sama dengan
pendapat Imam Abu Hanifah, yaitu kedua orang yang
melakukan persetubuhan harus sama-sama balig dan
berakal. Sedangkan pendapat yang kedua sama
dengan pendapat imim Malik, yaitu tidak perlu
keduanya balig dan berakal.
Dalam mazhab Syi’ah Zaydiyah, berkaitan dengan
syarat ini ada tiga pendapat. Pendapat pertama
dan kedua sama dengan pendapat Imam Abu Hanifah
dan Imam Malik. Sedangkan menurut pendapat yang
ketiga, gila tidak meng-ihshon-kan yang sudah
balig
d) Islam
Imam Abu Hanifah dan Imam Malik menjadikan Islam
sebagai salah satu syarat ihshon. Alasan beliau
adalah hadits Rosululloh s.a.w. ketika beliau
diminta pendapatnya oleh hudzaifah tentang
perkawinan dengan wanita kitabiyah, Nabi Muhammad
mengatakan ;
“tinggalkanlah ia, karena ia (wanita kitabiyah)
tidak menyebabkan engkau jadi ihshon.”
Imam Syafi’i dan Imam Ahmad tidak menjadikan
Islam sebagai salah satu syarat ihshon. Alasan
beliau adalah bahwa Nabi Muhammad telah melakukan
atas dua orang pezina yahudi. Pendapat ini
didukung oleh abu yusuf murid Imam Abu Hanifah,
kelompok Zhohiriyah, dan salah satu pendapat dari
Syi’ah Zaydiyah. Dengan demikian apabila seorang
laki-laki Muslim yang menikah dengan wanita
kitabiyah melakukan zina, maka mehurut Imam Abu
Hanifah ia tidak dirajam karena tidak dianggap
muhshon. Sedangkan menurut Imam Malik, Imam
Syafi’i, Imam Ahmad, Zhohiriyah, dan sebagian
Syi’ah Zaydiyah ia dikenai hukuman rajam, karena
perkawinan dan persetubuhan dengan wanita
kitabiyah membuatnya menjadi muhshon.
-
3) zina yang dilakukan oleh muhshon dan Ghoyr
muhshon
Dalam uraian yang lalu telah dijelaskan syarat-
syarat ihsha, baik yang disepekati maupun yang
diperselisihkan. Meskipun sebagian fuqoha
mewajibkan terpenuhinya syarat-syarat ihshon pada
kedua belah pihak, namun para fuqoha sepakat
tidak mensyaratkan ihshon pada kedua pelaku zina
untuk dikenakanya hukuman rajam kepada salah
satunya. Dengan demikian apabila terjadi
perbuatan zina antara pria muhshon dan perempuan
Ghoyr muhshon, maka bagi laki-laki muhshon
dikenakan hukuman rajam, sedangkan perempuan
berlaku hukuman jilid. Demikian juga jika terjadi
sebaliknya.
-

speech soekarno about malaysia


[

Anda mungkin juga menyukai