Anda di halaman 1dari 12

Sosial Budaya Masyarakat Sulawesi Selatan

I. Adat Istiadat
Kebudayaan Suku Makassar Tak jauh berbeda dengan suku bugis, Suku Makassar
atau Orang Mangasara sebagian besar menetap di daerah Sulawesi Selatan.
a. Upacara Adat
Berikut beberapa ritual upacara adat dari daerah Makassar:
Accera kalompong
Accera Kalompoang merupakan upacara adat untuk membersihkan benda-
benda pusaka peninggalan Kerajaan Gowa yang tersimpan di Museum Balla
Lompoa. Inti dari upacara ini adalah allangiri kalompoang, yaitu pembersihan
dan penimbangan salokoa (mahkota) yang dibuat pada abad ke-14. Mahkota
ini pertama kali dipakai oleh Raja Gowa, I Tumanurunga, yang kemudian
disimbolkan dalam pelantikan Raja- Raja Gowa berikutnya.

Pencucian benda-benda kerajaan tersebut menggunakan air suci yang


diawali dengan pembacaan surat Al-Fatihah secara bersama-sama oleh para peserta
upacara yang dipimpin oleh seorang Anrong Gurua (Guru Besar). Khusus untuk
senjata-senjata pusaka seperti keris, parang dan mata tombak, pencuciannya
diperlakukan secara khusus, yakni digosok dengan minyak wangi, rautan bambu,
dan jeruk nipis. Pelaksanaan upacara ini tidak hanya disaksikan oleh para
keturunan Raja-Raja Gowa, tetapi juga oleh masyarakat umum dengan syarat harus
berpakaian adat Makassar pada saat acara.
Mappalili
Mappalili adalah upacara mengawali musim tanam padi di sawah. Ritual ini
dijalankan oleh para pendeta Bugis Kuno yang dikenal dengan sebutan bissu. Selain
di Pangkep, komunitas bissu ada di Bone, Soppeng, dan Wajo. Ritual dipimpin
langsung Seorang Bissu Puang Matoa.

Puang Matoa terlihat begitu berwibawa di antara bissu yang berkumpul di


rumah arajang, yakni tempat pusaka berupa bajak sawah disemayamkan.
Mengenakan kemeja bergaris dengan warna dominan putih, dipadu sarung putih
polos dan songkok. Suara santun dan tegas selalu keluar dari mulutnya. Tak ada
teriakan sedikit pun. Sebagai pengganti teriakannya, Puang Matoa menggunakan
katto-katto, sejenis pentungan yang khusus untuk memanggil anak laki-laki, dan
kalung-kalung, nama alat untuk memanggil anak perempuan.

b. Adat Perkawinan
Untuk tata cara upacara adat Makassar dalam acara perkawinan memiliki
beberapa proses atau tahapan upacara adat, antara lain:
1. Ajangang-jangang (Mamanu-manu).
2. Asuro (Massuro) atau melamar.
3. Apanassar (Patenreada) atau menentukan hari.
4. ApanaiLeko Lompo (erang-erang) atau sirih pinang.
5. Abarumbung (Mappesau) atau mandi uap, dilakukan selama 3 (tiga) hari.
6. Appassili bunting (Cemmemappepaccing) atau siraman dan Abubbu (
mencukur rambut halus dari calon mempelai).
7. Akkorontigi (Mappacci) atau malam pacar.
8. Assimorong atau akadnikah.
9. Allekka bunting (Marolla) atau mundumantu.
10. Appabajikang bunting atau menyatukan kedua mempelai.

c. Adat Kelahiran
Tata cara upacara adat kelahiran di Makassar disebut juga dengan istilah
Upacara Daur Hidup atau Inisiasi. Masa kehamilan pertama pada suatu keluarga
merupakan suatu waktu yang penuh perhatian dari kedua belah pihak keluarga.

Masa kehamilan pada bulan pertama sampai dengan bulan keempat disebut
angngirang. Dalam masa ini muncul keaneh-anehan bagi calon ibu, baik dalam
tingkah laku maupun dalam keingin-inginannya. Kedua belah keluarga berusaha
memenuhi keinginan calon ibu tersebut terutama yang berupa makanan. Apabila
keinginan-keinginan itu tidak dipenuhi akan berakibat tidak baik bagi bakal bayi
yang akan dilahirkan. Selama masa kehamilan berlaku pantangan-pantangan bagi
si calon ibu, maupun si calon ayah.

Appasilli

Apabila kandungan telah berusia tujuh bulan, maka diadakan upacara


appasilli. Pada upacara ini kedua belah pihak dari keluarga menyediakan macam-
macam panganan, di antaranya terdapat kanre jawa picuru (makanan yang
mempunyai arti simbolis), serta buah-buahan.
Acara pertama dalam upacara ini, ialah memandikan calon ibu dengan
suaminya (nipassilli) dengan maksud untuk menjaga calon ibu maupun bayi yang
akan lahir, dengan mengusir dan menolak pengaruh-pengaruh jahat. Selesai mandi
calon ibu dan bapak berpakaian adat, kemudian bersanding menghadapi hidangan
yang disediakan dan dikerumuni oleh sanak suami istri tersebut disuruh memilih
salah satu macam penganan yang tersedia yang paling di inginkan. Dari penganan
yang diambil, dapat diramal jenis kelamin bayi yang akan dilahirkan. Sesudah bayi
lahir, maka bayi bersama plasentanya diletakkan di atas kapparak.

d. Adat Kematian

Upacara Adat Kematian di Makassar disebut dengan Ammateang. Upacara


ini biasanya diawali dengan para tetangga atau kerabat akan pergi melayat sambal
membawa sidekka (Sumbangan kepada keluarga yang ditinggalkan) berupa barang
atau kebutuhan untuk mengurus mayat. Mayat belum mulai dimandikan sebelum
semua anggota terdekatnya hadir. Memandikan mayat biasanya dilakukan oleh
kerabat terdekat orang yang meninggal.
Ada beberapa hal yang perlu dilakukan ketika memandikan mayat, yaitu:
- pajenekang (menyiramkan air ke tubuh mayat diiringi pembacaan doa dan
tahlil)
- pasuina ( menggosok bagian-bagian tubuh mayat)
- Pabbisina (membersihkan anus dan kemaluan mayat yang biasa dilakukan oleh
salah seorang anggota keluarga seperti anak,adik atau oleh orang tuanya)
- pamaralui (menyiramkan air mandi terakhir sekaligus mewudhukan mayat).

Sesampai dikuburan, mayat segera diturunkan kedalam liang lahat. Imam


atau tokoh masyarakat kemudian meletakan segenggam tanah yang telah dibacakan
doa atau mantera-mantera ke wajah jenazah sebagai tanda siame(penyatuan)
antara tanah dengan mayat.setelah itu, mayat ditimbuni mulai tanah sampai selesai.
Lalu Imam membacakan talkin dan tahlil dengan maksud agar si mayat dapat
menjawab pertanyaan-pertanyaan malaikat penjaga kubur dengan lancar. Diatas
pusara diletakan buah kelapa yang telah dibelah 2. Diletakan pula payung dan
cekko-cekko. Hal ini juga masih merupakan warisan kepercayaan lama bahwa
meskipun seseorang telah meninggal dunia, akan tetapi arwahnya masih tetap
berkeliaran. Karena itu, kelapa dan airnya yang diletakan diatas kuburan
dimaksudkan sebagai minuman bagi arwah orang yang telah meninggal, sedangkan
payung selain untuk melindungi rohnya, juga merupakan simbol keturunan.
II. Pakaian Adat Suku Makassar
a. Wanita

Pakaian adat wanita di Makassar disebut dengan nama Baju Bodo atau Bodo
Gesung. Diberikan nama Gesung alasannya adalah karna baju adat ini memiliki
gelembung di bagian punggungnya. Gelembung tersebut muncul akibat baju bodo
dikenakan dengan ikatan yang lebih tinggi.
Baju Bodo Gesung dibuat dari bahan kain muslin. Kain ini adalah kain hasil
pintalan kapas yang dijalin bersama benang katun. Rongga dan kerapatan benang yang
cukup renggang, menjadikan kain ini sejuk sehingga cocok dipakai di iklim tropis
seperti Sulawesi Selatan.
Baju bodo yang digunakan oleh kaum wanita merupakan baju yang hanya
menggunakan jahitan untuk menyatukan sisi kanan dan kiri kain, sementara pada
bagian bahu dibiarkan polos tanpa jahitan. Bagian atas baju bodo digunting atau
dilubangi sebagai tempat masuknya leher. Lubang leher ini pun dibuat tanpa jahitan.
Sebagai bawahan, sarung dengan motif kotak-kotak akan dikenakan dengan cara
digulung atau dipegangi menggunakan tangan kiri. Pemakaiannya dapat di
sempurnakan dengan beragam pernik aksesoris seperti kepingan-kepingan logam,
gelang, kalung, bando emas, dan cincin.
Dalam kitab Patuntung, ada aturan yang menyebutkan penggunaan warna
khusus bagi tingkatan usia wanita yang akan mengenakan baju Bodo ini, yaitu :
- Warna jingga dipakai oleh perempuan umur kurang dari 10 tahun.
- Warna jingga dan merah darah dipakai oleh perempuan umur 10-14 tahun.
- Warna merah darah dipakai oleh untuk 17-25 tahun.
- Warna putih dipakai oleh para inang dan dukun.
- Warna hijau dipakai oleh puteri bangsawan.
- Warna ungu dipakai oleh para janda.
b. Pria

Pakaian adat untuk pria di Sulawesi Selatan bernama baju bella dada. Baju ini
dikenakan bersama paroci (celana), lipa garusuk (kain sarung), dan passapu (tutup kepala
seperti peci). Model baju bela dada adalah baju bentuk jas tutup berlengan panjang dengan
kerah dan kancing sebagai perekat. Baju ini juga dilengkapi dengan saku di bagian kiri dan
kanannya.
Pakaian adat ini menggunakan kain yang lebih tebal dari kain muslin, seperti dari
kain lipa sabbe atau lipa garusuk. Sementara untuk warnanya biasanya tidak ada ketentuan
alias bisa disesuaikan dengan selera para penggunanya.
Passapu atau tutup kepala yang digunakan sebagai pelengkap baju bella dada
umumnya dibuat dari anyaman daun lontar dengan hiasan benang emas. Passapu dapat pula
tidak diberi hiasan. Passapu polos atau biasa disebut passapu guru ini lazimnya digunakan
oleh para dukun atau tetua kampung.
Selain passapu, para laki-laki juga tak ketinggalan untuk mengenakan aksesoris
pelengkap pakaian yang digunakan di antaranya adalah gelang, keris, selempang atua rante
sembang, sapu tangan, dan sigarak atau hiasan penutup kepala. Gelang yang digunakan
adalah gelang dengan motif naga dan terbuat dari emas, sehingga gelang ini dinamai gelang
ponto naga. Keris yang dipakai adalah keris dengan kepala dan sarung terbuat dari bahan
emas. Keris ini disebut pasattimpo atau tatarapeng. Sapu tangan yang dikenakan adalah
sapu tangan dengan hiasan khusus. Sapu tangan ini dinamai passapu ambara.
III. Tarian Adat Suku Makassar
Tari Pakarena

Tarian Adat Suku Makassar yang paling terkenal ialah Tari Pakarena. Tari
Pakarena ialah tarian tradisional dengan menggunakan kipas dan diiringi oleh 2
kepala drum (gandrang) dan sepasang instrument alat semacam suling (puik-puik).
Pakarena adalah bahasa setempat berasal dari kata Karena yang artinya main.
Tarian ini mentradisi di kalangan masyarakat Gowa yang merupakan wilayah bekas
Kerajaan Gowa.
Tari Paddupa

Tari Paddupa merupakan tari tradisional Bugis yang ditujukan untuk


memberikan sambutan kepada tamu atau pejabat yang hadir dalam suatu acara. Tari
Paddupa adalah perwujudan cipta, rasa, dan karsa bangsa Bugis yang
melambangkan penghormatan, keterbukaan terhadap perkembangn zaman akan
tetapi tetap memelihara adat kesopanan sebagai bangsa. Tari Paddupa dibawakan
oleh gadis-gadis cantik dengan iringan musik tradisional Bugis
IV. Senjata Tradisional
Badik

Badik atau badek adalah pisau dengan bentuk


khas yang dikembangkan oleh masyarakat Bugis dan
Makassar. Badik bersisi tajam tunggal atau ganda,
dengan panjang mencapai sekitar setengah meter.
Seperti keris, bentuknya asimetris dan bilahnya kerap
kali dihiasi dengan pamor. Namun, berbeda dari keris,
badik tidak pernah memiliki ganja (penyangga bilah).

V. Bahasa
Bahasa umum yang digunakan di daerah Sulawesi Selatan adalah:
- Bahasa Makassar adalah salah satu rumpun bahasa yang dipertuturkan di daerah
Makassar dan Sekitarnya. Tersebar di Kota Makassar, Gowa, Takalar, Jeneponto,
Bantaeng, sebagian Bulukumba sebagian Maros dan sebagian Pangkep.
- Bahasa Bugis adalah salah satu rumpun bahasa yang dipertuturkan di daerah Bone
sampai ke Kabupaten Pinrang, Sinjai, Barru, Pangkep, Maros, Kota Pare Pare,
Sidrap, Wajo, Soppeng Sampai di daerah Enrekang, bahasa ini adalah bahasa yang
paling banyak di pakai oleh masyarakat Sulawesi Selatan.
- Bahasa Toraja adalah salah satu rumpun bahasa yang dipertuturkan di daerah
Kabupaten Tana Toraja dan sekitarnya.

Ketiga Bahasa ini adalah Bahasa utama yang di gunakan di daerah Sulawesi
Selatan, hal ini disebabkan karena walaupun Di Sulsel terdapat banyak suku/etnis tapi yang
paling mayoritas adalah Makassar, Bugis dan Toraja.

Etnis lainnya antara lain Mandar, Duri, Pattinjo, Bone, Maiwa, Endekan, Pattae,
dan Kajang/Konjo. Sedangkan Bahasa lainnya yang juga terdapat di Sulawesi Selatan
namun hanya sedikit yang menggunkan antara lain Bahasa Pettae, Bahasa Mandar, Bahasa
Massenrempulu, Bahasa Konjo, dan Bahasa Selayar.

VI. Lagu Daerah


Lagu daerah propinsi Sulawesi Selatan yang sangat populer dan sering dinyanyikan
di antaranya adalah lagu yang berasal dari Makasar yaitu lagu Ma Rencong-rencong, lagu
Pakarena serta lagu Anging Mamiri. Sedangkan lagu yang berasal dari etnis Bugis adalah
lagu Indo Logo, serta lagu Bulu Alaina Tempe. Sedangkan lagu yang berasal dari Tana
Toraja adalah lagu Tondo.

VII. Agama
Mayoritas beragama Islam, kecuali di Kabupaten Tana Toraja dan sebagian wilayah
lainnya beragama Kristen.

VIII. Sistem Kekerabatan


Dalam masyarakat Sulawesi Selatan ditemukan sistem kekerabatan. Sistem
kekrabatan tersebut adalah sebagai berikut:
a. Keluarga inti atau keluarga batih.
Keluarga ini merupakan yang terkecil. Dalam bahasa Bugis keluarga ini dikenal dengan
istilah Sianang , di Mandar Saruang Moyang, di Makassar Sipaanakang/sianakang,
sedangkan orang Toraja menyebutnya Sangrurangan. Keluarga ini biasanya terdiri atas
bapak, ibu, anak, saudara laki-laki bapak atau ibu yang belum kawin.
b. Sepupu.
Kekerabatan ini terjadi karena hubungan darah. Hubungan darah tersebut dilihat dari
keturunan pihak ibu dan pihak bapak. Bagi orang Bugis kekerabatan ini disebut dengan
istilah Sompulolo, orang Makassar mengistilkannya dengan Sipamanakang. Mandar
Sangan dan Toraja menyebutkan Sirampaenna. Kekerabatan tersebut biasanya terdiri
atas dua macam, yaitu sepupu dekat dan sepupu jauh. Yang tergolong sepupu dekat
adalah sepupu satu kali sampai dengan sepupu tiga kali, sedangkan yang termasuk
sepupu jauh adalah sepupu empat kali sampai lima kali.
c. Keturunan.
Kekerabatan yang terjadi berdasarkan garis keturunan baik dari garis ayah maupun
garis ibu. Mereka itu biasanya menempati satu kampung. Terkadang pula terdapat
keluarga yang bertempat tinggal di daerah lain. Hal ini bisanya disebabkan oleh karena
mereka telah menjalin hubungan ikatan perkawinan dengan seseorang yang bermukim
di daerah tersebut. Bagi masyarakat Bugis, kekerabatan ini disebut dengan Siwija orang
Mandar Siwija, Makassar menyebutnya dengan istilah Sibali dan Toraja Sangrara
Buku.
d. Pertalian sepupu/persambungan keluarga.
Kekerabatan ini muncul setelah adanya hubungan kawin antara rumpun keluarga yang
satu dengan yang lain. Kedua rumpun keluarga tersebut biasanya tidak memiliki
pertalian keluarga sebelumnya. Keluraga kedua pihak tersebut sudah saling
menganggap keluarga sendiri. Orang-orang Bugis mengistilakan kekerabatan ini
dengan Siteppang-teppang, Makassar Sikalu-kaluki, Mandar Sisambung sangana dan
Toraja Sirampe-rampeang.
e. Sikampung.
Sistem kekerabatan yang terbangun karena bermukim dalam satu kampung, sekalipun
dalam kelompok ini terdapat orang-orang yang sama sekali tidak ada hubungan
darahnya/keluarga. Perasaan akrab dan saling menganggap saudara/ keluarga muncul
karena mereka sama-sama bermukim dalam satu kampung. Biasanya jika mereka
berada itu kebetulan berada di perantauan, mereka saling topang-menopang, bantu-
membantu dalam segala hal karena mereka saling menganggap saudara senasib dan
sepenaggungan. Orang Bugis menyebut jenis kekerabatan ini dengan Sikampong,
Makassar Sambori, suku Mandar mengistilakan Sikkampung dan Toraja menyebutkan
Sangbanua.
Kesemua kekerabatan yang disebut di atas terjalin erat antar satu dengan yang lain.
Mereka merasa senasib dan sepenanggungan. Oleh karena jika seorang membutuhkan yang
lain, bantuan dan harapannya akan terpenuhi, bahkan mereka bersedia untuk segalanya.
Daftar Pustaka

1. http://adat-tradisional.blogspot.com/2016/05/pakaian-adat-sulawesi-selatan.html
2. https://jurgenirgo.wordpress.com/2016/10/21/ritual-adat-istiadat-dari-daerah-makassar/
3. http://bataragowa-art.blogspot.co.id/
4. https://id.wikipedia.org/wiki/Badik
5. https://id.wikipedia.org/wiki/Sulawesi_Selatan
6. http://bz69elzam.blogspot.co.id/2008/08/sistem-kekerabatan-orang-bugis-makassar.html
7. http://windifebrianaputri.blogspot.co.id/2016/03/kebudayaan-sulawesi-selatan.html
8. http://dianti27.blogspot.co.id/2014/01/seni-tari-paduppa.html

Anda mungkin juga menyukai