Anda di halaman 1dari 6

CIRI KHAS DAERAH BARABAI

JUNE 19, 2014 IRFANARSYADI LEAVE A COMMENT

Tulisan tentang daerah anda (Budaya, Makanan, Ciri khas)

Ini adalah cerita singkat tentang daerah ku. Mungkin daerahku ini terpencil atau sering orang
dari luar Kalimantan banyak belum tahu daerahku ini, dan  inilah cerita singkatku dari
budaya, makanan, dan cirikhasnya:

MAKANAN KHAS BARABAI


Berbicara tentang makanan khas daerah, ternyata di Kalimatan Selatan, khususnya
Barabai banyak ditemukan jenis-jenis makanan khas. Di daerah ini dikenal iwak
pakasam, pais waluh, sarawa/kolak pisang, cengkaruk, rimpi, apam/surabi, dll.
Iwak pakasam/iwak wadi merupakan jenis ikan betuk/pepuyu, ikan sepat atau ikan gabus
yang sudah diawetkan dengan campuran garam dan samu (beras yang disangrai), sehingga
rasanya asin keasam-asaman. Bagi merke yang selera makannya sangat kurang, akan segera
terangsang seleranya jika disajikan jenis makanan ini. Apalagi jika disertai dengan jenis
sayuran pucuk gumbili (daun muda ketela pohon) yang lebih dikenal dengan sebutan urap.

Pais waluh merupakan kue yang terbuat dari buah labu dicampur dengan tepung dan sedikit
gula dikemas dke dalam daun pisang, kemudian dikukus atau bisa juga direbus.

Berbeda dengan pais waluh, sarawa/kolak pisang merupakan kue yang dibuat untuk konsumsi
dikalangan sendiri/keluarga yang bersangkutan. Artinya jarang yang membuatnya untuk
diperjual belikan. Terbuat dari pisang setengah masak diiris kecil-kecil, direbus bersama gula
merah dan santan kelapa. Kue ini sangat jarang diperdagangkan, kecuali pada saat bulan
puasa, banyak ditemukan dipasar-pasar Ramadhan di Kalimantan Selatan.
Hampir sama dengan sarawa/kolak pisang, cengkaruk yang terbuat dari bahan beras ketan
yang digoreng kemudian dihaluskan bersama-sama dengan gula merah. Kue ini hanya dibuat
oleh warga Banjar menjelang lebaran sehingga agak sulit didapakan dipasaran pada hari-hari
biasa. Dibanding dengan kue yang lain, cengkaruk merupakan kue khas yang paling
tradisional, dan hampir dilupakan.

Ada satu jenis lagi penganan khas dan unik untuk membangkitkan selera makan. Orang-
orang diluar masyarakat Banjar mungkin tak mengira kalau penganan tersebut adalah berasal
dari kulit cempedak. Proses pembuatannya, kulit cempedak masak yang sudak diambil isinya,
dibuang duri-duri luarnya, kemudian direndam dalam air yang sudah diberi garam selama
lebih kurang 3 hari. Setelah itu silakan digoreng atau diapakan saja, pasti selera makan anda
akan bergairah.

1. Pakasam

 2. Pais Waluh


3. Manai Tiwadak (Cempedak)

BERAGAM BUDAYA WARGA


MURAKATA
1. Handil Maulud
Tradisi handil maulud kita jumpai hanya di tanah Banjar dan sekitarnya. Bagi yang sudah
melalang buana ke Jawa, Sulawesi atau Malaysia, tradisi handil jarang ditemui. Di Kabupaten
Hulu Sungai Tengah, Tradisi handil, terutama handil maulud umumnya dilaksanakan malam
Jum’at, setelah shalat Isya, dengan mengambil tempat bergiliran di rumah-rumah anggota
handil. Satu Handil biasanya melingkupi satu kawasan langgar/mesjid atau satu kawasan
terdiri dari 1-2 RT.
Pertemuan handil biasanya diiisi dengan kegiatan ceramah, pembacaan surah Yasin, atau
tahlilan. Kegiatan lainnya adalah menabung, yang tabungannya dibagikan menjelang bulan
Maulud tiba, sebagai bekal untuk menyelenggarakan peringatan maulud di masing-masing
rumah. Di Bulan Maulud (Rabiul Awal), Handil Maulud inilah yang menyelenggarakan dan
mengorganisasikan kegiatan Maulud. Mereka saling mengundang pada saat tiba jadwal. Tak
jarang mereka kesulitan mencari kelompok yang bisa diundang, karena “saling tatumpang”
jadwal maulud.
2. Aruh Adat
Setiap usai panen raya, masyarakat adat atau yang lebih dikenal warga dayak Pegunungan
Meratus di Kabupaten Hulu Sungai Tengah (HST), Provinsi Kalsel, mengadakan aruh adat
(ritual syukuran hasil panen). Aruh adat yang biasa dilaksanakan di balai adat ini, setiap
warga ramai bergotong royong mempersiapkannya. Acaranya juga berlangsung lama. Jika
aruh ganal usai panen raya, waktuya bisa sampai 12 hari. Banyak rangkaian ritual hingga
hiburan yang digelar selama pesta ada tersebut usai.
Ritual yang digelar, yakni mulai bawanang (syukuran hasil padi), balian (ritual ucapan rasa
syukur diselingi musik gendang), hingga acara batandik (tarian khas dayak). Diungkapakan
slah satu tokoh warga dayak setempat, Untan, acara seperti ini memang dilaksanakan setiap
usai panen raya. Ritual ini merupakan bentuk ibadat kaharingan yang mereka anut. Semua
rangkaian ritual ini dipimpin oleh para tokoh adat atau para sesepuh yang didaulat sebagai
kepala adat. Mereka inilah yang memimpin setiap ritual. Dan puncaknya akan dilakukan
penyembelihan hewan ternak, mualai ayam, kambing, dan babi yang akan disantap bersama-
sana. Selain itu, juga disiapkan aneka kue dan makanan lamang (ketan yang dimasak dalam
batang bambu).
Aruh adat ini selain ungkapan rasa syukur kepada sag pencipta, juga menjadi sarana
silaturahmi sesama penganut kaharingan yang tersebar di beberapa balai adat. Setiap balai
yang mengadakan aruh, pasti mengundang balai lain yang tersebar di beberapa wilayah di
Kalsel.
3. Tantayungan
Nama seni tradisional tantayungan masih asing terdengar. Hasil inventarisir kesenian khas
yang dimiliki Kabupaten Hulu Sungai Tengah (HST), seni yang satu ini ternyata memang
sudah benar-benar tergerus dalam peradaban zaman. Bahkan hampir tak pernah ditampilkan
lagi.
Tempo dulu, pertunjukan tantayungan kerap ditampilkan dalam setiap acara. Seperti resepsi
perkawinan, penyambutan tamu, maupun panggung hiburan rakyat. Bentuk seni tradisonal ini
berupa tarian yang dilangkapi dengan senjata khas tombak Kalimantan. Tarian ini
mempresentasikan kisah dalam tokoh pewayangan. Sehingga tarian ini terkesan hidup
lantaran diselingi dengan dialog kelompok penari. Tarian ini sendiri diiringi dengan musik
karawitan melalui instrument babun, gong, sarunai, dan kurung-kurung. Paduan karawitan ini
sangat harmoni dengan kelompok tari yang diperankan.
Seni Tantayungan, awalnya kerap ditampilkan di sebuah desa, yakni Desa Ayuang
Kecamatan Barabai. Lalu dikembangkan di Desa Mu’ui Kecamatan Haruyan oleh salah satu
damang bernama Amat.
4. Bahadring
Salah satu proses pelaksanaan acara pesta perkawinan dalam budaya masyarakat Hulu Sungai
Tengah khususnya Barabai adalah bahadring. Yaitu, rapat masyarakat sekitar rumah
mempelai dalam rangka pelaksanaan acara pesta perkawinan.
Rapat ini dilaksanakan di rumah keluarga mempelai dengan agenda rapat membahas
persoalan kelancaran pesta perkawinan. Biasanya pada akhir rapat ditutup dengan do’a dan
dilanjutkan dengan acara makan-makan yang disediakan oleh keluarga mempelai pengantin.
Biasanya dalam bahadring ditentukan atau dicatat nama–nama yang bertugas sebagai
penerima tamu, pencuci piring, tukang suguhi makanan, tukang buat kobokan dan air minum,
tukang masak nasi dan lauk pauk hidangan pesta, tukang jaga parkir, tukang cari band untuk
hiburan, dan tukang ambil kembali piring-piring atau gelas kotor yang telah dipergunakan
para undangan pesta dan lain-lain.
Bagi yang tidak tercatat namanya karena tidak hadir saat bahadring dapat bergabung pada
salah satu tugas tersebut saat pelaksanaan acara nanti. Kemudian juga di bahas tentang hari
pelaksanaan gotong royong pembuatan dan pemasangan umbul-umbul pesta, pembuatan
panggung hiburan, pembuatan tenda-tenda tempat makan para undangan dan lain-lain.
Pada kesempatan itu masyarakat juga mengadakan sumbangan uang sukarela untuk
membantu penyelenggaraan pesta biasanya dipergunakan untuk membuat hiburan dengan
mengundang para seniman lokal. Itulah beberapa hal yang harus ditentukan sebelum acara
gotong royong penyelenggaraan pesta perkawinan dilaksanakan. Setelah pesta perkawinan
selesai maka masyarakat kembali bergotong royong merapikan atau mengembalikan
peralatan pesta perkawinan. Diantaranya, mencabut umbul-umbul pesta, melepas tenda-tenda
tempat hidangan makan, menyusun kursi dan meja untuk dikembalikan ke pemiliknya,
meruntuh kembali panggung tempat hiburan dan lain-lain. Malamnya setelah usai pesta
perkawuinan biasanya setelah sholat magrib, masyarakat kembali di undang oleh keluarga
mempelai untuk datang ke rumahnya dalam rangka pengucapan terima kasih atas semua
bantuan masyarakat yang telah mensukseskan pesta perkawinan. Kemudian acara tersebut
ditutup dengan do’a dan dilanjutkan dengan acara makan-makan yang telah disediakan
keluarga mempelai pengantin.
Budaya bahadring sudah menjadi turun temurun dilakukan masyarakat Kabupaten Hulu
Sungai Tengah. Ini merupakan salah satu cerminan positif masyarakat yang suka bergotong
royong dalam melaksanakan hajat anggotanya. Dan, budaya bahadring ini perlu dilestarikan
hingga terus dari generasi ke generasi dalam rangka mempererat hubungan silaturrahmi per
individu dalam masyarakat setempat.
5. Batumbang Anak
Salah satu tradisi pada Hari Raya baik Iedul Fitri dan Iedul Adha di desa pajukungan,
Kabupaten Hulu Sungai Tengah (HST) adalah batumbang anak. Acara ini biasanya digelar di
Mesjid Al- Munawwarah Desa Pajukungan. Tradisi Batumbang merupakan tradisi turun
temurun ratusan tahun yang lalu di desa Pajukungan ini.
Dengan batumbang diharapan anak akan cepat bisa berjalan nantinya, prosesinya pun cukup
sederhana anak digendong oleh petugas mesjid kemudian dijalankan untuk meniti anak
tangga mimbar khatib sambil diiringi dengan salawat kepada nabi. Setelah itu warga yang
sudah berkumpul di dalam mesjid bersiap-siap untuk berebut uang receh yang sudah
disediakan juga diiringi dengan salawat uang receh pun dihamburkan. acara terakhir
pembacaan doa selamat oleh petugas mesjid kue yang disajikan adalah kue khas barabai yaitu
kue apam.
Tidak hanya penduduk lokal saja warga dari luar kota juga mengikuti tradisi batumbang anak
dengan harapan dan doa agar anak nya bisa cepat berjalan disamping dan menjadi anak yang
shaleh serta berbakti kepada orang tuanya. Menurut cerita dari warga setempat mimbar ini
ada sejak mesjid ini didirikan seabad yang lalu hingga sekarang mimbar ini masih terawat
dan terlihat baik serta kokoh ditambah lagi mimbar yang terbuat dari kayu ulin ini dihiasi
ukiran kaligrafi arab menambah ke khasan mimbar pada zaman bahari.
Adanya tradisi turun menurun ini juga dapat memperkenalkan mesjid dan syiar islam kepada
anak-anak agar nantinya mereka akan menyukuri dan menikmati berkah ramadhan dan iedul
fitri di masa akan datang. Mesjid al munawarah merupakan salah satu mesjid yang sering di
datangi oleh warga luar kota bahkan pejabat negara selain mesjid keramat yang ada di desa
palajau kecamatan pandawan.
6. Bausung Ginggang
Dengan berbalut pakaian khas Banjar, sepasang mempelai pengantin tampak anggun dan
megah berjalan beiringan keluar dari rumah. Tidak jauh dari sana rombongan penari yang
berdiri di depan pintu lalu datang menghampiri. Tidak berapa lama kedua mempelai langsung
dijemput sang penari. Masing-masing pengantin kemudian langsung dinaikan ke atas pundak
salah satu penari. Dengan cara di usung (dipikul) kedua mempelai lalu diarak sambil diiringi
tetabuhan gamelan Banjar dan sejumlah penari yang sejak tadi siap menggiring mereka.
Keduanya lalu diusung berjalan menuju rumah sang mempelai pria.
Upacara penyambutan kedatangan sang mempelai pun terasa unik dengan disambut dengan
kuda gipang raden perbaya lalu kedua  mempelai  juga  dimberi  pantun nasehat oleh seorang
dayang. Setelah puas diarak, kedua raja sehari itu kemudian disambut keluarga mempelai
pria. Kemudian kduanya lalu disandingkan di pelaminan. Itulah sekilas pelaksanaan resepsi
perkawinan salah satu warga di Haruyan Kabupaten Hulu Sungai Tengah. Resepsi tersebut
diberi nama pengantin (penganten bausung/ bausung  ginggung /baunggsung) yang jadi
tradisi khusus warga Pahuluan pada resepsi pernikahan. Di beberapa kabupaten di
Kalimantan Selatan tradisi mengusung pengantin sudah menjadi bagian prosesi perkawinan
yang masih bertahan hingga saat ini. Tradisi turun temurun tersebut terus dikembangkan
masyarakat Pahuluan khususnya warga Hulu Sungai Tengah. Hampir disetiap acara
pernikahan Bausung Ginggung jadi agenda utama resepsi perkawinan. Tokoh masyarakat
Haruyan, Masdulhak mengatakan pelaksanaan  baungsung ini sudah menjadi tradisi yang
dilaksanakan sejak lama dan tetap dilaksanakan sampai kapanpun. “Tujuannya jelas  agar
para  generasi muda lebih  mengenal  kebudayaan daerah,” kata Masdulhak. Dulhak mengaku
tidak tahu, sejak kapan upacara tersebut mulai dilaksanakan. Yang jelas, ini sudah menjadi
tradisi dan berlangsung turun-temurun. “Bausung ginggang ini ibaratnya seperti tolak balak.
Kalau tidak melakukan, biasanya pasangan pengantin akan banyak godaan dan rintangan,”
sebut Dulhak.
Dalam Bausung Gingang ini diakhiri dengan dipertemukan pasangan pengantin. Keduanya,
diminta untuk bersalaman dan berjalan beriringan sambil didoakan oleh tokoh kampung.
Semua itu, mirip dengan prosesi ijab dan kabul dalam sebuah pernikahan. “Tapi tradisi ini
bukan ijab dan kabul, ini hanya upacara tradisi saja,” terang Dulhak. Ditambahkan saat
pelaksanaan pengungsungan beberapa orang yang menjadi penggiring mempelai biasanya
ada yang kesurupan. Diterangkan Dulhak mereka dimasuki oleh roh halus yang tentunya
tidak bisa dilihat oleh orang-orang awam dan itu  terjadi hanya  pada orang-orang yang ada
garis keturunan atau tutus sang pengantin

Anda mungkin juga menyukai