Anda di halaman 1dari 8

makalah rumah adat karo di desa lingga

Di susun oleh
Kata pengantar

P uji dan syukur kami panjatkan kepada Tuhan.Berkat limpahan karunianya kami dapat
menyelesaikan makalah ini dengan penuh kemudahan. Tanpa pertolongan Dia ,mungkin
penyusun tidak akan sanggup menyelesaikan dengan baik.

Makalah ini disusun agar kita tahu kebudayaaan karo yang telah diwariskan kepada kita,
yang kami sajikan berdasarkan pengamatan dari berbagai sumber. Makalah ini di susun oleh
penyusun dengan berbagai rintangan. Baik itu yang datang dari diri penyusun maupun yang
datang dari luar. Namun dengan penuh kesabaran dan terutama pertolongan dari Tuhan
akhirnya makalah ini dapat terselesaikan.

Makalah ini memuat tentang Rumah Adat Dan Kerja Tahun Di Desa Budaya Lingga yang
menjelaskan bagaimana sejarah rumah adat karo dan kerja tahun di lingga.

Penyusun juga mengucapkan terima kasih kepada warga lingga yang telah memberi
informasi kepada kami sehingga dapat menyelesaikan makalah ini.

Semoga makalah ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas kepada kita. Walaupun
makalah ini memiliki kelebihan dan kekurangan. Penyusun mohon untuk saran dan kritiknya.
Terima kasih.

Kabanjahe, januari 2013

Penulis

RUMAH ADAT KARO DAN KERJA TAHUN DI DESA LINGGA

Oleh: Supriyadi sitepu

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pada masa-masa ini,pengaruh kebudayaan asing amat kuat mempengaruhi kebudayaan di


Negara kita. Hal tersebut memang tidak dapat di pungkiri lagi Termasuk kebudayaan Karo
yang terkena imbas dari pengaruh kebudayaan asing tersebut,misalnya dari cara berpakaian
,arsitektur,budaya dan gaya hidup sehari-hari pun ikut berubah.

Namun meskipun banyak yang sudah berubah tapi masih ada juga yang tetap melestarikan
kebudayaan karo,salah satunya ialah desa budaya lingga di kabupaten karo.Disini kita dapat
melihat rumah adat dan kesenian karo yang masih cukup kental.

1.2 Tujuan Penelitian


Penelitian ini bertujuan,untuk:

(1.2.1) Mengetahui kondisi rumah adat dan acara kerja tahun di era moderenisasi ini.

(1.2.2) Mengetahui usaha-usaha pelestarian apa yang dilakukan terhadap kesenian dan
rumah adat tersebut terutama di desa budaya lingga.

BAB II

LANDASAN TEORI

2.1 Desa Budaya Lingga

Desa Lingga merupakan wilayah bekas Kerajaan Lingga Tanah Karo, yang berada di
Kabupaten Karo, Sumatera Utara. Meski hanya sebuah kampung kecil yang berada tak jauh
dari kaki Gunung Sinabung, salah satu puncak tertinggi di Sumatera Utara, ternyata desa ini
cukup terkenal dengan objek wisata sejarah yaitu rumah adat dan kesenian karo lainnya..
Hal yang membuat desa ini terkenal, karena masih terdapat sejumlah bangunan tradisional
adat Batak Karo yang sudah berusia ratusan tahun. Bangunan utamanya adalah rumah adat
Batak Karo Siwaluh Jabu yang berusia sekitar 250 tahun. Selain itu, sejumlah bangunan
tradisional lainnya juga masih berdiri di sana. Seperti jambur, griten, sapo ganjang
(sapopage)dankantur-kantur.

Ciri khas Siwaluh Jabu ada pada kedua ujung atapnya yang terbuat dari ijuk. Di sana
terpasang tanduk atau kepala kerbau, di atas anyaman bambu berbentuk segitiga yang disebut
ayo-ayo. Kepala kerbau dengan posisi menunduk ke bawah itu dipercaya penduduk sebagai
penolakbala.
Siwaluh Jabu sendiri memiliki fungsi yang unik. Rumah adat ini biasanya dihuni oleh 8
keluarga yang masih memiliki hubungan kekerabatan. Sesuai dengan namanya, bahasa Batak
Karo waluh yang berarti delapan, dan jabu yang berarti keluarga atau ruang utama.
Namun, sama sekali tidak ada ruangan atau kamar di rumah adat yang berupa rumah
panggung.
Bangunan tradisional lainnya yang menjadi pelengkap dalam sebuah komunitas masyarakat
Batak Karo dahulu kala, juga berupa rumah panggung. Bangunan tersebut memiliki fungsi
yang berbeda-beda. Seperti jambur, digunakan sebagai tempat penyelenggaraan pesta dan
musyawarah. Kemudian, griten yang digunakan sebagai tempat penyimpanan kerangka
jenazah keluarga atau leluhur sang pemilik rumah.
Selain itu, juga ada Museum Karo Lingga untuk para wisatawan yang datang berkunjung. Di
sana disimpan benda- benda tradisional Karo, seperti capah (piring kayu besar untuk
sekeluarga), tungkat (tongkat), alat-alat musik dan lain sebagainya.

2.2 Rumah Adat

Rumah tua di Desa Budaya Lingga ini berdiri kokoh. Halamannya ditumbuhi rumput tipis.
Anjing lalu-lalang di seputarannya. Masyarakat Lingga menyebut rumah itu Gerga. Sebagian
menyebutnya Sepulu dua Jabu, artinya dua belas keluarga. Di depannya juga ada rumah
serupa. Tapi hanya bisa dihuni delapan keluarga. Nama rumah itu, Blangayo. Ada juga yang
bilang Waluh Jabu, yang berarti delapan keluarga.
Keduanya berbentuk panggung, tapi agak lancip, dan dipenuhi ukiran, yang semua ukirannya
tentu punya makna. Besarnya, hampir dua kali lapangan volly. Atap dilapisi daun ijuk, yang
mulai ditumbuhi lumut hijau. Di bubung yang menghadap ke Barat, tanduk kerbau jantan
menjulang angkuh. Sedang yang menghadap ke Timur, adalah tanduk kerbau betina.
Mitosnya, kedua tanduk itu sebagai alat tolak bala, yang menyerang dari Timur dan
Barat.Memasuki rumah tersebut, kesan angker langsung menyergap. Gelap. Tak ada lampu
yang menerangi. Beberapa tiang penyangga berukuran sebesar pelukan orang dewasa. Bau
pengap menusuk hidung. Ditambah bau kotoran kelelawar yang berserak di lantai. Pada tiang
penyangga, tali jemuran menjulang, menggantung beberapa pasang pakaian kering.

Di kiri-kanan di dalam rumah, berjejer masing-masing lima rumah lagi. Jadi, ada rumah di
dalam rumah. Ukurannya tidaklah besar, sekitar enam meter saja. Dalam tiap-tiap rumah
berbentuk lancip, mirip bak truk terbuka, yang dibentuk dari turunan atap. Di tempat itulah
setiap keluarga tinggal.

Para (tungku memasak), berada di antara dua rumah. Bentuknya petak. Di atas para, terdapat
tempat menyimpan kayu bakar, yang digantung di atas plafon. Dua keluarga harus berbagi
jatah memasak. Hanya ada lima para.

Dinding rumah berusia sekitar 400 tahun ini tergolong unik. Ukiran lima warna, dengan motif
saling kait menambah daya tarik. Sayang, tak banyak yang tahu makna lima warna itu. Hanya
sebagian orang tua yang paham makna dari warna itu.

Kalau dulu adatnya masih kental. Banyak pantangannya. Itu di jalan tengah kita nggak
dibolehkan untuk duduk, labah (sial) istilahnya. Kan melalui jalan tengah itu kita nyapu
lantai, banyak debu, dianggapnya kita juga sampah kalau duduk di situ. Di tungku juga nggak
boleh. Itu kan tempat kita memasak, untuk hidup, ya nggak boleh kita duduki.

Karena banyaknya pantangan tersebut, sekarang, masyarakat Budaya Lingga lebih memilih
untuk tidak lagi tinggal di rumah bersejarah tersebut. Dulu ada 28 rumah. Sekarang cuma
sisa dua, itupun dengan kondisi yang memperihatinkan, yang lain rusak ditinggal penghuni,

2.3 Kerja Tahun

Suku Karo di Sumatera Utara sebagai bagian dari masyarakat agraris nusantara juga memiliki
corak kultural yang merefleksikan karakter agraris dari masyarakat Karo. Salah satu tradisi
masyarakat Karo yang tidak lepas dari pola produksi pertanian ialah kerja tahun. Kerja tahun
adalah suatu bentuk ritual atau upacara penyembahan kepada Sang Pencipta atau Beraspati
Taneh (dewa yang berkuasa atas tanah menurut agama Pemena atau agama asli suku Karo)
yang bertujuan menyukseskan setiap tahapan aktivitas pertanian dan manifestasi dari harapan
akan hasil panen yang berlimpah. Bila upacara tersebut dilakukan pada masa panen
(ngerires), maka hal itu menjadi perwujudan rasa syukur kepada sang Pencipta karena
kegiatan bertani telah selesai dengan aman dan sukses. Biasanya kerja tahun diadakan oleh
masyarakat yang berasal dari satu kuta atau kampung tertentu.

Kerja Tahun atau Merdang Merdem hingga kini masih diselenggarakan setahun sekali oleh
masyarakat Karo. Tetapi waktu pelaksanaan kerja tahun berbeda-beda di masing-masing
daerah yang termasuk dalam daerah kebudayaan Karo. Beberapa daerah hanya melaksanakan
ritual kerja tahun pada tahapan tertentu dalam kegiatan pertanian. Ada yang merayakan di
masa awal penanaman (merdang merdem), masa pertumbuhan (nimpa bunga benih), masa
menjelang panen (mahpah) ataupun pada masa panen (ngerires).

Kerja tahun pada umumnya dilaksanakan selama enam hari. Hari pertama (cikor-kor)
merupakan awal pelaksanaan kerja tahun yang ditandai dengan kegiatan penduduk mencari
kor-kor (sejenis serangga yang tinggal dalam tanah) di ladang. Hari kedua atau biasa disebut
cikurung diisi dengan kegiatan mencari kurung (hewan sawah) di areal persawahan. Hari
ketiga yang disebut dengan ndurung adalah kegiatan mencari nurung (ikan) di sungai. Lalu
pada hari keempat ditandai dengan kegiatan mantem atau motong, yakni aktivitas
penyembelihan lembu dan babi. Sementara hari kelima atau matena merupakan puncak dari
upacara perayaan kerja tahun.

Ketika sampai pada puncak perayaan, semua penduduk mengucapkan rasa syukur atas hasil
panen dengan saling mengunjungi diantara sesama warga penyelenggara kerja tahun. Dalam
acara kunjungan itulah seluruh hidangan yang berasal dari awal kegiatan kerja tahun hingga
hari kelima akan disajikan. Namun perayaan kerja tahun belum usai pada hari kelima.

Pada hari keenam dilaksanakanlah nimpa atau kegiatan membuat cimpa (makanan khas Karo
yang terbuat dari beras atau ketan). Pelaksanaan kerja tahun berakhir di hari ketujuh atau
biasa disebut dengan rebu. Pada hari ketujuh ini tidak ada kegiatan yang dilakukan karena arti
dari kata rebu itu sendiri adalah tidak saling menyapa atau bercakap-cakap. Hari rebu lebih
merupakan hari istirahat setelah selama enam hari berpesta.

Kerja tahun menjadi semacam perwujudan prinsip gotong royong dalam masyarakat Karo.
Setelah satu tahun disibukkan oleh kegiatan bertani atau berladang yang juga dilaksanakan
secara gotong royong, maka hasil dari aktivitas pertanian itu juga harus disyukuri dan
dinikmati secara gotong royong pula. Pada masa kerja tahun, seluruh masyarakat kuta saling
berbagi kegembiraan tanpa adanya sekat-sekat tertentu.

Upacara kerja tahun merefleksikan kemandirian dan kedaulatan pangan masyarakat kuta
dalam suku Karo yang masih bersifat subsisten. Alokasi pangan bagi perayaan kerja tahun
serta sistem logistik yang kuat mencerminkan kearifan lokal yang tangguh dalam hal
kedaulatan pangan. Pola pertanian atau perladangan masyarakat Karo sangat memperhatikan
pemenuhan kebutuhan penduduk akan pangan. Maka jangan heran bila kita tidak akan
menemukan peristiwa kekurangan pangan dalam sejarah kuta di Tanah Karo, kecuali yang
disebabkan oleh faktor eksternal seperti serangan dan penjarahan berbagai kuta yang
dilakukan kolonialis Belanda di masa penjajahan.

Dalam konteks masa kini, pelaksanakan kerja tahun telah bergeser dari upacara yang
mencerminkan harapan dan rasa syukur atas hasil panen yang melimpah menjadi hanya
ritual-ritual yang bersifat seremonial untuk kepentingan pariwisata. Seiring dengan perubahan
sistem produksi dari pertanian komunal menjadi kapitalisme industrial pada masyarakat
Tanah Karo, upacara kerja tahun pun mengalamai komodifikasi. Hal tersebut menjadi suatu
keniscayaan dalam sistem kapitalisme yang berdasarkan paradigma ekonomi formalis karena
menilai segala sesuatu dari nilai ekonomis semata.

Pergeseran nilai dalam ritual kerja tahun juga dipengaruhi oleh dianutnya agama-agama semit
semacam Kristen dan Islam oleh sebagian besar masyarakat Karo. Sementara kerja tahun
merupakan ritual yang erat dengan agama Pemena sebagai perwujudan rasa hormat dan
syukur pada sang Beraspati Taneh.
Apapun yang terjadi dengan upacara kerja tahun kini, ritual tersebut tetap layak dijadikan
referensi bagi segenap elit borjuasi yang memegang kendali atas negeri ini. Lebih tepatnya
referensi mengenai prinsip kedaulatan pangan yang kini tergerus oleh arus liberalisasi.
Budaya agraris masyarakat Karo serta masyarakat agraris lainnya di nusantara hendaknya
menjadi contoh betapa kebudayaan masyarakat Indonesia sejatinya telah memiliki prinsip
kemandirian yang sejalan dengan kemakmuran bersama. Perbedaan bentuk masyarakat
bukanlah alasan bagi pengabaian nilai-nilai kearifan lokal yang masih relevan dengan situasi
terkini Republik ini.

BAB III

PROSES PENELITIAN

Penelitian ini dilakukan dengan cara langsung terjun ke lokasi pengambilan data yaitu
didesa budaya lingga,agar dapat melihat langsung hal-hal yang akan diteliti.

3.1 Lokasi Penelitian

Pengambilan lokasi penelitian meliputi desa budaya lingga beserta lingkungan sekitar rumah
adat di desa lingga.

3.2 Cara Pengambilan Data

Pengambilan data dilakukan dengan beberapa cara yaitu wawancara,observasi,dan


pengambilan foto.

BAB IV

HASIL PENELITIAN

4.1 Hasil Observasi

Desa Lingga merupakan wilayah bekas Kerajaan Lingga Tanah Karo, yang berada di
Kabupaten Karo, Sumatera Utara. Meski hanya sebuah kampung kecil yang berada tak jauh
dari kaki Gunung Sinabung, salah satu puncak tertinggi di Sumatera Utara, ternyata desa ini
cukup terkenal dengan objek wisata sejarah yaitu rumah adat dan kesenian karo lainnya..
Hal yang membuat desa ini terkenal, karena masih terdapat sejumlah bangunan tradisional
adat Batak Karo yang sudah berusia ratusan tahun. Bangunan utamanya adalah rumah adat
Batak Karo Siwaluh Jabu yang berusia sekitar 250 tahun. Selain itu, sejumlah bangunan
tradisional lainnya juga masih berdiri di sana. Seperti jambur, griten, sapo ganjang
(sapopage)dan kantur-kantur.Jumlah pengunjung ,ke desa budaya lingga setiap bulannya
kurang lebih sekitar 600 orang.

4.2 Hasil Wawancara

Berdasarkan hasil wawancara pada salah seorang warga lingga bahwa diperoleh informasi
mengenai acara kerja tahun.
Acara kerja tahun merupakan acara ucapan syukur kepada yang maha kuasa atas berkatnya
pada hasil pertanian yang berlimpah beserta rezeki yang diberikan Tuhan.Acara kerja tahun
juga biasanya dijadikan moment bagi keluarga untuk saling berkumpul dan saling
mengunjungi.Dan bagi para muda-mudi atau singuda-nguda ras anak perana ini merupakan
kesempatan untuk mencari jodoh.

Acara kerja tahun pada intinya berlangsung selama 2 hari dan masing-masing mempunyai
nama yaitu:motong dan matana.Pada hari pertama dilakukan untuk mempersiapkan segala
sesuatunya mulai dari hiasan untuk jambur,memasak makanan,memotong hewan untuk
perayaan ,dll.Dan pada hari kedua itulah sebagai puncaknya.

Warga ini juga menambahkan bahwa acara pesta tahunan ( kerja tahun) yang dulu dengan
sekarang sangatlah berbeda terutama dalam hal kesopanannya,dalam hal tarian .Dulu dalam
hal menari semua orang melakukannya dengan sopan dan juga masih mengikuti
aturan,namunsekarang sudah sangatlah berbeda tarian tadi hanya digunakan untuk kesenagan
dan hiburan,tanpa memperlihatkan kegunaannya yang sebenarnya sehingga kelihatan sudah
tidak cocok lagi.

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan penelitian yang dilakukan diperoleh hasil sebagai berikut.

1) Karena banyaknya pantangan tinggal di rumah adat karo, sekarang, masyarakat


Budaya Lingga lebih memilih untuk tidak lagi tinggal di rumah bersejarah tersebut.

2) Berdasarkan hasil wawancara dengan warga desa, pelaksanaan kerja tahun sekarang
sangat berbeda dengan dulu, mulai dari hal berpakaian,kesopanan,dan cara menari.

5.2Saran-Saran

1) Hendaknya ada usaha dari pemerintahan Kabupaten Karo,dan juga masyarakat Karo
dalam hal melestarikan kebudayaan yang telah ada.

2) Sebaiknya masyarakat karo sadar bahwa tarian itu bukanlah dibuat untuk hiburan
saja,melainkan sebuah symbol kebersamaan dan kehormatan.

Daftar Pustaka

Sembiring, Samsul. 2007. Bahasa Daerah Karo.Medan:Yrama Widya.

Sitepu, Bujur. 1993 .Tanah Karo Simalem.Medan:Nusa Indah.

Sumber Internet
www.Budaya Karo.com

www.Desa lingga.com

Anda mungkin juga menyukai