Mappadendang atau
yang lebih dikenal dengan sebutan pesta pasca panen pada suku bugis merupakan
suatu pesta syukur atas keberhasilannya dalam menanam padi kepada yang maha
kuasa. Mappadendang sendiri merupakan suatu pesta yang diadaakan dalam
rangka besar-besaran. Yakni acara penumbukan gabah pada lesung dengan
tongkat besar sebagai penumbuknya.[1] Orang-orang akan berkumpul di suatu
tempat (biasanya di tangah sawah) unruk melakukan penumbukan gabah secara
besama.
Mappadendang sendiri bukan hanya mengenai pesta pasca panen tapi juga memiliki
nilai magis tersendiri. Disebut juga sebagai pensucian gabah yang dalam artian
masih terikat dengan batangnya dan terhubung dengan tanah menjadi ase (beras)
yang nantinya akan menyatu dengan manusianya. Olehnya perlu dilakukan
pensucian agar lebih berberkah.
· Lesung panjangnya berukuran kurang lebih 1,5 meter dan maksimal 3 meter.
Lebarnya 50 cm Bentuk
· Enam batang alat penumbuk yang biasanya terbuat dari kayu yang keras atau
pun bambu berukuran setinggi orang dan ada dua jenis alat penumbuk yang
berukuran pendek, kira-kira panjangnya setengah meter.
Seiring dengan nada yang lahir dari kepiawaian para penumbuk, biasanya dua
orang laki-laki melakukan tari pakarena. Isi lesung yang ditumbuk berisi dengan
gabah atau padi ketan putih/hitam (ase punu bahasa bugis) yang masih muda dan
biasanya kalau musim panen tidak dijumpai lagi padi muda, maka biasanya padi tua
yang diambil sebagai pengganti, akan tetapi sebelum ditumbuk padi itu terlebidahulu
direbus selama 5 sampai 10 menit atau direndam air mendidih selama 30 menit
kemudian di sangrai dengan menggunakan wajan yang terbuat dari tanah liat tanpa
menggunakan minyak dengan memakai api dari hasil pembakaran kayu. [2]
Di Makassar dan sekitarnya ritual ini dikenal dengan appadekko, yang berarti
adengka ase lolo, kegiatan menumbuk padi muda. Appadekko dan Mappadendang
konon memang berawal dari aktivitas ini. Bagi komunitas Pakalu, ritual
mappadendang mengingatkan kita pada kosmologi hidup petani pedesaan sehari-
hari. “Padi bukan hanya sumber kehidupan. Ia juga makhluk manusia. Ia berkorban
dan berubah wujud menjadi padi. Agar manusia memperoleh sesuatu untuk
dimakan,” kata Ali yang seolah ingin menghidupkan kembali mitos Sangiyang Sri,
atau Dewi Sri di pedesaan Jawa, yang diyakini sebagai dewi padi yang sangat
dihormati. Selain di Makassar mappadendang juga dilakukan diberbagai daerah
lainnya. Seperti di baru, pare-pare, pinrang, dan lain-lain. Walaupun beberapa
daerah menyebut mappadendang dengan nama yang sama, tak jarang rangkaian
acara yang mereka lakukan berbeda. Seperti yang dilakukan masyarakat pinrang
yaitu menghadirkan permainan untuk anak-anak mereka. Namun, tentu saja inti
acara dan tujuan dilakukannya mappadendang disetiap daerah sama.
Ketika mappadendang dilaksanakan tak jarang masyarakat dari daerah lain akan
datang melihat kegiatan tersebut. Mereka semua akan ikut menari, menumbuk
lesung, ikut bermain, ataupun hanya sekadar bertekumpul dengan sanak saudara.
Sebenarnya selain untuk menunjukkan rasa syukur kepada tuhan akan keberhasilan
hasil panen mappadendang juga dijadikan ajang untuk mempererat tali
persaudaraan dan silaturahmi, memperkenalkan budaya bugis kepada masyarakat,
melestarikan budaya bugis, menarik wisatawan, serta memperkenalkan kue-kue
tradisional khas bugis.