Anda di halaman 1dari 10

SELAYANG PANDANG DESA SAMBUARA

KECAMATAN ESSANG SELATAN

Penulis:
Selti Wentian, M.Pd
Kata Pengantar

Puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa. Atas rahmat dan Anugerah-Nya,

penulis dapat menyelesaikan tugas yang berjudul "Selayang Pandang Desa Sambuara

Kecamatan Essang Selatan”.Tugas ini dimaksudkan untuk menambah wawasan dan

pengetahuan bagi para pembaca dan bagi penulis.

Penulis mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu

terselesaikannya tugas ini.

Penulis pun menyadari tugas makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh sebab itu,

saran dan kritik yang membangun diharapkan demi kesempurnaan makalah ini.

Manado, 18 Januari 2023

Penulis

Selti Wentian, M.Pd


A. Sejarah Desa Sambuara

Desa Sambuara pada mulanya bernama Lembung Tobe atau Wanua Tabbe yang

berarti desa lama. Penduduk asli sambuara pada zaman dahulu mereka tidak tinggal di

Sambuara (Lembung Tobbe) tetapi mereka menetap di desa yang bernama Purunan

yang sekarang ini adalah desa Ensem.

Di Lembung Tobbe sendiri terdapat peninggalan masyarakat dahulu berupa

Benteng Batu yang disusun dari batu yang dibuat mengelilingi pemukiman warga, yang

bertujuan sebagai pertahanan dari musuh dan perlindungan dari binatang buas.

Masyarakatnya dipimpin oleh seorang tokoh yang disebut Ratung Tampa

Tatangin atau Raja adat Tatangin. Selanjutnya setelah Ratung Tampa Tatangin (Raja

Adat Tatangin) meninggal, terjadi perebutan kekuasaan menjadi Ratung Tampa (Raja

Adat) yang akan menjadi pemimpin selanjutnya. Akan tetapi sebelum Ratung Tampa

Tatangin meninggal, sesuai dengan wasiatnya maka tahta atau kepemimpinan

selanjutnya diserahkan kepada Lalimbat. Dengan wasiat itu membuat masyarakat

Purunan (ensem) tidak senang.

Berdasarkan silsilah atau garis keturunan, raja Lalimbat sendiri adalah anak

angkat dari Raja Tatangin, dimana Raja Tatangin ini tidak memiliki pewaris atau anak

laki-laki (karena semua anaknya telah meninggal). Karena itu raja Tatangin pergi ke

desa Makatara menemui kerabatnya atau saudaranya dengan maksud meminta seorang

anak laki-laki untuk dijadikan sebagai anak angkatnya agar kelak akan menjadi pewaris

adat yang akan menggantikannya.

Sebelumnya Raja Lalimbat ini bernama Mapaunde, karena telah diangkat

menjadi anak oleh Raja Tatangin, maka raja merubah nama anak tersebut (Mapaunde)

menjadi Lalimbat. Oleh karena masyarakat purunan tidak senang maka Raja Lalimbat

mengambil keputusan menyingkir dari tanah Purunan menuju ke tempat yang

dinamakan Lembung Tobe. Setelah beberapa saat menetap, raja Lalimbat akhirnya
memperluas daerah kekuasaannya dengan mengganti nama desa dengan nama

Sambuara yang berarti “satu rumpun”(1933). Karena penduduk Lembung Tobe mereka

kawin dengan penduduk Purunan sehingga menjadi satu rumpun.

Di Sambuara sendiri terdapat tempat yang dianggap keramat oleh warga

setempat karena banyak hal mistis ditempat tersebut. Nama tempat itu adalah Burau.

Dimana dikisahkan dalam cerita legenda masyarakat setempat ada seorang pemuda

yang bernama Panggoras yang sedang bermain di pantai tiba-tiba terdengar suara yang

memanggil namanya berkata “Panggoras kemarilah” awalnya panggoras ini tidak

menghirauakan panggilan tersebut tetapi suara itu selalu muncul berulang-ulang kali

yang membuat Panggoras semakin penasaran dengan suara itu. Semakin lama semakin

jelas suara itu, dia pun berusaha mendekati suara itu tanpa sadar panggoras sudah

semakin jauh dari daratan dan air pun sudah sampai melewati kepalanya. Suara itu terus

memanggil panggoras dia terus berjalan tetapi anehnya dia tidak tenggelam, dia bdapat

berjalan seperti biasa di dalam air seperti berjalan di darat, pakaiannya tidak basah.

Burau

Di dalam lautan itu dia melihat seperti sebuah kerajaan, ada perkampungan di

bawah laut, sampailah Panggoras pada sumber suara yang terus memanggilnya, sumber

suara itu ternya adalah seorang wanita cantik dari dasar laut. Konon wanita itu oleh

masyarakat setempat di anggap sebagi penunggu tempat itu (Burau). Singkat cerita

mereka pun kawin, setelah beberapa lama Panggoras pun ingin pulang kembali ke
daratan tempat dia tinggal bersama orang tuanya dan wanita itu berkata” kamu boleh

pulang asalkan kamu jangan menikah dengan wanita lain jika itu terjadi kamu tidak

akan dapat kembali lagi kesini.

Singkat cerita si Panggoras langsung pulang dan dia pun dapat berkumpul

kembali bersama dengan yang tua dan saudara-saudaranya. Setelah beberapa lama di

daratan dia pun menikah dengan wanita lain dia tidak mengindahkan syarat yang di

berikan wanita yang dinikahinya (penunggu Burau). Pada suatu ketika Panggoras ingin

bertemu dengan wanita (penunggu Burau) namun dia tidak bisa kembali lagi karena

sudah melanggar janjinya. Dan sejak saat itu Burau dikenal sebagai tempat yang angker,

banyak hal-hal mistis yang sering terjadi di tempat itu, konon menurut cerita legenda

masyarakat setempat ada waktu-waktu tertentu para penunggu Burau itu menampakkan

diri.

B. Profil Desa Sambuara

Secara topografi desa Sambuara terletak di daerah dataran rendah pesisir pantai

(tepi laut Sulawesi) secara geografis wilayah desa ini berbatasan dengan desa Ensem

sebelah Utara, desa Awit sebelah Selatan sedangkan sebelah Barat adalah laut Sulawesi.

Mata pencaharian utama penduduk desa Sambuara adalah nelayan dan sebagian

besar adalah petani. Dua matra tersebut adalah jiwa masyarakat Sambuara.

Desa Sambuara adalah desa yang menjadi ibu kota kecamatan Essang Selatan dengan

potensi alam dan sumber daya alam yang melimpah.


Pertanian dan perikanan adalah komoditas sumber daya alam yang ada di desa

Sambuara. Hal itu nampak dari hasil pertanian yang biasanya di jemur atau di keringkan

di halaman rumah masyarakat seperti pala, cengkih dan kopra. Demikian juga dengan

sumber kelautan yang menjadi komoditas unggulan yang banyak ditangkap oleh

nelayan seperti tuna, cakalang, tongkol dan layar (Tindarung). Dan masih banyak jenis

ikan lainnya juga yang selain di tangkap untuk di konsumsi tetapi juga sebagai sumber

mata pencaharian masyarakat yang menjadi sumber ekonomi kerakyatan, ikan-ikan

tangkapan itu di jual untuk memenuhi kebutuhan hidup. Karena itu juga sehingga desa

Sambuara di sebut juga Kampung Nelayan.

Pemandangan pantai yang indah, warna jingga menghiasi langit senja setiap

hari. Lembayung senja terbentang indah di langit nan megah, deretan-deretan perahu

nelayang menghias bibir pantai, hamparan pasir putih berkilauan bak permadani, pohon

kelapa melambai-lambai, angin sepoi-sepoi, deburan ombak bergulung-gulung,

kicauan burung-burung semakin memperindah dan menambah ke elokan dan

kemolekan alam di kampung Sambuara.


Sebagai warga pesisir yang keseharian hidup se akan menyatu dengan alam dari

generasi ke generasi maka anak-anak setempat memanfaatkan pantai dan laut sebagai

wahana bermain, ada yang berkejar-kejaran kesana-kemari, bersenda gurau, bercanda

tawa, bergembira ria bersama, se akan bebas berekspresi dan mengeksplorasi alam

sebagai tempat belajar dan bermain.

Sebagai warga pesisir masyarakat desa Sambuara juga hidup dengan

menjunjung tinggi nilai-nilai dan norma-norma yang ada di masyarakat yang

diwariskan secara turun temurun sebagai tradisi atau kebiasaan (adat) yang akhirnya

menjadi budaya masyarakat setempat, seperti budaya saling membantu dalam

pembuatan rumah tempat tinggal, rumah-rumah ibadat, bahkan banyak masih banyak

lagi kegiatan masyarakat yang mencerminkan begitu kuatnya dan melekatnya rasa

persaudaraan dan kekeluargaan yang terus di junjung tinggi dan di utamakan oleh warga

setempat.

Masyarakat desa atau kampung Sambuara di kenal ramah dan suka bersahabat

baik dengan siapa saja, warga masyarakat hidup rukun dan damai, saling menghormati,

bekerjasama, saling membantu, mempererat hubungan persaudaraan dan kebersamaan

diantara mereka.
Desa Sambuara tampak dari atas

C. Data Demografi desa Sambuara

Desa Sambuara disebut juga kampung nelayan. Desa yang penuh dengan

potensi dan sumber daya yang ada, kearifan lokal dan budaya masyarakat setempat

membuat desa ini berkembang baik dari segi ekonomi, sosial dan budaya. Desa

Sambuara terletak di Kecamatan Essang Selatan Kabupaten Kepulauan Talaud Provinsi

Sulawesi Utara Indonesia yang merupakan ibu kota Kecamatan Essang Selatan.

Berdasarkan data dari kantor Desa Sambuara terdapat 457 jiwa penduduk desa

sambuara dengan kriteria sebagai berikut: 138 kepala keluarga, 226 penduduk laki-

laki,231 penduduk perempuan, 111 penduduk usia anak-anak dan 346 usia dewasa

sampai lansia.

Selain petani dan nelayan ada juga beberapa pekerjaan yang menjadi sumber

mata pencaharian masyarakat desa sambuara seperti, PNS dan wiraswasta. Mayoritas

penduduk desa Sambuara berprofesi sebagai petani dengan jumlah 179 orang bekerja

sebagai petani, 27 orang sebagai nelayan, 10 orang bekerja sebagai PNS, 20 orang
sebagai wiraswasta, 30 orang mahasiswa, 40 orang sebagai siswa SMP dan SMA dan

40 orang belum bekerja.

Tabel 1. Data Jumlah Penduduk Desa Sambuara

Tahun Jenis Kelamin Golongan Usia Status Jumlah


perkawinan
2021 Laki-laki Perempuan Anak- Dewasa KK
anak
226 231 111 346 138 457
Angka dalam 2021

Tabel 2. Data Mata pencaharian Penduduk Desa Sambuara

No Mata Pencaharian Jumlah (Orang)


1 Petani 179
2 Nelayan 27
3 PNS 10
4 Swasta 20
5 Mahasiswa 30
6 Siswa 40
7 Tidak Bekerja 40
Jumlah 346

Sumber: Data Penduduk Desa Sambuara

D. Kondisi Infrastruktur

Di desa Sambuara terdapat lembaga adat dan gedung adat, kantor desa, kantor

camat, aula desa, jalan raya yang menghubungkan dengan desa tetangga, dua buah

jembatan. Desa Sambuara juga memiliki sistem pembuangan air limbah yang berupa

saluran pembuangan (Got) yang langsung menuju ke laut. Serta memiliki talud untuk

mencegah abrasi di pinggiran pantai. Dan pembuangan limbah menggunakan spal dan

sapfitang.
Sumber Pustaka

1. Narasumber Wawancara:
1. Khambarlein Lalimbat (Inanggu Wanua Desa Sambuara)
2. Gerson Salaa (Inanggu Wanua Desa sambuara satu)
2. Data penduduk Desa sambuara Kecamatan Essang Selatan
3. Buku profil desa Sambuara Kecamatan Essang Selatan Kabupaten Kepulauan
Talaud
4. Adipati Josua Paraso (makalah kesehatan 2021)

Anda mungkin juga menyukai