Anda di halaman 1dari 5

UPACARA SEBA SUKU BADUY: SEJARAH, TUJUAN, DAN PELAKSANAAN

KOMPAS.com - Seba merupakan upacara tradisional yang biasa dilakukan oleh Masyarakat Suku Baduy.
Tradisi Seba biasanya dilakukan dalam rangka menyampaikan rasa syukur atas hasil panen yang berlimpah dalam
satu tahun. Upacara ini rutin dilaksanakan setiap tahun yang di dalamnya ada prosesi silaturahmi antara
masyarakat Suku Baduy dengan pemerintah setempat.
Tradisi Seba dilakukan di dua tempat, yaitu Pendopo Kabupaten Lebak dan di Kota Serang sebagai pusat
Provinsi Banten. Sejarah Upacara Seba Seba adalah kata dalam bahasa Baduy yang artinya persembahan. Dalam
konteks Upacara Seba, masyarakat Baduy atau Urang Kanekes akan mempersembahkan hasil panen kepada
pemerintah. Berdasarkan sejarahnya, Seba sudah dilakukan oleh masyarakat Baduy dalam kurun waktu yang lama.
Konon, upacara Seba ini sudah berlangsung sejak ratusan tahun silam, tepatnya pada masa kejayaan
Kesultanan Banten. Tradisi Seba ini juga menjadi wujud kesetiaan dan ketaatan Suku Baduy kepada pemerintah.
Pemerintah yang dimaksud dalam hal ini adalah Pemerintah Kabupaten Lebak dan Pemerintah Provinsi Banten.
Tujuan Upacara Seba Upacara Seba dapat diartikan sebagai kunjungan resmi masyarakat Baduy setelah
musim panen. Seba didahului oleh upacaa Kawalu, yaitu ungkapan terima kasih kepada Tuhan atas keberhasilan
panen. Secara umum, Seba memiliki tujuan berupa harapan keselamatan dan ungkapan rasa syukur. Adapun tujuan
upacara Seba secara khusus antara lain membawa amanat pu’un atau ketua adat, memberikan laporan,
menyampaikan harapan, dan menyerahkan hasil bumi.
Prosesi Upacara Seba Lihat Foto Tradisi Seba Baduy digelar terbatas di Pendopo Kabupaten Lebak, Jumat
(21/5/2021)(KOMPAS.COM/ACEP NAZMUDIN) Dalam praktiknya, upacara Seba diikuti oleh ribuan
masyarakat Baduy Luar dan Baduy Dalam. Kedua kelompok masyarakat Baduy itu akan dibedakan dengan warna
pakaian yang dikenakan. Baduy Dalam mengenakan busana dan ikat kepala berwarna putih. Sedangkan Baduy
Luar mengenakan pakaian berwarna hitam dan ikat kepala berwarna biru. Sebelum Seba dilakukan, Urang
Kanekes akan menggelar upacara kawalu terlebih dahulu selama 3 bulan. Kawalu merupakan ungkapan rasa
syukur kepada Tuhan dan upacaranya dibagi dalam tiga sesi. Pada sesi ketiga akan tampak nuansa religi yang
kental, seperti orang berusia 15 tahun ke atas akan berpuasa. Setelah Kawalu, masyarakat Baduy akan melanjutkan
dengan upacara Ngalaksa. Ngalaksa ini berupa silaturahmi kepada kerabat dan tetangga, seraya membawa hasil
panen. Setelah Ngalaksa usai, maka upacara Seba pun akan segera dimulai.
Adapun waktu pelaksanaan Seba sendiri sudah disepakati baik oleh sesepuh adat maupun oleh pemerintah
setempat di semua level. Berikutnya, sesepuh adat akan menyeleksi warga Baduy yang akan turut dalam
pelaksanaan upacara Seba. Seleksi dilakukan untuk memilih warga yang sehat secara fisik, karena mereka akan
berjalan kaki hingga 80 kilometer. Upacara Seba diawali dengan pengucapan tatabean oleh salah seorang ketua
adat yang ditunjuk. Tatabean adalah ucapan seserahan warga Baduy kepada bupati dan disampaikan dalam bahasa
Baduy. Tatabean ini berisi tentang laporan kondisi warga Baduy, termasuk kondisi panen, lingkungan, dan
kesehatan mereka. Setelah Tatabean, akan dilakukan dialog. Dalam hal ini, pihak pemerintah baik bupati maupun
gubernur akan menanggapi laporan Tatabean tadi. Upacara Seba diakhiri dengan penyerahan hasil panen Baduy
kepada Bupati. Sebaliknya, pihak pemerintah akan menyerahkan bingkisan kepada perwakilan warga Baduy.
PASOLA

Kabupaten Sumba Barat Daya, Propinsi Nusa Tenggara Timur mempunyai ritus Pasola yang sangat
karakteristik dengan muatan sejarah yang sudah mentradisi. Pasola pertama digelar di Kodi kemudian di
Wanokaka, Gaura dan Lamboya. Gelar pasola di daerah-daerah itu berbeda namun tetap dalam kurun waktu
Pebruari dan Maret setiap tahun. Penanggalannya ditentukan oleh rato (tokoh adat yang berwenang).
            Menyebut Pasola bagi masyarakat Kodi tidak bisa dilepaskan dari kisah kembara purba tiga
bersaudara Ngongu Toumatutu, Yagi Waikareri, dan Ubu Dulla dari kampung Waiwuang (sebuah perkampungan
adat di Wanokaka). Kisah yang kemudian melahirkan tokoh sentral Rabu Kaba. Dara purba inilah yang kemudian
merangkaikan jalinan kawin mawin Waiwuang (Wanukaka) dengan Tossi (Kodi) dimana memeteraikan ritus,
“Nyale dan Pasola” yang digelar mentradisi hingga kini.
Pasola adalah upacara ritual Marapu yang diselenggarakan oleh orang Sumba bagian barat untuk
merayakan musim tanam padi. Pasola merupakan bentuk ritual untuk menghormati Marapu, mohon pengampunan,
kemakmuran dan untuk hasil panen yang melimpah. Upacara ini biasanya diselenggarakan dalam bulan Pebruari
di daerah Lamboya dan Kodi, dan pada bulan Maret di daerah Gaura dan Wanukaka. Perayaan puncak mulai 6
(enam) sampai 8 (delapan) hari setelah bulan purnama. Saat itu pantai bagian selatan menjadi tempat munculnya
milyaran cacing nyale yang kecil-kecil. Pemandangan seperti ini menjadi tanda musim pasola dimulai.
Selain Pasola, para “prajurit” duduk di atas punggung kuda sambil melemparkan lembing kayu kepada
penunggang kuda yang lainnya. Yang menjadi lawan dalam pasola ialah dari suku lain. Para penunggang kuda
adalah mereka yang mempunyai ketangkasan menunggang kuda dan melempar lembing. Menurut kepercayaan
para leluhur, darah yang tumpah akan menyuburkan tanah dan menghasilkan panen yang melimpah. Semakin
banyak darah yang tumpah, maka panen akan lebih baik. Para penganut kepercayaan marapu yakin bahwa setiap
tetes darah yang ditumpahkan (korban binatang atau terluka bahkan mati di lapangan pasola) dianggap sebagai
tanda kemakmuran yang akan datang. Pada akhirnya darah yang tertumpah dan kekerasan pasola, harmoni dengan
alam dan ciptaan dapat diperbaharui di dalam masyarakat Sumba. Dengan demikian mereka hidup dengan bahagia,
sejahtera dan sama-sama senang dan puas.
TRADISI LOMPAT BATU NIAS: SEJARAH, MAKNA, DAN WAKTU PELAKSANAAN

KOMPAS.com - Tradisi lompat batu disebut hombo atau fahombo dilakukan suku Nias, Provinsi Sumatera
Utara. Tradisi ini hanya dilakukan oleh laki-laki. Tradisi ini bisa ditemukan Desa Bawomataluo. Desa adat di
Kabupaten Nias Selatan yang kental dengan Tradisi Lompat Batu. Bawomataluo dalam bahasa Nias berarti bukit
matahari. Penamaan desa tersebut sesuai dengan nama letaknya yang berada di atas bukit dengan ketinggian 324
meter di atas permukaan laut. Desa ini telah dibangun berabad-abad yang lalu.
Tradisi Lompat Batu biasanya dilakukan para pemuda dengan cara melompati tumpukan batu setinggi 2
meter untuk menunjukkan bahwa mereka pantas dianggap dewasa secara fisik. Selain ditampilkan secara adat,
tradisi lompat batu juga menjadi pertunjukkan menarik, khususnya bagi para wisatawan yang datang ke sana.
Kabupaten Nias Selatan mempunyai luass wilayah 1.825,2 km2. Wilayahnya berada di bagian barat pulau
Sumatera dengan jarak kurang lebih 92 mil dari Kota Sibolga atau Kabupaten Tapanuli Tengah. Ibu kota Nias
Selatan adalah Teluk Dalam yang berkedudukan di pulau Nias.
Sejarah Tradisi Lompat Batu Tradisi Lompat Batu telah berlangsung berabad-abad yang lalu. Tradisi
dilestarikan bersama budaya megalitikum di pulau seluas 5.625 km2  yang berpenduduk 700.000 jiwa dan di
kelilingi Samudera Hindia. Tradisi Fahombo diwariskan secara turun-temurun pada anak laki-laki. Namun, tidak
semua anak laki-laki sanggup melakukan tradisi ini, meskipun mereka telah dilatih sejak kecil. Masyarakat Nias
percaya bahwa selain latihan ada unsur magis dari roh leluhur untuk seseorang yang berhasil melompati batu
dengan sempurna.
Awalnya, tradisi lompat batu berasal dari kebiasaan berperang antar desa suku-suku di pulau Nias.
Masyarakat Nias memiliki karakter keras dan kuat diwarisi dari budaya pejuang perang. Dahulu, suku-suku di
Pulau Nias sering berperang karena terprovokasi oleh rasa dendam, pembatasan tanah, atau masalah perbudakan.
Masing-masing desa lalu membentengi wilayah dengan batu atau bambu setinggi 2 meter.
Oleh karena itu, tradisi lompat batu lahir dan dilakukan sebagai sebuah persiapan sebelum berperang. Para
bangsawan dari strata balugu yang memimpin pulau Nias saat itu akan menentukan pantas atau tidaknya seseorang
pria Nias menjadi prajurit perang. Kriterianya, selain memiliki fisik yang kuat, seorang prajurit perang juga
menguasai ilmu bela diri dan ilmu-ilmu hitam. Mereka juga harus dapat melompati batu bersusun setinggi 2 meter
tanpa menyentuh permukaannya sedikitpun sebagai tes akhir. Pada zaman dulu, atraksi fahombo tidak hanya
memberikan kebanggaan bagi pemuda Nias tetapi juga untuk keluarga mereka.
Keluarga yang anaknya telah berhasil dalam fahombo akan mengadakan pesta dengan menyembelih
beberapa ekor ternak. Tradisi Lompat Batu sebagai Simbol Budaya Nias Kini, tradisi lompat batu bukan untuk
persiapan perang antar suku atau antar desa tetapi sebagai ritual dan simbol budaya orang Nias. Tradisi ini
menjaddi atraksi budaya untuk mengisi acara yang biasanya ditampilkan bersama atraksi tari perang, yang
merupakan saduran dari peperangan di masa lampau. Namun karena, tari perang melibatkan puluhan orang maka
atraksi budaya dapat menampilkan lompat batu saja.
SEKATEN: ASAL USUL, PROSESI, TRADISI, DAN PANTANGAN

KOMPAS.com - Sekaten adalah rangkaian kegiatan tahunan yang dijadikan sebagai peringatan Maulid
Nabi Muhammad SAW yang diadakan oleh Keraton Surakarta dan Yogyakarta. Sekaten berasal dari Daerah
Istimewa Yogyakarta yang dilaksanakan setiap tanggal 5 sampai 11 Rabi’ul Awal dan ditutup dengan upacara
Garebeg Mulud pada 12 Rabi’ul Awal. Awal mula adanya Sekaten yaitu dimulai dari kerajaan-kerajaan Islam di
tanah Jawa pada zaman Kesultanan Demak. Saat itu, orang Jawa menyukai gamelan pada hari raya Islam, yaitu
hari lahirnya Nabi Muhammad, sehingga dimainkanlah gamelan di Masjid Agung Demak.
Tercetusnya nama Sekaten sendiri diadaptasi dari kata syahadatain yang berarti persaksian (syahadat) yang
dua. Kemudian mengalami perluasan maksa menjadi: sahutain (menghentikan atau menghindari perkara dua, yaitu
sifat lacur dan menyeleweng), sakhatain (menghilangkan perkara dua, yaitu watak hewan dan sifat setan)
sakhotain (menanamkan dua perkara, yaitu selalu memelihara budi suci atau budi luhur yang selalu mendambakan
diri pada Tuhan) sekati (setimbang, orang hidup harus bisa menimbang atau menilai hal-hal yang baik dan buruk)
sekat (batas, orang hidup harus membatasi diri untuk berlaku jahat).
Prosesi  Upacara tradisional Sekaten dilakukan selama tujuh hari, adapun tahapan-tahapannya sebagai
berikut: Gamelan sekaten dibunyikan pada pukul 16.00 sampai kira-kira jam 23.00 pada tanggal 5 Rabi’ul Awal
Gamelan dipindahkan ke pagongan di halaman Masjid Besar mulai jam 23.00. Hadirnya Sri Sultan beserta
pengiringnya ke serambi Masjid Besar untuk mendengarkan pembacaan Riwayat kelahiran Nabi Muhammad
SAW, diselenggarakan pada tanggal 11 Rabi’ul Awal. Dikembalikannya gamelan sekaten dari halaman Masjid
Besar ke Kraton sebagai tanda berakhirnya upacara Sekaten.
Terdapat dua tradisi yang dilakukan selama Sekaten berlangsung, yaitu Grebeg Muludan dan Numpak
Wajik. Grebeg Muludan Grebeg Muludan diadakan pada tanggal 12 Rabi’ul Awal atau sebagai acara puncak
peringatan Sekaten. Tradisi ini dimulai dari pukul 08.00 sampai 10.00 WIB dikawal dengan 10 macam bregada
(kompi) prajurit Kraton. Prajurit tersebut adalah wirabraja, dhaheng, Patangpuluh, Jagakarya, Prawiratama,
Nyutra, Ketanggung, Mantrirejo, Surakarsa, dan Bugis. Pada tradisi ini aka nada sebuah gunungan yang berisikan
beras ketan, makanan, buah-buahan, serta sayuran yang dibawa dari Istana Kemandungan ke Masjid Agung untuk
didoakan. Setelah didoakan, bagian gunungan yang dianggap sacral akan dibawa pulang dan ditanam di sawah
atau ladang agar sawah mereka dapat tumbuh subur dan terbebas dari bencana.
Upacara Numpak Wajik dilaksanakan dua hari sebelum Grebeg Muludan, diadakan di halaman Istana
Magangan pada pukul 16.00. Upacara ini berisikan kotekan atau permainan lagu menggunakan kentongan,
lumping (alat untuk menumpuk padi) dan sejenisnya. Numpak Wajik menjadi tanda awal pembuatan gunungan
yang akan diarak pada saat acara Grebeg Muludan.
Lagu-lagu yang dimainkan dalam upacara Numpak Wajik adalah lagu Jawa popular, seperti Lompong
Keli, Tundhung Setan, Owal Awil, dan lainnya. Pantangan  Dalam pelaksanaan upacara tradisional terdapat
beberapa pantangan, yaitu sebagai berikut: Abdi dalem niyaga (penabuh gamelan) semala menjalankan tugasnya
memukul gamelan pusaka Kyai Sekati dilarang untuk melakukan hal-hal tercela, baik perkataan maupun
perbuatannya. Selain itu para abdi dalem juga pantang melangkahi gamelan pusaka, dilarang untuk menabuh atau
memukul gamelan sebelum menyucikan diri dengan berpuasa dan mandi jamas. Pantangan lainnya adalah, para
abdi dalem niyaga pantang membunyikan gamelan pada malam Jumat dan hari Jumat siang, sebelum lewat waktu
shalat dhuhur.  
MENGENAL RAMBU SOLO, UPACARA PEMAKAMAN ADAT TORAJA,
DARI PROSESI HINGGA BIAYA

KOMPAS.com - Rambu Solo adalah upacara pemakaman adat Toraja, Sulawesi Selatan sebagai bentuk
penghormatan terakhir kepada orang yang telah meninggal. Rambu Solo juga bertujuan untuk mengantarkan
arwah seseorang yang telah meninggal ke alam roh. Masyarakat Toraja menganggap orang yang sudah meninggal
telah benar-benar meninggal jika seluruh kebutuhan prosesi upacara Rambu Solo terpenuhi. Jika belum, maka
orang meninggal tersebut akan diperlakukan layaknya orang sakit, sehingga harus disediakan makanan, minuman,
dan dibaringkan di tempat tidur.
Secara harfiah, Rambu Solo diartikan sinar yang arahnya ke bawah. Dengan demikian, Rambu Solo
diartikan sebagai upacara yang dilakukan saat matahari terbenam. Istilah lain Rambu Solo adalah Auk Rampe
Matampu. Upacara Rambu Solo memakan biaya yang tidak sedikit maka upacara dilakukan beberapa bulan atau
beberapa tahun, bahkan bertahun setelah seseorang meninggal.
Besarnya biaya upacara Rambu Solo karena upacara ini membutuhkan penyembelihan kerbau atau babi
yang jumlahnya tidak sedikit (Ma'tinggoro Tedang) dan lamanya prosesi upacara. Pemberian babi atau kerbau
kepada keluarga yang ditinggalkan sebagai wujud ikatan kekeluargaan. Pemberian babi atau kerbau kepada
keluarga yang ditinggalkan memiliki dua wujud, yaitu pertama sebagai bentuk belasungkawa (Pa'uaimata) dan
pengembalian atas pemberian yang dilakukan oleh keluarga pelaksana Rambu Solo di masa lalu (Tangkean Suru').
Prosesi upacara pemakaman Rambu Solo dibagi ke dalam dua garis besar, yaitu: Prosesi pemakaman atau
Rante Pertunjukkan kesenian Kedua prosesi tersebut tidak dilaksanakan terpisah melainkan berlangsung secara
harmoni dalam satu kegiatan upacara pemakaman. Lama upacara Rambu Solo sekitar tiga sampai tujuh hari.
Puncak acara Rambu Solo biasanya berlangsung pada Juli dan Agustus.
Upacara Rambu Solo dilakukan berdasarkan status orang yang meninggal: Upacara Dasili' adalah upacara
pemakaman yang dilakukan untuk strata paling rendah atau kematian anak yang belum bergigi. Upacara
Dipasangbongi adalah upacara yang dilakukan untuk rakyat biasa (Tana' Karurung) dan hanya memerlukan waktu
satu malam saja. Upacara Dibatang atau Digoya Tedong adalah upacara yang dilakukan untuk kalangan
bengsawan menengah (Tana' Nassi). Upacara ini harus menyembelih 8 ekor kerbau dan 50 ekor babi. Upacara
Rampasan adalah upacara untuk bangsawan tinggi (Tana' Bulaan) dengan menyembelih kerbau sebanyak 24
sampai 100 ekor.
Prosesi pemakaman atau Rante dilakukan di lapangan yang terletak di tengah kompleks rumah adat
Tongkanan. Proses Rante terdiri dari: Ma'tudan Mebalun, yaitu proses dimana jenazah dibungkus menggunakan
kain kafan (Dibalun) yang dilakukan oleh petugas yang disebut To Mebalun atau To Ma'kaya. Ma'Rato, yaitu
proses pembubuhan atau menghias peti jenazah dengan menggunakan benang emas dan benang perak.
Ma'Papengkalo Alang, yaitu proses penurunan jenazah ke dalam lumbung untuk disemayangkan. Ma'Palao atau
Ma'Pasonglo, yaitu proses pengantaran jenazah dari area rumah Tongkanan ke kompleks pemakaman yang disebut
Lakkian. Masyarakat Toraja mempunyai prinsib dimana semakin tinggi jenazah itu diletakkan maka semakin cepat
rohnya menuju nirwana.

Anda mungkin juga menyukai