TRADISI MALAMANG
DI MINANGKABAU
digunakan adalah beras ketan hitam. Dimusim durian, lamang juga banyak
dihidangkan untuk dimakan bersama buah durian.
Di Pariaman yang menjadi daerah asal lamang, membuat lamang atau
malamang tidak hanya sekedar tradisi. Lebih dari itu, malamang sudah seperti
sebuah keharusan bagi masyarakat terutama dalam memperingati Maulid Nabi
atau hari kelahiran Nabi Muhammad Saw. Tanpa malamang, masyarakat akan
merasakan sesuatu yang kurang saat peringatan Maulid Nabi.
Walikota Padang, Bapak Drs. H. Fauzi Bahar saat ditemui wartawan pada
Lomba Malamang tingkat Kota Padang tahun 2007 berkata, Malamang itu oleh
masyarakat tidak hanya sekedar tradisi yang dijalankan untuk acara tertentu
seperti Maulid Nabi saja. Lebih dari itu, malamang sudah seperti keharusan bagi
masyarakat. Malamang adalah simbol bahwa masyarakat sedang merayakan
Maulid Nabi. Tanpa malamang pasti ada sesuatu yang kurang.
Bagi masyarakat, baik kaya ataupun miskin, malamang adalah keharusan.
Walaupun keadaan ekonomi saat ini semakin sulit, malamang pada saat Maulid
Nabi adalah suatu keharusan. Segala cara diupayakan mulai dari memecah
tabungan, berhutang, atau meminta bantuan kepada saudara agar dapat membuat
lamang.
Biaya untuk membuat lamang tidaklah sedikit. Biasanya setiap keluarga
akan membuat hingga 50 batang lamang, bahkan ada yang lebih dari 100 batang.
Untuk membuat 50 batang lamang, kira-kira dibutuhkan 150 liter beras ketan dan
100 butir kelapa. Seandainya 1 liter beras ketan harganya Rp 8.000,00 dan harga
satu butir kelapa Rp 1.000,00, maka setidaknya dibutuhkan dana Rp 1.300.000,00.
Meskipun dana sebesar itu dikeluarkan oleh masyarakat, namun
kebahagiaan dan kepuasan hati menikmati lamang buatan sendiri disaat Maulid
Nabi sudah cukup untuk membayar semua biaya diatas dan kepenatan saat
membuat lamang. Inilah bukti akan kuatnya hubungan adat dan agama bagi
masyarakat Minangkabau.
Kebersamaan
Hingga saat ini tradisi malamang Indak lakang dek paneh, indak lapuak
dek hujan. Malamang masih terus dipertahankan, dan harus tetap dipertahankan
sampai kapanpun, meski zaman semakin maju dan berkembang.
Tradisi malamang tetap perlu dipertahankan dan dilestarikan sebagai
bagian
dari
budaya
Minangkabau.
Malamang
merupakan
tradisi
khas
Minangkabau sebagai makanan yang kaya akan gizi dan sarat dengan nilai moral.
Apabila dimasa depan tradisi malamang ini tidak dilestarikan dan dipertahankan,
bukan tidak mungkin tradisi ini tinggal nama dan sejarah saja.
Adanya terobosan dari Pemerintah Kota (Pemko) Padang yang
bekerjasama dengan Harian Pagi Padang Ekspres baru-baru ini dalam
mengadakan Lomba Malamang tingkat Kota Padang tahun 2007 patut diacungi
jempol. Selain dapat dijadikan sebagai ajang pariwisata, dengan adanya lomba
malamang seperti ini berarti telah turut memperkenalkan dan melestarikan tradisi
malamang di kalangan masyarakat.
Perlu juga diupayakan agar lamang dipatenkan sebagai masakan khas
Minangkabau, agar generasi dimasa yang akan datang dapat mengenal lamang
sebagai penganan khas Minangkabau yang bergizi tinggi dan penuh dengan
pesan-pesan moral dalam proses pembuatan dan penyajiannya.
Mengingat lamang juga sudah menglobal keluar Sumatera Barat hingga ke
mancanegara, pematenan lamang sebagai makanan khas Minangkabau perlu
dilakukan agar nasibnya tidak seperti rendang dan masakan khas Minang lainnya,
yang kabarnya telah dipatenkan di negeri orang. Semoga tradisi malamang ini
dapat terus dilestarikan dan dipertahankan oleh masyarakat Minangkabau.
A. Jenis-jenis Lemang atau Malamang
Ada empat jenis lemang yang biasa dibuat masyarakat di Padangpariaman.
Lemang paling umum adalah lemang ketan dari beras pulut putih. Lemang lainnya
adalah lemang kuning dari tepung beras dicampur kunyit dan air kelapa tua,
lemang pisang, dan lemang kanji (mirip dodol). Di Padangpariaman wajib bagi
sebuah keluarga memasak lemang atau malamang saat peringatan kematian
anggota keluarganya. Peringatan itu dilakukan saat acara doa malam ketiga
setelah kematian, malam ketujuh, malam dua kali tujuh (dua minggu), malam ke40, dan malam ke-100.
Jumlah lemang yang dimasak tergantung perkiraan jumlah tamu yang akan
datang melayat dan lamanya acara zikir dan doa. Sebab lemang nanti akan
dijadikan bingkisan untuk pelayat sebagai ucapan terima kasih telah membawakan
beras dan untuk "orang siak" (alim-ulama) yang melakukan zikir. Jika pelayat
diperkirakan sedikit dan acara zikir hanya sampai tengah malam, maka lemang
pulut dibuat 30 liter. Itu artinya bisa menghasilkan 60 batang lemang dari buluh
berdiameter sekitar 7 cm dengan panjang sekitar 80 cm. Sebab setengah liter beras
menghasilkan satu batang lemang. Tapi jika pelayat diperkirakan lebih banyak dan
berzikir dilakukan sampai subuh, maka lemang dibuat 100 liter atau menghasilkan
200 batang lemang. Wajib pula dibuat lemang kuning, paling tidak satu batang
saja, ini diyakini semacam "panungkek" (tongkat) bagi orang mati di alam kubur,
lemang kuning hanya dibuat khusus untuk acara kematian.
Lemang lain yang biasa dibuat sebagai tambahan adalah lemang pisang.
Lemang ini berasal dari pisang yang dihancurkan, dicampur dengan beras pulut
dan santan pekat, diberi garam dan dimasak dalam bambu. Para pelayat
perempuan yang datang membawa beras akan diberi bingkisan 3 hingga 5 potong
lemang. Pelayat khusus seperti mertua dan keluarganya yang biasa membawa
beras ditambah 10 butir telur akan diberi lemang satu batang. Lemang masingmasing satu batang juga diberi kepada beberapa ulama yang ikut berzikir.
Selain acara kematian, melemang juga dilakukan untuk santapan acara
berdoa menyambut bulan Ramadan di rumah warga, Idul Fitri, dan Idul Adha.
Tapi dewasa ini jarang dilakukan di Padangpariaman karena sudah banyak yang
menggantinya dengan membuat ketupat pulut karena lebih praktis. Melemang lain
dan biasanya besar-besaran adalah saat acara peringatan kelahiran atau Maulid
Nabi Muhammad SAW pada 12 Rabiul Awal. Jelang peringatan dilakukan di
mesjid suku atau di mesjid Nagari (Mesjid Raya), warga beramai-ramai membuat
lemang sebagai tambahan makanan. Masing-masing keluarga bisa membuat 50
liter lemang pulut.
2009
yang
merusak
lebih
100
ribu
rumah
penduduk
di
Bambu dibakar dalam waktu tertentu, hingga ketan yang ada didalam
bambu itu akan masak itu. Yang sulit itu, mematok takaran santan dengan garam
serta beras ketan pada satu ruas bambu itu. Begitu pula dengan pengapiannya.
Takaran ketan yang dimasukkan kedalam bambu memerlukan keahlian dan
ketrampilan, agar ketan itu tidak menjadi terlalu lembek atau malahan kekurangan
santan. Secara awam, dapat kita perkirakan dengan mengumpamakan memasak
ketupat ketan, yang takarannya adalah 1/2 dari ruang atau ruas ketupat.
Meskipun lemang dihidangkan sebagai menu kudapan bukan sebagai
menu utama, namun lemang ini akan terasa nikmat bila ditemani tapai ketan
hitam. Bahkan ada yang memakannya bersama rendang.
Sumber