Select Language
TAKARAWA62
For My RO Quote waiting for you is the best option
Ritual PASOLA
adalah salah satu bagian dari serangkaian upacara adat tradisional yang dilakukan oleh
masyarakat Sumba , Nusa Tenggara Timur, yang masih menganut agama asli yang disebut
Marapu. Biasanya diawali dengan upacara nyale yaitu pencarian cacing di pantai oleh Rato
(imam Marapu) . Jika nyale yang muncul banyak berarti panen akan melimpah dan sebaliknya.
Bentuk permainan pasola adalah perang-perangan yang dilakukan oleh dua kelompok dengan
cara berkuda. Upacara adat ini dilakukan setiap tahun pada bulan Februari atau Maret. Pasola
diadakan pada empat kampung di kabupaten Sumba Barat. Keempat kampung tersebut antara
lain Kodi dan Lamboya, Wonokaka, dan Gaura. Serangkaian upacara ini dilakukan dalam rangka
memohon
2. Penentuan Waktu
Penentuan waktu penyelenggaraan pasola yang dilakukan bertepatan dengan munculnya
purnama raya. Dasar utama perhitungan ini adalah bentuk bulan, yang didukung oleh
kemunculan tanda-tanda alam seperti.... Karena terkait dengan pemunculan nyale sebagai
indikator hasil panen yang hanya terjadi setahun sekali, maka penentuan waktu menjadi sangat
vital. Perkiraan mungkin bisa dilakukan jauh hari, tapi tanggal pastinya tidak. Para Rato sangat
berhati-hati membaca tanda alam karena salah menentukan tanggal berarti nyale tak akan muncul
pada waktunya, dan bagi mereka hal demikian bisa dianggap sebagai kesialan.
3. Pati Rahi
Ini adalah konsep empat hari yang sama seperti pada Bijalungu Hiu Paana: empat hari menjelang
puncak perayaan yang diisi ritual-ritual penting. Di hari pertama, para rato dari kampung
Waigalli (yang dalam ritual ini berperan sebagai kabisu Ina-Ama) mengadakan perkunjungan ke
Waiwuang, Praigoli dan Lahi Majeri untuk melihat persiapan-persiapan yang telah dilakukan
menjelang hari H. Pada Hari kedua, sebuah permainan tinju tradisional (Pakujil) diselenggarakan
di pantai Teitena, yang menurut legenda adalah lokasi tempat terdamparnya Ubu Dulla
bersaudara. Hari ketiga merupakan hari padat kegiatan, dimana ritual-ritualnya terus bersambung
hingga atraksi puncak di hari keempat. Ritual hari ketiga dimulai dengan Palaingu Jara yang
berarti melarikan kuda, semacam ajang pemanasan bagi kuda-kuda dan para ksatria yang akan
berlaga besok. Malam harinya semua rato penyelenggara Pasola berkumpul di Ubu Bewi untuk
melakukan serangkaian ritual dan pemujaan, antara lain Kajalla, ritual pertanggungjawaban yang
disampaikan dalam bentuk pantun tanya jawab oleh seluruh kabisu penyelenggara pasola. Ada
pula penyembelihan sejumlah ayam sebagai media untuk meramalkan kejadian-kejadian yang
bakal terjadi saat pasola berlangsung. Dan sekali lagi: mengamati bulan, yang kali ini muncul
sempurna sebagai pertanda final datangnya Nyale dan Pasola. Acara ditutup sekitar pukul 3 dini
hari dengan penabuhan tambur suci sebagai tanda pasola telah menjelang dan ketupat adat sudah
boleh dimakan (nganang katupat).
4. Madidi Nyale
Ritual yang secara harafiah berarti memanggil nyale ini berlangsung di pantai Wanokaka pada
hari keempat Pati Rahi. Ritual dimulai sesaat sebelum fajar setelah rombongan Rato selesai
melakukan ritual di Ubu Bewi dan beriringan menuju pantai untuk memimpin upacara. Para
warga dan wisatawan juga ikut berburu nyale, cacing laut warna-warni yang selain sedap
dijadikan kudapan juga menjadi indikator hasil panen. Nyale yang banyak dan bersih berarti
panen melimpah. Nyale kotor dan saling menggigit berarti ada hama tikus. Nyale busuk berarti
hujan berlebihan (sehingga padi bisa busuk). Nyale tidak muncul berarti kemarau panjang (bisa
menyebabkan musibah kelaparan).
5. Pasola
Atraksi Pasola diselenggrakan secara berurutan di dua tempat berbeda. Yang pertama di pantai
Wanokaka setelah Madidi Nyale. Yang kedua di arena utama Kamaradena dari pukul 09.00
hingga menjelang siang. Pasola adalah pertarungan antara dua kubu, dan sebagaimana layaknya
pertarungan, pesertanya tidak dibatasi. Masing-masing kubu menggunakan taktik tersendiri dan
berusaha keras menjatuhkan pihak lawan. Seringkali ada yang terluka bahkan ada juga yang
meninggal, tapi sportivitas tetap dijunjung tinggi. Ada aturan tak tertulis bahwa dendam tak
boleh dibawa keluar arena, membalas boleh saja tapi tunggu pasola berikutnya. Darah yang
tumpah juga dianggap sebagai pertanda positif bahwa panen akan berlimpah. Akar pasola yang
tertanam jauh dalam budaya masyarakat Sumba Barat menjadikan pasola tidak sekadar
keramaian semata. Pertama ia adalah kultus religius, suatu bentuk pengabdian dan aklamasi
ketaatan kepada roh-roh leluhur. Kedua, merujuk legendanya, pasola merupakan suatu bentuk
penyelesaian krisis suku melalui `bellum pacificum atau perang damai dalam sebuah
ritual adat. Ketiga, sebagai perekat jalinan persaudaraan. Permainan jenis apa pun termasuk
pasola selalu menjadi sarana sosial ampuh. Apalagi bagi kabisu-kabisu yang terlibat langsung.
Selama pasola berlangsung
My RO
sumber :
http://www.westsumba.com/page/en/1392/pasola.html
www.jamesmorgan.co.uk
www.lonelyplanet.com
Diposkan oleh rato marapu di 20.39 Tidak ada komentar:
Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke FacebookBagikan ke Pinterest
menyebut pulau Sumba sebagai the living megalithik culture atau budaya megalitik
Berada sekitar 120Km ke arah timur dari pusat kota waingapu, kampung ini identik
dengan maha karya tenun hinggi kombu yang termashur ke pelosok negeri.
Menggunakan bahan dan pewarna alam, kualitas kain tenun kaliuda tidak diragukan..
filosofi hidup masyarakat sumba dengan jelas tersirat dalam beragam corak yang
diwakili gambar Kuda, Ayam, Udang, burung yang memiliki arti masing masing yang
merupakan ciri khas motif dari kampung ini. Sebagai wujud pelestarian warisan budaya
leluhur, masyarakat desa kaliuda membuat kain tenun ikat terpanjang yang diberi nama
dendi duangu sepanjang 104 meter dan tercatat di museum rekor dunia indonesia
Terletak di Desa Rindi, Kecamatan Rindi, sekitar 69 Km dari Kota Waingapu. Suasana
peradaban masa silam kental terasa saat memasuki kampung ini. Dikelilingi oleh pagar
batu, kampung praiyawang memberikan sejuta pesona. Mulai dari arsitek rumah sumba
dengan menara yang tinggi, barisan kuburan megalitik para bangsawan dengan pahatan
simbol sarat makna, dan kehidupan sosial masyarakat yang masih memegang teguh
adat
setidaknya dapat dirasakan di kampung prainatang. Pagar batu berusia ratusan tahun
dan Aroma sabana musim kemarau menyambut setiap tamu yang datang.
Kampung Tarung adalah kampung adat yang terletak di pusat kota Waikabubak yaitu
ibukota kabupaten Sumba Barat, dikelilingi pagar batu setinggi 40 cm, dengan altar suci
yang terletak di bagian tengah. Altar tersebut dikelilingi oleh 35 rumah huni atau uma
yang merupakan rumah panggung dengan atap segi empat bermenara. Pada umumnya,
uma tersusun atas empat tiang yang menjadi penyangga utama, dan 36 tiang sebagai
penyambung. Atap terbuat dari ikatan ilalang (Imperata cylindrica) yang selalu diganti
setiap lima tahun sekali. Keunikan lain dari Kampung Tarung adalah kekuatan
terbentuk dari dua kata, yaitu mar yang berarti sumber kehidupan yang mencipta
Kampung ini berada di kabupaten Sumba Barat Daya yaitu tepatnya dikecamatan Kodi.
Menurut sejarah lisan masyarakat setempat, kampung Bongu dibangun oleh rato Hepa
Kura sekitar 600 tahun silam. Rato ini memiliki ternak yang banyak seperti kuda,
kerbau, sapi dan ternak ternak lainnya, sehingga menjadi terkenal karena dalam
budaya orang Sumba, mereka yang memiliki ternak yang banyak dianggap sebagai
orang kaya raya dan terpandang. Rato tersebut memiliki keinginan yang tidak biasa,
yakni ingin hidup kekal di dunia, dan pergi mencarinya sampai ke pulau Sabu. Namun
ia disadarkan oleh seorang Sabu bernama Bongu, bahwa tidak ada hidup yang kekal di
dunia Karena akan dipanggil oleh Maworo Mawali atau sang khalik. Akhirnya mereka
bersama sama kembali ke Sumba di rumah Kabisu Bagoho (di daerah Kodi) dan
membuat pagar batu mengelilingi rumah dan mencari sumber mata air disekitarnya
yang kemudian disebut mata air MATA WAI BONGNGU dan MATA WAI BADUKI
yang masih ada sampai sekarang dan kampung tersebut dinamakan kampung Bongu.
Keturunan dari rato Hepa Kura yang tinggal di kampung Bongu saat ini merupakan
keturunan yang ke 9. Kampung ini memiliki 12 rumah adat (Umma kalada) dan 143
kubur batu megalit. Masyarakatnya masih menjalankan tradisi marapu yang sangat
Referensi:
http://news.kitook.co.id/blog/keunikan-kampung-tarung-di-sumba-barat/
http://www.sailkomodo2013.nttprov.go.id
http://www.jelajahntt.com
http://www.kompas.com
http://www.sumbatimurkab.go.id
My RO
Pulau Sumba didiami oleh suku Sumba dan terbagi atas empat kabupaten, Sumba
Barat,Sumba Barat Daya, Sumba Tengah dan Sumba Timur. Masyarakat Sumba cukup
mampu mempertahankan kebudayaan aslinya di tengah-tengah arus pengaruh asing
yang telah singgah di kepulauan Nusa Tenggara Timur sejak dahulu kala. Kepercayaan
khas daerah Marapu, setengah leluhur, setengah dewa, masih amat hidup di tengah-
tengah masyarakat Sumba ash. Marapu menjadi falsafah dasar bagi berbagai
ungkapan budaya Sumba mulai dari upacara-upacara adat, rumahrumah ibadat
(umaratu) rumah-rumah adat dan tata cara rancang bangunnya, ragam-ragam hias
ukiran-ukiran dan tekstil sampai dengan pembuatan perangkat busana seperti kain-kain
hinggi dan lau serta perlengkapan perhiasan dan senjata. Masyarakat Sumba terkenal
akan budayanya yang masih sangat kental meskipun saat ini telah dimasuki oleh
banyaknya pengaruh dari luar masyarakat Sumba. Berikut ini merupakan dua yang
paling terkenal dari banyaknya kebudayaan Masyarakat Sumba yaitu :
1. Wulla Poddu
2. Pasola
Pasola adalah salah satu bentuk ritual budaya kebanggaan masyarakat Sumba
Barat.Pada saat pelaksanaan Pasola, kedua kubu yang berlawanan secara adat
dengan cara menunggang kuda sambil yang sedang berlari kencang mengejar dan
melempari lawan dengan sebatang kayu / tombak. Keberhasilannya ditandai dengan
tetesan darah yang mengalir dari tubuh lawan. Apabila ada kecelakaan dalam
pertandingan tersebut maka tidak ada sangsinya. Pasola digelar secara ketat sekali
dalam setahun di bulan Pebruari berawal dari Kodi, Wanokaka, Lamboya dan Gaura