Bijalungu Hiu Paana adalah sebuah upacara adat yang diselenggarakan oleh warga Wanokaka,
Kabupaten Sumba Barat, Nusa Tenggara Timur. Upacara dilaksanakan setiap akhir Februari dan
untuk tanggal pastinya ditentukan oleh para Rato (pemimpin spiritual Marapu) dengan melihat
tanda-tanda alam serta berdasarkan dengan perhitungan bulan genap dan bulan terang. Bijal
memliki makna turun ataupun pergi. Sedangkan, hiu paana ialah nama dari sebuah hutan kecil.
Jadi, Bijalungu Hiu Paana ialah pergi ke hutan hiu paana. Upacara ini dinamakan demikian
dikarenakan puncak upacara yang berpusat di Kampung Waigalli ini dan memang dilaksanakan di
hutan itu, tepatnya berada di sebuah gua kecil yang berada tidak jauh dari Kampung Waigalli. Pada
malam sebelum acara puncak, banyak benda-benda keramat yang dikeluarkan untuk disucikan. Para
warga pun antri untuk mendapatkan berkat para Rato lalu bergantian menari sepanjang malam.
Upacara adat besar di Sumba Barat selalu merupakan kronologi dari serangkaian ritual yang
berhubungan, yang jika dihitung hingga ke puncak upacara bisa berlangsung berhari-hari bahkan
ada yang berminggu-minggu. Bijalungu Hiu Paana dimulai dengan ritual sebagai berikut:
Ada pula Kabena Karabau (lempar kerbau). Dalam ritual ini, sebuah kerbau muda yang dipilih
secara khusus sebagai hewan persembahan akan dihalau memasuki area upacara. Bersamaan
dengan itu, semua orang dipersilahkan untuk melempar sang kerbau dengan buah pinang yang telah
dibagikan. Jika mengenai dahi dari kerbau, pelempar dipercaya akan mendapat keuntungan yang
besar, dan juga apabila mengenai leher, maka dipercaya merupakan pertanda yang baik. Tetapi
apabila mengenai perut dan kaki dipercaya sebagai bagian yang kurang baik. Selanjutnya
merupakan ritual Teung (potong kerbau). Kerbau disembelih dan apabila posisi jatuhnya ke kanan
maka dipercaya bahwa tahun tersebut merupakan tahun yang baik, dan sebaliknya. Setelah dipotong
menjadi beberapa bagian, daging kerbau akan direbus di dalam periuk suci yang telah disiapkan
oleh salah seorang rato. Apabila kuah rebusan tersebut membual-bual, hal tersebut menandakan
bahwa panen akan berlimpah. Sebaliknya apabila kuah hanya sedikit, maka panen akan kurang
menggembirakan.
Dalam kultur masyarakat yang masih tradisional seperti di Sumba Barat, prakiraan-prakiraan
semacam ini dianggap penting karena dengan mengetahui kondisi musim masyarakat bisa
mempersiapkan diri dengan sebaik-baiknya. Musim yang baik berarti hidup bisa berjalan normal.
Kalau musimnya buruk? Siap-siaplah hidup hemat agar nantinya tidak kesusahan. Walau terkesan
kuno, ada nilai-nilai luhur yang tersirat dalam ritual-ritual semacam ini. Sebuah kebijakan yang
mungkin telah banyak dilupakan oleh kita-kita yang merasa diri orang ‘modern’.