Anda di halaman 1dari 6

1.

Rambu Solo'

Rambu Solo’/Aluk Rampe Matampu’ merupakan rangkaian upacara yang menyangkut kematian
dan pemakaman manusia. Upacara dilaksanakan setelah lewat tengah hari, sinar matahari mulai
terbenam menunjukkan kedukaan atas kematian/pemakaman manusia. Ritual/kurban
persembahan dari upacara ini dilakukan di sebelah barat tongkonan. Rambu Solo’/Aluk Rampe
Matampu’ dianggap sebagai upacara untuk menyempurnakan kematian seseorang. Saat perayaan
upacara ini, ada berbagai persembahan yang diberikan oleh masyarakat kepada para dewa dan
leluhur. Saat diselenggarakan, orang yang datang ke upacara tersebut akan memberikan kerbau
atau babi kepada keluarga yang berduka sebagai tanda ikatan darah. Selain itu, ada berbagai
persembahan yang dipersembahkan kepada para leluhur bermakna sebagai permohonan agar
mendapatkan berkat dan berbagai kebutuhan hidup di dunia.

2. Ma' Nene

Ma’ Nene, begitulah nama ritual ini dikenal. Ritual ini merupakan kegiatan mengenang dan
membersihkan jasad para leluhur yang sudah ratusan tahun meninggal dunia. Sebutan
masyarakat suku Toraja pada acara mengenang leluhur ini adalah ma’nene atau ma’putu’ dalam
artian bahasa Indonesia yaitu “membungkus kembali". Walaupun sudah tidak banyak yang
melakukan ritual ini, tapi di beberapa daerah seperti Lembang Bululangkan Kecamatan Rinding
Allo yang masih melaksanakannya secara rutin yaitu 3 tahun sekali. Berdasarkan hasil
wawancara dengan seorang informan mengenai persepsi ma’ nene yang menganut aluk todolo
bahwa: Prosesi dari ritual Ma’ Nene dimulai dengan para anggota keluarga yang datang ke
Patane untuk mengambil jasad dari anggota keluarga mereka yang telah meninggal. Patane
merupakan sebuah kuburan keluarga yang bentuknya menyerupai rumah. Lalu setelah jasad
dikeluarkan dari kuburan, kemudian jasad itu dibersihkan. Pakaian yang dikenakan jasad para
leluhur itu diganti dengan kain atau pakaian yang baru. Biasanya ritual ini dilakukan serempak
satu keluarga atau bahkan satu desa, sehingga acaranya pun berlangsung cukup panjang. Setelah
pakaian baru terpasang, lalu jenazah tersebut dibungkus dan dimasukan kembali ke Patane.
Rangkaian prosesi Ma’ Nene ditutup dengan berkumpulnya anggota keluarga di rumah adat
Tongkonan untuk beribadah bersama. Ritual ini biasa dilakukan setelah masa panen berlangsung,
kira-kira di bulan Agustus akhir. Pertimbangannya karena pada umumnya para keluarga yang
merantau ke luar kota akan pulang ke kampungnya, sehingga semua keluarga dapat hadir untuk
melakukan prosesi Ma’ Nene ini bersama-sama.

3. Accera Kalompoang (Gowa)

Gowa juga memiliki upacara adat, yaitu Accera Kalompoang, yang diadakan setiap hari raya
Iduladha. Tujuan dari upacara ini adalah sebagai persembahan untuk Kerajaan Gowa dan
diadakan selama dua hari berturut-turut. Dalam upacara adat Sulawesi Selatan ini, ditandai
dengan kerbau yang disembelih, juga pemanggilan leluhur. Pada hari kedua, upacara dilakukan
dengan mengambil air dari sebuah sumur yang ada di Katangka, Gowa dan air ini kemudian
diarak oleh masyarakat sekitar yang memakai pakaian adat.

4. Rambu Tuka'
Rambu Tuka'/Alluk Rampe Matallo merupakan upacara-upacara dalam rangka syukuran atas
keselamatan dan kehidupan manusia serta mahluk hidup lainnya. Dilaksanakan pada saat sinar
matahari naik di sebelah timur tongkonan.

5. Katto Bokko

Kali ini ada upacara adat yang dilakukan oleh Kerajaan Marusu yang ada di Maros, yakni Katto
Bokko. Upacara ini digelar setiap tahun sebagai ungkapan rasa syukur ketika masa panen tiba.
Upacara ini dilakukan dengan cara pergi bersama-sama menuju sawah adat, atau yang biasa
disebut sebagai torannu. Masyarakat akan berjalan beriringan dengan memakai pakaian adat
Bugis-Makassar. Hasil panen yang sudah didapat kemudian diikat, dihias, dan diarak. Jika hasil
panen sudah terkumpul, akan dilakukan upacara adat yang dipimpin oleh seorang pemangku
adat.

6. Ma' Pasilaga Tedong (Adu Kerbau)


Ma’pasilaga Tedongatau Adu Kerbau, merupakan kerbau- kerbau yang dikurbankan akan di adu
pada acara ini namun hanya kerbau-kerbau yang berukuran besar. Prosesi ini di pimpin langsung
oleh ketua adat yang di hadiri oleh pihak keluarga dan semua kalangan masyarakat yang ingin
datang menyaksikan adu kerbau. Sebelum acara dimulai kerbau-kerbau akan dikumpulkan
kemudian dibawa menuju ketempat yang telah ditentukan biasanya disawah atau di tanah yang
luas dan rata. Ma’pasilaga Tedong; Adu Kerbau. Kerbau- kerbau yang dikurbankan akan di adu
pada acara ini. Prosesi di awali dengan pemotongan beberapa ekor babi. Prosesi ini di pimpin
langsung oleh ketua adat yang di hadiri oleh pihak keluarga dan semua kalangan masyarakat
yang ingin datang menyaksikan adu kerbau. Sebelum acara dimulai terlebih dahulu dilakukan
pembagian daging kepada para To Parengnge’, To Makaka, pemuka adat dan para gembala
kerbau (To Mangkambi’) setelah itu dilaksanakan makan bersama yang dilaksanakan di Lantang
kemudian kerbau-kerbau akan dikumpulkan di Uluba’bah lalu dibawa oleh para gembala (To
Mangkambi’) menuju ketempat yang telah ditentukan (di lapangan terbuka atau sawah) di luar
Tongkonan.

7. Sisemba

Sisemba adalah tradisi masyarakat suku Toraja yang telah diwariskan turun temuruan sebagai


bentuk rasa syukur dari hasil panen yang telah dihasilkan.Tradisi ini digelar dengan
tari Ma’gallu, serta Ma’ lambuk atau menumbuk padi secara beramai-ramai. Para tetua adat akan
memberi wejangan yang berisi pesan leluhur tentang aturan bertani. Warga yang memadati
lokasi pesta panen disuguhkan tarian Ma’gallu. Tarian ini memiliki makna sebagai bentuk rasa
syukur kepada tuhan atas hasil panen yang dihasilkan. sesuai namanya sisemba yang berarti adu
kaki, para pria yang yang berusia 15 tahun keatas melakukan tradisi ini secara berkelompok.

8. Mappalili

Tradisi Mappalili yakni upacara sebagai tanda untuk memulai menanam padi, sekaligus
ungkapan rasa syukur masyarakat Bugis atas limpahan rezeki dari Tuhan Yang Maha Esa yang
diterima selama setahun penuh. Menurut bahasa, Mappalili artinya menjaga susuatu yang akan
mengganggu atau menghancurkannya. Dalam ritual adat Tradisi Mappalili adabenda pusaka
yang dicuci atau dibersihkan selama setahun sekali, yakni berupa bajak sawah yang digunakan
dalam ritual adat Mappalili. Mappalili dilaksanakan setiap tahun antara bulan November-
September. Ritual ini dijalankan oleh para pendeta Bugis Kuno yang dikenal dengan sebutan
bissu. Upacara ini di lakukan oleh kumunitas bissu yang ada di wilayah Kabupaten Bone,
Pangkap, Soppeng, dan Wajo.

9. Mappadekko

Mappadekko yaitu ritual masyarakat yang bermata pencaharian sebagai petani, mereka


melaksanakan ini karena mereka percaya bahwa jenis tanaman khususnya padi ada
penunggunya. Di Desa Walenreng Kecamatan Cina Kabupaten Bone, juga dipercaya bahwa
penunggu padi adalah seorang perempuan yang umum dikenal dengan nama Dewi Sri atau
Sangiasseri. Karena latar belakang kepercayaan itu, masyarakat petani senantiasa melaksanakan
pesta upacara panen yang disebut mappadekko yaitu upacara menumbuk padi muda.
Mappadekko berasal dari kata adengka ase lolo. Jadi mappadekko yaitu kegiatan menumbuk
padi muda, hasil panen yang sudah dirontokkan dengan cara menumbuk dengan lesung, suara alu
(kayu penumbuk) dengan lesung sehingga membentuk suara yang khas gerakan dan bunyi
tumbukan berirama inilah yang menjadi asal-usul mappadekko.

Anda mungkin juga menyukai